Visi dan Misi The Wahid Institute

40 kepercayaan maupun orang yang tidak beragama harus tetap dilindungi. Begitu juga, dengan aliran-aliran agama baru di Indonesia. 22 Jadi, persoalan kebebasan beragama harus terpatri pada setiap individu untuk menghormati kepercayaan pemeluk agama lain dalam kehidupan beragma dan bernegara. Kemudian, pemerintah sebagai lembaga negara harus melindungi kelompok minoritas serta aliran kepercayaan. Bahkan, yang lebih penting lagi pemerintah serta para penegak hukum menjalankan konstitusi negara, dan undang-undang kovenanan hak sipil dan politik tahun 2005 tersebut. Sedangkan untuk sumber dana The Wahid Institute bersumber dari; keluarga Gus Dur, Yayasan Tifa, Asia Foundation, Kedutaan Australia, Kedutaan Amerika Serikat AS. 23

C. Pluralisme dan Toleransi di Indonesia

C.1 Pluralisme Merujuk kamus besar Bahasa Indonesia, Pluralisme ialah keadaam masyarakat yang majemuk. 24 Secara terminologis, “plural” adalah bentuk dasar dari kata pluralisme, yang artinya lebih dari satu. Sedangkan secara etimologi, memiliki banyak arti, Sebagian ada yangg berpendapat, pluralisme adalah sebuah pengakuan hukum Tuhan yang menciptakan manusia yang tidak hanya terdiri dari etnis, suku, warna kulit dan satu kelompok saja. Jadi, pluralisme mengakui adanya perbedaan dimana-mana. 22 Wawancara Pribadi dengan Bapak Alamsyah M. Dja’far, pada 10 Januari 2014. 23 Wawancara Pribadi dengan Ahmad Suaedy, pada 24 Desember 2013. 24 Pusat Bahasa Departemen pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 2007, 883. 41 Menurut pandangan Cak Nur, pluralisme adalah sistem nilai yang memandang positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri. Pluralisme adalah sebuah paham yang menegaskan bahwa perbedaan-perbedaan diantara manusia merupakan keniscayaan yang harus diterima. 25 Pluralisme adalah perangkat budaya untuk mendorong pengayaan budaya bangsa. Maka, budaya Indonesia tidak lain adalah hasil interaksi yang kaya resourcefull dan dinamis antar pelaku budaya yang beranekaragam. Jadi, pluralisme tidak hanya dimaknai sebagai kemajemukan, beranekaragam, atau terdiri dari berbagai suku atau agama, justru menggambarkan perpecahan, bukan pluralisme. Pluralisme tidak boleh dipahami sebagai kebaikan negatif negative good, yang dilihat dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Seharusnya, pluralisme dipahami sebagai pertalian sejati kebihenekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan, pluralisme suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan antar mahluk Tuhan. Dalam kitab suci Al- Qur’an, Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antar sesama, hal ini merupakan kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia. ”Seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan golongan yang lain, maka pastilah bumi akan 25 Miftahul Arief, “Menebar Kembali Pluralisme Agama” Buletin Kebebasan, Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Edisi No. 03V2007, 12. 42 hancur, namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam”. Q.S. Al-Baqarah, ayat 251. 26 Menurut Gus Dur, pluralisme berkaitan dengan gagasan kebangsaan. Pluralitas dalam kehidupan berbangsa menurutnya, adanya status antar golongan mayoritas dan golongan minoritas agama dalam kehidupan berbangsa. 27 Pluralisme adalah upaya untuk membangun tidak saja persoalan normatif teologis tetapi kesadaran sosial, dimana kita hidup di tengah-tengah masyarakat yang plural dari segi agama, sosial, etnis, dan berbagai keragaman sosial lainnya. Oleh karena itu, pluralisme bukan teologis semata, melainkan konsep sosiologis. 28 Gus Dur juga menegaskan hal tersebut, bahwa keberagaman adalah rahmat yang telah digariskan Allah. Menolak kemajemukan sama halnya mengingkari pemberian Ilahi. Perbedaan merupakan kodrat manusia. Karena perbedaan itu rahmat, Gus Dur optimis bahwa keberagaman akan membawa kemaslahatan bangsa bukan memecah bangsa. Kemudian, Gus Dur mendasarkan perlunya universal-kebebasan, keadilan, dan musyawarah untuk menghadirkan pluralisme sebagai agen kemaslahatan bangsa. 29 Sedangkan menurut Syafii Maarif, pluralitas etnis, bahasa lokal, agama, dan latar belakang sejarah, kita jadikan sebagai mozaik kultural yang sangat kaya, 26 Nurchol ish Madjid, “Asas-asas Pluralisme dan Toleransi dalam Masyarakat Madani,” dalam Abuddin Natta, ed., Problematika Politik Islam di Indonesia Jakarta: PT. Grasindo, dan UIN Jakarta Press, 2002, 5. 27 Ahmad Amir Azis, Neo Modernisme Islam di Indonesia Gagasan Sentral Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid, 61. 28 Moh Shofan, Pluralisme Menyelamatkan Agama-agama Yogyakarta, Samudra Biru, 2011, 48. 29 Benyamin F Intan, “Gus Dur pejuang Pluralisme Sejati”, dalam Rumadi, ed., Damai Bersama Gus Dur Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2010, 70. 43 demi terciptanya sebuah taman sari Indonesia yang memberikan kenyamanan bagi siapa saja yang menghirup udara di Nusantara ini. 30 Pluralisme lebih identik dengan paham masyarakat terbuka open society yang diperkenalkan oleh filsuf dan di kembangkan oleh Karl Poper. Paham masyarakat terbuka ini memungkinkan tegaknya demokrasi dan mencegah setiap bentuk otoritarianisme. Selain itu, masyarakat terbuka mengandung inovasi dan perkembangan ilmu pengetahuan yang akan mendorong masyarakat kearah yang lebih baik. 31 Oleh karena itu, pluralisme merupakan keberagaman untuk menyatukan berbagai aspek budaya, etnis, agama, dan golongan. Dengan adanya pluralisme dapat mewujudkan masyarakat yang berperadaban, dan taat pada hukum. Pluralisme sebagai hal yang paling penting bagi kehidupan bernegara dan beragama untuk menanamkan nilai-nilai kebersamaan, toleransi, kebhienekaan dan nilai demokrasi. Namun, pluralisme tidak akan tewujud tanpa adanya kesadaran sosial yang tinggi dalam menghormati perbedaan agama, etnik dan golongan. Kemudian, adanya peran pemerintah dalam menjalankan konstitusi dan bersikap adil bagi semua kelompok. Dalam masyarakat plural, setiap toleransi sangat dibutuhkan. Sebab tanpa toleransi, pluralisme sangat rentan dipecah-belah. Hal ini pula yang terjadi di Indonesia saat ini. Masyarakat Indonesia yang plural baik etnis, ras maupun agama, tapi tidak di barengi dengan toleransi, sering mengakibatkan konflik 30 Ahmad Syafii Maarif, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Indonesia, makalah Orasi Ilmiah disampaikan pada acara Nurcholis Madjid Memorial Lecture Jakarta; Paramadina, 21 Oktober 2009, 14. 31 M Dawam Rahadjo, “Meredam Konflik: Merayakan Multikulturalisme” Buletin Kebebasan, Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Edisi No. 04V2007, 6.