Kajian Formulasi Lighter Biscuit Dalam Rangka Pengembangan Produk Baru Di PT Arnott’s Indonesia Bekasi

(1)

SKRIPSI

KAJIAN FORMULASI LIGHTER BISCUIT DALAM RANGKA PENGEMBANGAN PRODUK BARU

DI PT ARNOTT’S INDONESIA BEKASI

Oleh :

MOLID NURMAN HADI F24102076

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

KAJIAN FORMULASI LIGHTER BISCUIT

DALAM RANGKA PENGEMBANGAN PRODUK BARU DI PT ARNOTT’S INDONESIA BEKASI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

MOLID NURMAN HADI F24102076

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

KAJIAN FORMULASI LIGHTER BISCUIT

DALAM RANGKA PENGEMBANGAN PRODUK BARU DI PT ARNOTT’S INDONESIA BEKASI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

MOLID NURMAN HADI F24102076

Dilahirkan pada tanggal 2 Desember 1984 Di Banyumas, Jawa Tengah

Tanggal Lulus : 12 Januari 2007

Menyetujui, Bogor, Januari 2007

Mengetahui, Ir. Budi Nurtama, MAgr

Pembimbing I

Riris Triwati, STP. Pembimbing II


(4)

Molid Nurman Hadi. F24102076. Kajian Formulasi Lighter Biscuit Dalam Rangka Pengembangan Produk Baru di PT Arnott’s Indonesia Bekasi. Di bawah bimbingan : Budi Nurtama dan Riris Triwati. 2007.

RINGKASAN

Pengembangan produk baru adalah suatu usaha ekstensifikasi dari suatu perusahaan pangan yang merupakan hasil kerja sama antara bagian pengembangan produk, pemasaran, produksi, pengawasan mutu, dan bagian persediaan bahan. Penelitian dan pengembangan merupakan kegiatan perusahaan dalam rangka mengembangkan produk baru dan mengantisipasi perubahan pasar.

Formulasi produk merupakan bagian dalam tahap pengembangan produk. Tahap ini merupakan tahap yang sangat penting dalam penciptaan produk baru. Pada tahap ini dicari beberapa alternatif formulasi bahan baku produk sampai dihasilkan formulasi yang optimum hingga dihasilkan produk bermutu yang secara ekonomis menguntungkan dan secara organoleptik dapat diterima dan disukai oleh konsumen.

Penelitian ini difokuskan untuk memperoleh rancangan formula pembuatan biskuit lebih khususnya yaitu lighter biscuit yang optimum. Tahap awal dari penelitian ini adalah melakukan uji variasi beberapa bahan baku yaitu bahan pengembang, tepung, pati, shortening, serta uji variasi proses mixing (pencampuran). Kemudian dilanjutkan dengan perancangan formula pembuatan lighter biscuit yang optimum menggunakan program Design Expert version 7 dan secara organoleptik diterima. Jumlah formulasi yang dilakukan sebanyak 12 formula biskuit dengan respon produk yang diukur yaitu % weight loss, % L increase, dan tebal.

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan lighter biscuit terdiri atas bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama meliputi : soft flour, pati modifikasi, shortening, gula dan skim. Bahan tambahan meliputi : bahan pengembang, lesitin, garam, air dan flavor susu. Proses pembuatan biskuit terdiri atas penyiapan bahan, menimbang, mixing (pencampuran), proofing (pengistirahatan), laminasi, pencetakan dan baking (pemanggangan).

Analisis respon formula menunjukkan hasil bahwa nilai % WT loss paling tinggi yaitu 19.67% terdapat pada formula 3 yang menggunakan soft flour sebesar 40%, pati modifikasi A 4.25%, pati modifikasi B 4.25% dan bahan pengembang 3.5%. Sedangkan yang terendah sebesar 14.43% terdapat pada formula 5 yang menggunakan soft flour sebesar 40%, pati modifikasi A 4.5%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.0%. Model persamaan polinomial dari respon % weight loss adalah linear. Model ini memiliki nilai p ”prob>F” lebih kecil dari 0,05 yaitu sebesar <0.0001. Hal ini berarti bahwa respon % WT loss sangat dipengaruhi oleh komponen-komponen formula yang dilakukan.

Untuk respon % L increase, nilai tertinggi sebesar 7.45 % terdapat pada formula 7 yang menggunakan soft flour sebesar 39.75%, pati modifikasi A 4.5%, pati modifikasi B 4.25% dan bahan pengembang 3.5%. Sedangkan yang terendah sebesar 2.69% terdapat pada formula 1 yang menggunakan soft flour sebesar 39.75%, pati modifikasi A 4.5%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.25%. Model persamaan polinomial dari respon % L increase adalah linear.


(5)

Hal ini berarti bahwa respon % L increase sangat dipengaruhi oleh komponen-komponen formula yang dilakukan.

Analisis respon tebal menunjukkan bahwa nilai tebal tertinggi terdapat pada formula 6 dan 1 yaitu sebesar 0.828 cm. Formula 6 menggunakan soft flour sebesar 39.75%, pati modifikasi A 4.25%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.5%. Sedangkan pada formula 10 digunakan soft flour sebesar 39.5%, pati modifikasi A 4.5%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.5%. Nilai tebal terendah sebesar 0.7120 cm terdapat pada formula 5 yang menggunakan soft flour sebesar 40%, pati modifikasi A 4.5%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.0%. Model persamaan polinomial memiliki nilai p ”prob>F” lebih besar dari 0,05. Nilai ini menunjukkan bahwa model linear yang direkomendasikan tidak bersifat signifikan dan respon tebal tidak dipengaruhi oleh komponen-komponen formula yang dilakukan.

Formula yang terpilih dari proses optimasi yaitu formula ke-1 (F new 1), dengan komposisi soft flour 39.62%, pati modifikasi A 4.318%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.5%. Formula ini diprediksi akan menghasilkan biskuit dengan tebal 0.823901 cm, nilai % WT loss 17.84%, nilai % L increase 5.65% dengan nilai desirability sebesar 0.964662 artinya formula tersebut akan menghasilkan produk yang memiliki karakteristik paling optimal dan sesuai dengan keinginan kita sebesar 96.47%. Setelah divalidasi diperoleh biskuit dengan nilai tebal 0.95 cm, % WT loss 18.03% dan % L increase 4.53%.


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Molid Nurman Hadi, dilahirkan pada tanggal 2 Desember 1984 di Banyumas dan merupakan putra kelima dari pasangan Djadi Hadi dan (almh) Kuswati. Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN Wangon III (1990-1996), pendidikan menengah pertama di SLTPN 1 Wangon (1996-1999), dan pendidikan menengah umum di SMUN 1 Jatilawang (1999-2002).

Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002 melalui jalur USMI. Selama menempuh pendidikan di IPB penulis aktif sebagai pengurus BKIM (Badan Kerohanian Mahasiswa Islam) IPB periode 2004-2005 sebagai staf BKIMedia dan periode 2005-2006 sebagai kepala Badan Otonom BKIMedia, serta anggota HIMITEPA. Penulis pernah terlibat dalam kepanitian Seminar Nasional Pangan Halal, BAUR 2004 dan Simposium Nasional Lembaga Dakwah Kampus. Penulis juga pernah melaksanakan Kuliah Kerja Nyata di Desa Cinangka Bogor pada tahun 2005. Terakhir penulis menyelesaikan tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dalam bentuk magang-penelitian di PT Arnott’s Indonesia Bekasi dengan judul “Kajian Formulasi Lighter Biscuit Dalam Rangka Pengembangan Produk Baru di PT Arnott’s Indonesia Bekasi” di bawah bimbingan Ir. Budi Nurtama, M.Agr dan Riris Triwati, STP.


(7)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan syukur alhamdulillah kepada Allah SWT atas rahmat, karunia, serta berkah-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Formulasi Lighter Biscuit Dalam Rangka Pengembangan Produk Baru di PT Arnott’s Indonesia Bekasi”. Shalawat dan Salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan kaum muslimin yang senantiasa memegang teguh ajaran-Nya.

Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis baik secara langsung maupun tidak langsung hingga skripsi ini selesai ditulis, terutama kepada :

1. Ir. Budi Nurtama, M.Agr. selaku Dosen Pembimbing I yang senantiasa sabar dan bijaksana dalam membimbing dan mendukung penulis.

2. Riris Triwati, S.TP. atas kesediaan untuk menjadi pembimbing magang sekaligus Pembimbing II yang senantiasa membantu dan membimbing serta banyak memberikan masukan-masukan kepada penulis.

3. Nur Wulandari, S.TP., MSi. selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan kepada penulis.

4. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan ilmu dan mendukung kemajuan penulis.

5. Keluarga tercinta Bapak, Ibu dan Kakak atas doa, kasih sayang, nasihat, dorongan dan motivasi yang diberikan.

6. Teman sebimbinganku Ruri, atas bantuan dan dukungannya terhadap penulis.

7. Saudara-saudaraku tercinta dan seperjuangan di Wisma Jundullah: Rikza, Hafid, Renato, Fanani, Slamet dan semuanya atas kebersamaan, bantuan, dukungan serta kasih sayangnya.

8. Sahabat-sahabat golongan C khususnya C3: Hana, Bobby dan Yudhan atas kebersamaan, bantuan dan dorongannya kepada penulis


(8)

9. Sahabat-sahabat TPG 39 lainnya atas dukungan, kebersamaan, dan persahabatan yang penuh warna.

10.Mba Lia, Bu Darwati, Mba Erni, Bu Yani, Mas Setyo, Mba Indah dan teman-teman magang di lab R&D PT Arnott’s Indonesia Bekasi atas bantuan dan kerjasamanya.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, oleh sebab itu masukan dan kritik yang membangun selalu penulis tunggu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Januari 2007


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ……….. iii

DAFTAR TABEL ……….. v

DAFTAR GAMBAR ………. vi

DAFTAR LAMPIRAN ………. vii

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ………... B. TUJUAN MAGANG-PENELITIAN ……… C. KEGUNAAN MAGANG-PENELITIAN ………. II. TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN .. B. LOKASI DAN TATA LETAK PERUSAHAAN ... C. STRUKTUR ORGANISASI PERUSAHAAN ... D. KETENAGAKERJAAN ... III. TINJAUAN PUSTAKA A. PENGEMBANGAN PRODUK ………. B. BISKUIT 1. Definisi ... 2. Jenis Biskuit ... 3. Karakteristik Biskuit ... C. BAHAN BAKU BISKUIT 1. Tepung ... 2. Gula ... 3. Lemak dan Minyak ... 4. Emulsifier ... 5. Bahan Pengembang ... 6. Pati Jagung ... 7. Garam ... 1 3 3 4 5 6 8 10 12 12 13 13 14 14 16 18 19 21 24 28


(10)

D. PEMBUATAN BISKUIT ... E. MIXTURE DESIGN……….

IV. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT ……….... 1. Bahan ... 2. Alat ... B. METODOLOGI PENELITIAN ...

1. Persiapan ... 2. Penelitian Pendahuluan ... 3. Penelitian Utama ...

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PROSES PEMBUATAN LIGHTER BISCUIT ... B. PENELITIAN PENDAHULUAN... C. PENELITIAN UTAMA ... 1. Rancangan Percobaan ... 2. Analisis Respon ... 3. Optimasi Formula ... 4. Validasi ...

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN ... B. SARAN ...

