88
BAB IV SANKSI YANG DIBERIKAN KEPADA PENGHADAP YANG
MEMBERIKAN DOKUMEN DAN KETERANGAN PALSU
A. Pengertian dan Peranan Sanksi
E. Utrecht dalam bukunya “Pengantar Dalam Hukum Indonesia” memberikan batasan pengertian hukum sebagai berikut :
“Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan atau perintah-perintah dan larangan-larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu
harus ditaati oleh masyarakat itu.”
72
“Hukum meliputi berbagai macam bentuk peraturan yang menentukan dan mengatur perhubungan diantara orang-orang yakni peraturan-peraturan hidup
kemasyarakatan yang dinamakan kaedah hukum.”
73
C.S.T Kansil mengemukakan : “Barangsiapa yang dengan sengaja melanggar sesuatu kaedah hukum akan
dikenakan sanksi yakni sebagai akibat pelanggaran kaedah hukum yang berupa hukuman.”
74
72
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, Hal.38.
73
Ibid Hal. 39.
74
Ibid Hal 39.
88
Universitas Sumatera Utara
89
“Pengertian sanksi secara umum adalah sebagai alat pemaksa supaya setiap orang mentaati norma-norma yang berlaku. Sanksi terhadap pelanggaran norma
hukum dapat diserahkan kepada penguasa, dan sanksinya adalah berupa hukuman yang dengan segera dapat dirasakan oleh pelanggar.”
75
Adapun makna dari sanksi yang sesungguhnya adalah merupakan alat pemaksa atau pendorong atau jaminan agar norma hukum ditaati oleh setiap orang,
dan juga merupakan akibat hukum bagi seseorang yang melanggar norma hukum, sekaligus alat preventive dan represif.
Apabila dikaitkan dengan norma hukum perdata sanksinya adalah berupa ganti rugi, batalnya suatu perjanjian dan sebagainya. Jika dikaitkan dengan
hukum pidana sanksinya adalah berupa pidana mati, pidana penjara, pidana tutupan, pidana kurungan, pidana denda, ditambah dengan pidana tambahan
tertentu. Adapun makna dari sanksi yang sesungguhnya adalah merupakan alat pemaksa atau pendorong atau jaminan agar norma hukum ditaati oleh
setiap orang, dan juga merupakan preventif dan alat represif.
76
Salah satu upaya yang biasanya dilakukan agar supaya warga masyarakat mematuhi kaidah hukum adalah dengan mencantumkan sanksi-sanksinya. Sanksi-
sanksi tesebut mungkin berupa sanksi positif atau sanksi negatif. Yang maksudnya adalah menimbulkan rangsangan agar manusia tidak melakukan tindakan tercela atau
melakukan tindakan yang tidak terpuji. Ada pandangan-pandangan yang menyatakan bahwa sanksi-sanksi negatif yang berat akan dapat menangkal terjadinya kejahatan.
Namun disamping itu ada pula yang berpendapat bahwa sanksi saja tidaklah cukup,
75
S. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHAEM- PETEHAEM, Jakarta, 1996, Hal.28.
76
Ibid, Hal. 29-30.
Universitas Sumatera Utara
90
sehingga diperlukan upaya-upaya lainnya. “Pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti supaya tindak pidana
yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya.”
77
Secara konvensional dapat diadakan pembedaan antara sanksi positif yang merupakan imbalan, dengan sanksi negatif yang berupa hukuman. Dasar gagasan
tersebut adalah, bahwa subyek hukum akan memilih salah satu dan menghindari yang lain. Kalangan hukum lazimnya beranggapan bahwa hukuman merupakan
penderitaan, sedangkan imbalan merupakan suatu kenikmatan, sehingga akibat- akibatnya pada perilaku serta-merta akan mengikutinya.
78
B. Unsur-unsur Tindak Pidana Keterangan Palsu Dalam Pasal 263, Pasal 264, dan Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP
Negara Indonesia adalah berdasarkan atas hukum rechtsstaat bukan berdasarkan kekuasaan belaka machtsstaat. “Hal ini mengandung arti bahwa
Negara termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang lain dalam setiap melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum.”
79
Oleh Karena Indonesia adalah negara hukum maka orang yang merasa hak nya terlanggar
dalam suatu hubungan hukum pada umumnya tidak boleh bertindak sendiri dalam membela
haknya itu, akan tetapi pembelaan tersebut harus dilakukan dengan perantaraan badan pemerintah yakni pengadilan.”
80
77
Yahya Harahap, Loc. Cit.
78
Soerjono Soekanto, Efektivikasi Hukum dan Peranan Sanksi, Remadja Karya, Bandung, 1998, Hal. 82.
