Civil Society dan Demokrasi

25 demokrasi dapat mempersatukan kekuatan-kekuatan bangsa. 33 Begitu juga organisasi Muhammadiyah 34 yang memiliki kesamaan karakter dengan masyarakat madani yang mempunyai keyakinan nilai-nilai ilahiah, demokratis, berkeadilan, otonom, berkemajuan dan berahlak muliah al-ahlakul karimah. 35 Oleh karena itu, civil society sebagai ujung tombak penegakan demokrasi di Indonesia. Maka, dengan adanya civil society memungkinkan tumbuhnya diskusi dan kerja sama memupuk kepercayaan terhadap orang lain, menjalin persaudaraan, dan kerja sama dengan umat lain adalah modal sosial untuk meretas kecurigaan, melampaui rasa toleran, dan permusuhan. Dengan demikian, demokrasi bukan sekadar prosedur kekuasaan, bukan pula sebagai sistem yang ditentukan oleh mereka yang mayoritas. Demokrasi adalah pengakuan dan penerimaan terhadap prinsip-prinsip kesetaraan, kebebasan, toleransi, pluralisme, keadilan, pengakuan terhadap hak-hak umat beragama, hak hidup, hak untuk memperoleh kekayaan, dan kepada kelompok minoritas. Namun, perjuangan civil society terhadap demokrasi tidak akan berjalan dengan mulus. Tentu akan ada hambatan yang dialami civil society dalam menegakan demokrasi. Misalnya, dengan munculnya kelompok radikal yang mengancam kebebasan beragama, penegakkan hukum yang dipandang masih 33 Al – Zastrouw, “Gus Dur dan Demokrasi” dalam M. Fajrul Falakh dkk., Membangun Budaya Kerakyatan: Kepemimpinan Gus Dur dan Gerakan Sosial NU Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997, 136 34 Organisasi Muhammadiyah didirikan pada 18 November 1912, 7 Djulhijjah 1330 H. Oleh Kiyai Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1868 dengan nama Muhammad Darwis. Ayahnya K.H. Abubakar adalah imam dan khatib masjid besar Kauman Yogyakarta. Sementara Ibunya adalah anak K.H. Ibrahim. Menurut silsilah, keluarga Ahmad Dahlan merupakan keturunan Maulana Malik Ibrahim, seorang wali yang menyebarkan ajaran Islam di Jawa. Dalam Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan: Sang Pencerah, Pendidik, dan Pendiri Muhammadiyah, Jakarta: Best Media Utama, 2010, 17-18. 35 Majlis Diktilitbang dan LPI PP Muhammadiyah, 1 Abad Muhammadiyah Jakarta: Kompas, 2010, LI. 26 tebang pilih. Lalu, adanya tindakan sikap pemerintah yang otoriter, para pengambil kebijakan yang melakukan diskriminasi kepada kelompok minoritas di Indonesia. Bahkan, pemerintah juga melakukan pembiaran terhadap korban kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini.