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

29 31

33 33 33 33 33 34 37

38 40 43 43 45 53 56

57 57

58 61


(11)

SKRIPSI

KAJIAN FORMULASI LIGHTER BISCUIT DALAM RANGKA PENGEMBANGAN PRODUK BARU

DI PT ARNOTT’S INDONESIA BEKASI

Oleh :

MOLID NURMAN HADI F24102076

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

KAJIAN FORMULASI LIGHTER BISCUIT

DALAM RANGKA PENGEMBANGAN PRODUK BARU DI PT ARNOTT’S INDONESIA BEKASI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

MOLID NURMAN HADI F24102076

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(13)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

KAJIAN FORMULASI LIGHTER BISCUIT

DALAM RANGKA PENGEMBANGAN PRODUK BARU DI PT ARNOTT’S INDONESIA BEKASI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

MOLID NURMAN HADI F24102076

Dilahirkan pada tanggal 2 Desember 1984 Di Banyumas, Jawa Tengah

Tanggal Lulus : 12 Januari 2007

Menyetujui, Bogor, Januari 2007

Mengetahui, Ir. Budi Nurtama, MAgr

Pembimbing I

Riris Triwati, STP. Pembimbing II


(14)

Molid Nurman Hadi. F24102076. Kajian Formulasi Lighter Biscuit Dalam Rangka Pengembangan Produk Baru di PT Arnott’s Indonesia Bekasi. Di bawah bimbingan : Budi Nurtama dan Riris Triwati. 2007.

RINGKASAN

Pengembangan produk baru adalah suatu usaha ekstensifikasi dari suatu perusahaan pangan yang merupakan hasil kerja sama antara bagian pengembangan produk, pemasaran, produksi, pengawasan mutu, dan bagian persediaan bahan. Penelitian dan pengembangan merupakan kegiatan perusahaan dalam rangka mengembangkan produk baru dan mengantisipasi perubahan pasar.

Formulasi produk merupakan bagian dalam tahap pengembangan produk. Tahap ini merupakan tahap yang sangat penting dalam penciptaan produk baru. Pada tahap ini dicari beberapa alternatif formulasi bahan baku produk sampai dihasilkan formulasi yang optimum hingga dihasilkan produk bermutu yang secara ekonomis menguntungkan dan secara organoleptik dapat diterima dan disukai oleh konsumen.

Penelitian ini difokuskan untuk memperoleh rancangan formula pembuatan biskuit lebih khususnya yaitu lighter biscuit yang optimum. Tahap awal dari penelitian ini adalah melakukan uji variasi beberapa bahan baku yaitu bahan pengembang, tepung, pati, shortening, serta uji variasi proses mixing (pencampuran). Kemudian dilanjutkan dengan perancangan formula pembuatan lighter biscuit yang optimum menggunakan program Design Expert version 7 dan secara organoleptik diterima. Jumlah formulasi yang dilakukan sebanyak 12 formula biskuit dengan respon produk yang diukur yaitu % weight loss, % L increase, dan tebal.

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan lighter biscuit terdiri atas bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama meliputi : soft flour, pati modifikasi, shortening, gula dan skim. Bahan tambahan meliputi : bahan pengembang, lesitin, garam, air dan flavor susu. Proses pembuatan biskuit terdiri atas penyiapan bahan, menimbang, mixing (pencampuran), proofing (pengistirahatan), laminasi, pencetakan dan baking (pemanggangan).

Analisis respon formula menunjukkan hasil bahwa nilai % WT loss paling tinggi yaitu 19.67% terdapat pada formula 3 yang menggunakan soft flour sebesar 40%, pati modifikasi A 4.25%, pati modifikasi B 4.25% dan bahan pengembang 3.5%. Sedangkan yang terendah sebesar 14.43% terdapat pada formula 5 yang menggunakan soft flour sebesar 40%, pati modifikasi A 4.5%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.0%. Model persamaan polinomial dari respon % weight loss adalah linear. Model ini memiliki nilai p ”prob>F” lebih kecil dari 0,05 yaitu sebesar <0.0001. Hal ini berarti bahwa respon % WT loss sangat dipengaruhi oleh komponen-komponen formula yang dilakukan.

Untuk respon % L increase, nilai tertinggi sebesar 7.45 % terdapat pada formula 7 yang menggunakan soft flour sebesar 39.75%, pati modifikasi A 4.5%, pati modifikasi B 4.25% dan bahan pengembang 3.5%. Sedangkan yang terendah sebesar 2.69% terdapat pada formula 1 yang menggunakan soft flour sebesar 39.75%, pati modifikasi A 4.5%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.25%. Model persamaan polinomial dari respon % L increase adalah linear.


(15)

Hal ini berarti bahwa respon % L increase sangat dipengaruhi oleh komponen-komponen formula yang dilakukan.

Analisis respon tebal menunjukkan bahwa nilai tebal tertinggi terdapat pada formula 6 dan 1 yaitu sebesar 0.828 cm. Formula 6 menggunakan soft flour sebesar 39.75%, pati modifikasi A 4.25%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.5%. Sedangkan pada formula 10 digunakan soft flour sebesar 39.5%, pati modifikasi A 4.5%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.5%. Nilai tebal terendah sebesar 0.7120 cm terdapat pada formula 5 yang menggunakan soft flour sebesar 40%, pati modifikasi A 4.5%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.0%. Model persamaan polinomial memiliki nilai p ”prob>F” lebih besar dari 0,05. Nilai ini menunjukkan bahwa model linear yang direkomendasikan tidak bersifat signifikan dan respon tebal tidak dipengaruhi oleh komponen-komponen formula yang dilakukan.

Formula yang terpilih dari proses optimasi yaitu formula ke-1 (F new 1), dengan komposisi soft flour 39.62%, pati modifikasi A 4.318%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.5%. Formula ini diprediksi akan menghasilkan biskuit dengan tebal 0.823901 cm, nilai % WT loss 17.84%, nilai % L increase 5.65% dengan nilai desirability sebesar 0.964662 artinya formula tersebut akan menghasilkan produk yang memiliki karakteristik paling optimal dan sesuai dengan keinginan kita sebesar 96.47%. Setelah divalidasi diperoleh biskuit dengan nilai tebal 0.95 cm, % WT loss 18.03% dan % L increase 4.53%.


(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Molid Nurman Hadi, dilahirkan pada tanggal 2 Desember 1984 di Banyumas dan merupakan putra kelima dari pasangan Djadi Hadi dan (almh) Kuswati. Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN Wangon III (1990-1996), pendidikan menengah pertama di SLTPN 1 Wangon (1996-1999), dan pendidikan menengah umum di SMUN 1 Jatilawang (1999-2002).

Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002 melalui jalur USMI. Selama menempuh pendidikan di IPB penulis aktif sebagai pengurus BKIM (Badan Kerohanian Mahasiswa Islam) IPB periode 2004-2005 sebagai staf BKIMedia dan periode 2005-2006 sebagai kepala Badan Otonom BKIMedia, serta anggota HIMITEPA. Penulis pernah terlibat dalam kepanitian Seminar Nasional Pangan Halal, BAUR 2004 dan Simposium Nasional Lembaga Dakwah Kampus. Penulis juga pernah melaksanakan Kuliah Kerja Nyata di Desa Cinangka Bogor pada tahun 2005. Terakhir penulis menyelesaikan tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dalam bentuk magang-penelitian di PT Arnott’s Indonesia Bekasi dengan judul “Kajian Formulasi Lighter Biscuit Dalam Rangka Pengembangan Produk Baru di PT Arnott’s Indonesia Bekasi” di bawah bimbingan Ir. Budi Nurtama, M.Agr dan Riris Triwati, STP.


(17)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan syukur alhamdulillah kepada Allah SWT atas rahmat, karunia, serta berkah-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Formulasi Lighter Biscuit Dalam Rangka Pengembangan Produk Baru di PT Arnott’s Indonesia Bekasi”. Shalawat dan Salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan kaum muslimin yang senantiasa memegang teguh ajaran-Nya.

Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis baik secara langsung maupun tidak langsung hingga skripsi ini selesai ditulis, terutama kepada :

1. Ir. Budi Nurtama, M.Agr. selaku Dosen Pembimbing I yang senantiasa sabar dan bijaksana dalam membimbing dan mendukung penulis.

2. Riris Triwati, S.TP. atas kesediaan untuk menjadi pembimbing magang sekaligus Pembimbing II yang senantiasa membantu dan membimbing serta banyak memberikan masukan-masukan kepada penulis.

3. Nur Wulandari, S.TP., MSi. selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan kepada penulis.

4. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan ilmu dan mendukung kemajuan penulis.

5. Keluarga tercinta Bapak, Ibu dan Kakak atas doa, kasih sayang, nasihat, dorongan dan motivasi yang diberikan.

6. Teman sebimbinganku Ruri, atas bantuan dan dukungannya terhadap penulis.

7. Saudara-saudaraku tercinta dan seperjuangan di Wisma Jundullah: Rikza, Hafid, Renato, Fanani, Slamet dan semuanya atas kebersamaan, bantuan, dukungan serta kasih sayangnya.

8. Sahabat-sahabat golongan C khususnya C3: Hana, Bobby dan Yudhan atas kebersamaan, bantuan dan dorongannya kepada penulis


(18)

9. Sahabat-sahabat TPG 39 lainnya atas dukungan, kebersamaan, dan persahabatan yang penuh warna.

10.Mba Lia, Bu Darwati, Mba Erni, Bu Yani, Mas Setyo, Mba Indah dan teman-teman magang di lab R&D PT Arnott’s Indonesia Bekasi atas bantuan dan kerjasamanya.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, oleh sebab itu masukan dan kritik yang membangun selalu penulis tunggu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Januari 2007


(19)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ……….. iii

DAFTAR TABEL ……….. v

DAFTAR GAMBAR ………. vi

DAFTAR LAMPIRAN ………. vii

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ………... B. TUJUAN MAGANG-PENELITIAN ……… C. KEGUNAAN MAGANG-PENELITIAN ………. II. TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN .. B. LOKASI DAN TATA LETAK PERUSAHAAN ... C. STRUKTUR ORGANISASI PERUSAHAAN ... D. KETENAGAKERJAAN ... III. TINJAUAN PUSTAKA A. PENGEMBANGAN PRODUK ………. B. BISKUIT 1. Definisi ... 2. Jenis Biskuit ... 3. Karakteristik Biskuit ... C. BAHAN BAKU BISKUIT 1. Tepung ... 2. Gula ... 3. Lemak dan Minyak ... 4. Emulsifier ... 5. Bahan Pengembang ... 6. Pati Jagung ... 7. Garam ... 1 3 3 4 5 6 8 10 12 12 13 13 14 14 16 18 19 21 24 28


(20)

D. PEMBUATAN BISKUIT ... E. MIXTURE DESIGN……….

IV. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT ……….... 1. Bahan ... 2. Alat ... B. METODOLOGI PENELITIAN ...

1. Persiapan ... 2. Penelitian Pendahuluan ... 3. Penelitian Utama ...

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PROSES PEMBUATAN LIGHTER BISCUIT ... B. PENELITIAN PENDAHULUAN... C. PENELITIAN UTAMA ... 1. Rancangan Percobaan ... 2. Analisis Respon ... 3. Optimasi Formula ... 4. Validasi ...

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN ... B. SARAN ...

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

29 31

33 33 33 33 33 34 37

38 40 43 43 45 53 56

57 57

58 61


(21)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Tingkat kemanisan produk hidrolisis pati dibandingkan dengan sukrosa ...

