13 pemerintahan disebut auditor pemerintah, auditor yang bekerja sebagai
lembaga tersendiri disebut auditor eksternal, sedangkan auditor yang bertugas untuk melakukan penyidikan pajak disebut auditor pajak.
B. Pengalaman, Pelatihan dan Skeptisisme Profesional Auditor
1. Pengalaman Auditor Menurut The Oxford English Dictionary 1978 pengalaman adalah
pengetahuan atau keahlian yang didapat dari pengamatan langsung atau partisipasi dalam suatu peristiwa dan aktivitas yang nyata, sedangkan
menurut Longman Advanced American Dictionary 2008 pengalaman adalah kejadian dan pengetahuan yang dialami atau dibagi kepada orang
lain dalam kelompok tertentu. Dari dua pengertian di atas dapat diambil pengertian bahwa pengalaman merupakan pengetahuan, keahlian atau
kejadian yang dialami sendiri atau orang lain yang terjadi dalam suatu peristiwa dan aktivitas yang nyata.
Pengalaman merupakan
suatu proses
pembelajaran dan
pertambahan perkembangan potensi bertingkah laku baik dari pendidikan formal maupun non formal atau bisa diartikan sebagai suatu proses yang
membawa seseorang kepada suatu pola tingkah laku yang lebih tinggi. Sedangkan menurut Suraida 2005, pengalaman audit dapat diartikan
sebagai pengalaman auditor dalam melakukan audit laporan keuangan baik dari segi lamanya waktu maupun banyaknya penugasan yang pernah
ditangani. Pengalaman audit akan membentuk seorang akuntan publik menjadi terbiasa dengan situasi dan keadaan dalam setiap penugasan.
14 Herliansyah dan Ilyas 2006 menyatakan bahwa pengalaman kerja telah
dipandang sebagai suatu faktor penting dalam memprediksi kinerja akuntan publik sehingga faktor pengalaman dimasukkan sebagai salah satu
persyaratan dalam memperoleh ijin menjadi akuntan publik SK Menkeu No. 43KMK.0171997.
Pengalaman kerja
dapat memperdalam
dan memperluas
kemampuan kerja. Semakin sering seseorang melakukan pekerjaan yang sama, semakin terampil dan semakin cepat dia menyelesaikan pekerjaan
tersebut, dan semakin banyak macam pekerjaan yang dilakukan seseorang, pengalaman kerjanya semakin kaya dan luas dan memungkinkan
peningkatan kinerja auditor. Pengalaman berdasarkan lama bekerja merupakan pengalaman
auditor yang dihitung berdasarkan satuan waktu. Sehingga auditor yang telah lama bekerja sebagai auditor dapat dikatakan auditor yang
berpengalaman. Karena semakin lamanya bekerja menjadi auditor, maka akan dapat menambah dan memperluas pengetahuan auditor di bidang
akuntansi dan auditing. Begitu pula dengan banyaknya jumlah penugasan yang telah
dilakukan oleh auditor dapat meningkatkan pengetahuan karena adanya kompleksitas transaksi keuangan perusahaan yang diaudit. Pengalaman
berdasarkan lama bekerja dan banyaknya jumlah penugasan saling berkaitan erat, karena semakin lamanya seseorang menjadi auditor,
tentunya jumlah penugasan yang pernah dilakukan pun akan semakin
15 banyak. Libby 1995 dalam Koroy 2005 menyatakan bahwa pekerjaan
auditor adalah pekerjaan yang melibatkan keahlian expertise. Semakin berpengalaman seorang auditor maka semakin mampu dia menghasilkan
kinerja yang lebih baik dalam tugas-tugas yang semakin kompleks, termasuk dalam mengungkap tindakan kecurangan fraud yang kerap
terjadi dalam suatu perusahaan. Dan menurut Mayangsari 2003 auditor yang berpengalaman memiliki keunggulan dalam hal pendeteksian
kesalahan, memahami kesalahan secara akurat dan mencari penyebab kesalahan.
2. Pelatihan Auditor Definisi pelatihan menurut Tanjung dan Arep 2002 dalam
Bulchia 2008 adalah sebagai berikut: Pelatihan merupakan salah satu usaha untuk mengembangkan sumber daya
manusia, terutama dalam hal pengetahuan knowledge, kemampuan ability, keahlian skill dan sikap attitude.
Pelatihan merupakan bagian dari suatu proses pendidikan yang tujuannya untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan khusus
seseorang atau kelompok orang Notoatmodjo, 1998 dalam Ayuni, 2008. Pelatihan
adalah suatu
proses pendidikan
jangka pendek
yang menggunakan
prosedur sistematis
dan terorganisir
dimana staf
mempelajari pengetahuan dan keterampilan teknis dalam tujuan yang terbatas Mangkunegara, 2000 dalam Ayuni, 2008.
