1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk mulia yang diciptakan oleh Allah SWT, terdiri atas dua unsur, yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Kedua unsur itu, masing-
masing untuk menopang kebahagiaan hidup manusia dunia dan akhirat. Allah menjadikan makhluk-Nya berpasangan-pasangan, menjadikan manusia laki-laki dan
perempuan. Sudah kodrat manusia antara satu sama lain selalu saling membutuhkan karena manusia merupakan makhluk sosial. Sejak lahir manusia telah dilengkapi
dengan naluri untuk senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri tersebut mengakibatkan hasrat yang kuat untuk hidup terartur, demikianlah pula diantara
tanda-tanda kekuasaan-Nya manusia diciptakan berpasang-pasangan supaya mereka cenderung merasa tenteram serta dijadikan-Nya diantara suami dan isteri itu kasih
sayang. “Sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berlainan, seorang perempuan dan laki-laki, ada yang saling menarik satu sama
lain untuk hidup bersama.”
1
Perkawinan juga merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Dan merupakan masalah yang aktual untuk dibicarakan di
dalam maupun di luar peraturan hukum. Dari perkawinan akan timbul hubungan
1
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1984, Hal. 7.
1
Universitas Sumatera Utara
2
hukum antara suami dan isteri dan dengan lahirnya anak-anak menimbulkan hubungan hukum antara orang tua dan anak-anak mereka.
Ikatan perkawinan merupakan unsur pokok dalam pembentukan keluarga yang harmonis dan penuh rasa cinta kasih, maka dalam pelaksanaan pernikahan atau
perkawinan tersebut diperlukan norma hukum terutama dalam rangka mengatur hak dan kewajiban dan tanggung jawab masing-masing anggota keluarga guna
membentuk rumah tangga yang bahagia dan sejahtera. Pasangan seorang pria dan seorang wanita yang membentuk rumah tangga
dalam suatu ikatan perkawinan, pada dasarnya merupakan fitrah atau naluri manusia sebagai makhluk sosial guna melangsungkan kehidupannya,
pengelompokan kehidupan manusia tersebut dalam realitanya dapat dilihat dengan adanya berbagai bentuk kesatuan sosial di dalam kehidupan
masyarakat. Keluarga merupakan kesatuan sosial terkecil yang dibentuk atas dasar ikatan perkawinan, yang unsur-unsurnya terdiri dari suami, isteri, dan
anak-anaknya yang belum dewasa. Sedangkan sifat-sifat keluarga sebagai suatu kesatuan sosial meliputi rasa cinta dan kasih sayang, ikatan perkawinan,
pemilikan harta benda bersama, maupun tempat tinggal bagi seluruh anggota keluarganya.
2
Pernikahan atau perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita
untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Ikatan lahir ini merupakan hubungan formal yang sifatnya nyata baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang
2
Cholil Mansyur, Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa, Usaha Nasional, Surabaya, 1994, Hal.19
Universitas Sumatera Utara
3
lain atau masyarakat. Sebagai ikatan batin, pernikahan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dan seorang
wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Dalam taraf permulaan, ikatan batin ini diawali dan ditandai dengan adanya persetujuan dari calon mempelai untuk
melangsungkan perkawinan. Selanjutnya dalam hidup bersama ikatan batin ini tercermin dari adanya
kerukunan suami isteri. Terjalinnya ikatan lahir dan batin merupakan dasar utama dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. Dalam pernikahan
perlu ditanamkan bahwa pernikahan itu adalah berlangsung untuk selama-lamanya kecuali dipisahkan dengan kematian.
“Dari sudut ilmu bahasa atau semantik perkataan perkawinan berasal dari kata kawin yang merupakan terjemahan dari bahasa Arab Nikah.”
3
“Di dalam pernikahan, perempuan ditempatkan pada kedudukan yang terhormat, dia diperlakukan sebagai
manusia yang mempunyai hak-hak kemanusiaan yang sempurna. Dia harus dilamar secara layak dari wali atau keluarganya.”