17

Tabel 2. Karakteristik beberapa CO2 carrier………. 23

Tabel 3. Kadar bahan pengembang (% terhadap tepung) dalam uji variasi bahan pengembang ……….………. 34 Tabel 4. Jenis dan kadar tepung (% terhadap tepung) dalam uji variasi tepung ……….. 35 Tabel 5. Kadar pati jagung (% terhadap tepung) dalam uji variasi pati ………... 35 Tabel 6. Kadar shortening (% terhadap tepung) dalam uji variasi shortening………. 36 Tabel 7. Metode dan waktu pencampuran (mixing) dalam uji variasi pencampuran (mixing) ………. 36 Tabel 8. Formulasi lighter biscuit ………. 37

Tabel 9. Rancangan formula mixture design ... 44

Tabel 10. Hasil analisis %WT loss ... 45

Tabel 11. Hasil analisis % L increase ………. 48


(22)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Rumus struktur lemak ... 18 Gambar 2. Proses pembuatan biskuit skala laboratorium ………... 30 Gambar 3. Grafik contour plot hasil uji % WT loss ………. 47 Gambar 4. Grafik tiga dimensi hasil respon % WT loss ………….... 47 Gambar 5. Grafik contour plot hasil uji % L increase... 49 Gambar 6. Grafik tiga dimensi hasil respon % L increase ………… 50 Gambar 7. Grafik contour plot hasil respon tebal ... 52 Gambar 8. Grafik tiga dimensi hasil respon tebal ... 53 Gambar 9. Contour plot desirability produk terhadap formulasi ... 54 Gambar 10. Grafik tiga dimensi hasil nilai desirability ... 55


(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil uji variasi bahan baku ... 61 Lampiran 2. Hasil anova respon % WT loss ………. 62 Lampiran 3. Persamaan polinomial respon % WT loss ………. 63 Lampiran 4. Hasil anova respon % L increase ………. 64 Lampiran 5. Persamaan polinomial respon % L increase …………. 65 Lampiran 6. Hasil anova respon tebal ……… 66 Lampiran 7. Persamaan polinomial respon tebal ……….. 67 Lampiran 8. Hasil optimasi formula ……….. 68 Lampiran 9. Hasil uji rating dan deskripsi formula terpilih lighter

biscuit ……… 69 Lampiran 10. Descriptive Statistics ... 70


(24)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sistem perdagangan semakin ketat dan kompetitif pada era globalisasi ini. Banyak sekali industri baru yang muncul dan menjual produknya ke pasar khususnya industri yang bergerak di bidang pangan. Produsen berlomba-lomba untuk menarik perhatian masyarakat dengan menghasilkan produk yang memberikan kepuasan kepada konsumen. Oleh karena itu, peran mutu produk yang dihasilkan menjadi sangat nyata dalam rangka persaingan antar produsen. Hal ini dipertegas oleh meningkatnya pandangan dan kesadaran konsumen terhadap mutu sehingga terjadi suatu kecenderungan dimana hanya produk yang memenuhi tuntutan konsumen yang diterima oleh konsumen, sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan tren orientasi produsen dari profit oriented menjadi consumer satisfaction oriented (Soekarto, 1990).

Selain mengendalikan dan menjamin mutu produk, usaha lain yang dapat dilakukan industri pangan agar tetap eksis dan memenangkan persaingan dalam dunia bisnis pada era globalisasi ini antara lain dengan melakukan terobosan-terobosan baru yang kreatif dan inovatif. Terobosan-terobosan tersebut dapat diwujudkan, salah satunya melalui pengembangan produk baru dan memanfaatkan semaksimal mungkin peluang bisnis yang ada.

Pengembangan produk baru adalah suatu usaha ekstensifikasi dari suatu perusahaan pangan hasil kerja sama antara bagian pengembangan produk, pemasaran, produksi, pengawasan mutu, dan bagian persediaan bahan. Penelitian dan pengembangan merupakan kegiatan perusahaan dalam rangka mengembangkan produk baru dan mengantisipasi perubahan pasar. Usaha-usaha pengembangan produk baru ini bertujuan untuk menciptakan produk-produk unggulan yang sering disebut sebagai food trend leader, bermutu tinggi, aman dan sesuai dengan kebutuhan konsumen.

Formulasi produk merupakan bagian dalam tahap pengembangan produk. Tahap ini merupakan tahap yang sangat penting dalam penciptaan


(25)

produk sampai dihasilkan formulasi yang optimum hingga dihasilkan produk bermutu yang secara ekonomis menguntungkan dan secara organoleptik dapat diterima dan disukai oleh konsumen.

Salah satu produk makanan yang sudah banyak di pasaran dan banyak dikonsumsi sejak dulu adalah biskuit. Persaingan industri pangan khususnya biskuit, akhir-akhir ini menjadi semakin ketat. Banyak sekali produk-produk baru bermunculan, mulai mengganti produk lama yang mulai ditinggalkan. Namun, tidak sedikit pula produk lama yang masih bertahan hingga sekarang.

Biskuit adalah produk makanan kering yang dibuat dengan memanggang adonan yang mengandung bahan dasar tepung terigu, lemak dan bahan pengembang dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan lain yang diizinkan. Secara umum biskuit diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu biskuit keras, crackers, cookies, dan wafer (SII No. 0177, 1990). Riset berskala laboratorium mengenai biskuit telah banyak dilakukan, baik dalam rangka reformulasi maupun formulasi produk baru.

Biskuit banyak disukai konsumen karena beberapa hal, antara lain rasanya yang enak dan bervariasi, harga relatif murah, cukup mengenyangkan, hingga kandungan gizi yang lengkap. Jenis dan bentuk biskuit yang beredar di pasaran pun beragam. Mulai dari yang sederhana, seperti berbentuk kotak, bulat sampai berbentuk binatang. Penyajiannya pun beragam, ada yang langsung dimakan hingga dikombinasikan dengan coklat atau lainnya. Hal yang paling dianggap sebagai keuntungan menjual biskuit adalah harganya yang murah dengan jumlah per kemasan cukup banyak.

Berdasarkan hal itu, Departemen Penelitian dan Pengembangan Produk (Research and Development Product Department atau R&D) PT Arnott’s Indonesia mempunyai ide untuk membuat lighter biscuit. Lighter biscuit merupakan salah satu jenis biskuit yang memiliki bobot ringan namun bervolume besar (less weight high volume) sehingga diharapkan meminimalisasi biaya jika diaplikasikan dalam skala produksi. Di samping itu terkait juga dengan pengemasan. Biskuit dengan jenis yang sama, namun jika volumenya lebih besar akan tampak lebih banyak per kemasan dengan bobot yang lebih ringan.


(26)

B. TUJUAN MAGANG-PENELITIAN

Secara umum tujuan kegiatan magang-penelitian di Departemen Penelitian dan Pengembangan Produk (Research and Development Product Department atau R&D) PT Arnott’s Indonesia adalah untuk melatih keterampilan lapangan dan pengembangan wawasan berpikir mahasiswa yang berkaitan dengan penguasaan konseptual dalam usaha pemahaman dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi secara integral dan profesional. Selain itu kegiatan ini juga memiliki tujuan khusus yaitu mendapatkan formula terbaik dan terpilih lighter biscuit yaitu biskuit dengan bobot yang ringan namun memiliki volume yang besar (less weight high volume) dalam rangka pengembangan produk baru biskuit skala laboratorium.

C. KEGUNAAN MAGANG-PENELITIAN

Penelitian ini mendukung pengembangan produk baru biskuit di PT Arnott’s Indonesia. Formulasi hasil penelitian ini dapat digunakan oleh perusahaan sebagai formula produk baru setelah dilakukan riset pasar yang lebih mendalam dan diaplikasikan dalam skala produksi.


(27)

II. TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN

A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN

Sejarah PT. Arnott’s Indonesia dimulai dengan berdirinya perusahaan yang bergerak di bidang makanan kering dengan nama PT. Tatas Mulya pada tahun 1977. Sejalan dengan perkembangan pasar yang kurang menyukai produk ini, maka perusahaan mulai membuat makanan kecil dalam bentuk chips. Pada tahun 1982 secara resmi dibuat akte pendirian perusahaan yang menjadi cikal bakal PT. Arnott’s Indonesia.

Pada tahun 1984, perusahaan ini berkembang menjadi dua, yaitu PT. Tatas Mulya yang berlokasi di Pulo Mas dan PT. Cipta Rasa Primatama yang pindah ke Pulo Gadung, Jakarta Timur. Pada Januari 1985, PT. Tatas Mulya berganti nama menjadi PT. Bukit Manikam Sakti (PT. BMS). Selanjutnya pada tahun 1986, PT. BMS berpindah lokasi ke Bekasi.

Pada tahun 1985, PT. BMS bekerja sama dengan Arnott’s Biscuit Limited Australia yang merupakan perusahaan biskuit terbesar di Australia. Perusahaan tersebut berdiri sejak tahun 1865 dan hingga kini telah menguasai hampir 60% pangsa pasar dunia. Berbekal pengalaman lebih dari 134 tahun, menjadikan Arnott’s sebagai market leader dalam industri dan distribusi biskuit yang memiliki kualitas dan bahan baku terbaik. Dengan adanya kerjasama antara PT. Bukit Manikam Sakti dengan. Arnott’s Biscuit Limited Australia maka nama PT. BMS berubah menjadi PT. Helios Arnott’s Indonesia (PT. HAI) dan menjadi salah satu perusahaan makanan ringan terkenal di Indonesia.

Pada awalnya, PT. HAI memiliki dua lokasi yang terpisah, yaitu di Pulo Gadung untuk bagian pemasaran, sedangkan pabrik dan departemen lainnya berlokasi di Bekasi Barat. Namun, terhitung sejak 1 April 1998, keseluruhan fungsi organisasi dan pabrik berlokasi di Bekasi Barat, tepatnya di Jl. H. Wahab Affan No 8 (Jalan Raya Bekasi km. 28) Medan Satria, Bekasi Barat.


(28)

Sejalan dengan perkembangan industri, pada bulan Desember 1998, PT. Helios Arnott’s Indonesia berganti nama menjadi PT. Arnott’s Indonesia dan berafiliasi langsung ke Campbell Soup Company yang merupakan salah satu perusahaan Amerika berskala dunia yang memproduksi makanan dan dikelola dengan baik. Dengan berjalannya waktu, beberapa produk andalan PT. Arnott’s Indonesia yang ada di pasaran saat ini adalah :

1. Milk Plus 9. Good Time Teddy dan Good Time Smiley 2. Nyam-Nyam 10. Tri and Two

3. Stikko 11. Golden ’n Cheese

4. Joddy 12. Mic Mac Sanwidch Crackers

5. Prestige 13. Tim Tam Wafer dan Tim Tam Biscuit

6. Piroutte

7. Corinthians 8. Rondoletti

Selain produk-produk di atas, PT. Arnott’s Indonesia juga memproduksi biskuit bayi untuk perusahaan lain. Biskuit bayi yang diproduksi adalah :

1. Milna Baby Biscuit 2. Farley’s Baby Biscuit 3. Nestle Baby Biscuit 4. SGM Baby Biscuit 5. Promina Baby Biscuit

B. LOKASI DAN TATA LETAK PERUSAHAAN

PT. Arnott’s Indonesia terletak di Jl. H. Wahab Affan No. 8 (Jalan Raya Bekasi km. 28) Medan Satria, Bekasi Barat. Luas keseluruhan areal pabrik adalah sekitar 6,7 Ha. Lokasi perusahaan ini cukup baik untuk keperluan industri karena berada dekat dengan bahan baku produk, sumber tenaga kerja, dan daerah pemasaran untuk distribusi produk. Lokasi perusahaan juga didukung dengan adanya jalan tol Cikampek yang dekat


(29)

dengan perusahaan sebagai salah satu sarana yang juga memudahkan distribusi produk, terutama untuk distribusi ke daerah luar Jakarta.