D. Kebebasan Beragama

Persoalan utama dari kasus kebebasan beragama di Indonesia adalah ketidakmampuan pemerintah dalam melindungi hak warga negaranya untuk beragama sesuai dengan undang-undang. Dalam UUD 1945 Pasal 29 Ayat 1. Setiap warga negara berhak memeluk agama sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Maka perlakuan atas kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah secara semena-mena adalah perlakuan yang melanggar konstitusi. 36 Kebebasan beragama juga tertuang dalam International Covenant on Civil Political Right ICCPR. Indonesia sudah meratifikasi ICCPR melalui Undang- undang No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil Political Right Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, hal ini tercatat dalam pasal 18 ICCPR. 37 36 Zuly Qodir , “Kaum Minoritas dan Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam Elza Peldi Taher, ed., Merayakan Kebebasan Beragama Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi Jakarta: Indonesian Conference on Religion and Peace ICRP, dan Kompas, 2009, 401. 37 UU No. 12 Tahun 2005 Pasal 18: 1. Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencangkup kebebasan kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama- sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengalaman, dan pengajaran. 2. Tidak seorangpun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya. 3. Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan utuk mellindungi, keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain. Lihat, The Wahid Institute, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2008 Pluralisme Kebebasan BeragamaBerkeyakinan di Indonesia Jakarta: The Wahid Institute, 2008, 8-9. 27 Sementara dalam Islam, prinsip saling menghormati antar para pemeluk agama yang berbeda sangat ditekankan. Hal ini sesuai dengan firman Allh SWT, lakum dienukum waliyadin. “Berpegang teguhlah engkau pada agamamu dan aku berpegang pada agamaku.” QS. Al-kafirun, ayat 6. Toleransi dalam beragama merupakan salah satu dasar ajaran Islam. 38 Dengan kata lain, prinsip keyakinan setiap manusia terhadap Tuhannya tidak boleh dipaksakan karena bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Allah berfirman dalam al- Qur’an: “Tidak boleh ada paksaan dalam agama. Sungguh telah nyata berbeda kebenaran dan kesesatan. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada thaghut Syaitan dan beriman kepada Allah, sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tak akan putus. Allah Maha Mendengar dan Maha Menghetahui.” QS. Al-Baqarah: 256. Ayat tersebut menjelaskan pentingnya toleransi terhadap pemeluk agama lain. Bahwa kemajemukan masyarakat sesungguhnya merupakan bagian dari kehendak Tuhan. Al- Qur’an, kitab suci umat Islam secara amat ekplisit menyatakan bahwa keanekaragaman budaya, bahasa, ras dan warna kulit merupakan ciptaan Tuhan dan sekaligus menunjukkan kebesarannya. 39 Oleh karena itu, kemajemukan dan multikulturalisme tidak bisa dipisahkan dari kehidupan warga negara Indonesia. Dengan demikian, keberagaman sebagai mozaik kekayaan bangsa yang harus dilestarikan dan dijaga oleh seluruh masyarakat Indonesia. 38 Harun Nasution dan Bahtiar Effendy, Hak Asasi Manusia dalam Islam Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1987, xi. 39 Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi Jakarta: Paramadina, 2003, 164. 28 Islam tidak menafikan pluralitas dalam masyarakat. Pluralitas dan multikulturalisme merupakan sunnahtullah hukum Tuhan. Hal ini termaktub dalam kitab suci Al- Qur’an; “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal ” QS. Al-Hujuraat: 13. 40 Ayat di atas tersebut, memberikan gambaran kepada umat manusia akan pentingnya keberagaman dalam kehidupan beragama dan bernegara. Pasalnya, keberagaman bukanlah sesuatu yang baru bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, nilai-nilai keberagamanpun sudah tertera sangat jelas dalam “Bhineka Tunggal Ika” dan dilndungi oleh konstitusi negara. Lebih dari itu, keberagaman menjadi tonggak perekonomian negara ini. percampuran berbagai etnik ialah mesin yang menghasilkan budaya negeri ini, itulah makna keberagaman dalam bernegara. Para ulama telah mencoba merumuskan ajaran Islam kompatibel dengan nilai-nilai kemanusiaan universal. Dengan merujuk kepada ulama Islam klasik yang pertama kali menemukan konsep maqasid syari ’ah yaitu; Imam Ghazali w.1111 M. Ulama besar abad ke-12 tersebut mencoba merumuskan dasar syari’at Islam yang disebut dengan maqasid syari’ah ialah: penghargaan terhadap hak dasar kebebasan dasar manusia. al-kulliyah alkhamsyah, yaitu hak hidup hifzh nafs, hak kebebebasan beropini dan berekpresi hifzh al-aql, hak 40 Budhy Munawar-Rachman, Islam dan Liberalisme Jakarta: Fredrich Naumann Stiftung, 2011, 213. 29 kebebasan reproduksi hifzh al-nasl, hak memilik properti hifzh mal, dan terakhir hak untuk beragama hifzh al-dien. 41 Dengan demikian, ajaran Islam sangat menjunjung tinggi nilai toleransi dan kebebasan beragama dalam kehidupan beragama maupun dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu, Islam sangat kompatibel dengan konstitusi dan dasar negara Bangsa Indonesia. Selama ini, persoalan keragaman dan kebebasan beragama di Indonesia masih buruk, karena banyak aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Islam garis keras seperti Front Pembela Islam FPI kepada kelompok minoritas dan aliran kepercayaan yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah di Cikeusik Banten, pada 11 Februari 2011 dan Syiah di Sampang Madura, pada 29 Desember 2012. Oleh karena itu, untuk mewujudkan adanya jaminan kebebasan beragama di Indonesia dengan berbagai cara. Contohnya, melalui pendekatan ke pemerintah untuk melaksanakan konstitusi negara serta melindungi setiap warga negara dalam beragama dan berkeyakinan. Kemudian mengadakan seminar, dialog, pendidikan kewarganegaraan, toleransi, serta keberagaman kepada masyarakat umum dan kepada kelompok radikal yang mengancam kebebasan beragama di Indonesia. Semestinya negara menjamin warga negara dalam memeluk kepercayaan, dan beribadah berdasarkan UUD 1945. Dalam ajaran Islam, agama tidak berhak memaksa seseorang dalam memeluk kepercayaan agama tertentu. Dengan 41 Siti Musdah Mulia, “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia.” dalam Abdul Hakim, dan Yudi Latif, ed., Bayang-bayang Fanatisme Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid