Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak (Studi Empiris di KPP Pratama Medan-Polonia)

(1)

SKRIPSI

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERSEPSI WAJIB PAJAK MENGENAI ETIKA PENGGELAPAN PAJAK (TAX EVASION). (STUDI

EMPIRIS DI KPP PRATAMA MEDAN-POLONIA)

Disajikan Oleh:

Raya Puspita Sari Hasibuan

110503072

PROGRAM STUDI AKUNTANSI DEPARTEMEN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak”. (Studi Empiris di KPP Pratama Medan-Polonia). Adalah benar hasil karya tulis saya sendiri yang disusun sebagai tugas akademik guna menyelesaikan beban akademik pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

Bagian atau data tertentu yang saya peroleh dari perusahaan atau lembaga, dan/atau saya kutip dari hasil karya orang lain telah mendapat izin, dan/atau dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila kemudian hari ditemukan adanya kecurangan dan plagiat dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan praturan yang berlaku.

Medan, 09 Januari 2015

NIM 110503072 Raya Puspita Sari Hasibuan


(3)

THE FACTORS AFFECTING THE PERCEPTIONS OF TAXPAYERS ABOUT THE ETHICAL OF TAX EVASION. (EMPIRICAL STUDY IN THE

TAX SERVICE OFFICE PRATAMA MEDAN-POLONIA)

ABSTRACT

This research aims to analyze the influence of the intensity of tax audit, tax fairness, tax compliance, tax knowledge, tax system, discrimination, and the probability of fraud detection against taxpayer perception about the ethical of tax evasion. This research was conducted at the tax service office Pratama Medan-Polonia, with a sampling technique is convenience sampling and distributing the questionnaires until fifty questionnaires. All of the questionnaires given to the taxpayer who listed on tax service office Pratama Medan-Polonia, with predetermined criteria. The method of analysis used in this research is multiple linear regression. The results of this research is the intensity of tax audit negative and significant impact on taxpayer perception about the ethical of tax evasion, fairness positive and significant on taxpayer perception about the ethical of tax evasion, tax compliance negative and significant on taxpayer perception about the ethical of tax evasion, tax knowledge negative and significant impact on taxpayer perception about the ethical of tax evasion, tax system negative and significant impact on tax payer perception about the ethical of tax evasion, discrimination positive and significant impact on taxpayer perception about the ethical of tax evasion, and the probability of fraud detection negative and significant impact on taxpayer perception about ethical of tax evasion. The variable that most influence on the ethical of tax evasion in this research is discrimination because it has a coefficient beta of 0.282.

Keyword: intensity of tax audit, tax fairness, tax compliance, tax knowledge, tax system, discrimination, probability of fraud detection, ethical of tax evasion.


(4)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERSEPSI WAJIB PAJAK MENGENAI ETIKA PENGGELAPAN PAJAK (TAX EVASION).

(STUDI EMPIRIS DI KPP PRATAMA MEDAN-POLONIA)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh intensitas pemeriksaan pajak, keadilan, kepatuhan wajib pajak, pengetahuan wajib pajak, sistem perpajakan, diskriminasi, dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan

terhadap persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak (tax evasion).

Penelitian ini dilakukan di KPP Pratama Medan-Polonia, dengan tehnik

pengambilan sampel yaitu convenience sampling dan melakukan penyebaran

kuesioner sejumlah 50 buah kuesioner. Dimana, penyebaran kuesioner diberikan kepada Wajib Pajak yang terdaftar di KPP Pratama Medan-Polonia, dengan kriteria yang telah ditentukan. Metode analisis penelitian yang digunakan adalah regresi linier berganda. Hasil dari penelitian ini adalah intensitas pemeriksaan pajak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap etika penggelapan pajak, keadilan berpengaruh positif dan signifikan terhadap etika penggelapan pajak, kepatuhan wajib pajak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap etika penggelapan pajak, pengetahuan wajib pajak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap etika penggelapan pajak, sistem perpajakan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap etika penggelapan pajak, diskriminasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap etika penggelapan pajak, dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap etika penggelapan pajak. Variabel yang paling berpengaruh terhadap etika penggelapan pajak di dalam penelitian ini adalah diskriminasi karena memiliki nilai koefisien beta sebesar 0.282.

Kata Kunci: intensitas pemeriksaan pajak, keadilan, kepatuhan wajib pajak, pengetahuan wajib pajak, sistem perpajakan, diskriminasi, kemungkinan terdeteksinya kesurangan, etika penggelapan pajak.


(5)

KATA PENGANTAR

Assalamua’alaikum warohmatullahi wabarokatuh,

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, dimana berkat

limpahan rahmat dan karunia-Nya maka skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor

Yang Mempengaruhi Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak (Tax Evasion)”. (Studi Empiris di KPP Pratama Medan-Polonia) ini dapat terselesaikan dengan baik. Tidak lupa pula sholawat berangkaikan salam penulis ucapkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, serta para sahabat yang insyaALLAH akan memberikan syafa’atnya di yaumil akhir kelak, Amin ya Rabbal’alamin. Penulis sangat bersyukur atas penyelesaian skripsi ini, dimana skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memenuhi penyelesaian pendidikan Program Strata Satu (S1) pada Program Sarjana di Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Sumatera Utara.

Besar pengharapan penulis bahwa hasil dari penelitian ini akan memberikan manfaat kepada setiap pembaca terkhusus untuk seluruh Wajib Pajak di Indonesia, dan menjadikannya sebagai acuan untuk saling mengoreksi diri untuk tidak melakukan penggelapan pajak. Selama penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang luar biasa kepada pihak-pihak yang telah membantu dan memberikan doa serta dukungan agar skripsi ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Pihak-pihak tersebut diantaranya adalah:


(6)

1. ALLAH SWT, yang senantiasa memberikan rahmat-Nya dan nikmat iman, islam, dan ihsan kepada saya yang menimbulkan rasa syukur luar biasa tiada hentinya kepada-Nya.

2. Terima kasih saya ucapkan kepada kedua orang tua saya yang senantiasa

memberikan doa, dukungan dan bimbingan untuk setiap langkah saya. Papa yang senantiasa otoriter sekaligus motivator terbaik, terima kasih kepada almarhumah ibu saya yang senantiasa menjadi motivasi untuk setiap langkah saya, kakak dan adik saya yang selalu memberikan dukungan dan doa.

3. Terima kasih banyak saya ucapkan kepada bapak pembimbing saya yang

selalu memberikan dukungan, motivasi, nasihat dan senantiasa memberikan respon yang positif dan menimbulkan optimisme bagi saya di dalam pengerjaan skripsi ini yaitu bapak Drs. Firman Syarif, M.Si., Ak.

4. Terima kasih saya ucapkan kepada bapak Drs. Arifin Hamzah, MM., Ak.

dan bapak Drs. Rustam, M.Si., Ak., CA yang telah memberikan masukan dan senantiasa memberikan arahan yang positif kepada saya.

5. Terima kasih kepada pimpinan KPP Pratama Medan-Polonia, dan semua

staff di KPP Pratama Medan-Polonia yang senantiasa memberikan dukungan dan respon yang positif untuk penyelesaian skripsi ini. Terutama untuk bang Roland dan kak Ike yang sudah bersedia banyak membantu saya dalam perjalanan penelitian ini.


(7)

6. Terima kasih kepada setiap Wajib Pajak yang terdaftar di KPP Pratama Medan-Polonia yang sudah bersedia merespon, dan sangat berbaik hati telah meluangkan waktunya untuk membantu di dalam penelitian saya.

7. Terima kasih kepada teman-teman yang senantiasa memberikan semangat

di dalam perjuangan dan pengerjaan skripsi ini, diantaranya adalah Novia, Dina, Lily, Lilis, Ika, Ade, Dian, dan semua teman-teman seperjuangan S1 akuntansi FEB USU Stambuk 2011, semoga kita senantiasa diberikan kebaikan dan kesuksesan untuk setiap langkah oleh ALLAH SWT.

8. Terima kasih saya ucapkan kepada bapak Dekan FEB USU selaku

pimpinan, dan setiap staf ataupun pegawai yang senantiasa memberikan bantuan administrasi dan lainnya untuk penyelesaian skripsi ini.

9. Terima kasih saya ucapkan kepada kak Irma Suryani Rahman yang telah

memberikan referensi skripsinya yang dapat saya jadikan sebagai panduan untuk menyelesaikan skripsi ini, mudah-mudahan hasil penelitian saya ini memberikan hasil yang bersifat meneruskan penelitian beliau dengan baik.

10.Terima kasih saya ucapkan kepada kak Hanifah selaku murabbi saya yang

senantiasa memberikan motivasi, doa, dan bahkan memberikan berbagai pandangan yang positif untuk senantiasa bersemangat di dalam mengerjakan skripsi ini.

11.Terima kasih banyak kepada setiap orang baik itu sahabat, teman, rekan,

dan setiap pihak yang saya kenal dengan baik dan tidak dapat saya sebutkan namanya satu-persatu. Terima kasih banyak untuk semuanya, saya bersyukur telah dipertemukan dengan kalian semua.


(8)

Setiap penelitian tidak ada yang sempurna, setiap hasil tidak ada yang paling benar, kekurangan senantiasa menghampiri, namun demikian setiap langkah adalah pembelajaran. Pembelajaran untuk senantiasa menjadi lebih baik menuju suatu kesempurnaan. Berdirilah, melangkahlah, berjalanlah, dan bahkan berlarilah untuk senantiasa belajar, menuntut ilmu, dalam setiap kebaikan hanya karena ALLAH SWT. Mudah-mudahan penelitian ini tidak akan terhenti hanya sampai disini, tetapi akan ada penelitian-penelitian lain yang lebih baik. Jadilah seorang pejuang sejati yang senantiasa idealis dan realistis. Akhirul kalam, saya ucapkan terima kasih banyak dan mohon maaf yang sebesar-besarnya untuk setiap kesalahan dan kekhilafan.

Wassalamu’alaikum warohmatullah hiwabarokatuh.