79
Marsono, Susunan Dalam Naskah Undang-Undang Dasar 1945 dengan Perubahan- perubahannya, Ekojaya, Jakarta, 2003, Hal. 91.
80
Victor M. Situmorang dan Comentyna Sitanggang, Groose Akta Dalam Pembuktian dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, Hal 12.
Universitas Sumatera Utara
91
Kejahatan keterangan palsu atau pemalsuan surat dapat dirumuskan sebagai tindak pidana surat-surat. Sebagaimana diketahui sifat dari pemalsuan ada 3
macam : 1 Pemalsuan menggagahi kebenaran.
2 Perbuatan pemalsuan itu mempunyai maksud tertentu yang bertentangan
dengan kebenaran. 3 Pemalsuan merupakan kejahatan terhadap perkembangan masyarakat.
81
Pejabat pembuat akta nikah merupakan suatu profesi yang mempunyai tugas berat, sebab ia harus menempatkan pelayanan terhadap masyarakat diatas segala-
galanya. Disamping itu pejabat pembuat akta nikah tidak mungkin melakukan pemalsuan akta, akan tetapi pihak yang menghadap meminta untuk dibuatkan aktanya
tidak menutup kemungkinan kalau penghadap memberikan keterangan yang tidak benar dan memberikan surat-surat atau dokumen-dokumen palsu sehingga lahirlah
akta nikah yang mengandung keterangan palsu. Hal ini dapat dilihat pengarturannya didalam Pasal 263, Pasal 264 dan Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
yaitu sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 263 KUHP menyatakan :
1Barang siapa membikin surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perutangan atau yang dapat membebaskan
daripada utang atau yang dapat menjadi bukti tentang sesuatu hal, dengan maksud untuk menyuruh orang lain memakai surat itu dapat mendatangkan
kerugian, maka karena memalsukan surat, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun.
2Dipidana dengan pidana penjara semacam itu juga, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan , seolah-olah surat itu
asli dan tidak dipalsukan, kalau pemakaian surat itu dapat mendatangkan kerugian.
81
Putri A.R, Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
92
Unsur-unsur pemalsuan surat berdasarkan Pasal 263 ayat 1 diatas adalah : 1 Membuat surat palsu atau memalsukan surat, artinya membuat yang isinya
bukan semestinya tidak benar, atau memalsukan surat dengan cara mengubahnya sehingga isinya menjadi lain seperti aslinya, yaitu dengan
cara : a. Mengurangkan atau menambah isi akta,
b. Mengubah isi akta, c. Mengubah tanda tangan pada isi akta.
Unsur pertama ini adalah unsur obyektif yang artinya perbuatan dalam membuat surat palsu dan memalsukan surat.
1. Dalam penjelasan pada pasal tersebut disebutkan, yang diancam hukuman dalam pasal ini adalah orang yang membuat surat palsu atau memalsukan
surat yakni : a. Yang dapat menerbitkan sesuatu hak,
b. Yang dapat menerbitkan suatu perutangan, c. Yang dapat membebaskan daripada hutang,
d. Yang dapat menjadi bukti tentang sesuatu hal, dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, jikalau pemakaian surat itu dapat
mendatangkan kerugian. Unsur kedua ini tergolong kepada unsur obyektif.
2. Dengan sengaja memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan, seolah- olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, artinya perbuatan memalsukan
surat seolaholah surat asli harus dengan niat menggunakannya. Unsur
ketiga ini tergolong pada unsur subyektif. 3. Merugikan orang lain yang mempergunakan surat tersebut.
Unsur keempat ini tergolong pada unsur subyektif. Sedangkan unsur-unsur dalam Pasal 263 ayat 2 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana adalah : 1 Unsur obyektif yaitu :
a. Perbuatan yaitu memakai, b. Obyeknya yaitu surat palsu dan surat yang dipalsukan,
c. Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian. 2 Unsur subyektifnya adalah dengan sengaja.
2. Ketentuan Pasal 264 ayat 1 dan 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Menyebutkan :
Universitas Sumatera Utara
93
1Yang bersalah karena memalsukan surat dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 8 delapan tahun, kalau perbuatan itu dilakukan terhadap :
a. Surat pembuktian resmi akta otentik
b. Surat utang atau surat tanda utang dari suatu negara atau sebagainya atau
dari lembaga hukum c.
Sero atau surat utang atau surat tanda sero atau surat tanda utang dari suatu perhimpunan, yayasan, perseroan atau maskapai
d. Talon atau surat untung sero deviden atau surat bunga uang, dari salah
satu surat yang diterangkan pada huruf b dan c, atau tentang surat bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat itu.
e. Surat kredit atau surat dagang yang disediakan untuk diedarkan.