Terdapat beberapa pabrik di sekitar perusahaan, antara lain pabrik pakan ternak, pabrik baja dan pabrik otomotif. Akan tetapi, keberadaan pabrik-pabrik di sekitar PT. Arnott’s Indonesia ini tidak mengganggu kegiatan produksi di perusahaan.

C. STRUKTUR ORGANISASI PERUSAHAAN

Bentuk struktur organisasi pada PT. Arnott’s Indonesia adalah struktur organisasi proyek dengan hubungan organisasi terutama pada orang-orang yang bekerja pada proyek yang sama. Struktur organisasi perusahaan terdiri dari beberapa kelompok dari fungsi yang berbeda dengan setiap kelompok yang menitikberatkan pada pengembangan produk tertentu atau lini produksi.

Kendali perusahaan berada pada Presiden Direktur sebagai pucuk pimpinan. Pelimpahan tugas kepada bawahan melalui masing-masing manajer departemen, kemudian dilanjutkan pada staf serta karyawan. Berikut akan dibahas lebih lanjut mengenai tugas, wewenang dan tanggung jawab masing-masing bagian.

1. Presiden Direktur

Presiden Direktur merupakan pucuk pimpinan tertinggi di dalam perusahaan yang mempunyai kekuasaan penuh dan bertanggung jawab atas maju atau mundurnya perusahaan. Tugas, wewenang dan tanggung jawab Presiden Direktur antara lain :

• Menentukan kebijaksanaan perusahaan secara menyeluruh.

• Mengarahkan kegiatan yang dilaksanakan oleh bawahan untuk mencapai tujuan.

• Mengadakan koordinasi yang tepat dari semua direktur untuk menjamin kelancaran organisasi melalui pertanggungjawaban masing-masing direktur.


(30)

2. Direktur Finance dan Accounting

Tugas, wewenang dan tanggung jawab bagian ini adalah :

• Menyelenggarakan perencanaan, pembinaan dan pengawasan sistem keuangan, akuntansi dan administrasi.

• Melakukan administrasi yang tertib.

• Menjamin terciptanya pengawasan internal perusahaan. 3. Direktur Marketing

Tugas, tanggung jawab dan wewenang Direktur Marketing antara lain : • Merumuskan strategi dan program pemasaran

• Mengawasi pelaksanaan dan pencapaian target yang telah ditentukan • Memantau dan menganalisa keadaan ekonomi dan pasar, baik dalam

maupun luar negeri, agar dapat mempertimbangkan pengembangan pasar atau produk yang dihasilkan.

• Melakukan negosiasi dengan pembeli dalam membuat kontrak penjualan ekspor.

4. Direktur Sales (Penjualan)

Tugas, wewenang dan tanggung jawab Direktur Sales (Penjualan) meliputi : • Mengamati dan mengikuti perkembangan pasar, harga dan promosi, baik

untuk produk sendiri maupun produk saingan

• Memeriksa kredit langganan dan pengiriman barang ke para pelanggan • Bekerja sama dengan bagian pemasaran dalam menyusun target penjualan • Mengadakan kunjungan secara periodik ke pelanggan dan wilayahnya

untuk mengetahui langsung kegiatan pesaing dan menjalin hubungan baik dengan pelanggan.

• Menerima inormasi dari pengiriman mengenai kebutuhan kuota yang dimiliki perusahaan

5. General Manager (Manajer Utama)

Manajer Utama harus mengawasi kegiatan operasional yang terjadi di lapangan, mengawasi fungsi pendukung seperti warehouse dan purchasing.


(31)

6. Plant Manager (Manajer Pabrik)

Tugas, wewenang dan tanggung jawab manajer pabrik meliputi : • Mengawasi kerja manajer produksi

• Memberi laporan kepada presiden Direktur mengenai aktivitas perusahaan dalam hal pengoperasian

• Mengadakan pengawasan dan pengecekan kualitas produk

• Bertanggung jawab terhadap pelaksanaan dalam lingkungan perusahaan.

D. KETENAGAKERJAAN

Segala hal yang berkaitan dengan ketenagakerjaan dan peraturannya telah ditetapkan dalam kesepakatan kerja bersama antara PT. Arnott’s Indonesia dengan Serikat Kerja Tingkat Perusahaan. Karyawan di PT. Arnott’s Indonesia bekerja dengan jangka waktu kerja yang dibedakan menjadi dua status, yaitu :

1. Pekerja Kontrak

Pekerja kontrak adalah pekerja yang memiliki hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu berdasarkan kontrak kerja dengan menerima gaji berdasarkan jumlah hari hadir.

2. Pekerja Tetap

Pekerja tetap adalah pekerja yang memiliki hubungan kerja untuk jangka waktu yang tidak ditentukan berdasarkan hari kerja yang melebihi dua puluh hari dalam satu bulan dan tidak melebihi tiga bulan secara terus-menerus dengan menerima gaji baik bulanan maupun borongan. Dalam rangka memperlancar jalannya kerja dalam proses produksi maka perusahaan membagi waktu kerja sebagai berikut :

a. Karyawan kantor

Kegiatan kerja dimulai dari pukul 08.00 sampai dengan 16.30 dengan waktu istirahat selama 30 menit.

b. Karyawan bagian produksi

Kegiatan kerja dibagi menjadi tiga kelompok jam kerja (shift) yang secara bergantian setiap minggunya, yaitu :


(32)

• Shift I : Pukul 06.30 sampai dengan 15.00, dengan waktu istirahat 30 menit

• Shift II : Pukul 15.00 sampai dengan 22.30, dengan waktu istirahat 30 menit

• Shift III : Pukul 22.30 sampai dengan 06.30, dengan waktu istirahat 30 menit

Selama satu minggu terdapat lima hari kerja, yaitu Senin sampai Jumat kecuali hari libur nasional dan hari libur perusahaan yang sudah ditetapkan. Jumlah jam kerja dalam satu minggu adalah 40 jam.

PT. Arnott’s Indonesia sebagai perusahaan yang berkredibilitas tinggi juga memberikan fasilitas kepada karyawannya. Beberapa fasilitas yang diberikan perusahaan antara lain berupa jaminan sosial dan kesejahteraan karyawan dalam bentuk sistem pemberian upah yang diatur menurut status pekerja. Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) berupa jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pemeliharaan kesehatan yang meliputi pemeriksaan kesehatan pada dokter, perawatan di rumah sakit, biaya persalinan istri pekerja dan keluarga berencana.

Fasilitas penunjang kerja juga diberikan kepada karyawan dalam bentuk alat kerja yang berupa pakaian kerja yang diberikan oleh perusahaan. Peralatan keselamatan kerja seperti kaca mata las, sarung tangan dan topi selalu tersedia bagi karyawan yang memerlukan. Sedangkan fasilitas lainnya adalah koperasi karyawan, klinik dan jasa dokter yang terbuka setiap hari kerja, tempat peribadatan (musholla) dan sarana olah raga.


(33)

III. TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGEMBANGAN PRODUK

Penelitian dan pengembangan merupakan kegiatan industri dalam rangka mengembangkan produk baru dan mengantisipasi perubahan pasar. Pengembangan produk adalah suatu kegiatan menghasilkan produk yang baru atau produk lama yang dimodifikasi dengan tambahan rasa baru atau pencampuran rasa yang sudah ada. Secara umum, produk baru (new product) adalah produk yang belum pernah ada sebelumnya atau produk hasil modifikasi dan inovasi dari produk yang sudah ada sebelumnya dari aspek produksi seperti bahan baku, proses, karakteristik produk maupun kemasan. Pada dunia industri, produk baru mengandung pengertian yaitu produk yang sebelumnya belum pernah diproduksi oleh suatu perusahaan meskipun produk tersebut telah atau pernah diproduksi oleh perusahaan lain. Beberapa modifikasi dan inovasi yang dapat dilakukan terkait pengembangan produk

baru antara lain modifikasi flavor, warna, bentuk, substitusi bahan baku

utama dengan bahan baku lainnya dengan tujuan menurunkan biaya produksi atau meningkatan nilai gizi produk tersebut tanpa mengurangi dan menurunkan mutunya (Soekarto, 1990).

Produk baru dapat digolongkan menjadi tiga jenis. Pertama, fresh new

product atau produk yang benar-benar baru, yaitu produk tersebut belum pernah diproduksi dan dikomersialkan oleh suatu perusahaan. Kedua, produk

modifikasi atau modified product yaitu produk baru hasil modifikasi produk

yang sudah ada di suatu perusahaan. Modifikasi dapat dilakukan pada jenis

kemasan, formula bahan, jenis bahan baku atau penggunaan flavor yang

berbeda. Ketiga, “me too”, yaitu produk baru hasil tiruan produk perusahaan

lain yang sebelumnya produk tersebut belum diproduksi oleh perusahaan.

Produk “me too” ini biasanya dibuat oleh perusahaan ’follower’ atau

perusahaan ‘challenger’ dengan maksud untuk merebut daerah pemasaran


(34)

lebih murah dibandingkan harga produk sejenis dari perusahaan ‘leader’

(Feigenbaum, 1989).

Terdapat beberapa alasan yang menjadi faktor pendorong perlunya pengembangan produk baru. Alasan-alasan tersebut antara lain yaitu untuk meningkatkan mutu produk yang sudah ada baik dari segi kandungan gizi maupun penampakannya. Adanya produk baru diharapkan dapat meningkatkan efisiensi proses produksi serta meminimalkan biaya produksi. Di samping itu, pengembangan produk diperlukan untuk memenuhi keinginan dan tuntutan konsumen yang selalu berubah seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi. Tidak kalah pentingnya, pengembangan produk perlu dilakukan untuk meningkatkan daya saing guna menghadapi persaingan industri yang semakin ketat khususnya industri pangan (Feigenbaum, 1989).

Tahap-tahap yang perlu dilalui dalam kegiatan pengembangan produk pangan baru yaitu pencarian dan pemilihan ide, pengembangan formula dan

proses, panel test, consumer sampling, pendugaan umur simpan (shelf life),

pengemasan, tahap produksi, market testing, dan tahap komersialisasi. Dalam

setiap tahapan tersebut perlu dilakukan evaluasi dengan berbagai pertimbangan sehingga produk tersebut layak untuk dilanjutkan ke tahap berikutnya (Feigenbaum, 1989).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan produk baru adalah optimasi formulasi bahan baku serta daya terima konsumen. Di samping itu, produk baru tersebut harus memenuhi beberapa kriteria antara lain dapat menghasilkan keuntungan bagi perusahaan dengan biaya produksi yang minimal, dapat bersaing dengan produk pesaing yang sejenis, sesuai

dengan kebutuhan dan prioritas konsumen serta mengikuti trend yang sedang

berkembang seperti pangan fungsional, health food, makanan bernutrisi tinggi.

Menurut Feigenbaum (1989) formulasi produk merupakan bagian dalam tahap pengembangan produk. Tahap ini merupakan tahap yang sangat penting dalam penciptaan produk baru. Pada tahap ini dicari beberapa alternatif formulasi bahan baku produk sampai dihasilkan formulasi yang optimum hingga dihasilkan produk bermutu yang secara ekonomis


(35)

menguntungkan dan secara organoleptik dapat diterima dan disukai oleh konsumen.

Kegiatan formulasi untuk produk yang akan dikembangkan meliputi bahan dan komposisi bahan. Langkah awal yang dapat dilakukan adalah mencari alternatif bahan-bahan yang digunakan mencakup bahan utama dan bahan tambahan, mempertimbangkan masalah ketersediaan bahan, fungsi serta harga bahan yang akan digunakan. Ketersediaan bahan berkaitan dengan kelangsungan produksi, harga bahan baku akan menyangkut biaya produksi yang berpengaruh terhadap harga produk akhir. Di samping itu, pengetahuan tentang fungsi dan manfaat bahan baku juga merupakan hal yang penting agar tidak terjadi kesalahan dalam pemilihan bahan baku yang akan digunakan dalam kegiatan pengembangan produk (Feigenbaum, 1989).

Kegiatan pengembangan produk yang berhubungan dengan formulasi ini meliputi optimasi biaya produksi, peningkatan mutu atribut organoleptik produk yang meliputi warna, rasa, tekstur serta penampakannya. Usaha yang dapat dilakukan untuk mencapai optimal biaya diantaranya menggunakan bahan baku yang lebih murah tanpa menurunkan mutu akhir produk, penyederhanaan formula misalnya perubahan formula dari yang awalnya menggunakan 3 jenis bahan diganti menjadi 2 jenis bahan dengan tanpa mengurangi mutu dan daya terima konsumen terhadap produk yang dihasilkan.

B. BISKUIT

1. Definisi Biskuit

Biskuit merupakan makanan kering hasil pemanggangan yang dibuat dengan bahan dasar tepung terigu dan bahan tambahan lain membentuk suatu formula adonan sehingga menghasilkan suatu produk dengan sifat dan struktur tertentu (Matz, 1978). Menurut Whiteley yang dikutip oleh Sunaryo (1985), biskuit atau produk sejenisnya harus memenuhi persyaratan tertentu, yaitu dibuat dari bahan-bahan serealia seperti gandum, jagung, oat, barley dan sebagainya dengan kadar air kurang lebih 5%. Apabila diisi dengan


(36)

bahan-bahan pembentuk (krim, jam, jelli dan sebagainya) kadar airnya dapat melebihi 5% dan apabila bahan utamanya lebih dari 60% bukan serealia maka tidak dapat disebut sebagai biskuit.

Biskuit adalah produk makanan kering yang dibuat dengan memanggang adonan yang mengandung bahan dasar tepung terigu, lemak dan bahan pengembang dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan lain yang diizinkan. Biskuit diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu biskuit keras,

crackers, cookies, dan wafer (SII No. 0177, 1990).

2. Jenis Biskuit

Biskuit dapat dikategorikan menjadi 4 jenis, yaitu biskuit keras,

crackers, cookies dan wafer. Biskuit keras adalah jenis biskuit manis yang dibuat dari adonan keras, berbentuk pipih, jika dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat dan dapat berkadar lemak tinggi atau rendah.

Crackers adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras, melalui proses fermentasi, berbentuk pipih, biasanya berasa asin, relatif renyah dan jika

dipatahkan penampang potongannya berlapis-lapis. Cookies adalah jenis

biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, cukup renyah dan bila dipatahkan penampang potongannya mempunyai tekstur berongga-rongga. Wafer adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan cair, mempunyai pori-pori kasar, relatif rendah dan bila dipatahkan penampang potongannya membentuk rongga-rongga (SII No. 0177, 1990).

3. Karakteristik Biskuit

Biskuit pada umumnya berwarna coklat keemasan, permukaan agak

licin, bentuk dan ukuran seragam, crumb berwarna putih kekuningan, kering,

renyah dan ringan serta aroma yang menyenangkan (Vail et al., 1978). Bahan

pembentuk biskuit dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu bahan pengikat dan bahan perapuh. Bahan pengikat terdiri dari tepung, air, padatan dari susu dan putih telur. Bahan pengikat berfungsi untuk membentuk adonan


(37)

yang kompak. Bahan perapuh terdiri dari gula, shortening, bahan pengembang dan kuning telur (Matz, 1978).

C. BAHAN BAKU BISKUIT

1. Tepung

Tepung merupakan komponen penting dan merupakan bahan dasar

pada pembuatan biskuit dan produk bakery lainnya. Terdapat

bermacam-macam jenis tepung, tergantung pada sumber bahan baku, tujuan penggunaanya, kandungan protein dan lain-lain. Contoh tepung yang sudah banyak beredar di pasaran antara lain tepung terigu (gandum), tepung beras, tepung jagung, tepung kacang hijau. Namun, jenis tepung yang paling terkenal dan paling banyak digunakan adalah tepung terigu. Tepung ini dibuat dari biji gandum.

1.1. Jenis Tepung Terigu

Menurut Sutomo (2006), di pasaran banyak beredar jenis tepung terigu yang masing-masing memiliki karakteristik dan fungsi berlainan. Beberapa jenis tepung terigu yang dikenal di masyarakat :

a. Hard Wheat ( Terigu Protein Tinggi)

Tepung ini diperoleh dari gandum keras (hard wheat) dengan kandungan proteinnya 11-13%. Tingginya protein terkandung menjadikan sifatnya mudah dicampur, difermentasikan, daya serap airnya tinggi, elastis dan mudah digiling. Karakteristik

ini menjadikan tepung terigu hard wheat sangat cocok untuk bahan

baku roti, mie dan pasta karena sifatnya elastis dan mudah difermentasikan.


(38)

b. Medium Wheat (Terigu Protein Sedang)

Jenis terigu medium wheat mengandung protein 10%-11%.

Sebagian orang mengenalnya dengan sebutan all-purpose flour

atau tepung serba guna. Tepung ini dibuat dari campuran tepung

terigu hard wheat dan soft wheat sehingga karakteristiknya

diantara kedua jenis tepung tersebut. Tepung ini cocok untuk membuat adonan fermentasi dengan tingkat pengembangan sedang, seperti donat, bakpau, bapel, panada atau aneka cake dan muffin.

c. Soft Wheat (Terigu Protein Rendah)

Tepung ini dibuat dari gandum lunak dengan kandungan protein gluten 8%-9%. Sifatnya, memiliki daya serap air yang rendah sehingga akan menghasilkan adonan yang sukar diuleni, tidak elastis, lengket dan daya pengembangannya rendah. Tepung jenis ini cocok untuk membuat kue kering, biskuit, pastel dan kue-kue yang tidak memerlukan proses fermentasi.

d. Self Raising Flour

Jenis tepung terigu ini sudah ditambahkan bahan pengembang dan garam. Penambahan ini menjadikan sifat tepung lebih stabil dan tidak perlu menambahkan pengembang lagi ke dalam adonan. Jika sukar didapat, tambahkan satu sendok teh

baking powder ke dalam sekilo tepung sebagai gantinya. Self raising flour sangat cocok untuk membuat cake, muffin, dan kue kering.

e. Enriched Flour

Jenis tepung terigu ini sudah disubstitusi dengan beragam vitamin atau mineral dengan tujuan memperbaiki nilai gizi terkandung. Biasanya harganya relatif lebih mahal. Cocok untuk kue kering dan bolu.


(39)

f. Whole Meal Flour

Tepung ini biasanya dibuat dari biji gandum utuh termasuk dedak dan lembaganya sehingga warna tepung lebih gelap/krem.

Terigu whole meal sangat cocok untuk makanan kesehatan dan

menu diet karena kandungan serat (fiber) dan proteinnya sangat tinggi.

2. Gula

Secara kimia gula lebih dikenal dengan nama sukrosa. Jenis gula

yang beredar di pasaran pun beragam. Gula dapat dibedakan berdasarkan bentuk, jenis dan sifat bahan baku, dan proses pembuatan serta tingkat kemanisan. Berdasarkan bentunya gula dapat dibedakan menjadi gula kristal, gula halus dan sirup. Berdasarkan bahan bakunya gula dapat dibedakan menjadi gula tebu, gula bit, gula aren dan lain-lain. Sedangkan berdasarkan tingkat kemanisan gula sintetik umumnya lebih manis dibandingkan gula non sintetik (Manley, 1983).

Sukrosa atau yang lebih dikenal dengan gula pasir merupakan jenis gula yang paling banyak ditemukan. Sifat fisik dari gula pasir sendiri adalah berbentuk kristal putih dengan ukuran yang bervariasi tergantung ukuran granulanya. Semakin kecil ukuran granula berarti semakin halus dan lembut atau yang lebih dikenal dengan nama gula halus. Menurut Manley (1983) jenis gula inilah yang semakin banyak digunakan oleh

industri bakery maupun biskuit karena tidak akan menyebabkan tekstur

dan rasa ‘berpasir’ pada produk yang dihasilkan.

Di samping itu, terdapat juga gula kristal berwarna coklat atau

dikenal dengan brown sugar. Jenis gula ini dibedakan berdasarkan warna

dan ukuran partikel. Warna coklat yang dihasilkan tergantung dari jumlah sirup yang ditambahkan dan menyelimuti kristal melalui reaksi pencoklatan atau reaksi Maillard. Penggunaan gula coklat pada produk

bakery maupun biskuit akan berpengaruh pada warna dan flavor produk yang dihasilkan. Biasanya akan dihasilkan warna yang lebih gelap dan


(40)

flavor agak gosong dibandingkan penggunaan gula kristal putih maupun gula halus (Manley, 1983).

Jenis gula yang lain adalah gula cair. Jenis gula ini sangat sering digunakan oleh industri yaitu sukrosa dalam bentuk cair (larutan). Beberapa keuntungan dari penggunaan gula cair ini antara lain lebih akurat dalam pengukuran, lebih murah dibandingkan gula kristal karena dalam proses produksinya merupakan hasil sebelum tahap pengkristalan, mudah larut dan menyatu dengan bahan lain selama pencampuran. Dalam penyimpanannya, gula cair umumnya terdiri dari 67% padatan dan mengandung tidak lebih dari 5% gula invert untuk mencegah kristalisasi (Manley, 1983).

Di samping itu juga dikenal gula dalam bentuk sirup. Jenis gula ini dapat dibedakan menjadi dua kelas, yaitu turunan dari sukrosa baik sebagian maupun total dan turunan dari material pati khususnya pati jagung melalui proses hidrolisis. Pada kedua jenis ini kuantitas dan kualitas molekul rantai gula yang lebih pendek sangat penting (Manley, 1983).

Pati yang banyak digunakan untuk membuat gula adalah pati jagung. Namun tidak jarang pula digunakan pati kentang, tapioka sebagai bahan bakunya. Dalam proses pembuatannya, pati akan dipecah melalui hidrolisis oleh asam atau menggunakan enzim khusus ataupun kombinasi keduanya. Setelah pati dihidrolisis, akan terbentuk senyawa yang larut dan manis. Perbandingan tingkat kemanisan produk hidrolisis pati dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Tingkat kemanisan produk hidrolisis pati dibandingkan dengan

sukrosa*

Jenis gula Tingkat kemanisan (1 unit = 100)

Fruktosa 173 Sukrosa 100

Dextrose 74


(41)

3. Lemak dan Minyak

Lemak merupakan bahan baku yang penting dalam pembuatan biskuit dan merupakan satu dari tiga komponen terbesar dalam pembuatan biskuit selain tepung dan gula, namun harganya relatif mahal. Sifat fisik dan kimia lemak cukup kompleks. Nilai kalori dari lemak paling tinggi dibandingkan karbohidrat dan protein yaitu 9 kkal (Winarno, 1997).

Secara kimia lemak merupakan campuran trigliserida yang terdiri dari asam lemak yang berbeda jenis maupun sama. Rumus kimia dari lemak dapat dilihat pada Gambar 1.

OH R1

OH R2

OH R3

Gliserol Trigliserida

Gambar 1. Rumus struktur lemak

Jenis asam lemak bervariasi berdasarkan panjang rantai karbonnya dan dapat bersifat jenuh maupun tidak jenuh. Semakin panjang rantai karbonnya semakin tinggi titik lelehnya. Asam lemak jenuh tidak memiliki rantai karbon dengan ikatan rangkap sehingga senyawa ini lebih stabil dari rekasi oksidasi. Sedangkan pada asam lemak tidak jenuh terdapat satu atau lebih ikatan rangkap pada rantai karbonnya dengan

bentuk konfigurasi cis maupun trans (Winarno, 1997). Berdasarkan

bentuknya lemak dapat dibedakan menjadi lemak padat dan lemak cair. Dalam pembuatan biskuit, lemak dapat digunakan langsung sebagai bahan baku dalam adonan, pengisi, penyemprot maupun pelapis. Dalam adonan, lemak berperan dalam pembentukan tekstur biskuit. Penggunaan lemak akan menghasilkan biskuit yang lebih lembut (tidak terlalu keras) dibandingkan tanpa lemak. Penggunaan lemak sebagai krim pengisi maupun pelapis, berfungsi sebagai pembawa dan melepaskan


(42)

Selama pencampuran adonan, terdapat persaingan antara fase cair dan lemak pada permukaan tepung. Air atau larutan gula berinteraksi dengan protein yang terkandung dalam tepung menghasilkan gluten yang membentuk jaringan yang ekstensibel dan kohesif (Manley, 1983). Ketika beberapa lemak melapisi tepung, jaringan yang terbentuk terganggu sehingga akan berpengaruh pada tekstur biskuit yang dihasilkan yaitu setelah dipanggang akan menjadi lebih lembut, lunak dan lebih mudah larut dalam mulut. Jika kandungan lemak tinggi, fungsi lubrikasi dalam adonan menjadi lebih nyata, sehingga sedikit air dibutuhkan untuk mencapai konsistensi yang diinginkan. Di samping itu akan semakin sedikit gluten yang terbentuk, pembengkakan dan gelatinisasi pati berkurang sehingga menghasilkan tekstur yang lebih lembut. Pada

pembuatan cake, lemak berfungsi menyediakan udara untuk proses

ekspansi (pengembangan) dan berperan dalam pembentukan tekstur selama pemanggangan. Menurut Joyner (1953), lemak menghambat difusi

gas menuju dinding sel selama tahap kritis antara suhu 38-58 0C ketika

adonan menjadi lebih lembut dan sebelum pati pecah yang memberikan kekuatan dan elastisitas yang lebih.

4. Emulsifier

Proses pengolahan, distribusi dan penyimpanan produk

panggangan (bakery) membutuhkan bahan tambahan pangan yang dapat

mempertahankan kualitas dan kesegaran yaitu emulsifier. Produk

panggangan (bakery) tanpa emulsifier dideskripsikan menjadi keras,

kering, apek, berkerak atau tidak memiliki rasa (Brandt, 1996). Emulsifier

adalah senyawa yang berfungsi sebagai penstabil campuran dua cairan

immiscible. Dalam hal pangan, dua cairan immiscible ini menunjukkan air dan minyak/lemak.

Menurut Manley (1991), emulsifier atau zat pengemulsi

didefinisikan sebagai senyawa yang mempunyai aktivitas permukaan (surface-active agents) sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan


(43)

dalam suatu sistem makanan. Kemampuannya menurunkan tegangan

permukaan menjadi hal menarik karena emulsifier memiliki keajaiban

struktur kimia yang mampu menyatukan dua senyawa berbeda polaritasnya.

Sifat fisik dan kimia emulsifier cukup kompleks, namun prinsip

kerjanya sederhana yaitu berperan pada molekul polar dan non polar. Molekul polar bersifat mengikat air (mempunyai afinitas terhadap air) disebut hidrofilik sedangkan bagian non polar bersifat mengikat lemak

(mempunyai afinitas terhadap lemak) disebut lipofilik. Fungsi emulsifier

pada kondisi banyak mengandung lemak atau banyak mengandung air berbeda-beda tergantung pada ukuran dan kondisi fraksi polar dan non

polar dari komponen molekul emulsifier. Oleh karena itu, penting untuk

menentukan jumlah emulsifier yang paling efektif untuk tiap aplikasi

(Manley, 1991).

Interaksi antara emulsifier dan komponen tepung sangat beragam

dan dapat memperbaiki fungsi dan penampakan produk panggangan (bakery). Emulsifier akan membentuk kompleks dengan fraksi amilosa

dari pati. Komponen emulsifier yang mengandung asam lemak jenuh

tunggal juga akan membentuk struktur helikal dengan amilosa yang mempengaruhi reaksi gelatinisasi pati dan mengurangi kecenderungan amilosa berdifusi keluar dari granula pati dengan adanya air hangat. Kemampuan mengkompleks amilosa dari pati ini mempengaruhi sifat

menahan atau menyimpan gas dalam adonan. Interaksi emulsifier dengan

protein tepung ditandai dengan adanya perubahan sifat viskoelastis gluten

yang akan memperbaiki toleransi adonan terhadap mixing dan machining.

Mekanisme interaksi tersebut cukup sulit dimengerti, namun keterlibatan

ikatan ionic dengan protein tepung sangat penting. Sifat emulsifier yang

dapat mengkompleks pati dan protein juga berperan untuk memperbaiki

sheetability atau pembuatan lembaran dari adonan dengan kadar lemak rendah (Manley, 1991).

Menurut Timmermann (2000), daya kerja emulsifier menurunkan


(44)

(polar) yang terdapat pada struktur kimianya. Ukuran relatif bagian hidrofilik dan lipofilik zat pengemulsi menjadi faktor utama yang menentukan perilakunya dalam pengemulsian. Untuk memilih pengemulsi yang cocok untuk pemakaian pada produk pangan olahan tertentu, telah

dikembangkan apa yang disebut sistem HLB (Hidrophilic/Lipophilic

Balance atau perimbangan hidrofilik/lipofilik). Bila emulsifier tersebut memiliki kecenderungan terikat lebih kuat pada air atau nilai HLBnya tinggi, dapat membantu terbentuknya emulsi minyak dalam air (M/A).

Contohnya, antara lain susu, es krim, dan mayonnaise. Sebaliknya bila

emulsifier memiliki kecenderungan terikat lebih kuat terhadap minyak atau nilai HLB rendah, akan terbentuk emulsi air dalam minyak (A/M). Contohnya, antara lain adalah mentega dan margarin.

Menurut Manley (1991), emulsifier alami masih sedikit jumlahnya

dan hanya lesitin yang cukup dikenal. Lesitin dari kedelai merupakan

lesitin alami yang banyak digunakan. Fungsi emulsifier dalam bahan

pangan antara lain :

1. Penstabil emulsi minyak dalam air

2. Penstabil emulsi air dalam minyak

3. Memodifikasi kristalisasi lemak

4. Mengubah konsistensi, ketebalan dan pembentukan gel pati melalui

pembentukan kompleks antara pati, protein dan gula

5. Memberikan efek lubrikasi pada adonan dengan kandungan lemak

rendah

5. Bahan Pengembang

Menurut Bode (1987) di dalam Ernst Brose, et al. (1996), bahan

pengembang merupakan sistem komponen satu atau lebih senyawa kimia. Jika terdapat panas, senyawa kimia yang berperan sebagai bahan pengembang akan terdekomposisi menjadi gas dan senyawa kimia lain. Bahan pengembang merupakan sumber karbondioksida yang akan membentuk volume adonan. Bahan pengembang yang digunakan adalah


(45)

Natrium bikarbonat atau lebih dikenal dengan nama baking soda

merupakan sumber gas yang memiliki harga murah, tingkat toksisitas rendah, mudah digunakan, relatif tidak meninggalkan rasa pada produk

akhir. Menurut Bretschneider (1969) di dalam Ernst Brose, et al. (1996),

pada suhu 60 0C, natrium bikarbonat akan melepaskan karbondioksida

pada adonan. Jika tanpa leavening acid juga akan terbentuk natrium

karbonat dan memberikan efek lebih alkali serta bau seperti sabun (soapy

off-flavor) pada adonan. Reaksi natrium bikarbonat dalam menghasilkan gas CO2 adalah sebagai berikut :

2 NaHCO3 Na2CO3 + H2O + CO2

Natrium Natrium Air Karbon

bikarbonat Karbonat dioksida

Menurut Brose, et al.(1996), baking powder merupakan campuran

yang terdiri dari CO2 carrier, satu atau lebih leavening acid dan

separation agent. CO2 carrier berfungsi sebagai sumber CO2, leavening

acid berperan dalam pelepasan CO2 dan separating agent berperan dalam

mencegah preeeliminary CO2 yang disebabkan oleh reaksi asam dengan

alkali. Di samping itu, separating agent dapat meningkatkan umur simpan

baking powder dan menstandarisasi baking powder dalam hal kuantitas dan ukuran kemasan.

Senyawa yang termasuk CO2 carrier antara lain natrium

bikarbonat, ammonium bikarbonat, ammonium karbonat dan potassium karbonat. Pada umumnya, industri banyak menggunakan natrium

bikarbonat atau lebih dikenal dengan baking soda. Karakteristik beberapa

CO2carrier dapat dilihat pada tabel 2. Senyawa yang tergolong leavening

acid antara lain asam tartarat, asam sitrat, natrium acid pirophospat,

kalsium laktat dan kalsium sulfat. Senyawa atau bahan yang banyak

digunakan sebagai separating agent antara lain pati, tepung, kalsium

karbonat maupun campuran ketiganya. Pati jagung paling banyak

digunakan sebagai separating agent. (Brose et al., 1996). Baking powder


(46)

49% SAPP (Sodium Acid Pyro Phosphat) dan 10% maizena serta 5%

kalsium karbonat (CaCO3). Penggunaan kedua bahan pengembang ini

berpengaruh terhadap diameter, panjang atau lebar adonan. Reaksi yang terjadi selama pencampuran dan pemangganngan adalah sebagai berikut :

Na2H2P2O7 + 2NaHCO3 Na4P2O7 + 2CO2 + 2H2O

Sodium Acyd Tetra Sodium Pyrophosphat Pyrophosphat

Menurut Brose, et al. (1996), natrium bikarbonat akan

menghasilkan CO2 jika terdapat leavening acid seperti SAPP. Kalsium

karbonat (CaCO3) dan maizena berfungsi sebagai separating agent yang

akan mengikat dan mempertahankan CO2 yang dihasilkan dalam adonan.

CaCO3 merupakan garam yang bersifat basa kuat dan merupakan senyawa

yang bersifat stabil. Senyawa ini akan terurai jika diberi perlakuan panas yang sangat tinggi.

Tabel 2. Karakteristik beberapa CO2carrier

Karakteristik Natrium bikarbonat

Kalium bikarbonat

Ammonium Bikarbonat

Kalium karbonat Rumus

kimia

NaHCO3 KHCO3 NH4HCO3 K2CO3

Berat Molekul

84.01 100.11 79.05 138.21

Penampakan Putih, kristal Putih, kristal Putih, kristal Putih, kristal

Bau Tidak berbau Tidak berbau Ammonia Tidak berbau

Ammonium bikarbonat juga digunakan pada pembuatan biskuit kali ini. Bahan pengembang jenis ini biasanya digunakan pada produk dengan kadar air rendah dan benar-benar kering karena dapat meninggalkan rasa pada produk akhir. Bahan pengembang jenis ini berpengaruh pada tebal adonan. Reaksi ammonium bikarbonat dalam


(47)

NH4HCO3 NH3 + H2O + CO2

Ammonium ammonia

Bikarbonat

6. Pati Jagung

Polisakarida penyimpan yang paling penting di alam adalah pati yang khas bagi sel tanaman. Pati terdapat dalam sel bentuk gumpalan besar atau granula. Molekul pati terhidrasi pada tingkat yang cukup tinggi karena mempunyai gugus hidroksil yang terbuka (Thenawijaya, 1997). Pati merupakan polisakarida yang tersusun oleh unit-unit glukosa dengan ikatan alfa glikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai karbonnya serta lurus atau bercabang rantai molekulnya (Winarno, 1997).

Pati memegang peranan penting dalam pengolahan pangan terutama karena mensuplai kebutuhan energi manusia di dunia dengan porsi yang tinggi. Lebih dari 80 persen tanaman pangan terdiri dari biji-bijian atau umbi-umbian dan tanaman sumber pati lainnya (Greenwood dan Munro, 1979)

Pati banyak terdapat pada tanaman sebagai cadangan karbohidrat, dan merupakan sumber karbohidrat utama bagi manusia. Pati memiliki karakteristik tertentu berdasarkan bentuk, ukuran, distribusi ukuran, komposisi, dan kekristalan granulanya (Belitz, dan Grosch, 1999). Dalam bentuk aslinya secara alami, pati merupakan butiran-butiran kecil yang disebut granula. Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik setiap jenis pati, karena itu dapat digunakan untuk identifikasi. Selain ukuran granula, karakteristik lain adalah bentuk, keseragaman granula, lokasi hilum, serta permukaan granulanya (Hodge dan Osman, 1976).

Pati tidak larut pada air dingin dan akan membentuk massa pasta yang padat dan keras apabila dicampur dengan air dingin. Oleh karena itulah pati sangat sulit dijadikan massa adonan yang nantinya mengalami pencetakan. Sifat pati jagung berbeda dengan tepung jagung yang


(48)

komposisinya masih lengkap. Pati jagung atau yang dikenal dengan nama dagang maizena merupakan produk utama dari industri penggilingan

jagung dengan teknik basah (wet mill) (Greenwood, 1975).

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik,

yang banyak terdapat pada tumbuhan terutama pada biji-bijian, dan umbi-umbian. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai atom karbonnya, serta lurus atau bercabang. Dalam bentuk aslinya secara alami pati merupakan butiran-butiran kecil yang sering disebut granula. Bentuk ukuran granula merupakan karakteristik setiap jenis pati, karena itu digunakan untuk identifikasi. Selain ukuran granula karakteristik lain adalah bentuk, keseragaman granula, lokasi hilum, serta permukaan granulanya (Hodge dan Osman, 1976).

Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama yaitu amilosa, amilopektin, dan material antara seperti protein dan lemak (Banks dan Greenwood, 1975). Umumnya pati mengandung 12 – 30% amilosa, 75 – 80% amilopektin dan 5 – 10% material antara. Struktur dan jenis material antara tiap sumber pati berbeda tergantung sifat-sifat botani sumber pati tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa pati biji-bijian mengandung bahan antara yang lebih besar dibandingkan pati batang dan pati umbi (Greenwood, 1979).

Pati mempunyai sifat dapat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga dibawah mikroskop akan terlihat hitam putih. Sifat ini disebut sifat birefringence. Pada waktu granula mulai pecah sifat birefrengence ini akan hilang. Kisaran suhu yang menyebabkan 90% butir pati dalam air panas membengkak sedemikian rupa sehingga tidak kembali ke bentuk

normalnya disebut birefrengence end point temperature atau disingkat

BEPT (Winarno, 1997).

Dalam keadaan murni granula pati berwarna putih, mengkilat, tidak berbau dan tidak berasa. Secara mikroskopik terlihat bahwa granula pati dibentuk oleh molekul-molekul yang membentuk lapisan tipis yang tersusun terpusat. Granula pati bervariasi dalam bentuk tidak beraturan demikian juga umurnya, mulai kurang dari 1 mikron sampai 150 mikron


(1)

lalu dilanjutkan ke tahap laminasi menggunakan alat laminator. Tujuan proses ini adalah memipihkan adonan dengan tebal tertentu sehingga mudah dicetak dan membentuk layer (lapisan) pada produk akhir.

Tahap selanjutnya adalah pencetakan adonan yang telah dipipihkan. Dalam pembuatan biskuit kali ini digunakan cetakan berbetuk segi empat (persegi panjang) atau rektangular. Tebal awal adonan adalah 2.50-2.55 cm dengan panjang antara 6.2-6.5 cm dan lebar antara 2.9-3.2 cm. Setelah dicetak, lalu adonan dipanggang pada suhu 180-210 0C menggunakan oven selama ± 5 menit. Kemudian biskuit dipanaskan dalam microwave pada suhu 130 0

C selama ± 8-10 menit. 1. Penelitian Pendahuluan

Formula yang terpilih pada uji variasi bahan pengembang adalah F7 yaitu menggunakan 0.8% sodium bikarbonat, 1 % baking powder dan 0.5% ammonium bikarbonat. Biskuit yang dihasilkan menunjukkan pengembangan yang besar yang ditunjukkan dengan nilai % L increase paling besar yaitu 28.07%. Di samping itu, nilai kehilangan bobot (% weight loss) dari biskuit yang dihasilkan cukup besar yaitu 10.32%.

Pada uji variasi tepung digunakan tiga jenis tepung yaitu soft flour tepung medium, dan tepung roti. Ketiga jenis tepung tersebut berbeda pada kadar proteinnya. Penggunaan soft flour menghasilkan biskuit dengan nilai % weight loss paling kecil dengan daya spread yang cukup besar. Sedangkan penggunaan tepung medium menghasilkan biskuit dengan nilai % L increase paling besar dan % kehilangan bobot lebih tinggi dibandingkan menggunakan soft flour. Penggunaan tepung roti menghasilkan biskuit dengan % kehilangan bobot tinggi dan daya spread paling kecil.

Uji variasi pati terdiri dari 7 formula. Pati yang digunakan adalah pati jagung (maizena) dengan jumlah tertentu. Penggunaan maizena dikombinasikan dengan tepung dengan perbandingan tertentu. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa formula terpilih adalah kombinasi antara 80% soft flour dan 20% maizena dimana menghasilkan biskuit dengan % L increase terbesar yaitu 23.71% dan nilai % WT loss cukup besar yaitu

9.97%. Penggunaan 100% maizena menghasilkan biskuit yang kurang maksimal dimana % L increase lebih kecil yaitu 21.09% dan nilai % WT loss yang tinggi yaitu 11.13%. Di samping itu penggunaan 100% maizena menghasilkan biskuit yang keras dan kering.

Uji variasi shortening terdiri dari 6 formula. Jenis shortening yang digunakan adalah fat shortening yellow, butter, margarin dan minyak nabati (oil). Pada formula yang menggunakan fat shortening yellow, secara umum biskuit yang dihasilkan memiliki tekstur yang lebih baik dibandingkan yang lain. Formula yang terpilih menggunakan 55% fat shortening yellow dengan nilai % L increase paling tinggi yaitu 29.64% dan % WT loss cukup tinggi yaitu 9.74%.

Jumlah variasi yang dilakukan pada uji variasi mixing (pencampuran) sebanyak 8 jenis metode. Secara umum proses pencampuran terbagi menjadi 2 metode yaitu all in method dan creaming method. Variasi yang dilakukan adalah jumlah waktu pencampuran (mixing) yaitu selama 2 menit dan 15 menit untuk kedua metode pencampuran. Berdasarkan hasil penelitian, metode yang menghasilkan biscuit yang maksimal adalah all in method selama 15 menit dimana nilai % L increase paling tinggi yaitu 29.75% dan nilai % WT loss cukup tinggi yaitu 9.05%.

2. Penelitian Utama

Rancangan metode penelitian yang dipakai pada program Design Expert version 7 adalah rancangan Response Surface Methodology (RSM) mixture design. Penggunaan RSM mixture design karena metode rancangan tersebut sesuai dengan faktor perlakuan yang ada pada penelitian ini.

Pada tahap perancangan formula, jumlah soft flour yang digunakan berkisar antara 39.5 – 40% terhadap total bahan, pati modifikasi A dan pati modifikasi B antara 4.0 – 4.5% serta bahan pengembang antara 3.0 – 3.5%. Pada tahap ini ditentukan juga respon yang akan diukur dan dioptimasi. Variabel atau respon yang akan dioptimasi adalah % weight loss (% WT loss), % L increase dan tebal.

Nilai % weight loss menunjukkan persen kehilangan bobot biskuit yang diperoleh dari pengurangan bobot sebelum pemanggangan dengan setelah


(2)

pemanggangan dibagi dengan bobot sebelum pemanggangan dikalikan 100%. Nilai % L increase menunjukkan daya pengembangan (spread) biskuit. Nilai ini diperoleh dari pengurangan luas biskuit setelah pemanggangan dengan sebelum pemanggangan dibagi dengan luas biskuit sebelum pemanggangan dikalikan 100%. Nilai tebal biskuit menunjukkan tebal biskuit setelah pemanggangan.

Formula yang disarankan oleh program Design Expert version 7 adalah 12 formula yang dihasilkan pada tahap rancangan percobaan, seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Rancangan Formulasi Mixture

Design

Formula SF (%)

Pati modifikasi

A (%)

Pati modifikasi

B (%)

F1 39.75 4.50 4.50 F2 40.00 4.50 4.00 F3 40.00 4.25 4.25 F4 40.00 4.00 4.50 F5 40.00 4.50 4.50 F6 39.75 4.25 4.50 F7 39.75 4.50 4.25 F8 40.00 4.25 4.50 F9 40.00 4.50 4.25

F10 39.50 4.50 4.50

F11 39.75 4.25 4.50

F12 39.50 4.50 4.50

Hasil uji dari respon % WT loss pada produk dengan nilai % WT loss berkisar antara 14.43% sampai 19.67% dapat dilihat pada Tabel 2. Nilai rata-rata (mean) dari hasil uji respon % WT loss adalah 17.0075%. Nilai % WT loss yang paling tinggi adalah 19.67% yang terdapat pada formula 3 yaitu menggunakan soft flour sebesar 40%, pati modifikasi A 4.25%, pati modifikasi B 4.25% dan bahan pengembang 3.5%.

Berdasarkan analisis pada program Design Expert version 7 model polinomial dari % WT loss adalah linear. Persamaan polinomial untuk respon skor % WT loss adalah sebagai berikut :

% WT loss = (1481.43 A) + (-37461.4 B) + (62364.07 C) + (-52392.6 D)+ (31366.4 AB) + (-94964.5 AC) + (63165.44 AD) + (122869.8 BC) + (46076.16 BD) + (4542.72 CD)

Ket : A = soft flour B = pati modifikasi A C = pati modifikasi B D = bahan pengembang Tabel 2. Hasil analisis %WT loss

Formula SF

(%) Pati modifikasi

A (%)

Pati modifikasi

B (%) LA (%)

%WT Loss

F1 39.75 4.50 4.50 3.25 17.56 F2 40.00 4.50 4.00 3.50 17.54 F3 40.00 4.25 4.25 3.50 19.67 F4 40.00 4.00 4.50 3.50 16.12 F5 40.00 4.50 4.50 3.00 14.43 F6 39.75 4.25 4.50 3.50 17.67 F7 39.75 4.50 4.25 3.50 15.46 F8 40.00 4.25 4.50 3.25 16.34 F9 40.00 4.50 4.25 3.25 16.09 F10 39.50 4.50 4.50 3.50 17.77 F11 39.75 4.25 4.50 3.50 17.67 F12 39.50 4.50 4.50 3.50 17.77 Gambar 1. menunjukkan hasil nilai % WT loss terhadap komponen bahan baku yang mempengaruhinya yaitu soft flour, pati modifikasi A, pati modifikasi B dengan bahan pengembang sebesar 3.375%.

