1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Audit dirancang untuk memberikan keyakinan bahwa laporan keuangan tidak dipengaruhi oleh salah saji mistatement yang material dan
juga memberikan keyakinan yang memadai atas akuntabilitas manajemen atas aktiva perusahaan. Salah saji itu terdiri dari dua macam yaitu kekeliruan
error dan kecurangan fraud. Kasus-kasus skandal akuntansi dalam tahun- tahun belakangan ini memberikan bukti lebih jauh tentang kegagalan audit
yang membawa akibat serius bagi masyarakat bisnis. Kasus seperti itu terjadi pada perusahaan besar seperti Enron, Global Crossing, dan Worldcom di
Amerika Serikat yang mengakibatkan kegemparan besar dalam pasar modal, kasus serupa juga terjadi di Indonesia seperti yang terjadi pada PT Kimia
Farma. Meski beberapa salah saji yang terjadi belum tentu terkait dengan kecurangan, tetapi faktor-faktor risiko yang berkaitan dengan kecurangan oleh
manajemen terbukti ada pada kasus-kasus ini. Faktor pengalaman memegang peranan yang penting agar auditor
dapat mendeteksi adanya tindak kecurangan, karena pengalaman yang lebih akan menghasilkan pengetahuan yang lebih Christ, 1993 dalam Noviyani dan
Bandi, 2002.
Seseorang yang
melakukan pekerjaan
sesuai dengan
pengetahuan yang dimilikinya akan memberikan hasil yang lebih baik daripada mereka yang tidak mempunyai pengetahuan cukup atas tugasnya.
2 Libby 1995 dalam Koroy 2005 menyatakan bahwa pekerjaan auditor
adalah pekerjaan
yang melibatkan
keahlian expertise.
Semakin berpengalaman seorang
auditor maka semakin mampu dia menghasilkan kinerja yang lebih baik dalam tugas-tugas yang semakin kompleks, termasuk
dalam mengungkap tindakan kecurangan fraud yang kerap terjadi dalam suatu perusahaan.
Penelitian Sularso dan Na’im 1999 tentang analisis pengaruh pengalaman akuntan pada pengetahuan dan penggunaan intuisi dalam
mendeteksi kekeliruan didapat hasil akuntan pemeriksa berpengalaman memiliki ketelitian yang lebih tinggi mengenai kekeliruan, dan akuntan
pemeriksa berpengalaman menggunakan intuisi lebih banyak dibandingkan dengan akuntan pemeriksa yang tidak berpengalaman.
Penelitian yang hampir sama tentang pengalaman auditor juga dilakukan oleh Noviyani dan Bandi 2002. Penelitian dilakukan untuk
melihat pengaruh pengalaman dan pelatihan terhadap struktur pengetahuan auditor tentang kekeliruan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pengalaman
akan berpengaruh positif terhadap pengetahuan auditor tentang jenis kekeliruan. Hal senada juga ditemukan pada penelitian Bulchia 2008 yang
menemukan bahwa auditor yang memiliki pengalaman cenderung lebih dapat mendeteksi kecurangan dibanding dengan auditor yang memiliki kurang
pengalaman. Dalam rangka memenuhi persyaratan sebagai seorang profesional,
auditor harus menjalani pelatihan yang cukup. Pelatihan tersebut dapat berupa
3 kegiatan-kegiatan seperti seminar, simposium, lokakarya pelatihan dan
kegiatan penunjang keterampilan lainnya. Melalui program pelatihan para auditor juga mengalami proses sosialisasi agar dapat menyesuaikan diri
dengan perubahan situasi yang akan ditemui Noviyani dan Bandi, 2002. Lebih jauh, Noviyani dan Bandi 2002 juga mendapatkan hasil bahwa
pelatihan lebih yang didapatkan oleh auditor akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perhatian auditor pada departemen tempat kekeliruan
terjadi. Eynon dkk 1994 dalam Noviyani dan Bandi 2002 mengatakan
bahwa pelatihan perlu dilakukan untuk membangun kesuksesan akuntan dan pendapat Boner dan Walker 1994 dalam Noviyani dan Bandi 2002 yang
menyatakan bahwa pengalaman yang didapat dari program khusus, dalam hal ini melalui program pelatihan mempunyai pengaruh yang lebih besar dalam
peningkatan keahlian daripada yang didapat dari program tradisional, dalam hal ini hanya dengan kurikulum yang ada tanpa pelatihan.