Medan, 09 Januari 2015


(9)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... i

ABSTRACT ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. ... L atar Belakang Masalah ... 1

B. ... P erumusan Masalah ... 13

C. ... T ujuan dan Manfaat Penelitian ... 14

1. ... T ujuan Penelitian ... 14

2. ... M anfaat Penelitian ... 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 18

A. ... I ntensitas Pemeriksaan Pajak ... 18

1. ... P engertian Pemeriksaan Pajak... 18

2. ... P emeriksaan Pajak Yang Telah Diterapkan ... 20

3. ... D asar Hukum Pemeriksaan Pajak ... 22

4. ... K ebijakan Umum Pemeriksaan Pajak ... 23


(10)

B.... K eadilan ... 25 1. ... K

eadilan Pajak ... 25 2. ... P

arameter Penerapan Keadilan Dalam Perpajakan ... 29 C.... K

epatuhan Wajib Pajak ... 30 1. ... P

engertian Kepatuhan Wajib Pajak ... 30 2. ... K

epatuhan Wajib Pajak Meningkatkan Penerimaan Pajak ... 31 3. ... P

entingnya Kepatuhan Wajib Pajak ... 32 D. ... P

engetahuan Wajib Pajak ... 33 1. ... P

engertian Pengetahuan Wajib Pajak ... 33 2. ... P

engetahuan Wajib Pajak Sebagai Ukuran Kepatuhan ... 35 E. ... S

istem Perpajakan ... 37 1. ... S

istem Perpajakan Berkontribusi Terhadap Penerimaan Pajak ... 37 2. ... A

sas-Asas Pemungutan Pajak ... 38 3. ... S

istem Pemungutan Pajak ... 39 F. ... D

iskriminasi ... 41 1. ... P

engertian Diskriminasi ... 41 2. ... D

iskriminasi dalam Bidang Perpajakan ... 42 G. ... K

emungkinan Terdeteksinya Kecurangan ... 43 1. ... K


(11)

2. ... K emungkinan Terdeteksinya Kecurangan Akan Mengurangi

Penggelapan Pajak ... 45 H. ... E

tika ... 46 1. ... P

engertian Etika ... 46 2. ... J

enis-Jenis Etika... 47 I. ... P

enggelapan Pajak ... 48 1. ... P

engertian Penggelapan Pajak... 48 2. ... D

ampak Melakukan Penggelapan Pajak ... 50 J.... P

enelitian Terdahulu... 52 K. ... K

eterkaitan Antar Variabel dengan Hipotesis ... 57 1. ... I

ntensitas Pemeriksaan Pajak dengan Etika Penggelapan Pajak ... 57 2. ... K

eadilan dengan Etika Penggelapan Pajak ... 58 3. ... K

epatuhan Wajib Pajak dengan Etika Penggelapan Pajak ... 60 4. ... P

engetahuan Wajib Pajak dengan Etika Penggelapan Pajak... 61 5. ... S

istem Perpajakan dengan Etika Penggelapan Pajak ... 62 6. ... D

iskriminasi dengan Etika Penggelapan Pajak ... 64 7. ... K

emungkinan Terdeteksi Kecurangan dengan Etika Penggelapan Pajak ... 65 L. ... K

erangka Konseptual ... 67 M. ... K

erangka Operasional Penelitian ... 68


(12)

A. ... R uang Lingkup Penelitian ... 70 B. ... M

etode Penentuan Sampel ... 70 C. ... M

etode Pengumpulan Data ... 71 D. ... M

etode Analisis Data ... 72 1. ... S

tatistik Deskriptif ... 72 2. ... U

ji Kualitas Data ... 73 3. ... U

ji Asumsi Klasik ... 75 4. ... U

ji Regresi Linier Berganda ... 77 5. ... U

ji Hipotesis Penelitian ... 79 E. ... O

perasionalisasi Variabel Penelitian ... 81 1. ... V

ariabel Independen (X) ... 81 2. ... V

ariabel Dependen (Y) ... 89

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 94

A. ... G ambaran Umum Objek Penelitian ... 94 1. ... T

empat dan Waktu Penelitian... 94 2. ... D

ata Responden ... 95 B.... H

asil dan Pembahasan ... 100 1. ... H

asil Uji Statistik Deskriptif ... 100 2. ... H

asil Uji Kualitas Data ... 103 a.... H


(13)

b. ... H asil Uji Reliabilitas ... 108 3. ... H

asil Uji Asumsi Klasik ... 110 a... H

asil Uji Normalitas ... 110 b. ... H

asil Uji Multikolinearitas ... 114 c... H

asil Uji Heteroskedastisitas ... 115 4. ... H

asil Uji Regresi Linier Berganda ... 117 5. ... H

asil Uji Hipotesis Penelitian ... 120 a... H

asil Uji Statistik t (Uji Signifikansi Parsial) ... 120 b. ... H

asil Uji Statistik F (Uji Signifikansi Simultan) ... 132 c... H

asil Uji Koefisien Determinasi (Adjusted R2) ... 134 C.... I

nterpretasi ... 137

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 145

A. ... K

esimpulan ... 145 B. ... I

mplikasi ... 148 C. ... S

aran ... 149

DAFTAR PUSTAKA ... 151 LAMPIRAN ... 157


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Realisasi Penerimaan Negara (Milyar-Rupiah) Tahun 2007- 2013 ... 3

Tabel 1.2 Target dan Realisasi Penerimaan Pajak Daerah di Pemprovsu... 4

Tabel 1.3 Target dan Realisasi Penerimaan Pajak di Kota Medan ... 4

Tabel 1.4 Beberapa Kasus Tindak Pidana Penggelapan dan Mafia Pajak di Indonesia ... 6

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu ... 52

Tabel 3.1 Operasional Variabel Penelitian ... 90

Tabel 4.1 Data Distribusi Sampel Penelitian ... 94

Tabel 4.2 Sampel Penelitian ... 95

Tabel 4.3 Data Statistik Responden ... 96

Tabel 4.4 Statistik Deskriptif ... 101

Tabel 4.5 Hasil Uji Validitas Variabel Intensitas Pemeriksaan Pajak ... 103

Tabel 4.6 Hasil Uji Validitas Variabel Keadilan Pajak ... 104

Tabel 4.7 Hasil Uji Validitas Variabel Kepatuhan Wajib Pajak ... 105

Tabel 4.8 Hasil Uji Validitas Variabel Pengetahuan Wajib Pajak ... 105

Tabel 4.9 Hasil Uji Validitas Variabel Sistem Perpajakan ... 106

Tabel 4.10 Hasil Uji Validitas Variabel Diskriminasi Perpajakan ... 106

Tabel 4.11 Hasil Uji Validitas Variabel Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan ... 107

Tabel 4.12 Hasil Uji Validitas Variabel Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak ... 108


(15)

Tabel 4.13 Hasil Uji Reliabilitas ... 109

Tabel 4.14 Hasil Uji Normalitas Data ... 113

Tabel 4.15 Hasil Uji Multikolinearitas Data ... 114

Tabel 4.16 Hasil Uji Heteroskedastisitas Data ... 116

Tabel 4.17 Hasil Uji Regresi Linier Berganda ... 118

Tabel 4.18 Hasil Uji Statistik t (Uji Signifikansi Parsial) ... 120

Tabel 4.19 Hasil Uji Statistik F (Uji Signifikansi Simultan) ... 133


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual ... 67

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 68

Gambar 4.1 Data Statistik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 97

Gambar 4.2 Data Statistik Responden Berdasarkan Umur Responden ... 98

Gambar 4.3 Data Statistik Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 99

Gambar 4.4 Data Statistik Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 100

Gambar 4.5 Hasil Uji Normalitas Data (Grafik Plot) ... 111


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner Penelitian ... 157

Lampiran 2 Data Mentah Hasil Jawaban Responden ... 163

Lampiran 3 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 173

Lampiran 4 Hasil Uji Regresi Linier Berganda ... 185

Lampiran 5 Surat Riset Penelitian... 189


(18)

THE FACTORS AFFECTING THE PERCEPTIONS OF TAXPAYERS ABOUT THE ETHICAL OF TAX EVASION. (EMPIRICAL STUDY IN THE

TAX SERVICE OFFICE PRATAMA MEDAN-POLONIA)

ABSTRACT

This research aims to analyze the influence of the intensity of tax audit, tax fairness, tax compliance, tax knowledge, tax system, discrimination, and the probability of fraud detection against taxpayer perception about the ethical of tax evasion. This research was conducted at the tax service office Pratama Medan-Polonia, with a sampling technique is convenience sampling and distributing the questionnaires until fifty questionnaires. All of the questionnaires given to the taxpayer who listed on tax service office Pratama Medan-Polonia, with predetermined criteria. The method of analysis used in this research is multiple linear regression. The results of this research is the intensity of tax audit negative and significant impact on taxpayer perception about the ethical of tax evasion, fairness positive and significant on taxpayer perception about the ethical of tax evasion, tax compliance negative and significant on taxpayer perception about the ethical of tax evasion, tax knowledge negative and significant impact on taxpayer perception about the ethical of tax evasion, tax system negative and significant impact on tax payer perception about the ethical of tax evasion, discrimination positive and significant impact on taxpayer perception about the ethical of tax evasion, and the probability of fraud detection negative and significant impact on taxpayer perception about ethical of tax evasion. The variable that most influence on the ethical of tax evasion in this research is discrimination because it has a coefficient beta of 0.282.

Keyword: intensity of tax audit, tax fairness, tax compliance, tax knowledge, tax system, discrimination, probability of fraud detection, ethical of tax evasion.


(19)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERSEPSI WAJIB PAJAK MENGENAI ETIKA PENGGELAPAN PAJAK (TAX EVASION).

(STUDI EMPIRIS DI KPP PRATAMA MEDAN-POLONIA)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh intensitas pemeriksaan pajak, keadilan, kepatuhan wajib pajak, pengetahuan wajib pajak, sistem perpajakan, diskriminasi, dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan

terhadap persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak (tax evasion).

Penelitian ini dilakukan di KPP Pratama Medan-Polonia, dengan tehnik

pengambilan sampel yaitu convenience sampling dan melakukan penyebaran

kuesioner sejumlah 50 buah kuesioner. Dimana, penyebaran kuesioner diberikan kepada Wajib Pajak yang terdaftar di KPP Pratama Medan-Polonia, dengan kriteria yang telah ditentukan. Metode analisis penelitian yang digunakan adalah regresi linier berganda. Hasil dari penelitian ini adalah intensitas pemeriksaan pajak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap etika penggelapan pajak, keadilan berpengaruh positif dan signifikan terhadap etika penggelapan pajak, kepatuhan wajib pajak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap etika penggelapan pajak, pengetahuan wajib pajak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap etika penggelapan pajak, sistem perpajakan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap etika penggelapan pajak, diskriminasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap etika penggelapan pajak, dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap etika penggelapan pajak. Variabel yang paling berpengaruh terhadap etika penggelapan pajak di dalam penelitian ini adalah diskriminasi karena memiliki nilai koefisien beta sebesar 0.282.

Kata Kunci: intensitas pemeriksaan pajak, keadilan, kepatuhan wajib pajak, pengetahuan wajib pajak, sistem perpajakan, diskriminasi, kemungkinan terdeteksinya kesurangan, etika penggelapan pajak.


(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan sebuah negara yang sedang berkembang dan memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup baik. Berangkat dari sebuah permasalahan dimana Indonesia, memiliki penduduk yang sangat banyak yaitu sekitar 237.641.326 jiwa maka pemerintah Indonesia memiliki kecemasan yang sangat tinggi dalam hal memakmurkan kehidupan perekonomian masyarakat Indonesia. Dimana, dapat diketahui bahwa Indonesia merupakan sebuah negara agraris yang sangat kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia dan seharusnya sudah mampu menjadi sebuah negara maju. Dalam rangka memakmurkan kehidupan masyarakat Indonesia, maka pemerintah harus mampu meningkatkan pembangunan nasional di Indonesia salah satunya adalah dengan cara meningkatkan penerimaan negara dalam sektor perpajakan.