2Di pidana dengan pidana itu juga barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan tersebut dalam ayat 1, seolah-olah surat itu
asli dan tidak dipalsukan, jika hal memakai surat itu dapat mendatangkan kerugian.
Unsur-unsur kejahatan pada ayat 1 adalah : 1
Unsur-unsur obyektif yaitu : a.
Perbuatan yaitu membuat palsu dan memalsu b.
Obyeknya yaitu surat sebagaimana tercantum dalam ayat 1 huruf a sampai dengan e.
c. Dapat menimbulkan akibat kerugian dari pemakaian surat tersebut.
2 Unsur subyektif yaitu :
Dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai seolah-olah isinya benar dan tidak palsu.
Unsur-unsur kejahatan dalam ayat 2 diatas adalah : 1
Unsur-unsur obyektif yaitu : a.
Perbuatan yaitu memakai, b.
Obyeknya adalah surat-surat sebagaimana tersebut dalam ayat 1 c.
Pemakaian itu seolah-olah isinya benar dan tidak palsu 2
Unsur subyektif yaitu dengan sengaja
3. Ketentuan Pasal 266 KUHP yang menyatakan :
1Barangsiapa menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu mengenai suatu hal di dalam suatu akta otentik yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta
tersebut dengan maksud untuk mempergunakannya atau untuk menyuruh orang lain mempergunakannya seolah-olah keterangannya itu sesuai dengan
kebenaran, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun jika penggunaannya dapat menimbulkan sesuatu kerugian.
Universitas Sumatera Utara
94
2Di pidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan siapa dengan sengaja mempergunakan akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan
kebenaran, jika penggunaannya dapat menimbulkan sesuatu kerugian. Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 266 ayat 1 KUHP adalah
sebagai berikut : Ayat ke-1 mempunyai unsur-unsur :
1. Unsur obyektif a.
Perbuatan : menyuruh memasukkan. Kata “menyuruh melakukan” seperti yang dimaksud dalam pasal 55 ayat
1 angka 1 KUHP, orang yang disuruh melakukan itu haruslah merupakan orang yang tidak dapat diminta pertanggungjawabannya
menurut
hukum pidana.
Sedangkan perbuatannya
“menyuruh mencantumkan” seperti yang dimaksud dalam pasal 266 ayat 1 KUHP
itu, orang yang disuruh mencantumkan keterangan palsu di dalam suatu akta otentik itu tidaklah perlu harus merupakan orang yang tidak dapat
diminta pertanggungjawabannya menuurut hukum pidana. Undang-undang
mensyaratkan bahwa
pelaku harus
menyuruh mencantumkan surat keterangan palsu didalam suatu akta otentik, yang
kenenarannya harus dinyatakan oleh akta tersebut. b.
Obyeknya : keterangan palsu c.
Kedalam akta otentik Akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Nikah mempunyai
fungsi untuk membuktikan kebenaran tentang telah dilakukannya suatu perbuatan hukum yang dilakukan
dan mencantumkan nama masing- masing para pihak yang melakukan suatu perbuatan hukum.
d. Mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan dengan akta
itu. e.
Jika pemakaiannya dapat menimbulkan kerugian. Menurut HOGE RAAD, kerugian itu tidak perlu benar-benar timbul,
melainkan cukup jika terdapat memungkinkan timbulnya kerugian seperti itu. Yang dimaksud dengan kerugian dalam Pasal 266 ayat 1 KUHP, HOGE
RAAD dalam arrestnya tanggal 14 Oktober 1940, NJ 1941 No. 42 antara lain telah memutuskan bahwa : “Yang dimaksud dengan kerugian itu bukan hanya
kerugian material saja. Jika penggunaan surat yang berisi keterangan palsu itu
Universitas Sumatera Utara
95
dapat menyulitkan pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, maka kepentingan umum telah dirugikan”.
2. Unsur Subyektif. Ayat ke-2 mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
1. Unsur-unsur obyektif :
a. Perbuatan : memakai b. Obyeknya akta otentik seperti tersebut pada ayat 1
c. Seolah-olah isinya benar 2.
Unsur subyektifnya dengan sengaja Perbuatan menyuruh memasukkan mengandung unsur-unsur :
1. Inisiatif atau kehendak untuk membuat akta, akta mana membuat
tentang apa obyek yakni mengenai sesuatu hal atau kejadian yang disuruh memasukkan kedalamnya adalah berasal dari orang yang
menyuruh memasukkan, bukan dari pejabat pembuat akta nikah. 2.