Berdasarkan kedua pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan merupakan suatu proses pendidikan jangka pendek guna
16 memperoleh dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang
khusus agar mampu untuk melakukan sesuatu. Pengetahuan yang harus dimiliki dan didapat oleh auditor tersebut yaitu pengetahuan mengenai hal-
hal yang berkaitan dengan tindakan kecurangan fraud, sehingga tindak kecurangan fraud yang kerap terjadi dalam suatu organisasi dapat
dicegah dan di deteksi keberadaannya. Pelatihan di bidang fraud auditing merupakan salah satu kegiatan
pengembangan auditor untuk meningkatkan kualitas auditnya. Dengan adanya pelatihan ini, diharapkan dapat meningkatkan kinerja dan
produktifitas auditor, yang pada akhirnya akan meningkatkan produktifitas Kantor Akuntan Publik KAP secara keseluruhan. Sebaiknya pelatihan
dan pengembangan auditor dilakukan secara berkala dan teratur. Pelatihan perlu dibedakan dari pendidikan. Menurut Notoatmodjo
1998 dalam Ayuni 2008 pendidikan adalah suatu proses pengembangan kemampuan ke arah yang diinginkan. Pendidikan di sini adalah pendidikan
jangka panjang atau pendidikan formal yang telah didapat oleh seorang auditor. Sedangkan pendidikan jangka pendek disebut dengan pelatihan.
Perbedaan istilah pendidikan dan pelatihan dalam suatu institusi secara teori dapat dilihat pada tabel berikut:
17
Tabel 2.1 Perbedaan Pendidikan dan Pelatihan
No. Uraian
Pendidikan Pelatihan
a Pengembangan Kemampuan
Menyeluruh Spesifik
b Area Kemampuan
Kognitif, afektif dan psikomotor
Psikomotor c
Jangka waktu pelaksanaan Panjang
Pendek d
Materi yang diberikan Lebih umum
Lebih khusus e
Penekanan penggunaan metode belajar mengajar
Konvensional Inkonvensional
f Penghargaan akhir proses
Gelar Sertifikat
3. Skeptisisme Profesional Auditor Skeptisme profesional professional scepticism sebagaimana yang
didefinisikan dalam PSA No. 70 tentang pertimbangan atas kecurangan dalam audit laporan keuangan adalah PSA No. 70, paragraf 27:
Suatu sikap yang mencakup pikiran bertanya dan penentuan secara kritis bukti audit
Sedangkan AICPA mendefinisikannya sebagai berikut AU 316: Professional skepticism in auditing implies an attitude that includes a
questioning mind and a critical assessment of audit evidence without being obsessively suspicious or skeptical. The Auditors are expected to exercise
professional skepticism in conducting the audit, and in gathering evidence sufficient to support or refute management’s assertion
Hurtt, Eining, dan Plumlee 2003 dalam Kopp, dkk 2003 telah membangun sebuah model yang dapat menguraikan masalah skeptisisme
profesional dalam konteks audit laporan keuangan ini. Model yang mereka buat tersebut mengatakan bahwa skeptisisme profesional auditor terdiri
dari 6 karakteristik, yaitu: 1 Pikiran yang selalu bertanya-tanya, 2 tidak
18 cepat mengambil keputusan, 3 selalu mencari tahu, 4 mengerti antar-
perorangan 5 percaya diri, dan 6 memiliki keteguhan hati. Kemudian keenam hal ini akan membawa seorang auditor pada 4 peningkatan sikap
skeptis, yaitu peningkatan dalam hal pencarian tambahan, pendeteksian hal-hal yang kontradiktif, alternatif hal-hal yang mungkin terjadi, dan
penelitian cermat atas keandalan suatu sumber. Skeptisisme profesional perlu dimiliki oleh auditor terutama pada
saat memperoleh dan mengevaluasi bukti audit. Auditor tidak boleh mengasumsikan begitu saja bahwa manajemen adalah tidak jujur, tetapi
auditor juga tidak boleh mengasumsikan bahwa manajemen sepenuhnya jujur IAI, 2000, SA Seksi 230; AICPA, 2002, AU 230. Pernyataan yang
hampir sama juga terdapat pada ISA No. 200 IFAC, 2004 yang mengatakan bahwa auditor harus merencanakan dan melaksanakan audit
dengan sikap skeptisisme profesional, dengan mengakui bahwa ada kemungkinan terjadinya salah saji dalam laporan keuangan.
Skeptisisme profesional auditor merupakan sikap attitude auditor dalam melakukan penugasan audit dimana sikap ini mencakup pikiran
yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit. Karena bukti audit dikumpulkan dan dinilai selama
proses audit, maka skeptisisme profesional harus digunakan selama proses tersebut IAI, 2000, SA seksi 230; AICPA, 2002, AU 230. Skeptisisme
merupakan manifestasi dari obyektivitas. Skeptisisme tidak berarti bersikap sinis, terlalu banyak mengkritik, atau melakukan penghinaan.
19 Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa
skeptisisme profesional auditor adalah sikap seorang auditor yang seimbang antara curiga dan percaya atas informasi yang didapatnya selama
proses audit yang dilakukan.
C. Kecurangan Fraud