85
5. Menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara yang hingga kini diperhitungkan sebesar Rp. 681.000,-enam ratus
delapan puluh satu ribu rupiah.
2. Analisa Kasus
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan khususnya bagi yang beragama Islam. Sebagaimana kita
ketahui bahwa salah satu bentuk Negara demokrasi modern adalah susunan kekuasaan Negaranya terdiri dari tiga bagian yaitu, eksekutif, legislative dan
yudikatif, tak terkecuali Indonesia. Dalam hal ini lembaga Peradilan Agama merupakan bagian dari kekuasaan yudikatif yang tetap menginduk kepada Mahkamah
Agung kedudukannya sederajad dengan Pengadilan Negeri. No.3 Tahun 2006. Jo. Undang-undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama yang berbunyi :
“Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur
dalam undang-undang ini”. Berdasarkan kasus diatas maka :
a. Menurut penulis perkawinan yang dilakukan oleh Tergugat I dan
Tergugat II adalah tidak sah walaupun sebelumnya perkawinan mereka sah, tetapi dengan terbukti adanya pemalsuan keterangan dan dokumen
yang dilakukan Tergugat I maka perkawinan tersebut tidak sah.
Universitas Sumatera Utara
86
b. Menurut penulis disini istri secara tegas menyatakan keberatannya dan
untuk memperkuat dalilnya tersebut Istri Tergugat I telah mengajukan bukti-bukti untuk membela diri dan memperthankan kepentingannya.
Artinya kedua belah pihak antara Penggutgat dan Tergugat mempunyai hak yang sama di hadapan hakim untuk didengar keterangannya dan
diperlihatkan hak-haknya. Dalam pustusan ini Pengadilan Agama berusaha mengembalikan hak Istri dan nama baik KUA yang telah
dirugikan oleh Tergugat I. c.
Dengan adanya
pemalsuan identitas
dalam kasus
diatas, maka
permohonan pembatalan perkawinan dikabulkan oleh Hakim pengadilan Agama dikarenakan perkawinan antara Tergugat I dan Tergugat II
terdapat unsur-unsur yang merugikan pihak lain yaitu Istri sah dari tergugat
I sehingga
perkawinannya cacat
hukum yaitu
dengan menggunakan identitas palsu. Kasus tersebut baru diketahui setelah
adanya laporan
dari Istri
sah Tergugat
yang mengetahui
dari kecurigaannya dan dari informasi yang ia dapatkan. Dalam hal ini
Tergugat I menyatakan berstatus duda dengan menyertakan surat kematian Istri sehingga pada saat perkawinan akan berlangsung KUA
tidak mengetahui pemalsuan identitas yang dilakukan oleh Tergugat I. Dan dalam hal ini penulis bisa menyimpulkan bahwa faktor menyimpang
yang menyebabkan pembatalan perkawinan Antara Tergugat I dan Tergugat II adalah :
Universitas Sumatera Utara
87
1 Adanya pemalsuan keterangan dan identitas yang dilakukan Tergugat
I sehingga menimbulkan kerugian bagi banyak pihak, yaitu KUA dan Istri Tergugat I.
2 Tidak efektifnya pemeriksaan dan prosedur perkawinan yang
dilakukan oleh Petugas Pencatat Nikah yakni KUA. Karena Tergugat dengan mudah memanipulasi identitas palsu dengan menyatakan
Tergugat I adalah seorang duda yang ditinggal mati istrinya. Seandainya Kepala Kantor Urusan Agama meneliti dengan seksama
termasuk mencari informasi yang akurat, pastilah akan diketahui kejanggalan dan tidak akan menyetujui perkawinan yang akan
dilakukan oleh Tergugat I dan Tergugat II sehingga tidak akan merugikan banyak pihak.
3 Adanya sikap atau perilaku Tergugat I yang mengakibatkan
hancurnya rumah tangga bertentangan dengan kedudukannya sebagi seorang suami.
Universitas Sumatera Utara
88
BAB IV SANKSI YANG DIBERIKAN KEPADA PENGHADAP YANG
MEMBERIKAN DOKUMEN DAN KETERANGAN PALSU
A. Pengertian dan Peranan Sanksi
E. Utrecht dalam bukunya “Pengantar Dalam Hukum Indonesia” memberikan batasan pengertian hukum sebagai berikut :
“Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan atau perintah-perintah dan larangan-larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu
harus ditaati oleh masyarakat itu.”
72
“Hukum meliputi berbagai macam bentuk peraturan yang menentukan dan mengatur perhubungan diantara orang-orang yakni peraturan-peraturan hidup
kemasyarakatan yang dinamakan kaedah hukum.”
73
C.S.T Kansil mengemukakan : “Barangsiapa yang dengan sengaja melanggar sesuatu kaedah hukum akan
dikenakan sanksi yakni sebagai akibat pelanggaran kaedah hukum yang berupa hukuman.”
74
72
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, Hal.38.
73
Ibid Hal. 39.
74
Ibid Hal 39.
88
Universitas Sumatera Utara
89
“Pengertian sanksi secara umum adalah sebagai alat pemaksa supaya setiap orang mentaati norma-norma yang berlaku. Sanksi terhadap pelanggaran norma
hukum dapat diserahkan kepada penguasa, dan sanksinya adalah berupa hukuman yang dengan segera dapat dirasakan oleh pelanggar.”
75
Adapun makna dari sanksi yang sesungguhnya adalah merupakan alat pemaksa atau pendorong atau jaminan agar norma hukum ditaati oleh setiap orang,
dan juga merupakan akibat hukum bagi seseorang yang melanggar norma hukum, sekaligus alat preventive dan represif.
Apabila dikaitkan dengan norma hukum perdata sanksinya adalah berupa ganti rugi, batalnya suatu perjanjian dan sebagainya. Jika dikaitkan dengan
hukum pidana sanksinya adalah berupa pidana mati, pidana penjara, pidana tutupan, pidana kurungan, pidana denda, ditambah dengan pidana tambahan
tertentu. Adapun makna dari sanksi yang sesungguhnya adalah merupakan alat pemaksa atau pendorong atau jaminan agar norma hukum ditaati oleh
setiap orang, dan juga merupakan preventif dan alat represif.
76
Salah satu upaya yang biasanya dilakukan agar supaya warga masyarakat mematuhi kaidah hukum adalah dengan mencantumkan sanksi-sanksinya. Sanksi-
sanksi tesebut mungkin berupa sanksi positif atau sanksi negatif. Yang maksudnya adalah menimbulkan rangsangan agar manusia tidak melakukan tindakan tercela atau
melakukan tindakan yang tidak terpuji. Ada pandangan-pandangan yang menyatakan bahwa sanksi-sanksi negatif yang berat akan dapat menangkal terjadinya kejahatan.
Namun disamping itu ada pula yang berpendapat bahwa sanksi saja tidaklah cukup,
75
S. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHAEM- PETEHAEM, Jakarta, 1996, Hal.28.
76
Ibid, Hal. 29-30.
Universitas Sumatera Utara
90
sehingga diperlukan upaya-upaya lainnya. “Pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti supaya tindak pidana
yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya.”
77
Secara konvensional dapat diadakan pembedaan antara sanksi positif yang merupakan imbalan, dengan sanksi negatif yang berupa hukuman. Dasar gagasan
tersebut adalah, bahwa subyek hukum akan memilih salah satu dan menghindari yang lain. Kalangan hukum lazimnya beranggapan bahwa hukuman merupakan
penderitaan, sedangkan imbalan merupakan suatu kenikmatan, sehingga akibat- akibatnya pada perilaku serta-merta akan mengikutinya.
78
B. Unsur-unsur Tindak Pidana Keterangan Palsu Dalam Pasal 263, Pasal 264, dan Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP
Negara Indonesia adalah berdasarkan atas hukum rechtsstaat bukan berdasarkan kekuasaan belaka machtsstaat. “Hal ini mengandung arti bahwa
Negara termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang lain dalam setiap melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum.”
79
Oleh Karena Indonesia adalah negara hukum maka orang yang merasa hak nya terlanggar
dalam suatu hubungan hukum pada umumnya tidak boleh bertindak sendiri dalam membela
haknya itu, akan tetapi pembelaan tersebut harus dilakukan dengan perantaraan badan pemerintah yakni pengadilan.”
80
77
Yahya Harahap, Loc. Cit.
78
Soerjono Soekanto, Efektivikasi Hukum dan Peranan Sanksi, Remadja Karya, Bandung, 1998, Hal. 82.
79
Marsono, Susunan Dalam Naskah Undang-Undang Dasar 1945 dengan Perubahan- perubahannya, Ekojaya, Jakarta, 2003, Hal. 91.
80
Victor M. Situmorang dan Comentyna Sitanggang, Groose Akta Dalam Pembuktian dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, Hal 12.
Universitas Sumatera Utara
91
Kejahatan keterangan palsu atau pemalsuan surat dapat dirumuskan sebagai tindak pidana surat-surat. Sebagaimana diketahui sifat dari pemalsuan ada 3
macam : 1 Pemalsuan menggagahi kebenaran.
2 Perbuatan pemalsuan itu mempunyai maksud tertentu yang bertentangan
dengan kebenaran. 3 Pemalsuan merupakan kejahatan terhadap perkembangan masyarakat.
81
Pejabat pembuat akta nikah merupakan suatu profesi yang mempunyai tugas berat, sebab ia harus menempatkan pelayanan terhadap masyarakat diatas segala-
galanya. Disamping itu pejabat pembuat akta nikah tidak mungkin melakukan pemalsuan akta, akan tetapi pihak yang menghadap meminta untuk dibuatkan aktanya
tidak menutup kemungkinan kalau penghadap memberikan keterangan yang tidak benar dan memberikan surat-surat atau dokumen-dokumen palsu sehingga lahirlah
akta nikah yang mengandung keterangan palsu. Hal ini dapat dilihat pengarturannya didalam Pasal 263, Pasal 264 dan Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
yaitu sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 263 KUHP menyatakan :