Menurut Andriani (dalam Ilyas 2012 : 20), “pajak merupakan iuran untuk negara yang dalam pelaksanaannya bisa dipaksakan, pajak ini berguna untuk penyelenggaraan pemerintahan pada suatu negara untuk hal-hal umum yang berkaitan dengan tugas negara sebagai penyelenggara pemerintahan”. Dapat dipahami bahwa penerimaan negara dari sektor pajak memiliki


(21)

persentase yang paling besar jika dibandingkan dengan penerimaan negara dari sektor lainnya, hal ini sangat wajar karena sebuah negara yang memiliki penduduk yang sangat banyak merupakan negara yang notabene memiliki subjek pajak yang banyak pula. Setiap subjek pajak belum tentu merupakan Wajib Pajak, namun demikian Wajib Pajak di Indonesia memiliki persentase yang sangat besar, maka seharusnya Indonesia mampu memaksimalkan penerimaan negaranya di sektor perpajakan. Dimana Wajib Pajak adalah rakyat dan semua yang berkedudukan di suatu negara dan memperoleh hasil serta manfaat dari terselenggaranya pemerintahan di negara tersebut. Mereka semua memiliki kewajiban untuk membayar pajak sesuai dengan ketentuan tarif yang diberlakukan oleh pemerintah (Yahya, 2012 : 5).

Seperti yang dapat dipahami bahwa penerimaan negara dari sektor perpajakan belumlah maksimal, salah satu penyebabnya adalah administrasi perpajakan yang cenderung rumit. Dengan demikian, hal ini sangat berkaitan erat dengan rendahnya motivasi para Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban mereka dalam membayar pajak. Administrasi perpajakan

berkorelasi langsung dengan penghindaran pajak (tax avoidance),

penggelapan pajak (tax evasion), korupsi dan berbagai tindakan amoral

lainnya dalam bidang perpajakan. Masih banyak hal yang harus dibenahi di dalam bidang perpajakan ini untuk meningkatkan penerimaan negara dalam sektor perpajakan.

Hal ini sebenarnya merupakan sebuah masalah yang sederhana, dimana ketika masyarakat mampu merasa turut menikmati berbagai fasilitas


(22)

ataupun manfaat yang mereka peroleh dari hasil pembayaran pajak yang mereka lakukan, tentu masyarakat akan mendisiplinkan diri untuk turut serta dalam pembangunan nasional yaitu dengan cara menjadi Wajib Pajak yang taat dan patuh terhadap Undang-Undang Perpajakan. Berikut ini peneliti menyajikan tabel mengenai realisasi penerimaan negara dari sektor pajak dan sektor bukan pajak.

Table 1.1

Realisasi Penerimaan Negara (Milyar-Rupiah) Tahun 2007-2013 Sumber Penerimaan

Tahun Penerimaan Pajak

Penerimaan

Bukan Pajak Total

Persentase Penerimaan Pajak

Terhadap APBN

2007 490.988 215.120 706.108 69,53%

2008 658.701 320.604 979.305 67,26%

2009 619.922 227.174 847.096 73,18%

2010 723.307 268.942 992.249 72,86%

2011 878.685 286.568 1.165.253 75,41%

2012 1.019.333 272.720 1.292.053 78,89%

2013 1.139.323 260.550 1.399.873 81,38%

Sumber: Kementrian Keuangan (diolah)

Dilihat dari daftar tabel 1.1 diatas, dapat diketahui bahwa penerimaan pajak selama tujuh tahun terahir ini mengalami fluktuasi yang cukup signifikan. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa penerimaan negara dari sektor perpajakan lebih besar dari penerimaan negara bukan pajak. Hal ini menjadi ukuran bahwa penerimaan pajak di Indonesia, sangat berpotensi jika penerimaan tersebut dapat diperoleh 100%. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa penerimaan dari sektor perpajakan selalu diatas 50% jika dibandingkan dengan penerimaan bukan sektor pajak. Kemudian, berikut ini peneliti


(23)

menampilkan target dan realisasi penerimaan pajak di provinsi Sumatera Utara.

Table 1.2

Target dan Realisasi Penerimaan Pajak Daerah di Provinsi Sumatera Utara Tahun Target Penerimaan

Pajak

Realisasi Penerimaan Pajak

Persentase Penerimaan Pajak

2007 1.458,4 triliun 1.542,34 triliun 105,76 %

2008 1.967,61 triliun 2.002,004 triliun 101,75 %

2009 1.946,447 triliun 1.834,682 triliun 94,26 %

2010 2.204,109 triliun 2.271,474 triliun 103,06 %

2011 2.890 triliun 638,324 miliar 22,09 %

2012 1.032,6 triliun 1.548,8 triliun 100,61 %

2013 4.519 triliun 3.685 triliun 81,4%

Sumbe

Pada tabel 1.2 di atas, dapat dilihat bahwa target dan realisasi penerimaan pajak di Provinsi Sumatera Utara juga mengalami tingkat kenaikan dan penurunan yang cukup fluktuatif. Mulai dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2013 persentase antara target dan realisasi mengalami penurunan. Pada tahun 2007 persentasenya adalah 105,76 % dan pada tahun 2013 persentasenya mengalami penurunan hingga sebesar 81,4 % namun yang paling menyedihkan pada tahun 2011 persentasenya turun terlalu jauh yaitu senilai 22,09 %.

Table 1.3

Target dan Realisasi Penerimaan Pajak di Kota Medan Tahun Target Penerimaan

Pajak

Realisasi Penerimaan Pajak

Persentase Penerimaan Pajak

2007 254,664 miliar 180,793 miliar 57,9 %

2008 3.703,35 miliar 4.285,53 miliar 115,72 %

2009 4.820,846 miliar 5.162,15 miliar 107,08 %

2010 7.289,118 miliar 6.101,636 miliar 83,71 %


(24)

2012 16.000 miliar 6.838,441 miliar 42,74 %

2013 1.197,019 miliar 496,072 miliar 41,44%

Sumber: Dinas Pendapatan Pelayanan Terpadu dan Dinas Perhubungan Kota Medan (2014).

Kemudian, pada tabel 1.3 ini, memaparkan target dan realisasi penerimaan pajak di Kota Medan secara lebih spesifik. Melihat persentase penerimaan pajak mulai dari tahun 2007 sampai dengan 2013, maka dapat dilihat bahwa persentase tersebut tidak mengalami kenaikan yang singnifikan, melainkan juga mengalami tingkat penurunan yang cukup jauh. Misalnya saja dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2010, penurunan penerimaan pajak cukup jauh yaitu persentasenya dari 107,08 % menuju ke 83,71 %. Hal ini merupakan sebuah masalah yang harus di atasi.

Salah satu yang menyebabkan penurunan penerimaan pajak adalah rendahnya kepatuhan Wajib Pajak yang disebabkan oleh maraknya berbagai kasus penggelapan pajak yang ada di Indonesia. Hal ini sangatlah wajar mencemaskan masyarakat mengenai pengelolaan dana perpajakan yang tidak mampu di realisasikan secara baik dalam rangka meningkatkan pembangunan nasional di Indonesia terkhususnya di kota Medan. Hal ini dikarenakan maraknya penggelapan pajak tersebut banyak dilakukan oleh kaum intelektual yang notabene adalah para pengelola ataupun orang-orang yang merupakan fiskus dan para pegawai yang ada di Direktorat Jendral Pajak tersebut.

Terjadinya korupsi ataupun penggelapan pajak yang mereka lakukan tentunya mengikis kepercayaan masyarakat yang seharusnya mereka telah memiliki kesadaran yang tinggi dan partisipasi yang baik untuk melakukan pembayaran pajak. Seharusnya masyarakat mampu memperoleh keadilan


(25)

(fairness) sebagai hasil dari pembayaran pajak yang mereka lakukan. Menurut Duadji (2010), penggelapan pajak (tax evasion) adalah “tindak pidana karena merupakan rekayasa subyek (pelaku) dan obyek (transaksi) pajak untuk

memperoleh penghematan pajak secara melawan hukum (unlawfull), dan

penggelapan pajak boleh dikatakan merupakan virus yang melekat (inherent) pada setiap sistem pajak yang berlaku di hampir setiap yurisdiksi”.

Begitupun penggelapan pajak mempunyai resiko terdeteksi yang inherent pula, serta mengundang sanksi pidana badan dan denda. Penggelapan pajak dapat dilakukan oleh Wajib Pajak maupun fiskus pajak. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk menggelapkan pajak dengan tujuan untuk mencari keuntungan pribadi. Cara yang digunakan oleh Wajib Pajak dengan melanggar

dan menentang Peraturan Undang-Undang (unlawful) yang berlaku disebut

Tax Evasion yang akan merugikan negara dan tentunya akan dikenakan sanksi administrasi dan pidana bagi pihak-pihak yang melakukan cara tersebut. Sedangkan upaya dalam meminimalkan beban pajak sepanjang masih

menggunakan peraturan yang berlaku (lawful) diperbolehkan dengan

penanganan dan pengelolaan yang baik disebut Tax Avoidence (Masri,

2012:1). Berikut ini disajikan beberapa kasus penggelapan pajak di Indonesia :

Table 1.4

Beberapa Kasus Tindak Pidana Penggelapan dan Mafia Pajak di Indonesia

No.

Tersangka Dugaan Kasus

Penggelapan dan Mafia Pajak (Tahun)

Tuduhan Kasus Kecurangan

KPP/Perusahaa n yang Terlibat

Sanksi Bagi Fiskus/Wajib

Pajak


(26)

Amin Sutanto (Vincent),

Group financial controller AAG (2006)

transfer pricing secara terperinci untuk

menggelapkan pajak Asian Agri Group (AAG).

Group dan Perusahaan Afiliasinya di Luar Negeri.

Rp 2,5 triliun, namun Asian Agri mengajukan banding dan hingga saat ini masih menunggu hasil persidangan.

2. Gayus

Halomoan Tambunan (2009)

Penggelapan pajak, Suap pajak dan Hakim, Mafia Pajak, Pemalsuan Paspor, dan gratifikasi.

PT Mega Cipta Jaya Garmindo, PT Metropolitan retailermart, PT Megah Citra Raya, PT Surya Alam, Bakrie Group.

Vonis hukuman penjara total 28 tahun dan masih ada beberapa kasus dengan tahap banding.

3. Sawir Laut

(2011) Penggelapan pajak, penyampaian surat pemberitahuan keterangan palsu.

PT Asian Agri Group.

Denda dua kali lipat tagihan pajak yakni sebesar Rp 2,5 triliun plus sanksi denda 48% dari tagihan pajak.

4. Inisial DFS (34)

yang bertugas sebagai kasir dan dua tenaga kerja kontrak (TKK)

berinisial D dan KS di UPT Samsat Kabupaten Lebak (2011) melakukan penggelapan uang pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Baru (BBNKB), dengan kerugian mencapai Rp1,6 miliar. Kasus ini akan segera dilimpahkan ke kejaksaan. Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) sudah kami kiri ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten,” Samsat Kabupaten Lebak. Hukuman penjara sebagai tindak pidana korupsi menggelapkan uang sejumlah Rp 1,6 miliar dan pencopotan jabatan.