Fullerton dan Durtschi 2004 melakukan penelitian mengenai pengaruh skeptisisme profesional auditor dan pelatihan auditor terhadap
kemampuan auditor dalam mengungkap kecurangan dan mendapatkan hasil bahwa dalam jangka pendek pelatihan auditor akan membuat kemampuan
auditor internal untuk dapat mengungkap kecurangan menjadi meningkat. Noviyanti 2007 dalam Herman 2009 menyatakan bahwa seorang
auditor dalam menjalankan penugasan audit di lapangan, seharusnya tidak hanya sekedar mengikuti prosedur audit yang tertera dalam program audit,
4 tetapi juga harus disertai dengan sikap skeptisisme profesional sebagai sikap
auditor yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit. Seorang auditor yang tidak skeptis,
tidak akan menerima begitu saja penjelasan dari klien, tetapi akan mengajukan pertanyaan untuk memperoleh alasan, bukti dan konfirmasi mengenai objek
yang dipermasalahkan. Tanpa menerapkan skeptisisme profesional, auditor hanya akan menemukan salah saji yang disebabkan oleh kekeliruan saja dan
sulit untuk menemukan salah saji yang disebabkan oleh kecurangan, karena kecurangan biasanya akan disembunyikan oleh pelakunya.
Fullerton dan Durtschi 2004 menemukan bahwa auditor yang memiliki sikap skeptisisme profesional yang tinggi akan membuat auditor
tersebut untuk selalu mencari informasi yang lebih banyak dan lebih signifikan daripada auditor yang memiliki tingkat skeptisisme profesional
yang rendah, dan hal ini mengakibatkan auditor yang memiliki tingkat skeptisisme profesional yang tinggi akan lebih dapat mendeteksi adanya fraud
karena informasi tambahan yang mereka miliki tersebut. Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Herman
2009, dan Fullerton dan Durtschi 2004. Herman 2009 meneliti tentang pengaruh
pengalaman dan
skeptisisme profesional
auditor terhadap
pendeteksian kecurangan, sedangkan Fullerton dan Durtschi 2004 meneliti tentang pengaruh skeptisisme profesional auditor terhadap kemampuan
mendeteksi kecurangan.
5 Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, yaitu:
Fullerton dan Durtschi 2004 melakukan penelitiannya di Canada, Amerika Serikat sedangkan penelitian ini dilakukan di Jakarta, Indonesia. Fullerton dan
Durtschi 2004 mengambil sampel penelitian terbatas hanya pada auditor internal sedangkan penelitian ini mengambil sampel hanya pada auditor
eksternal, karena tanggung jawab untuk dapat mengungkap kecurangan fraud bukan hanya milik auditor internal namun juga auditor eksternal.
Perbedaan lainnya antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah bahwa Herman 2009 dan Fullerton dan Durtschi 2004 menggunakan 2
variabel independen,
yaitu: Herman
2009 menggunakan
variabel pengalaman dan skeptisisme profesional auditor serta Fullerton dan Durtschi
2004 menggunakan variabel skeptisisme profesional auditor dan pelatihan auditor. Sedangkan penelitian ini menggunakan 3 variabel independen, yaitu:
pengalaman, pelatihan, dan skeptisisme profesional auditor. Penggunaan ketiga variabel tersebut dirasa perlu oleh peneliti mengingat kemampuan
auditor untuk dapat mendeteksi kecurangan didapat bukan saja dari teori pemeriksaan akuntansi auditing yang didapatnya selama masa kuliah, tetapi
lebih banyak didapat dari pengalaman selama melakukan audit dan dari pelatihan yang diikutinya sehingga pengetahuan dan wawasan auditor
mengenai kecurangan fraud bertambah. Selain itu, auditor harus memiliki sikap skeptisisme profesional agar auditor dapat mendeteksi kecurangan,
bahkan American Institute of Certified Public Accountants AICPA memberi
6 penekanan khusus mengenai skeptisisme profesional tersebut dalam SAS No.
99. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulis merasa tertarik untuk
meneliti lebih jauh mengenai “Pengaruh Pengalaman, Pelatihan dan Skeptisisme Profesional Auditor Terhadap Pendeteksian Kecurangan”
.
B. Perumusan Masalah