Gambar 1. Contour plot hasil uji skor % WT loss

Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa terdapat beberapa garis yang menunjukkan nilai respon % WT loss dalam beberapa kombinasi bahan baku berdasarkan persamaan polinomial yang diperoleh. Di samping itu juga dapat dilihat grafik tiga dimensi dari hasil respon % WT loss seperti pada Gambar 2.

Design-Expert® Software %WT loss

19.67

14.43

X1 = A: SF X2 = B: Pati modifikasi A X3 = C: Pati modifikasi B Actual Component D: LA = 3.375

A: SF 39.625

B: Pati modifikasi A 4.125

C: Pati modifikasi B 4.125

4.500 4.500

40.000

%WT loss 16.488 16.8446

17.2012

17.2012 17.5577

17.5577

17.9143 17.9143


(3)

Gambar 2. Grafik tiga dimensi hasil respon % WT loss

Hasil nilai dari respon % L increase pada produk dengan nilai % L increase berkisar antara 2.69% sampai 7.45% dapat dilihat pada Tabel 3. Nilai % L increase paling tinggi yaitu 7.45% terdapat pada formula 7 yang menggunakan soft flour sebesar 39.75%, pati modifikasi A 4.5%, pati modifikasi B 4.25% dan bahan pengembang 3.5%.

Tabel 3. Hasil analisis % L increase

Formula SF (%) Pati modifikasi

A (%)

Pati modifikasi

B (%) LA (%)

% L increase

F1 39.75 4.50 4.50 3.25 2.69

F2 40.00 4.50 4.00 3.50 4.98

F3 40.00 4.25 4.25 3.50 3.76

F4 40.00 4.00 4.50 3.50 5.66

F5 40.00 4.50 4.50 3.00 6.81

F6 39.75 4.25 4.50 3.50 5.73

F7 39.75 4.50 4.25 3.50 7.45

F8 40.00 4.25 4.50 3.25 5.33

F9 40.00 4.50 4.25 3.25 4.48

F10 39.50 4.50 4.50 3.50 5.22 F11 39.75 4.25 4.50 3.50 5.73 F12 39.50 4.50 4.50 3.50 5.22

Berdasarkan analisis pada program Design Expert version 7 model polinomial dari % L increase adalah linear.

Persamaan polinomial untuk respon skor % L increase adalah sebagai berikut : % L increase = (-1118.49 A) + (-2137.69 B) + (-69138.6 C) + (118260 D) + (12546.56 AB) + (101670.4 AC) + (-143853 AD) + 67491.8 BC) + 39153.9 BD) + (-61218.6 CD)

Ket : A = soft flour B = pati modifikasi A C = pati modifikasi B D = bahan pengembang

Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa terdapat beberapa garis yang menunjukkan nilai respon % L increase dalam beberapa kombinasi bahan baku berdasarkan persamaan polinomial yang diperoleh dengan bahan pengembang sebesar 3.375%. Di samping itu juga dapat dilihat grafik tiga dimensi dari hasil respon % WT loss seperti pada Gambar 4.

Gambar 3. Contour Plot Hasil Uji Skor % L increase

Gambar 4. Grafik tiga dimensi hasil respon % L increase

Hasil uji dari respon tebal (cm) pada produk dengan nilai tebal berkisar antara 0.712 cm sampai 0.828 cm menggunakan alat ukur sigmat dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai tebal yang paling tinggi adalah 0.828 cm terdapat pada formula 6 dan 10. Formula 6 menggunakan soft flour sebesar 39.75%, pati modifikasi A 4.25%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.5%. Sedangkan pada formula 10 digunakan soft flour sebesar 39.5%, pati

Design-Expert® Software %L increase

7.45

2.69

X1 = A: SF X2 = B: Pati modifikasi A X3 = C: Patii modifikasi B Actual Component D: LA = 3.375

A: SF 39.625

B: Pati modifikasi A 4.125

C: Pati modifikasi B

4.125

4.5 4.5

40 %L increase

3.48125 3.83875

4.19625 4.19625

4.55375 4.55375

4.91125


(4)

modifikasi A 4.5%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3%.

Tabel 4. Hasil analisis respon tebal (cm)

Formula SF (%) Pati modifikasi

A (%)

Pati modifikasi

B (%) LA

(%) tebal(cm)

F1 39.75 4.50 4.50 3.25 0.8020 F2 40.00 4.50 4.00 3.50 0.7470 F3 40.00 4.25 4.25 3.50 0.7195 F4 40.00 4.00 4.50 3.50 0.7935 F5 40.00 4.50 4.50 3.00 0.7120 F6 39.75 4.25 4.50 3.50 0.8280 F7 39.75 4.50 4.25 3.50 0.7250 F8 40.00 4.25 4.50 3.25 0.7375 F9 40.00 4.50 4.25 3.25 0.7758 F10 39.50 4.50 4.50 3.50 0.8280 F11 39.75 4.25 4.50 3.50 0.8170 F12 39.50 4.50 4.50 3.50 0.8000 Persamaan polinomial untuk optimasi produk pada respon tebal adalah sebagai berikut.

Tebal = (-3.7619 A) + (-415.238 B) + (1881.404 C) + (-1431.35 D) + (811.2 AB) + 2401.15 AC) + (1687.296 AD) + (-2195.65 BC) + (-659.776 BD) + (2003.123 CD)

Ket : A = soft flour B = pati modifikasi A C = pati modifikasi B D = bahan pengembang

Gambar 5. Contour plot Hasil Respon Tebal

Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa terdapat beberapa garis yang menunjukkan nilai respon tebal dalam beberapa kombinasi bahan baku berdasarkan persamaan polinomial yang diperoleh. Di samping itu juga dapat dilihat grafik tiga dimensi dari hasil respon tebal seperti pada Gambar 6.

Gambar 6. Grafik tiga dimensi hasil respon tebal

3. Optimasi Formula

Setelah mendapatkan data Anova dari ketiga respon, maka dilanjutkan pada optimasi produk. Pada penelitian ini proses optimasi dilakukan untuk mencapai komposisi atau formula yang paling optimal yaitu dengan desirability mendekati 1. Parameter yang dioptimasi pada penelitian ini adalah bahan baku utama yaitu soft flour, pati modifikasi A, pati modifikasi B dan bahan pengembang.

Optimasi yang dilakukan adalah dengan mengoptimalkan jumlah soft flour yaitu antara 39 - 40% dan target komponen adalah in range. Jumlah pati modifikasi A dioptimalkan antara 4-4.5% dan target komponen adalah in range. Jumlah pati modifikasi B dioptimalkan antara 4-4.5% dan target komponen adalah in range. Untuk jumlah bahan pengembang dioptimalkan antara 3-3.5% dan target komponen adalah in range. Skor respon tebal dioptimalkan antara 0.712-0.828 cm dengan target maximize. Skor respon % WT loss dioptimalkan antara 14.43% - 19.67% dengan target in range. Skor respon % L increase dioptimalkan antara 2.69% - 7.45% dengan target in range. Semuanya memiliki tingkat rangking 3 (+++).

Formula dari proses optimasi yang disarankan oleh program Design Expert

Design-Expert® Software tebal

0.828

0.712

X1 = A: SF X2 = B: Pati modifikasi A X3 = C: Pati modifikasi B Actual Component D: LA = 3.375

A: SF 39.625

B: Pati modifikasi A 4.125

C: Pati modifikasi B4.125

4.5 4.5

40

teb al 0.751713

0.76492 0.76492

0.778128 0.791335 0.804543


(5)

version 7 adalah formula ke-1 (F new 1) dengan komposisi soft flour 39.62%, pati modifikasi A 4.318%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.5%. Formula ini diprediksi akan menghasilkan biskuit dengan tebal 0.823901 cm, nilai % WT loss 17.84%, nilai % L increase 5.65% dan nilai desirability sebesar 0.964662 artinya formula tersebut akan menghasilkan produk yang memiliki karakteristik yang paling optimal dan sesuai dengan keinginan kita sebesar 96.47%. Selanjutnya formula yang disarankan divalidasi untuk dibuktikan kebenarannya

.

Gambar 7. Contour plot desirability produk terhadap formulasi

Gambar 8. Grafik tiga dimensi desirability produk terhadap formulasi Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa terdapat beberapa garis yang menunjukkan nilai desirability dalam beberapa kombinasi bahan baku. Nilai desirability sebesar 0.965 berarti kemampuan formula dalam menghasilkan produk yang optimum sesuai dengan keinginan kita. Di samping itu juga dapat dilihat grafik tiga dimensi dari hasil nilai desirability seperti pada Gambar 8.

Faktor-faktor yang mempengaruhi desirability antara lain kompleksitas jumlah komponen, beberapa kendala dalam formulasi dan target. Kompleksitas jumlah komponen dapat terlihat pada persyaratan jumlah bahan baku yang dianggap penting dan berpengaruh terhadap produk untuk menentukan formulasi. Jumlah masing-masing bahan baku ditentukan dalam selang yang berbeda-beda yang akan berpengaruh pada nilai desirability. Beberapa kendala dalam formulasi antara lain jumlah bahan baku yang ditentukan oleh formulator yang akan mempengaruhi formula yang disarankan oleh progran Design Expert version 7. Semakin lebar selang jumlah bahan baku, formula yang disarankan akan semakin banyak sehingga penentuan formula yang optimum dengan nilai desirability yang tinggi oleh program akan semakin sulit. Dalam hal ini berarti nilai desirability yang dihasilkan kemungkinan rendah. Faktor yang ketiga yaitu target untuk masing-masing respon. Nilai masing-masing respon berbeda targetnya satu sama lain sesuai dengan keinginan formulator, sehingga akan berpengaruh terhadap nilai desirability.

4. Validasi

Setelah program Design Expert version 7 merekomendasikan 1 formula terpilih dengan nilai desirability tertentu lalu dilakukan pembuktian terhadap dugaan nilai tebal produk berdasarkan formula terpilih. Hal ini digunakan untuk validasi formula yang direkomendasikan oleh program Design Expert version 7 yang dianggap akan menghasilkan produk yang optimum dengan nilai desirability tertentu. Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran diperoleh bahwa validasi formula F ke-1 (F new 1) menghasilkan biskuit dengan tebal 0.95 cm, % WT loss 18.03% dan % L increase 4.53%. Nilai respon tebal jauh di atas nilai dugaan yaitu 0.823901 cm. Nilai % WT loss yang diperoleh juga lebih besar dari nilai dugaan. Hal ini berarti bahwa formula yang direkomendasikan oleh program Design Expert version 7 yang dianggap sebagai formula yang optimum terbukti untuk respon tebal dan % WT loss. Sedangkan nilai % L increase yang diperoleh pada tahap validasi lebih kecil dari nilai dugaan, namun tidak terlalu berbeda.

Design-Expert® Software Desirability

Design Points 1

0

X1 = A: SF X2 = B: pati modifikasi A X3 = C:Pati modifikasi B Actual Component D: LA = 3.500

A: SF 39.5

B: Pati modifikasi A 4

C: Pati modifikasi B 4.000

4.500 4.5

40

Desirability

0.196

0.196 0.349

0.503 0.657 0.811

2 2

2 2


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.http://www.statease.com/soft_ftp.ht ml

Brose, E., Gunter Becker & Wolfgang Bouchain. 1996. Chemical Leavening Agents. Universitatsdruckerei Und Verlag H. Schmidt Mainz.

Matz, S.A. 1978. Cookies and Crackers Technology. The AVI Publishing Company Inc. Westport, Connecticut. Soekarto, S.T. 1990. Dasar-Dasar

Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Standar Industri Indonesia (SII). 1990. Standar Mutu dan Cara Uji Biskuit. No. 0177-1990.

Whiteley, P.R. 1971. Biscuits Manufacture. Applied Science Publishing. Jakarta.