5. Bahasyim

Assifie (2011)

Menerima suap dari wajib pajak yang melakukan keberatan dan

Kepala KPP Jakarta VII, KPP Koja dan KPP Palmerah.

Hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp. 500 juta.


(27)

banding atas kasus pencucian uang.

6. Johny Basuki

(2012)

Kasus suap kepada pegawai pajak.

PT Mutiara Virgo (MV).

Hukuman penjara dua tahun dan denda Rp. 100 juta.

7. Herly

Isdiharsono (2012)

Menerima suap untuk mengurani pajak PT Mutiara Virgo dan

pencucian uang.

KPP Pratama Jakarta Palmerah,

Jakarta Barat dan PT Mutiara Virgo.

Penjara selama enam tahun dan denda Rp. 500 juta, subsider enam bulan kurungan penjara.

8. Dhana

Widyatmika (2012)

Penggelapan pajak, pencucian uang, suap pajak, dan pemerasan pajak. KPP Pratama Jakarta Pancoran, PT Kornet Trans Utama dan PT Mutiara Virgo.

Hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp. 300 juta, subsider tiga bulan kurungan penjara.

Sumber: Diolah dari berbagai referensi Buku dan Media, 2014.

Tabel tersebut memaparkan berbagai kecurangan (fraud) dalam bentuk

penggelapan pajak (tax evasion) yang dilakukan oleh orang-orang yang

memiliki wewenang yang kokoh dimana seharusnya mereka mampu menjadi contoh bagi masyarakat awam untuk melakukan pembayaran pajak dengan baik. Berangkat dari berbagai permasalahan penggelapan pajak ini, maka pihak Direktorat Jendral Pajak sudah seharusnya melakukan berbagai upaya untuk mengatasi permasalahan ini, misalnya saja lebih menegakkan keadilan dengan cara mempertegas sanksi bagi para pelaku mafia pajak. Setiap elemen ataupun masyarakat yang telah melakukan pembayaran pajak berhak memperoleh hak mereka untuk merasakan manfaat dari kontribusi yang telah mereka berikan terhadap pembangunan nasional tersebut.

Mayoritas literatur yang meneliti penggelapan pajak dari perspektif etika menyimpulkan bahwa penggelapan pajak dapat dibenarkan dalam situasi


(28)

tertentu, meskipun alasan berbeda-beda. Dikatakan pada sebuah situasi tertentu karena terdapat cara yang dilegalkan untuk meminimalkan pembayaran pajak. Berdasarkan literatur Islam menunjukkan bahwa penggelapan pajak mungkin etis jika pengaruh pajak adalah untuk menaikkan harga atau jika pendapatan menyebabkan kenaikan pajak. Dengan demikian, pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai dan tarif pajak dapat di lihat dari segi moral pemerintahan termasuk pejabat pajak yang tidak baik sehingga menimbulkan persepsi tidak perlunya membayar pajak.

Namun, percakapan pribadi dengan ulama mendapatkan kesimpulan, setidak-tidaknya beberapa sarjana Muslim berpendapat bahwa penggelapan pajak tidak selalu etis. Ulama dan sarjana Muslim mengutip dari segi perspektif Quran untuk membenarkan pendapatnya. Cara berpikir, bersikap, dan bertindak seseorang pastilah diwarnai oleh ajaran agama yang dianutnya, jika ia sungguh-sungguh dalam kehidupan beragama. Dengan demikian, jikalau ajaran agama itu mengandung nilai-nilai yang dapat memacu pembangunan, jelaslah bahwa agama akan turut menentukan jalannya pembangunan atau modernisasi. Pajak hanyalah sebuah sistem yang dijalankan dan dikendalikan oleh manusia (fiskus dan WP).

Bagaimanapun tampilan pemungutan pajak tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai etika dan religi yang dianut oleh manusia pelaksanaannya. Dengan kata lain, etika fiskus dan Wajib Pajak merupakan faktor yang mempengaruhi kesuksesan pemungutan pajak. Menurut literatur katolik memberikan beberapa alasan yang menyatakan bahwa penggelapan pajak dianggap suatu


(29)

hal yang etis, termasuk kemampuan untuk membayar pajak dan korupsi pemerintah dalam pengelolaan dana yang didapatkan dari pajak (Nickerson, et al, 2009 : 3), sedangkan menurut literatur Yahudi menyimpulkan bahwa penggelapan pajak selalu tidak etis.

Dengan demikian, penggelapan pajak merupakan suatu polemik yang sangat mencemaskan para Ditjen Pajak selaku penanggung jawab atas dana perpajakan dan bahkan mencemaskan terjadinya berbagai tindakan kriminal yang mengikis moral para akademisi. Salah satu alasan untuk kesimpulan ini karena ada tekanan pemikiran di dalam literatur Yahudi bahwa terdapat kewajiban untuk tidak meremehkan orang Yahudi lain. Jika seorang Yahudi melakukan penggelapan pajak, hal itu akan membuat semua orang Yahudi lainnya terlihat buruk (McGee, 2008 : 5).

Nickerson, et al, (2009 : 4) membahas tentang dimensionalitas skala etika tentang penggelapan pajak. Banyak hal yang menyebabkan terjadinya penggelapan pajak, dan sangat beraneka ragam cara yang dilakukan oleh para oknum penggelap pajak untuk menyembunyikan berbagai tindak kriminal yang mereka lakukan. Mereka mensurvei sekitar seribu seratus orang di enam negara. Sebuah skala pertanyaan sebanyak delapan belas item disajikan,

dianalisis, dan dibahas. Temuan menunjukkan bahwa penggelapan pajak (tax

evasion) secara keseluruhan memiliki tiga dimensi persepsi skala etis dari item-item yang diuji, yaitu: 1) keadilan, yang terkait dengan kegunaan positif dari uang, 2) sistem perpajakan, yang terkait dengan tarif pajak dan kegunaan negatif atas uang, dan 3) diskriminasi, yang terkait dengan penggelapan pajak


(30)

dalam kondisi tertentu. Determinan-determinan atas kecenderungan untuk melakukan penghindaran pajak dengan menggunakan studi kasus di Argentina. Dengan menggunakan lima indikator, yaitu: 1) persepsi menjadi cemas, 2) persepsi tentang seberapa adil sistem pajak, 3) persepsi tentang seberapa baik pengeluaran pemerintah, 4) persepsi tentang informasi dan teknologi yang dimiliki pemerintah, 5) kecenderungan untuk menghindari pajak (Ayu, 2009 : 2).

Berbagai riset telah dilakukan untuk mengidentifikasi atau bahkan meminimalkan penggelapan pajak ini, namun pada kenyataannya keadaan ini masih sulit diatasi. Berbagai kecanggihan yang mampu dihasilkan oleh teknologi-teknologi masa kini mampu mengendus permasalahan etika penggelapan pajak ini. Banyak pertimbangan yang harus dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini. Khususnya untuk negara Indonesia yang notabene adalah negara hukum namun pada kenyataannya tidak mampu menerapkan hukum secara adil dan belum mampu mengatasi etika penggelapan pajak yang marak di Indonesia.

Penelitian selanjutnya telah dilakukan oleh salah seorang mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2013 lalu. Penelitian tersebut mengacu pada variable-variabel yang cukup kompleks diantaranya adalah keadilan, diskriminasi, sistem perpajakan dan kemungkinan tedeteksinya kecurangan. Maka dari hasil penelitian terdahulu dapat diketahui bahwa keadilan dan diskriminasi berpengaruh positif, sedangkan sistem perpajakan dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan berpengaruh negatif terhadap


(31)

etika penggelapan pajak. Beranjak dari penelitian ini, maka peneliti berikutnya tertarik untuk melakukan penelitian dengan variabel yang lebih kompleks dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel-variabel yang akan di teliti dan di uji terhadap etika penggelapan pajak yang saat ini marak di masyarakat khususnya terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi yang terdaftar di KPP Pratama Medan-Polonia.

Adapun perbedaan penelitian yang dilakukan oleh peneliti saat ini dengan penelitian terdahulu adalah :

1. Peneliti menambahkan variabel independen menjadi tujuh variabel

diantaranya adalah pemeriksaan pajak (tax audit), keadilan (tax fairness),

kepatuhan wajib pajak (tax compliance), pengetahuan wajib pajak (tax

knowledge), sistem perpajakan (tax system), diskriminasi (discrimination), dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan (fiscal fraud).

2. Penelitian ini dilakukan di kota Medan tepatnya di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Medan Polonia, dengan cara melakukan penyebaran kuesioner. Sedangkan peneliti sebelumnya melakukan penelitian di KPP di Kota Jakarta.

3. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2014, sedangkan penelitian

sebelumnya dilakukan pada tahun 2011 dan 2013. Jadi, penelitian ini dilakukan pada tempat dan objek peneliti yang berbeda.

Dari berbagai uraian yang telah di paparkan diatas, maka peneliti termotivasi untuk melakukan sebuah penelitian mengenai etika penggelapan pajak. Penelitian ini dilakukan sebagai suatu bentuk kontribusi untuk


(32)

mengetahui, memahami, dan bahkan melakukan analisis yang mendalam mengenai motivasi-motivasi para mafia pajak yang melakukan penggelapan pajak. Penelitian yang senantiasa terus dikembangkan ini, diharapkan mampu memberikan kontribusi untuk mengatasi permasalahan penggelapan pajak yang sudah sangat mendarah daging. Mampu menerapkan keadilan, menghindari diskriminai, meningkatkan penerimaan pajak dan bahkan meminimalkan berbagai penggelapan pajak yang mungkin terjadi. Untuk itu, penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti memiliki judul sebagai berikut :

“Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi Wajib Pajak mengenai etika penggelapan pajak (Tax Evasion).” (Studi Empiris di KPP Pratama Medan-Polonia)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Apakah intensitas pemeriksaan pajak (tax audit),

keadilan (tax fairness), kepatuhan Wajib Pajak (tax compliance),

pengetahuan Wajib Pajak (tax knowledge), sistem perpajakan (tax system), diskriminasi (discrimination), dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan (fiscal fraud) berpengaruh secara parsial maupun simultan terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai etika penggelapan pajak (Tax Evasion) ?

2. Bagaimana intensitas pemeriksaan pajak (tax audit),

keadilan (tax fairness), kepatuhan Wajib Pajak (tax compliance),


(33)

diskriminasi (discrimination), dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan (fiscal fraud) berpengaruh terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai etika penggelapan pajak (Tax Evasion) ?

3. Manakah variabel independen (intensitas

pemeriksaan pajak (tax audit), keadilan (tax fairness), kepatuhan Wajib Pajak (tax compliance), pengetahuan Wajib Pajak (tax knowledge), sistem perpajakan (tax system), diskriminasi (discrimination), dan kemungkinan

terdeteksinya kecurangan (fiscal fraud) ) yang paling dominan

mempengaruhi variabel dependen (Persepsi Wajib Pajak mengenai etika penggelapan pajak (Tax Evasion) ) ?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah yang telah dipaparkan diatas, maka tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk menemukan bukti empiris atas hal-hal berikut ini :

1. Untuk menganalisis pengaruh intensitas

pemeriksaan pajak (tax audit), keadilan (tax fairness), kepatuhan

Wajib Pajak (tax compliance), pengetahuan Wajib Pajak (tax

knowledge), sistem perpajakan (tax system), diskriminasi

(discrimination), dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan (fiscal fraud) baik secara parsial maupun simultan terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai etika penggelapan pajak (Tax Evasion).


(34)

2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh intensitas pemeriksaan pajak (tax audit), keadilan (tax fairness), kepatuhan

Wajib Pajak (tax compliance), pengetahuan Wajib Pajak (tax

knowledge), sistem perpajakan (tax system), diskriminasi

(discrimination), dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan (fiscal

fraud) berpengaruh terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai etika

penggelapan pajak (Tax Evasion).

3. Untuk menganalisis pengaruh variabel independen

(intensitas pemeriksaan pajak (tax audit), keadilan (tax fairness),

kepatuhan Wajib Pajak (tax compliance), pengetahuan Wajib Pajak

(tax knowledge), sistem perpajakan (tax system), diskriminasi

(discrimination), dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan (fiscal fraud) ) yang paling dominan terhadap variabel dependen (Persepsi Wajib Pajak mengenai etika penggelapan pajak (Tax Evasion) ).

2. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian, adapun manfaat penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut:

1. Kantor Pelayanan Pajak

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Kantor Pelayanan Pajak khususnya Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan-Polonia, sebagai bahan masukan dan pertimbangan untuk melakukan kegiatan evaluasi dan mengambil tindakan korektif dalam memahami pengaruh intensitas pemeriksaan pajak (tax audit), keadilan (tax


(35)

fairness), kepatuhan Wajib Pajak (tax compliance), pengetahuan Wajib Pajak (tax knowledge), sistem perpajakan (tax system), diskriminasi (discrimination), dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan (fiscal

fraud) terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai etika penggelapan

pajak (Tax Evasion).

2. Bagi Akademisi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para akademisi sebagai referensi untuk menambah pengetahuan para akademisi mengenai pengaruh pengaruh intensitas pemeriksaan pajak (tax audit), keadilan (tax fairness), kepatuhan Wajib Pajak (tax compliance),

pengetahuan Wajib Pajak (tax knowledge), sistem perpajakan (tax

system), diskriminasi (discrimination), dan kemungkinan terdeteksinya

kecurangan (fiscal fraud) terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai

etika penggelapan pajak (Tax Evasion). 3. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini semoga dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan menjadi acuan bagi para peneliti berikutnya, dalam menambah pengetahuan dan memberikan keyakinan mengenai pengaruh intensitas pemeriksaan pajak (tax audit), keadilan (tax fairness), kepatuhan

Wajib Pajak (tax compliance), pengetahuan Wajib Pajak (tax

knowledge), sistem perpajakan (tax system), diskriminasi


(36)

fraud) terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai etika penggelapan pajak (Tax Evasion).

4. Pembaca

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang berkaitan dengan pengaruh intensitas pemeriksaan pajak (tax audit), keadilan (tax fairness),

kepatuhan Wajib Pajak (tax compliance), pengetahuan Wajib Pajak

(tax knowledge), sistem perpajakan (tax system), diskriminasi

(discrimination), dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan (fiscal

fraud) terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai etika penggelapan

pajak (Tax Evasion).

5. Bagi Wajib Pajak

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran bagi para Wajib Pajak untuk melakukan pembayaran pajak tepat pada waktunya. Dan dengan adanya penelitian ini semoga akan mengurangi berbagai kesenjangan yang merupakan ketidakadilan, diskriminasi, dan bahkan penggelapan pajak tetapi penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan yang lebih baik mengenai perpajakan kepada setiap Wajib Pajak terkhusus Wajib Pajak yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan-Polonia.


(37)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Intensitas Pemeriksaan Pajak (Tax Audit) 1. Pengertian Pemeriksaan Pajak

Beberapa pengertian dan definisi yang perlu diketahui yang berkaitan dengan pemeriksaan pajak (Hidayat, 2013 : 1) adalah sebagai berikut :

a. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah

data, keterangan, dan/bukti audit yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.

b. Pemeriksaan lapangan adalah pemeriksaan yang dilakukan ditempat

kedudukan, tempat kegiatan usaha atau pekerja bebas, tempat tinggal Wajib Pajak, atau tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jendral Pajak.


(38)

c. Pemeriksaan kantor adalah pemeriksaan yang dilakukan di Kantor Direktorat Jenderal Pajak.

d. Pemeriksa pajak adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat

Jenderal Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan pemeriksaan.

Intensitas pemeriksaan pajak merupakan sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan untuk menilai kepatuhan Wajib Pajak. Hal ini dapat dilihat dari segi kejujuran, kemauan untuk membayar pajak, dan bahkan menjadikan bahan pertimbangan apa yang menyebabkan Wajib Pajak tidak mau melakukan pembayaran pajak. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memahami apa yang menyebabkan Wajib Pajak sangat sulit untuk mematuhi Undang-Undang Perpajakan. Beberapa ahli telah meneliti dampak pada pelaporan SPT pada tahun setelah dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan sumber data pemeriksaan internal Revenue Service di Amerika Serikat atas Wajib Pajak pada suatu tahun yang selanjutnya akan menjadi obyek pemeriksaan selanjutnya di tahun kedua.

Hasil penelitian menunjukkan adanya proporsi perbaikan kepatuhan yang substansial dibandingkan hasil pemeriksaan pajak sebelumnya. Sayangnya, sangatlah sulit menentukan keefektifan ukuran kinerja pemeriksaan. Pada tataran konsep, pengukuran hasil pemeriksaan yang paling bernilai dan tajam adalah manakala pemeriksaan pajak


(39)

menghasilkan kewajiban pajak yang benar-benar harus dibayar dan juga mampu mempengaruhi Wajib Pajak agar secara suka rela mematuhi dan memenuhi kewajiban perpajakannya di masa mendatang. Tidak ada cara empiris untuk memastikan apa yang telah dibayar Wajib Pajak sesuai dengan seharusnya, sekaligus merupakan kemustahilan untuk mengetahui apakah setelah diperiksa akan mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak dimasa selanjutnya.

Berhubungan dengan etika penggelapan pajak, maka intensitas pemeriksaan pajak memiliki hubungan yang sangat erat. Dimana, dianalogikan ketika pemeriksaan pajak dapat dilakukan dengan sistem dan disiplin yang baik, maka Wajib Pajak akan takut ataupun enggan untuk melakukan penggelapan pajak. Hal ini dapat di pahami, karena Wajib Pajak akan merasa lebih di kontrol, takut terhadap sanksi yang akan diberikan jika mereka tidak mematuhi Undang-Undang Perpajakan, dan bahkan mereka cenderung melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak karena segala strategi yang mereka lakukan untuk menggelapkan pajak, akan dapat diketahui dan diselidiki oleh pihak fiskus.

2. Pemeriksaan Pajak Yang Telah Di Terapkan

Penelitian mengenai kepatuhan Wajib Pajak sudah sangat sering sekali dilakukan diantaranya adalah Penelitian dilakukan dengan memilih Wajib Pajak yang telah mengalami pemeriksaan pajak oleh Karikpa Mataram sebanyak tiga kali sejak tahun 1993 hingga 2005 baik WP Badan maupun WP OP dan terkumpul sebanyak 52 Wajib Pajak. Kepatuhan


(40)

Wajib Pajak per jenis pajaknya diukur dari proporsi jumlah koreksi pajak dengan jumlah pajak yang telah dibayar oleh Wajib Pajak. Uji t digunakan untuk mengetahui apakah hasil dari dua frekuensi pemeriksaan pajak yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan. Uji F digunakan untuk melihat perbedaan secara serentak pada ketiga frekuensi pemeriksaan yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk jenis PPh Badan/Op, PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 hanya sedikit sekali yang menunjukan peningkatan kepatuhan setelah tiga kali dilakukan pemeriksaan pajak.

Demikian juga ternyata hubungan/korelasi antara hasil dari ketiga frekuensi pemeriksaan juga lemah. Kondisi yang lebih baik ditunjukkan dari hasil pemeriksaan atas PPN. Banyak hal yang dapat diasumsikan mengenai pemeriksaan pajak ini, karena mungkin saja sistem perpajakan yang diterapkan di Indonesia juga sangat lemah. Kesimpulan yang dapat diambil adalah ternyata sangat sedikit sekali jumlah Wajib Pajak yang

menunjukan peningkatan kepatuhan sekalipun diiringi dengan

perbandingan frekuensi pemeriksaan pajak. Seluruh kepatuhan Wajib Pajak pada berbagai perbandingan frekuensi yang berbeda, baik secara berpasangan maupun serentak, atas seluruh jenis pajak tidak menunjukkan perbedaan hasil yang signifikan. Keeratan korelasi antara berbagai kepatuhan Wajib Pajak pada berbagai jenis pajak dalam setiap perbandingan frekuensi pemeriksaan menunjukkan hasil yang lemah dan tidak bermakna.


(41)

Disarankan karena tujuan dilakukannya pemeriksaan adalah untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak sehingga semakin meningkat maka perlu dilakukan langkah-langkah perbaikan dalam proses pemeriksaan agar tujuan tersebut tercapai. Perbaikan secara lebih menyeluruh terhadap administasi sistem perpajakan akan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Perlunya menentukan indikator atau ukuran lain dalam menilai hasil pemeriksaan, tidak hanya memandang dari segi besar kecilnya koreksi.

3. Dasar Hukum Pemeriksaan Pajak

Beberapa dasar hukum yang berkaitan dengan pemeriksaan pajak adalah sebagai berikut :

a. Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata

Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terahir dengan UU No. 16 Tahun 2009.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan undang-Undang Nomor 6 Tahun 1993 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.

c. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tanggal 28 Desember 2007 tentang

Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.


(42)

d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-130/PMK.03/2009 Tanggal 18 Agustus 2009 tentang Tata Cara Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan untuk Kepentingan Penerimaan Negara.

e. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-201/PMK.03/2007 tanggal

28 Pihak-Pihak yang Terikat atas Kewajiban Merahasiakan.

f. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-199/PMK.03/2007 Tanggal

28 Desember 2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak.

g. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-198/PMK.03/2007 Tanggal

28 Desember 2007 tentang Tata Cara Penyegelan Dalam Rangka Pemeriksaan di Bidang Perpajakan.

h. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-202/PMK.03/2007 Tanggal

28 Desember 2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.

i. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-09/PJ/2010 Tanggal 01

Maret 2010 tentang Standar Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.

4. Kebijakan Umum Pemeriksaan Pajak

Menurut Hidayat (2013 : 11), pedoman pelaksanaan pemeriksaan pajak, Direktorat Jenderal Pajak telah menetapkan beberapa kebijakan umum yang dapat diuraikan sebagai berikut :


(43)

b. Setiap pemeriksaan yang dilaksanakan harus dilengkapi dengan surat perintah pemeriksaan pajak yang mencantumkan tahun pajak yang diperiksa.

c. Pemeriksaan dapat dilaksanakan oleh kantor pusat Direktorat Jenderal

Pajak, kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak, kantor pemeriksaan dan penyidikan pajak atau kantor pelayanan pajak.

d. Pemeriksaan ulang terhadap jenis dan tahun pajak yang sama, tidak

diperkenankan, kecuali dalam hal seperti berikut :

1. Terdapat indikasi bahwa Wajib Pajak diduga telah atau sedang

melakukan tindak pidana di bidang perpajkan;

2. Terdapat data baru dan atau data semula belum terungkap,

mengakibatkan penambahan jumlah pajak terutang atau mengurangi kerugian yang dapat dikompensasikan.

e. Buku-buku, catatan-catatan dan dokumen lain yang akan dipinjam dari

Wajib Pajak dalam pelaksanaan pemeriksaan tidak harus yang asli, dapat juga misalnya fotokopi yang sesuai dengan aslinya.

f. Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor pemeriksaan (yaitu untuk

pemeriksaan sederhana kantor) atau di tempat Wajib Pajak (untuk pemeriksaan sederhana lapangan atau pemeriksaan lengkap).

g. Jangka waktu pemeriksaan terbatas.

h. Dapat dilakukan perluasan pemeriksaan, baik untuk tahun-tahun


(44)

1. SPT tahunan, wajib pajak orang pribadi atau badan menyatakan adanya kompensasi kerugian dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dilakukan pemeriksaan.

2. Sebab-sebab lain berdasarkan instruksi direktur pemeriksaan,

penyidikan, dan penagihan pajak.

i. Setiap hasil pemeriksaan harus diberitahukan kepada Wajib Pajak

secara tertulis, yaitu mengenai hal-hal yang berbeda antara surat pemberitahuan (SPT) Wajib Pajak dan hasil pemeriksaan, dan selanjutnya untuk ditanggapi oleh Wajib Pajak.

B. Keadilan

1. Keadilan Pajak (Tax Fairness)

Menurut Anondo (2013), syarat keadilan adalah “pemungutan pajak dilaksanakan secara adil baik dalam peraturan maupun realisasi pelaksanaannya”.

Keadilan dalam perpajakan merupakan faktor utama yang akan mendasari setiap Wajib Pajak mau mematuhi peraturan perpajakan. Penelitian yang telah dilakukan oleh Suryani pada tahun 2013 lalu, menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa keadilan memiliki hubungan yang positif terhadap etika penggelapan pajak. Hal ini relevan dengan hipotesis yang telah ia nyatakan, dan bahkan relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh McGee (2008), Nickerson, et al (2009), Suminarsasi (2011). Hasil penelitian menyatakan bahwa keadilan mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap penggelapan pajak.


(45)

Penelitian ini didasarkan atas asumsi bahwa setiap Wajib Pajak akan mematuhi dan melaksanakan kewajibannya untuk melakukan pembayaran pajak, ketika mereka mampu memperoleh keadilan yang sebaik-baiknya. Keadilan dalam hal ini adalah keadilan dalam penerapan Undang-Undang Perpajakan, tidak membeda-bedakan setiap Wajib Pajak. Lebih dari itu keadilan yang dimaksud adalah bagaimana pihak pemungut pajak dalam hal ini pemerintah mampu merealisasikan dana perpajakan tersebut untuk kepentingan rakyat. Setiap Wajib Pajak berhak untuk memperoleh dan diperlakukan secara adil dalam hal pemungutan pajak. Penggelapan pajak dapat dianggap sebagai sesuatu hal yang etis ketika keadilan di dalam perpajakan sangat abstrak untuk diterapkan. Keadilan ini memiliki cakupan yang cukup luas bahkan sangat mendalam karena diasumsikan sebagai umpan balik dari kontribusi Wajib Pajak yang mau mematuhi peraturan pajak dan melaksanakan kewajibannya sebagai Wajib Pajak.

Asas keadilan dalam prinsip Perundang-Undangan Perpajakan maupun dalam hal pelaksanaannya harus dipegang teguh, walaupun keadilan itu sangat relatif. Menurut Richard dan Peggy dalam buku Public

Finance in Theory and Practice terdapat dua macam asas keadilan

pemungutan pajak, adalah sebagai berikut : 1. Benefit Principle


(46)

Dalam sistem perpajakan yang adil, setiap Wajib Pajak harus membayar pajak sejalan dengan manfaat yang dinikmatinya dari pemerintah. Pendakatan ini disebut revenue and expenditure approach.

2. Ability Principle

Dalam pendekatan ini menyatakan agar pajak dibebankan kepada Wajib Pajak atas dasar kemampuan membayar.

Masalah keadilan dalam pemungutan pajak, dibebankan antara lain sebagai berikut :

1. Keadilan horizontal

Pemungutan pajak adil secara horizontal apabila beban pajaknya sama atas semua Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan yang sama dengan jumlah tanggungan yang sama, tanpa membedakan jenis penghasilan atau sumber penghasilan.

2. Keadilan vertikal

Keadilan dapat dirumuskan (horizontal dan vertikal) bahwa pemungutan pajak adil, apabila orang yang dalam kondisi ekonomis yang sama dikenakan pajak yang sama, demikian sebaliknya.

Seperti yang dikemukakan Mansury, Pajak Penghasilan hendaknya dipungut sesuai dengan asas keadilan, maka diperlukan syarat keadilan sebagai berikut :

1. Syarat keadilan horizontal, antara lain sebagai berikut : a. Definisi Penghasilan


(47)

Memuat semua tambahan kemampuan ekonomis termasuk ke dalam pengertian definisi penghasilan.

b. Globality

Seluruh tambahan kemampuan ekonomis merupakan ukuran dari

keseluruhan kemampuan membayar (the global ability to pay).

Oleh karena itu, penghasilan dijumlahkan menjadi satu sebagai objek pajak.

c. Net Income

Ability to pay yaitu jumlah neto setelah dikurangi semua biaya

yang tergolong dalam biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

d. Personal exemption

Pengurangan yang diberikan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi berupa Penghasilan Tidak kena Pajak (PTKP).

e. Equal treatment for the equals

Pengenaan pajak dengan perlakuan yang sama diartikan bahwa seluruh penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang sama tanpa membedakan jenis atau sumber penghasilan.

2. Syarat keadilan vertikal, antara lain sebagai berikut : a. Unequal treatment for the unequals


(48)

Besarnya tarif dibedakan oleh jumlah seluruh penghasilan atau jumlah seluruh tambahan kemampuan ekonomis (bukan perbedaan jenis atau sumber penghasilan).

b. Progression

Wajib Pajak yang penghasilannya besar, harus membayar pajak yang besar dengan persentase tarif yang besar.

Dengan demikian, dari paparan mengenai keadilan pajak diatas dapat dipahami bahwa setiap Wajib Pajak akan memperoleh keadilan yang sama dalam perlakukan pengenaan pajak, baik dari segi tarif, pelayanan, cara pemungutan dan penerapan Undang-Undang Perpajakan. Maka dari itu, setiap Wajib Pajak juga berhak untuk memperoleh berbagai fasilitas dan pemanfaatan infrastruktur negara secara adil sebagai bentuk apresiasi dari partisipasi dan kontribusi mereka yang telah melakukan kewajiban mereka untuk membayar pajak.

2. Parameter Penerapan Keadilan Dalam Perpajakan

Tidak hanya mensyaratkan adanya pemerataan dan persamaan perlakuan, keadilan dalam pemungutan pajak dalam paham yang modern menurut Marie Muhammad (Harian Bisnis Indonesia, tanggal 17 Oktober 2005) juga berarti bahwa petugas pajak tidak boleh berlaku sewenang-wenang terhadap pembayar pajak yang telah menyetorkan sebagian penghasilannya kepada Pemerintah. Penaatan terhadap asas keadilan ini bertujuan pragmatis karena lebih menjamin kesinambungan penerimaan negara melalui jalur pajak. Eickstein (dalam Gusman 2010) menyebutkan


(49)

bahwa salah satu alasan mengapa tingkat tax conciuosness (kesadaran membayar pajak) di negara-negara maju relatif lebih tinggi adalah karena mereka yakin bahwa pajak yang dipungut oleh pemerintah sudah adil.

Gusman (2010) menyebutkan bahwa salah satu alasan mengapa tingkat tax

conciuosness (kesadaran membayar pajak) di negara-negara maju relatif lebih tinggi adalah karena mereka yakin bahwa pajak yang dipungut oleh pemerintah sudah adil.

Sebaliknya menurut Rosdiana dan Tarigan (2011 : 120), kesadaran dan kepatuhan membayar pajak dari para Wajib Pajak sangat sulit tercipta jika di dalam praktik terlihat dengan jelas bahwa masyarakat yang kaya membayar pajak atau bahkan justru lebih menikmati fasilitas perpajakan. Secara ekstrim, pengabaian keadilan sebagai salah satu landasan pemungutan pajak, akan memicu keadaan yang kontra produktif yang terlihat pada saat terjadinya Revolusi Perancis. Adanya perlakuan istimewa terhadap kaum atau golongan tertentu di dalam negara Perancis telah berdampak pada revolusi yang berujung pada ditetapkannya pemungutan pajak harus diselenggarakan secara umum dan merata.

Lantas yang menjadi parameter terakomodasinya prinsip keadilan di dalam pemungutan pajak adalah Menurut Soemitro dan Sugiharti (2004 : 41), “akomodasi asas atau prinsip keadilan dalam pemungutan pajak terlihat pada saat dimulainya penyusunan Undang-Undang pajak”.

C. Kepatuhan Wajib Pajak (Tax Compliance) 1. Pengertian Kepatuhan Perpajakan


(50)

Kepatuhan Wajib Pajak dikemukakan oleh Nowak (dalam Zain : 2004) sebagai “Suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi dimana:

 Wajib Pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan,

 Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas,

 Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar,

 Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.

Menurut Keputusan Menteri Keuangan No.544/KMK.04/2000, bahwa kriteria kepatuhan Wajib Pajak adalah :

 Tepat waktu dalam menyampaikan SPT untuk semua jenis pajak dalam

2 tahun terakhir.

 Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali

telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.

 Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di

bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir.

 Dalam 2 tahun terakhir menyelenggarakan pembukuan dan dalam hal

terhadap Wajib Pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk masing-masing jenis pajak yang terutang paling banyak 5%.

 Wajib Pajak yang laporan keuangannya untuk 2 tahun terakhir diaudit


(51)

pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba rugi fiskal.

2. Kepatuhan Wajib Pajak Meningkatkan Penerimaan Pajak

Setiap negara mengharapkan bahwa setiap Wajib Pajak yang terdaftar akan memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi. Kepatuhan Wajib Pajak tidak terlepas dari bagaimana setiap Wajib Pajak mampu memperoleh ataupun menikmati berbagai fasilitas milik negara yang merupakan hasil dari pengelolaan dana perpajakan. Maka dari itu setiap Wajib Pajak akan mematuhi Undang-Undang Perpajakan dan taat untuk melakukan pembayaran pajak jika mereka mampu memahami bahwa pajak yang dipungut oleh pemerintah memiliki tujuan yang sangat baik.

