Heteroskedastisitas Autokorelasi Normalitas Error Term

Kriteria Uji : Probability F-Statistic taraf nyata α, maka tolak H o . Probability F-Statistic taraf nyata α, maka terima H o . Æ Jika uji F tolak H o , maka dapat disimpulkan minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya dan model yang digunakan dapat diterima. Æ Jika uji F terima H o , maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu pun variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya dan model tidak layak digunakan.

3.4.2. Uji Ekonometrika

3.4.2.1. Heteroskedastisitas

Kondisi heteroskedastisitas merupakan kondisi yang melanggar asumsi dari regresi linear klasik. Heteroskedastisitas menunjukkan nilai varian dari variabel bebas yang berbeda, sedangkan asumsi yang dipenuhi dalam linear klasik adalah mempunyai varian yang sama konstan atau homoskedastisitas. Pengujian masalah heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji White Heteroscedasticity Test Gujarati, 1995. Pengujian ini dilakukan dengan cara melihat probabilitas Obs R-Squarednya. H : δ = 0 H 1 : δ ≠ 0 Kriteria Uji Probability Obs R-Squared taraf nyata α, maka tolak H o . Probability Obs R-Squared taraf nyata α, maka terima H o . Æ Jika tolak H o , maka persamaan tersebut mengalami gejala heteroskedastisitas. Æ Jika terima H o , maka persamaan tersebut tidak mengalami gejala heteroskedastisitas.

3.4.2.2. Autokorelasi

Gujarati 1997, mendefinisikan autokorelasi sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu atau ruang. Dalam konteks regresi, model regresi linear klasik mengasumsikan bahwa autokorelasi tidak terdapat dalam disturbansi atau gangguan u t dengan menggunakan lambang Eui,uj=0, i = j dan Eui,uj ≠0, i ≠ j jika mengalami disturbansi. Konsekuensi yang ditimbulkan oleh autokorelasi adalah persamaan akan memiliki selang kepercayaan yang semakin lebar dan pengujian menjadi kurang akurat, mengakibatkan hasil dari uji t dan uji F menjadi tidak sah dan penaksir regresi akan menjadi sensitif terhadap fluktuasi penyampelan. Masalah autokorelasi dapat diketahui dengan menggunakan uji Breusch-Godprey Serial Correlation LM Test. H : δ = 0 H 1 : δ ≠ 0 Kriteria Uji Probability Obs R-Squared taraf nyata α, maka tolak H o . Probability Obs R-Squared taraf nyata α, maka terima H o . Æ Jika tolak H o , maka persamaan tersebut mengalami gejala autokorelasi. Æ Jika terima H o , maka persamaan tersebut tidak mengalami gejala autokorelasi.

3.4.2.3. Normalitas Error Term

Uji ini dilakukan jika sampel yang digunakan kurang dari 30, karena jika sampel lebih dari 30 maka error term akan terdistribusi normal. Uji ini disebut Jarque-Bera Test. H : error term terdistribusi normal. H 1 : error term tidak terdistribusi normal. Kriteria Uji Jarque Bera J-B x 2 df=k atau probability P-Value α maka tolak H . Jarque Bera J-B x 2 df=k atau probability P-Value α maka terima H . Æ Jika tolak H maka error term tidak terdistribusi normal. Æ Jika terima H maka error term terdistribusi normal. IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI SEMEN 4.1. Perkembangan Industri Semen Dalam Negeri Pabrik semen pertama yang ada di Indonesia adalah PT Semen Padang. Pabrik semen tersebut didirikan pada tahun 1910 di Indarung, Sumatera Barat dengan kapasitas 50,000 tontahun, kemudian disusul oleh PT Semen Gresik yang dibangun pada tahun 1957 dengan kapasitas 250,000 tontahun. Pabrik semen yang ketiga dibangun pada tahun 1968 yaitu PT Semen Tonasa di Pangkep dengan kapasitas 120,000 tontahun. Ketiga pabrik semen tersebut merupakan perusahaan negara atau Badan Usaha Milik Negara BUMN. Sejak dicanangkannya program Pembangunan Lima Tahun PELITA dan diterbitkannya UU No. 1 tahun 1966 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 2 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri maka industri semen mulai berkembang. Pada tahun 1975 dibangun dua pabrik semen yaitu PT Semen Cibinong dan PT Indocement Tunggal Prakarsa, disusul oleh PT Semen Nusantara tahun 1997 sehingga total kapasitas dari keenam pabrik semen tersebut adalah 8.5 juta tontahun. Selanjutnya menyusul pembangunan PT Semen Baturaja tahun 1980, PT Semen Andalas Indonesia tahun 1982 dan PT Semen Kupang tahun 1984. Ketiga pabrik semen yang disebutkan terakhir memiliki kapasitas relatif kecil. Pada periode tahun 1993 hingga 1995, terjadi lonjakan permintaan semen dengan rata-rata 12 persen per tahun. Kondisi ini menyebabkan terjadinya kelangkaan semen yang disertai dengan kenaikan harga yang tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan nasional maka dilakukan impor semen sebanyak tiga juta ton selama periode 1996-1998 yang berasal dari produsen-produsen semen dunia seperti Cina, India, Jepang, Korea Selatan, Thailand, Taiwan, Malaysia dan Filiphina. Untuk mengantisipasi meningkatnya kegiatan konstruksi fisik maka produsen semen dalam negeri melakukan perluasan pabrik maupun optimalisasi produksi meliputi pabrik Tuban I, Tuban II, Tuban III PT Semen Gresik, Indarung V PT Semen Padang dan Tonasa IV PT Semen Tonasa. Pabrik-pabrik semen baru yaitu Tuban I, Tuban II, Tuban III, Indarung V, Tonasa IV, Nusantara II Cibinong VI dan Kodeco-Indocement merupakan pabrik skala besar yaitu 2.3 sampai 2.5 juta tontahun dan menggunakan teknologi canggih. Selain berkapasitas besar, pabrik-pabrik tersebut memiliki alat penyaring emisi debu, electrostatic precipitator dengan kemampuan menyaring hingga 50 nm 3 mg lebih rendah dari persyaratan uji mutu yaitu 80 nm 3 mg. Beberapa perusahaan semen juga melakukan merger seperti PT Tri Daya Manunggal Perkasa Cement PT TMPC bergabung dengan PT Indocement Tunggal Prakarsa PT ITP pada tahun 1992 dan PT Semen Nusantara bergabung dengan PT Semen Cibinong pada tahun 1997. Dengan demikian, pada tahun 1999 perusahaan semen yang beroperasi sebanyak sepuluh perusahaan dengan telah beroperasinya PT Semen Bosowa Maros dan PT Indo Kodeco Cement. Namun terhitung sejak 2001 PT Indo Kodeco Cement bergabung dengan PT ITP sehingga jumlah pabrik semen menjadi sembilan perusahaan. Sementara itu, tiga BUMN yaitu PT Semen Gresik, PT Semen Padang dan PT Semen Tonasa bergabung dalam Gresik Group dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi dalam pemasaran semen. Pada tahun 2004 terdapat tujuh produsen semen nasional yang berlokasi di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur, dengan kepemilikan saham seperti ditampilkan pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Produsen Semen Nasional No Perusahaan Beroperasi Sejak Tahun Lokasi Pemilik 1. SEMEN GRESIK GROUP • PT Semen Padang • PT Semen Gresik • PT Semen Tonasa 1910 1957 1968 Padang Gresik Pangkep 51,01 BUMN 25,53 Cemex Asia Holding 23,46 Public 2. PT Holcim Indonesia, Tbk PT Semen Cibinong 1975 Jakarta Narongrong Cilacap 77,33 Holcim 22,67 Public dan Kreditor 3. PT Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk 1975 Citeureup Palimanan Batulicin 65,14 HC Indocement GmbH 13,03 Mekar Perkasa 21,83 Public 4. PT Semen Baturaja 1980 Palembang Baturaja Lampung 100 BUMN 5. PT Semen Andalas Indonesia 1982 Lhok Nga 88 Cementia Holding AG 12 IFC 6. PT Semen Kupang 1984 Kupang 100 BUMN 7. PT Semen Bosowa Maros 1999 Maros 100 BUMD Sumber : Asosiasi Semen Indonesia, 2006 4.2. Kapasitas Produksi Semen Perkembangan industri semen di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan baik dari segi jumlah pabrik maupun dari segi kapasitasnya. Perkembangan jumlah perusahaan dalam industri semen tidak sepesat penambahan kapasitasnya. Hal ini disebabkan penambahan kapasitas lebih banyak diperoleh dari perluasan pabrik atau optimalisasi pabrik yang telah ada dibandingkan dengan penambahan pabrik dari pemain baru. Perkembangan kapasitas sejak tahun 2000 sampai tahun 2005 dapat dilihat dalam Tabel 4.2. Tabel 4.2. Perkembangan Kapasitas Semen, tahun 2000-2005 ’000 ton NO Perusahaan 2000 2001 2002 2003 2004 2005 1 PT Semen Andalas Indonesia 1,400 1,400 1,400 1,400 1,400 2 PT Semen Padang 5,440 5,440 5,440 5,440 5,440 5,440 3 PT Semen Baturaja 600 1,200 1,250 1,250 1,250 1,250 4 PT Indocement Tunggal Prakarsa 15,650 15,650 15,650 15,650 15,650 15,650 5 PT Holcim Indonesia 9,700 9,700 9,700 9,700 9,700 9,700 6 PT Semen Gresik 8,200 8,200 8,200 8,200 8,200 8,200 7 PT Semen Tonasa 3,480 3,480 3,480 3,480 3,480 3,480 8 PT Semen Bosowa Maros 1,800 1,800 1,800 1,800 1,800 1,800 9 PT Semen Kupang 270 270 570 570 570 570 T O T A L 46,540 47,140 47,490 47,490 47,490 46,090 Trend Pertumbuhan - 1.29 0.74 - - -2.95 Sumber : Asosiasi Semen Indonesia, 2006 Berdasarkan Tabel 4.2, sejak tahun 2000 hingga 2004, terjadi penambahan kapasitas sebesar 950 ribu ton, dimana kapasitas industri semen pada tahun 2000 sebesar 46.54 juta ton menjadi 47.49 juta ton pada tahun 2004. Penambahan kapasitas dilakukan oleh PT Semen Baturaja dan PT Semen Kupang. PT Semen Kupang mulai melakukan pembangunan pabrik semen Kupang II dengan kapasitas 300 ribu ton pada tahun 2000 dan pada akhir tahun 2003 produksi pabrik semen Kupang II mencapai 100 persen dari kapasitas terpasang. PT Semen Andalas Indonesia tidak beroperasi lagi sejak terjadi tsunami 26 Desember 2004 sehingga kapasitas terpasang nasional tahun 2005 turun menjadi 46.09 juta ton dan mengalami penurunan pertumbuhan sebesar 2.95 persen.

4.3. Produksi Semen

Produksi semen nasional terutama diarahkan untuk mengisi pasaran utama dalam negeri yaitu sebesar 80 persen dan kelebihannya untuk pasaran ekspor yaitu sebesar 20 persen. Oleh karena itu, jumlah produksi disesuaikan dengan