4
“Dalam Islam pernikahan merupakan suatu aqad perjanjian yang diberkahi antara seorang laki-laki dan seorang wanita, yang dengannya dihalalkan bagi
keduanya mulai mengarungi kehidupan safari yang panjang, yang diwarnai dengan rasa cinta dan kasih, saling tolong menolong, saling pengertian dan penuh toleransi,
3
Lili Rasyidi, Hukum Perkawinan Dan Perceraian di Malaysia Dan Indonesia, Alumni, Bandung, 1982, Hal.3.
4
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2010, Hal. 95.
Universitas Sumatera Utara
4
masing-masing saling memberikan ketenangan, ketentraman, dan kenikmatan hidup”.
5
Oleh karena itu, untuk menyatukan hati, maka terlebih dahulu harus ada penyesuaian terhadap keadaan jiwa dan arah yang akan dituju dalam mengarungi
bahtera kehidupan rumah tangga. Pernikahan sebagaimana yang telah diatur dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasul merupakan salah satu manifestasi ibadah bagi umat
Islam, terjadinya perkawinan adalah cikal bakal adanya kehidupan bermasyarakat yang teratur. Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah pernikahan.
“Islam adalah aturan hidup yang memberi hak kepada semua pihak sehingga tidak akan membiarkan terjadinya ketimpangan dan kejanggalan dalam kehidupan
masyarakat.”
6
Menurut ajaran Islam tujuan pernikahan adalah membentuk rumah tangga berupa keluarga yang tunduk pada amanah Allah untuk memperoleh
keturunan. Oleh karena tujuan pernikahan Islam ialah membentuk keluarga dan memperoleh keturunan, maka Islam, kendatipun tidak menghendaki terjadinya
perceraian, tetapi memperkenankannya, jika kehidupan diantara suami isteri mengalami kegagalan.
“Perkawinan yang tidak harmonis keadaannya, tidak baik dibiarkan berlarut- larut, sehingga demi kepentingan kedua belah pihak suami dan isteri, perkawinan
yang demikian diputus cerai. Tentu berakibat pada anak-anak putra-putri nya, yang tidak pernah berbuat salah, menanggung akibat perbuatan orang tuanya.”
7
Menjalankan kehidupan rumah tangga tidaklah mudah “Sudah merupakan sifat manusia apabila timbul percekcokan dan kesalahpahaman di dalam keluarga.
5
Muhammad Ali Al-Hasyimy, Jati Diri Wanita Muslimah, Pustaka Al-kautsar, Jakarta, 1998, Hal 143.
6
K.H Saiful Islam Mubarak, Poligami Antara Pro Kontra, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2010, Hal. 95.
7
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2011, Hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
5
Oleh karena itu, setiap anggota keluarga dituntut untuk selalu bertaqwa kepada Allah, bersabar dan melakukan pengendalian diri.”
8
Ajaran Islam tentang kehidupan rumah tangga terbentuk dalam keterpaduan antara ketentraman dan kasih sayang yang terdiri atas isteri yang patuh dan
setia, suami yang jujur dan tulus, ayah yang penuh kasih sayang dan ramah, ibu yang lemah lembut dan berperasaan halus, putra-putri yang patuh dan taat,
serta kerabat yang saling membina silahturahim dan tolong-menolong keluarga tersebut mengetahui hak-haknya dan melaksanakan kewajibannya.
Karena itu Islam mengatur hak dan kewajiban suami isteri dengan jelas dan tegas agar kehidupan rumah tangga dapat berjalan harmonis.
9
UU No. 1 tahun 1974 yang selanjutnya ditulis dengan Undang-undang perkawinan bertujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun kenyataan sejarah umat manusia yang telah berusia ribuan tahun membuktikan bahwa tidak selalu tujuan itu dapat dicapai,
bahkan sebaliknya kandas ataupun gagal di tengah jalan, karena tidak tercapainya kata sepakat atau karena salah satu pihak ataupun perilaku kedua belah pihak yang
tidak sesuai dengan ajaran agama. “Menurut DR. Mr. Hazairin, Undang-undang perkawinan ini adalah hasil suatu usaha untuk menciptakan hukum nasional, yaitu
hukum yang berlaku bagi setiap warga Negara Republik Indonesia”.
10
Perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
8
A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengakap Hukum-Hukum Allah syariah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, Hal. 171.