Kepatuhan Wajib Pajak yang tinggi akan mampu meningkatkan penerimaan negara di bidang perpajakan. Hal ini selaras dengan sebuah penelitian yang telah di lakukan bahwa kepatuhan Wajib Pajak akan meminimalisir etika penggelapan pajak. Tetapi harus dipahami bahwa setiap Wajib Pajak yang memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi tentunya juga memiliki pengetahuan yang tinggi pula mengenai perpajakan. Penelitian sebelumnya, yang dilakukan oleh Suryani (2013), tidak menggunakan variabel kepatuhan Wajib Pajak sebagai alat ukur untuk menilai tindakan etika penggelapan pajak. Tetapi dapat dianalogikan bahwa setiap Wajib Pajak yang patuh, maka tidak akan melakukan penggelapan pajak dan tentunya mereka sangat berperan aktif di dalam meningkatkan penerimaan negara di sektor perpajakan.


(52)

3. Pentingnya Kepatuhan Wajib Pajak

Masalah kepatuhan Wajib Pajak adalah masalah penting di seluruh dunia, baik bagi negara maju maupun di negara sedang berkembang. Karena jika Wajib Pajak tidak patuh maka akan menimbulkan keinginan untuk melakukan tindakan penghindaran, pengelakan, penyelundupan dan pelalaian pajak. Pada akhirnya tindakan tersebut akan menyebabkan penerimaan pajak negara akan berkurang. Setiap Wajib Pajak diharapkan memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi untuk melakukan pembayaran pajak. Hal ini dikarenakan negara sangat membutuhkan pembayaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak sebagai penerimaan bagi negara.

Dari pernyataan diatas maka dapat disimpulkan bahwa sebuah negara yang memiliki rakyat yang mampu melakukan pembayaran pajak secara teratur, maka penerimaan negaranya dari sektor perpajakan akan sangat meningkat. Namun demikian, pemerintah juga harus mampu menarik kepercayaan masyarakat ataupun Wajib Pajak bahwa setiap pajak yang mereka setorkan akan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan bersama dalam rangka meningkatkan kesejahteraan bersama. Jadi, hal yang paling diharapkan oleh Wajib Pajak adalah dana perpajakan tersebut dapat terealisasi dengan baik sesuai dengan tujuan pemerintah untuk memakmurkan rakyat.

D. Pengetahuan Wajib Pajak (Tax Knowledge) 1. Pengertian Pengetahuan Wajib Pajak


(53)

Pengetahuan Wajib Pajak mengenai perpajakan secara keseluruhan merupakan sesuatu yang sangat diharapkan. Palil (2005) dalam Witono (2008) menemukan bahwa pengetahuan Wajib Pajak tentang pajak yang

baik akan dapat memperkecil adanya tax evasion. Hal senada juga

ditemukan oleh Kassipillai, ia mengatakan pengetahuan tentang pajak merupakan hal yang sangat penting bagi berjalannya SAS. Pengetahuan tentang peraturan pajak akan mempengaruhi sikap Wajib Pajak terhadap kewajiban pajak. Hal serupa juga dinyatakan Vogel (1974), Spicer dan Lounstedh (1976), Song dan Yarbourgh (1978), Laurin (1976), Kinsey dan Grasmick (1993).

Mereka menemukan bahwa pengetahuan pajak akan bertambah dengan panjangnya masa pendidikan yang dilakukan dan kursus, walaupun secara tidak langsung tidak ditemukan adanya kaitan dengan sikap Wajib Pajak (dalam Palil 2005), Song dan Yarbrough, 1978 dikemukakan hasil penelitian bahwa semakin tinggi pengetahuan akan peraturan pajak, semakin tinggi pula nilai etika terhadap pajak. Robert et al (1991) menyatakan bahwa pengetahuan tentang peraturan pajak akan mempengaruhi tax fairness (Palil, 2004). Christensen et al (1994) dan Wartick (1994) bahwa pengetahuan yang semakin baik dari preparer maupun individu akan memiliki persepsi yang baik terhadap sistem pajak. Menurut Rahayu dan Fallan (2010 : 141) menyatakan bahwa :

Pentingnya aspek perpajakan bagi Wajib Pajak sangat mempengaruhi sikap Wajib Pajak terhadap sistem perpajakan yang adil. Dengan kualitas pengetahuan yang semakin baik akan memberikan sikap memenuhi kewajiban dengan benar melalui


(54)

adanya sistem perpajakan suatu negara yang dianggap adil. Kesadaran Wajib Pajak akan meningkat bilamana dalam masyarakat muncul persepsi positif terhadap pajak. Dengan meningkatnya pengetahuan perpajakan masyarakat melalui pendidikan perpajakan baik formal maupun non formal akan berdampak positif terhadap pemahaman dan kesadaran Wajib Pajak dalam membayar pajak. Dengan penyuluhan perpajakan secara intensif dan kontinyu akan meningkatkan pemahaman Wajib Pajak tentang kewajiban membayar pajak sebagai wujud gotong royong nasional dalam menghimpun dana untuk kepentingan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan nasional.

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengetahuan setiap Wajib Pajak mengenai perpajakan, mulai dari sistem perpajakan sampai dengan Undang-Undang Perpajakan, akan memberikan motivasi untuk menjadi seorang Wajib Pajak yang patuh dalam membayar pajak. Maka dari itu, setiap Wajib Pajak berhak memperoleh pemahaman yang sama dan mendalam mengenai sistem perpajakan di Indonesia. Hal ini menjadi kewajiban juga bagi Pemerintah untuk memberikan pemahaman kepada Wajib Pajak, mulai dari melakukan berbagai penyuluhan, sosialisasi dan penataran lainnya. Setiap Wajib Pajak yang mampu memahami perpajakan secara mutlak, maka akan memahami pula bahwa penggelapan pajak itu tidak boleh dilakukan. Dengan demikian,

pemahaman mengenai perpajakan ini akan memperkecil pelaksanaan tax

evasion dan tax fraud juga akan di minimalisir.

2. Pengetahuan Wajib Pajak Sebagai Ukuran Kepatuhan

Berbagai sosialisasi mengenai perpajakan akan mampu meningkatkan pengetahuan Wajib Pajak di bidang perpajakan. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap Wajib Pajak yang mampu memahami secara


(55)

mutlak mulai dari penerapan Undang-Undang Perpajakan, tujuan pemungutan pajak, dan pengalokasian dana perpajakan akan memiliki pengetahuan yang lebih baik dan meningkatkan kepatuhannya untuk membayar pajak. Menurut Franzoni (1999),

Kepatuhan Wajib Pajak dapat dilihat dari berbagai perspektif dan dipengaruhi oleh beberapa faktor: kecende-rungan mereka terhadap institusi publik (dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak); keadilan yang dirasakan oleh Wajib Pajak dari sistem yang ada; dan kesempatan atas kemungkinan suatu pelanggaran terdeteksi dan dihukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Sebuah penelitian telah dilakukan oleh Banu Witono dimana ia melakukan pengukurang mengenai “Peran Pengetahuan Pajak Pada Kepatuhan Pajak”, peneliti ini menyimpulkan bahwa kepatuhan pajak akan meningkat secara signifikan ketika setiap Wajib Pajak memperoleh keadilan dari pemerintah terkait segala hal dalam bidang perpajakan.

Dalam penelitian Rahayu (2010) pengetahuan pajak dan keadilan mempengaruhi tingkat kepatuhan Wajib Pajak secara signifikan yang dilakukan pada 107 Wajib Pajak pribadi dan badan pada KPP Surakarta. Peneliti ingin mengetahui apakah konsultan benar-benar mewakili sikap dari Wajib Pajak orang pribadi? Dan dengan adanya konsultan reaksi Wajib Pajak semakin patuh ataukah tidak? Selain itu peneliti juga ingin membuktikan model penelitian yang diungkapkan oleh Cristensen et al. (1994) bahwa Wajib Pajak yang memiliki pengetahuan yang baik, akan memiliki persepsi keadilan yang positif terhadap sistem pajak yang berakibat tingkat kepatuhan pajak lebih tinggi.


(56)

Penelitian-penelitian terdahulu tersebut telah dilakukan silih berganti dengan populasi dan sampel yang berbeda-beda pula. Dapat ditarik sebuah pemikiran sederhana bahwa ketika Wajib Pajak memiliki pengetahuan tentang pajak dengan baik, maka etika penggelapan pajak akan semakin rendah dan enggan untuk dilaksanakan. Tetapi, pada kenyataannya pengetahuan pajak ini bukanlah sesuatu hal yang merata untuk dapat diberikan kepada seluruh Wajib Pajak. Maka dari itu, sosialisasi perpajakan seharusnya menjadi agenda yang wajib bagi para pegawai di Kantor Pelayanan Pajak (KPP).

E. Sistem Perpajakan (Tax System)

1. Sistem Perpajakan Berkontribusi Terhadap Penerimaan Pajak

Sebuah sistem perpajakan akan mempengaruhi Wajib Pajak untuk melakukan pembayaran pajak. Sistem perpajakan yang cenderung rumit, akan membuat Wajib Pajak enggan melakukan pembayaran pajak. Suryani (2013) telah melakukan sebuah penelitian untuk mengukur apakah sistem perpajakan memiliki hubungan yang erat dengan etika penggelapan pajak. Hasilnya adalah sistem perpajakan memiliki hubungan yang negatif dengan penggelapan pajak. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh McGee (2008), Nickerson, et al (2009), Suminarsasi (2011) menyatakan bahwa sistem perpajakan memiliki korelasi negatif signifikan terhadap penggelapan pajak.

Semakin baik, mudah dan terkendali prosedur sistem perpajakan yang diterapkan, maka tindak penggelapan pajak dianggap suatu yang


(57)

tidak etis bahkan mampu meminimalisir perilaku tindak penggelapan pajak. Hal ini dapat dianalogikan bahwa setiap Wajib Pajak merupakan pihak yang akan menyetorkan uang mereka maka dari itu pihak pemerintah selaku pemungut pajak, harus membuat sebuah sistem perpajakan yang cenderung praktis namun efektif dan efisien. Sistem perpajakan memiliki kontribusi terhadap penerimaan pajak, dimana jika sistem perpajakan yang diterapkan baik maka Wajib Pajak akan melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak. Jika sistem perpajakannya cenderung rumit, maka Wajib Pajak malas untuk membayarkan pajak dan penerimaan pajak akan menurun karena tingginya tingkat penggelapan pajak yang dilakukan.

2. Asas-Asas Pemungutan Pajak

Asas-asas pemungutan pajak sebagaimana dikemukakan oleh

Adam Smith dalam buku An Inquiri into the Nature and Cause of the

Wealth of Nations menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya

didasarkan pada asas-asas berikut : a. Equality

Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu pajak dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan

kemampuan membayar pajak (ability to pay) dan sesuai dengan

manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap Wajib Pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan manfaat yang diminta.


(58)

b. Certainty

Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu, Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran.

c. Convenience

Kapan wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan asas-asas yang tidak menyulitkan Wajib Pajak. Sebagai contoh: pada saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan. Sistem pemungutan ini disebut pay as you earn.

d. Economy

Secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang ditanggung Wajib Pajak.

3. Sistem Pemungutan Pajak

Menurut Purwono (2011 : 12), hingga saat ini ada 3 sistem yang diaplikasikan dalam pemungutan pajak, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Official Assesment System

Melalui sistem ini banyak pajak ditentukan oleh fiskus dengan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP Rampung). Jadi, dapat


(59)

dikatakan bahwa Wajib Pajak bersifat pasif. Tahapan-tahapan dalam menghitung dan memperhitungkan pajak yang terutang ditetapkan oleh fiskus yang terutang dalam SKP. Selanjutnya Wajib Pajak baru aktif ketika melakukan penyetoran pajak terutang berdasarkan ketetapan SKP tersebut. Indonesia pernah menggunakan sistem ini pada kurun waktu awal kemerdekaan dengan mengadopsi atau tetap memberlakukan beberapa peraturan perpajakan buatan Belanda hingga tahun 1997, ketika diperkenalkan sitem Menghitung Pajak Sendiri (MPS) dan Menghitung Pajak Orang lain (MPO) yang oleh sebahagian ahli disebut dengan Semi Self Assesment System.

b. Self Assesment System

Sistem ini mulai diaplikasikan bersamaan dengan reformasi perpajakan tahun 1983 setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1984.

Dalam memori penjelasan Undang-Undang tersebut bahwa anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk melaksanakan kegotongroyongan melalui sistem menghitung, memperhitungkan, dan

membayar sendiri pajak yang terutang (self assesment), sehingga

melalui sistem ini administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana, dan mudah dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.


(60)

Selain itu, Wajib Pajak juga diwajibkan untuk melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terutang dan yang telah dibayar sebagaimana yang ditentukan dalam Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan, sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian, dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan.

c. Withholding Tax System

Dengan sistem ini pemungutan dan pemotongan pajak dilakukan melalui pihak ketiga. Untuk waktu sekarang, sistem ini tercermin pada pelaksanaan pengenaan Pajak penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai. Contohnya adalah pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pajak Penghasilan Pasal 23 oleh pihak lain, atau pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pajak Pertambahan Nilai.

Apabila dicermati dengan seksama, ketiga sistem ini digunakan secara terintegrasi pada pemungutan sistem pemungutan pajak di

Indonesia. Self Assesment System berlaku ketika Wajib Pajak

melaksanakan administrasi perpajakan yang menjadi kewajibannya (menghitung, memperhitungkan, dan menyetor pajak terutang). Pada saat yang bersamaan, jika posisi Wajib Pajak adalah pemungut atau pemotong karena berkedudukan sebagai pemberi kerja atau pihak yang berwenang


(61)

Sedangkan Official Assesment System berlaku ketika fiskus melakukan pemeriksaan dan menerbitkan surat ketetapan pajak (SKP) atas laporan

Wajib Pajak. Namun demikian, hingga saat ini Indonesia menerapkan Self

Assesment System dalam pemungutan pajak.

F. Diskriminasi (Discrimination) 1. Pengertian Diskriminasi

Menurut Wikipedia (2010), diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhada dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam membeda-bedakan yang lain.

Ketika seseorang diperlakukan secara tida karakteristik alir dasar dari tindakan diskriminasi. Diskriminasi langsung, terjadi saat tertentu, seperti jenis adanya peluang yang sama. Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat lapangan.


(62)

Diskriminasi dalam bidang perpajakan adalah adanya suatu perlakuan tidak adil yang dilakukan oleh pihak fiskus kepada Wajib Pajak. Diskriminasi dapat dilakukan karena adanya suatu bentuk hubungan istimewa ataupun karena sesuatu hal lainnya. Diskriminasi dalam bidang perpajakan dapat menimbulkan ketidakadilan antara satu pihak dengan pihak lainnya. Misalnya, penerapan tarif yang dilakukan berbeda-beda dapat menyebabkan ketidakadilan selain itu adanya penerapan sistem yang memberikan pelayanan yang berbeda-beda tergantung dari besarnya pajak yang dibayarkan. Hal ini merupakan sebuah pelanggaran besar yang seharusnya tidak dilakukan. Apabila masalah diskriminasi dapat diselesaikan di bidang perpajakan, maka penerimaan pajak juga akan meningkat. Setiap Wajib Pajak berhak memperoleh perlakuan yang sama.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Suryani (2013), diskriminasi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap etika penggelapan pajak. Hal ini dibuktikan dengan penyebaran kuesioner yang telah dilakukan oleh peneliti, kemudian dilakukan pengujian terhadap kuesioner tersebut dan ternyata diskriminasi di bidang perpajakan berbanding lurus dengan etika penggelapan pajak. Analoginya adalah ketika Wajib Pajak merasa bahwa terdapat diskriminasi di dalam bidang perpajakan tentunya mereka enggan untuk melakukan pembayaran pajak. Diskriminasi menyebabkan Wajib Pajak merasa diperlakukan secara tidak adil, selain itu adanya penerapan sistem yang memihak dan bahkan berbagai Peraturan Perpajakan di terapkan secara tidak baik. Tentunya,


(63)

Wajib Pajak akan berpikir untuk apa taat membayar pajak, jikalau mereka tidak memperoleh perlakuan yang baik. Dengan demikian, ketika diskriminasi di bidang perpajakan meningkat maka tingkat penggelapan pajak juga akan meningkat secara signifikan.

G. Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan (Fiscal Fraud) 1. Kecurangan Dalam Bidang Perpajakan

Berikut ini adalah beberapa pengertian kecurangan menurut para ahli: Menurut Albrecht dan Chad Fraud (dalam Karyono, 2013) adalah :

Fraud adalah suatu pengertian umum dan mencakup beragam cara yang dapat digunakan dengan cara kekerasan oleh seorang untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain melalui perbuatan yang tidak benar. Tidak terdapat definisi ataupun aturan yang dapat digunakan sebagai suatu pengertian umum dalam mengartikan fraud yang meliputi cara yang mengandung sifat mendadak, menipu, cerdik dan tidak jujur yang digunakan untuk mengelabuhi seseorang. Satu-satunya batasan untuk mengetahui pengertian diatas adalah yang membatasi sifat ketidakjujuran manusia.

Menurut Association of Certified Fraud Examiner (ACFE) dalam Fraud

Examiners Manual 2006 (dalam Karyono, 2013) adalah : “fraud is an

international untruth or dishonest scheme used to take deliberate and unfair advantage of another person or group of person it included any mean, such cheats another”.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kecurangan merupakan suatu kesalahan yang disengaja, dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan suatu manfaat keuangan secara tidak jujur sehingga mengakibatkan suatu kerugian materil bagi korban.


(1)

tion Intensitas Pemeriksaan

Pajak -.137 1.000 .502 .465 .564 .202 .400 .000

Keadilan pajak .106 .502 1.000 .736 .537 .288 .300 -.058 Kepatuhan Wajib Pajak -.033 .465 .736 1.000 .633 .234 .139 -.074 Pengetahuan Wajib Pajak -.139 .564 .537 .633 1.000 .148 .357 .002 Sistem Perpajakan -.441 .202 .288 .234 .148 1.000 .631 .487 Diskriminasi Perpajakan .187 .400 .300 .139 .357 .631 1.000 .522 Kemungkinan

Terdeteksinya Kecurangan

-.619 .000 -.058 -.074 .002 .487 .522 1.000 Sig.

(1-tailed)

Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak

. .171 .233 .410 .169 .001 .096 .000 Intensitas Pemeriksaan

Pajak .171 . .000 .000 .000 .079 .002 .499

Keadilan pajak .233 .000 . .000 .000 .021 .017 .346

Kepatuhan Wajib Pajak .410 .000 .000 . .000 .051 .168 .304 Pengetahuan Wajib Pajak .169 .000 .000 .000 . .152 .005 .495 Sistem Perpajakan .001 .079 .021 .051 .152 . .000 .000 Diskriminasi Perpajakan .096 .002 .017 .168 .005 .000 . .000 Kemungkinan

Terdeteksinya Kecurangan

.000 .499 .346 .304 .495 .000 .000 . N Persepsi Wajib Pajak

Mengenai Etika Penggelapan Pajak

50 50 50 50 50 50 50 50

Intensitas Pemeriksaan

Pajak 50 50 50 50 50 50 50 50

Keadilan pajak 50 50 50 50 50 50 50 50

Kepatuhan Wajib Pajak 50 50 50 50 50 50 50 50

Pengetahuan Wajib Pajak 50 50 50 50 50 50 50 50

Sistem Perpajakan 50 50 50 50 50 50 50 50

Diskriminasi Perpajakan 50 50 50 50 50 50 50 50

Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan


(2)

Model Summary Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .706a .499 .416 2.75866

a. Predictors: (Constant), Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan, Intensitas Pemeriksaan Pajak, Kepatuhan Wajib Pajak, Sistem Perpajakan, Pengetahuan Wajib Pajak, Keadilan pajak, Diskriminasi Perpajakan

ANOVAa Model

Sum of

Squares Df

Mean

Square F Sig.

1 Regression 318.391 7 45.484 5.977 .000b

Residual 319.629 42 7.610

Total 638.020 49

a. Dependent Variable: Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak b. Predictors: (Constant), Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan, Intensitas Pemeriksaan Pajak, Kepatuhan Wajib Pajak, Sistem Perpajakan, Pengetahuan Wajib Pajak, Keadilan pajak, Diskriminasi Perpajakan

Coefficientsa Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

T Sig.

Collinearity Statistics

B Std. Error Beta Tolerance VIF

1 (Constant)

2.468 2.327 1.061 .295

Intensitas Pemeriksaan Pajak

-.047 .130 -.052 -3.363 .018 .576 1.737 Keadilan pajak

.115 .182 .110 2.632 .031 .392 2.553 Kepatuhan Wajib Pajak


(3)

Pengetahuan Wajib Pajak

-.080 .159 -.082 -3.500 .019 .445 2.246 Sistem Perpajakan

-.327 .144 -.354 -2.271 .028 .492 2.033 Diskriminasi Perpajakan .249 .159 .282 2.570 .024 .371 2.695 Kemungkinan Terdeteksinya

Kecurangan -.625 .147 -.597 -4.260 .000 .607 1.646

a. Dependent Variable: Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.


(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak (Tax Evasion)”.(Studi Empiris pada KPP Pratama Binjai)

11 62 145

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak (tax evasion). (studi empiris di kpp pratama medan-polonia)

1 1 15

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak (tax evasion). (studi empiris di kpp pratama medan-polonia)

0 0 2

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak (tax evasion). (studi empiris di kpp pratama medan-polonia)

1 1 17

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak (tax evasion). (studi empiris di kpp pratama medan-polonia)

1 3 52

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak (tax evasion). (studi empiris di kpp pratama medan-polonia) Chapter III V

0 0 81

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak (tax evasion). (studi empiris di kpp pratama medan-polonia)

0 0 6

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak (tax evasion). (studi empiris di kpp pratama medan-polonia)

0 0 40

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak (Studi Empiris di KPP Pratama Medan-Polonia)

0 0 17

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak (Studi Empiris di KPP Pratama Medan-Polonia)

1 1 17