9
Huzaemah Tahido Yanggo, op. cit. ,Hal. 69.
10
Hazairin, Tinjauan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Penerbit Tintamas, Jakarta, 1975, Hlm. 260
.
Universitas Sumatera Utara
6
Perkawinan adalah sah, apabila dialakukan menurut masing-masing hukum agamanya atau kepercayaannya itu. Kepercayaannya itu sesuai dengan memori
penjelasan pasal 2 UU No. 1 tahun 1974 yang dimaksud dengan hukum agama dan kepercayaannya masing-masing itu, termasuk golongan agama dan kepercayaan
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dari undang-undang yang berlaku.
“Berlakunya undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, seperti yang kita ketahui semuanya adalah
hasil kompromi antara pemerintah dengan fraksi-fraksi yang ada di DPR. Seperti biasanya undang-undang hasil dari suatu kompromi tidaklah memuaskan semua
pihak.”
11
Pengertian perkawinan sebagai sebuah akad lebih sesuai dengan pengertian yang dimaksudkan oleh undang-undang. Juga telah dijelaskan bahwa akad nikah
dalam sebuah perkawinan memiliki kedudukan yang sentral. Begitu pentingnya akad nikah ia ditempatkan sebagai salah satu rukun nikah yang disepakati. Kendati
demikian tidak ada syarat bahwa akad nikah itu harus dituliskan atau diaktekan. Atas dasar inilah fikih Islam tidak mengenal adanya pencatatan perkawinan.
“Disamping itu, pencatatan perkawinan merupakan upaya untuk menjaga kesucian mistaqan galizan aspek hukum yang timbul dari perkawinan. Realisasi
dari pencatatan itu, melahirkan Akta Nikah yang masing-masing salinannya dimiliki oleh istri dan suami. Akta tersebut dapat digunakan oleh masing-masing pihak bila
11
Jafizham, Persintuhan Hukum di Indonesia Dengan Hukum Perkawinan Islam, C.V Percetakan Mestika,Medan, 1977, Hal. 404.
Universitas Sumatera Utara
7
ada yang merasa dirugikan dari adanya ikatan perkawinan itu untuk mendapatkan haknya.”
12
Adapun fungsi akta pernikahan atau fungsi pencatatan dalam suatu perkawinan dimaksud untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik
bagi yang bersangkutan, maupun bagi orang lain dan masyarakat, hal ini dapat dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat pula dalam daftar khusus yang
disediakan untuk itu, sehingga sewaktu-waktu dapat digunakan di mana perlu terutama sebagai alat bukti tertulis yang otentik.
Perkawinan itu terikat pada bentuk tertentu, yaitu harus dilakukan di hadapan pejabat yang ditunjuk oleh negara. Setiap orang yang akan melangsungkan
perkawinannya diwajibkan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat perkawinan di tempat perkwinan akan dilangsungkan. Pegawai pencatat
yang menerima pemberitahuan wajib meneliti apakah syarat-syarat perkawinan yang bersangkutan telah dapat terpenuhi secara lengkap.
Bahwa sesunguhnya seseorang yang akan melaksanakan sebuah perkawinan diharuskan memberitahukan terlebih dahulu kepada Pegawai Pencatat Perkawinan.
Pemberitahuan tersebut dapat dilakukan secara lisan oleh seorang maupun oleh kedua mempelai. Dengan adanya pemberitahuan tersebut, K. Watjik Saleh berpendapat :
“Maksud untuk melangsungkan perkawinan itu harus dinyatakan pula tentang nama, umur, agamakepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai. Dalam hal
12
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,2006, Hal.26 .
Universitas Sumatera Utara
8
salah seorang atau kedua calon mempelai pernah kawin, harus disebutkan juga nama suami atau istri terdahulu”.
13
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya seseorang yang akan melangsungkan suatu perkawinan diharuskan mendaftarkan diri terlebuh dahulu,
maksudnya agar lebih mengetahui dengan jelas identitas dirinya. Pegawai Pencatat Nikah PPN disamping mempunyai tugas untuk melakukan
pencatatan nikah, juga dituntut untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang timbul mengenai perkara-perkara yang berhubungan dengan keabsahan pernikahan, dalam
hal ini Pegawai Pencatat Nikah adalah Pegawai pada Kantor Urusan Agama kecamatan.
PPN juga harus segera menyelesaikan dan mencarikan jalan keluar apabila timbul sengketa antara pihak-pihak yang berkaitan dengan sahnya pernikahan
termasuk mengenai hal akta pernikahan. Akta pernikahan merupakan hal yang penting dan perlu. Semua akta pernikahan yang dikeluarkan oleh KUA merupakan
akta otentik yang mengandung kebenaran murni, merupakan kekuatan dan kepastian hukum. “Negara ataupun pemerintah harus diutamakan untuk dilindungi dari segala
tindak pidana yang akan ditimbulkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Adalah merupakan kewajiban sosial bagi setiap warga Negara untuk turut
serta melindungi Negara dan pemerintahannya, setidak-tidaknya tidak menimbulkan sesuatu yang sifatnya negative bagi Negara dan pemerintah.”
14
Oleh karena itu dalam membuat keterangan diperlukan adanya kejujuran dan ketelitian antara pihak-pihak
yang berkepentingan dalam pembuatan akta pernikahan. Apabila penghadap
13
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, Hal. 19 .
14
Madjwes, Perlakuan Hukum Pidana Terhadap Pegawai Negeri Sipil, Prima karya, Jakarta, 1987, Hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
9
memberikan kerterangan palsu dalam akta pernikahan maka akta pernikahan dapat dicabut kembali dan dinyatakan batal. Dan si penghadap dapat dituntut pula dengan
kejahatan tindak pidana. “oleh karena itu pelaksanaan akad pernikahan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkanoleh syari’at Islam adalah perbiatan
yang sia-sia, bahkan dipandang sebagai perbuatan yang melanggar hukum yang wajib dicegah oleh siapapun yang mengetahuinya, atau dengan cara pembatalan apabila
pernikahan itu telah dilaksanakannya. Hukum islam menganjurkan agar sebelum pernikahan dibatalkan terlebih dahuku diadakan penelitian yang mendalam untuk
memeperoleh keyakinan bahwa semua ketentuan yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam sudah terpenuhi. Jika persyaratan yang telah ditentukan masih belum lengkap
atau masih terdapat halangan pernikahan maka pelaksanaan pernikahan haruslah dicegah.”
15
Untuk memiliki bukti dalam menentukan status kejadian diatas, maka orang tersebut harus mendaftarkan peristiwa atau kejadian itu pada kantor Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil, dengan demikian orang tersebut akan memperoleh bukti tertulis berupa akta catatan sipil. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
merupakan lanjutan dari “Lembaga Catatan Sipil pada jaman pemerintahan kolonial Belanda yang dikenal dengan nama “Burgerlijke Stand” atau dikenal dengan
singkatan B.S yang mengandung arti suatu lembaga yang ditugaskan untuk memelihara daftar-daftar atau catatan-catatan guna pembuktian status atau peristiwa-
peristiwa penting bagi para warga negara seperti kelahiran, perkawinan, kematian.”
16
Bagi non muslim Akta Catatan Sipil merupakan hal yang penting dan perlu karena
15
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan Agama, Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003, Hal. 42.
16
Subekti dan R. Tjtrosoedibro, Kamus Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, 1979, Hal 22
Universitas Sumatera Utara
10
dengan demikian orang dapat dengan mudah memperoleh kapasitas mengenai kejadian-kejadian penting yang dalam hal ini pernikahan. Bila bagi muslim harus
mendaftarkan diri di Pejabat Pembuat Akta Nikah P3N. Berdasarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam keluarga maka terdapat
macam-macam akta catatan sipil, yaitu : 1. Akta Kelahiran
2. Akta PerkawinanPernikahan 3. Akta Kematian
4. Akta Perceraian 5. Akta Pengakuan dan Pengesahan Anak
6. Akta Penggantian Nama.
17
“Dengan demikian bahwa akta catatan sipil merupakan hal yang sangat menentukan akan kebenaran dan suatu pemalsuan apabila diperkarakan. Dalam
lingkungan internasional akta catatan sipil mendapat pengakuan yang sah.”
18
Tiap- tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku pasal 2 ayat 1 Undang-
undang Perkawinan. Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama KUA. Sedang bagi yang
beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil KCS.
Sampai saat ini belum ada kebijakan yang jelas tentang pencatatan perkawinan bagi penganut kepercayaan. Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
PTUN dalam putusannya nomor 024G.TUN1997. PTUN Jkt, menyatakan bahwa
17
Victor M. Situmorang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, Hal. 1
18
Ibid Hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
11
KCS tidak berwenang menolak pencatatan penganut kepercayaan. Sampai saat ini ternyata KCS tidak mau melaksanakan putusan-putusan tersebut dan KCS
menyatakan tunduk pada keputusan Menteri Dalam Negeri yang pada pokoknya melarang KCS mencatat perkawinan penganut kepercayaan.
Bagi umat Islam, tersedia prosedur hukum untuk mengesahkan perkawinan yang belum tercatat tersebut, yaitu dengan pengajuan Itsbat Nikah. Dalam Kompilasi
Hukum Islam pasal 7 ayat 2 dan 3 dinyatakan, bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan
Agama. Namun sayangnya, salah satu syarat dalam pengajuan permohonan itsbat nikah adalah harus diikuti dengan gugatan perceraian. Dan syarat lainnya adalah jika
perkawinan itu dilaksanakan sebelum berlakunya Undang-undang perkawinan. Ini berarti bahwa perkawinan yang dilaksanakan setelah berlakunya undang-undang
tersebut mau tidak mau harus disertai dengan gugatan perceraian. Tentu ini sangat sulit bagi pasangan yang tidak menginginkan perceraian.
Selain itu proses yang akan dijalanipun akan memakan waktu yang lama. Pencatatan perkawinan amatlah penting, terutama untuk mendapatkan hak-hak,
seperti warisan dan nafkah bagi anak-anak. Jadi sebaiknya, sebelum memutuskan menjalani sebuah perkawinan di bawah tangan nikah syiri, pikirkanlah terlebih
dahulu. Jika masih ada kesempatan untuk menjalani perkawinan secara resmi, artinya perkawinan menurut negara yang dicatatkan di KUA atau KCS, pilihan ini jauh lebih
baik. Karena jika tidak, ini akan membuat kesulitan ketika menuntut hak. Dalam Pasal 2 Undang-undang perkawinan, disebutkan :
Universitas Sumatera Utara
12
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu;
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Ujudnya suatu pernikahan hanya dapat dibuktikan dengan akta-akta yang telah didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil.”
19
Pada pasal 2 ayat 2 undang-undang perkawinan menyatakan, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,
sedangkan dalam Penjelasan Umum dinyatakan bahwa pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa
penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat
dalam daftar pencatatan.
20
Kejujuran dari si pelapor dalam melaksanakan pencatatan perkawinan sangat penting dalam memberikan keterangan identitas yang sejelas-jelasnya dan sebenar-
benarnya tanpa ada yang ditambahi ataupun dikurangi demi lancarnya proses pencatatan perkawinan . Sehingga pernikahan yang dilangsungkan sah dimata
agama dan sah pula dimata hukum. Dan apabila terjadi pemalsuan identitas atau keterangan yang diberikan oleh si pelapor yang akan melangsungkan pernikahan
maka pernikahan dapat dinyatakan batal atau dapat dilakukan pembatalan perkawinan. Dan si pelapor dapat dikenakan sanksi.
19
Jafizham, op. cit., Hal. 165.
20
Achmad Ichsan, Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam, Pradya Paramita, Jakarta, 1987, Hal. 33.
Universitas Sumatera Utara
13
“Pembatalan suatu pernikahan hanya dapat dimajukan ke Pengadilan Agama oleh yang berkepentingan.”
21
Pembatalan perkawinan ditujukan semata-mata agar tidak menimbulkan akibat hasil perkawinan itu tidak terlindung oleh hukum, karena dengan adanya
kekurangan persyaratan-persyaratan tersebut dan dengan adanya pelanggaran- pelanggaran
yang telah
dilakukan dalam
melangsungkan perkawinan,
perkawinannya menjadi tidak sah. Akibatnya kedudukan hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dinyatakan tidak sah tersebut merupakan anak
yang tidak sah pula menurut hukum.
22
“Akta yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum disebut Akta Relaas atau Akta Berita Acara yang berisi berupa uraian dari Pejabat Umum yang
dilihat dan disaksikan Pejabat Umum sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan dalanm bentuk akta
otentik.”
23
Dengan kedudukan Pejabat Umum seperti ini, sehingga jika suatu akta otentik dipermasalahkan, maka tetap kedudukan Pejabat Umum bukan sebagai
pihak atau yang turut serta melakukan atau membantu para pihak dalam kualifikasi Hukum Pidana atau sebagai tergugat atau turut tergugat dalam perkara perdata.
“Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peran penting dan setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Melalui akta
otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, manjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindarinya terjadinya sengketa,
21
Ibid, Hal.112.
22
Achmad Ichsan, op. cit., Hal. 63.
23
Herman Adriansyah,
Keterangan Palsu
dalam Akta
Otentik, http:www.scribd.comdoc20321341Keterangan-Palsu-Dalam-Akta-Otentik , diakses tanggal 15 Mei
2012.
Universitas Sumatera Utara
14
walaupun sengketa itu sendiri dalam kondisi-kondisi tertentu tidak dapat terelakkan.”
24
Penempatan Pejabat Umum sebagai pihak yang turut serta atau membantu para pihak dengan kualifikasi membuat atau menempatkan keterangan palsu ke
dalam akta otentik atau menempatkan Pejabat Umum sebagai tergugat yang berkaitan dengan akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum, maka hal
trsebut telah mencederai akta otentik dan institusi Pejabat Umum yang tidak
dipahami oleh aparat hukum lainnya mengenai kedudukan akta otentik dan Pejabat Umum di Indonesia. Dalam tataran hukum yang benar mengenai akta otentik.
Keterangan palsu adalah suatu keterangan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran, keterangan mana mengenai sesuatu
halkejadian yang harus dibuktikan oleh akta otentik itu, hal mana diatur dalam pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP yang
menyebutkan
bahwa tindak
pidana menyuruh mencantumkan
suatu keterangan palsu didalam suatu akta otentik merupakan suatu tindak pidana
pemalsuan.
25
Salah satu contoh permasalahan yang sering terjadi yaitu pada kasus pemalsuan identitas yang terjadi di kantor KUA Kecamatan Medan Labuhan. Tuan
J sebagai penggugat melaporkan Tuan S dan Nyonya H yang telah melaksanakan pernikahan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Medan Labuhan, bahwa lebih
kurang 1 bulan setelah terjadi pernikahan antara Tuan S dan Nyonya H datanglah seorang wanita bernama Nyonya YM ke Kantor Urusan Agama Kecamatan Medan
24
Putri A.R, Perlindungan Hukum Terhadap Notaris, PT Sofmedia, Medan, 2011, Hal. 106.
25
Adamichazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, Hal. 114.
Universitas Sumatera Utara
15
Labuhan. Nyonya YM mengajukan keberatan atas pernikahan yang dilakukan Tuan S dan Nyoya H dikarenakan Nyonya YM masih berstatus istri sah dari Tuan S dan
tidak ada bukti-bukti lain yang menyatakan telah terjadi perceraian antara Nyoya YM dan Tuan S. Namun surat keterangan untuk nikah atas nama Tuan S
menyatakan bahwa Tuan S berstatus duda dengan dilampiri surat keterangan kematian isteri. Dalam hal ini Tuan S telah melakukan pemalsuan identitas karena
ternyata Nyonya YM selaku isterinya masih hidup. Dengan terjadinya kasus semacam ini maka akan menyebabkan KUA harus
meminta bantuan Pengadilan Agama untuk mempertanggungjawabkan akta yang telah dibuatnya, mengingat KUA merupakan instansi yang berwenang dalam
membuat akta pernikahan yang dalam hal ini merupakan akta otentik yang dibuatnya setelah ditandatangani oleh para penghadap dan sudah menjadi dokumen
negara.
B. Perumusan Masalah