Dalam hubungannya dengan asalnya inisiatif dari orang yang meminta dibuatkan akta nikah, maka dalam perkataanunsure
menyuruh memasukkan berarti orang itu dalam kenyataannya memberikan keterangan suatu hal, hal mana adalah bertentangan
dengan kebenaran atau palsu. 3.
Pejabat pembuat akta nikah tidak mengetahui bahwa keterangan yang disampaikan oleh orang yang menyuruh memasukkan keterangan
kepadanya itu adalah keterangan yang tidak benar.
Universitas Sumatera Utara
96
4. Oleh karena pejabat pembuat akta otentik tidak mengetahui perihal
tidak benarnya keterangan tentang sesuatu hal itu, maka ia tidak dapat
dipertanggungjawabkan terhadap
pembuatannya yang
melahirkan akta otentik yang isinya palsu itu dan karenanya ia tidak dapat dipidana.
Pertangungjawaban atas perbuatan sesorang biasanya praktis baru ada arti apabila orang itu melakukan perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh hukum dan
sebagian besar dari perbuatan-perbuatan seperti ini merupakan suatu perbuatan yang didalam KUH Perdata dinamakan dengan perbuatan melawan hukum Onrechmatige
daad. Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut. “Perbuatan melawan hukum termasuk setiap berbuat sesuatu, atau tidak
berbuat sesuatu yang melanggar hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya dan bertentangan dengan tata susila, dengan kepatutan, kebiasaan dan
Undang-undang, maka orang yang karena kesalahannya menyebabkan timbulnya kerugian bagi orang lain sebagai akibat dari perbuatannya wajib membayar ganti
rugi.”
82
82
Munir Fuafy, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, Hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
97
Pejabat pembuat akta nikah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara perdata berdasarkan tuntutan adanya perbuatan melawan hukum, artinya walaupun
pejabat tersebut mengkonstantir keinginan dari para pihakpenghadap bukan berarti pejabat pembuat akta tidak mungkin melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
hukum. Misalnya apabila pejabat pembuat akta nikah mencantumkan sesuatu di dalam akta tidak seperti yang dikehendaki oleh para pihak sehingga menimbulkan
kerugian pada orang lain atau kliennya. Apabila pejabat pembuat akta nikah dalam menjalankan tugas jabatannya
dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang merugikan salah satu atau kedua belah pihak yang menghadap didalam pembuatan suatu akta nikah, misalnya didalam
akta nikah tersebut terdapat suatu klausula yang bertentangan dengan Undang-undang , atau pejabat pembuat akta mencantumkan sesuatu didalam akta tidak seperti yang
diperintahkan oleh penghadap, maka dapat dikatakan pejabat pembuat akta nikah itu telah melakukan perbuatan melawan hukum dan jika akibat dari perbuatannya telah
menimbulkan suatu
kerugian pada oang lain
atau penghadap
yang akan
melangsungkan pernikahan,
pejabat pembuat
akta nikah
wajib mempertanggungjawabkan kerugian yang ditimbulkan tersebut.
Di dalam hukum pidana terdapat berbagai pendapat mengenai arti dari unsur melawan hukum yang merupakan terjemahan dari istilah wederechtelijk. Mengetahui
sifat melawan hukum terdapat 2 dua pendirian yang berbeda yaitu menurut ajaran hmengemukakan :
Universitas Sumatera Utara
98
Menurut ajaran wederechtelijk dalam arti formil suatu perbuatan dapat dipandang sebagai wederechtelijk apabila perbuatan tersebut memenuhi
semua unsur yang terdapat didalam rumusan suatu delik menurut Undang- undang, sedangkan menurut ajaran wederechtelijk dalam arti materil, apakah
suatu perbuatan itu dapat dipandang sebagai bersifat wederechtelijk atau tidak, masalahnya bukan saja harus ditinjau dari sesuatu dengan ketentuan-ketentuan
hukum yang tertulis, melainkan juga harus ditinjau dari sesuatu dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tertulis, melainkan juga harus ditinjau
menurut asas-asas hukum umum dari hukum yang tidak tertulis.
83
S.R. Sianturi lebih condong kepada pemahaman pandangan yang material. Menurut beliau bahwa semua delik harus selalu dianggap mempunyai unsur bersifat
melawan hukum.
Kejahatan pemalsuan
adalah kejahatan
yang didalamnya
mengandung system ketidak benaran atau palsu atas suatu hal objek yang sesuatunya itu terlihat dari luar seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya
bertentangan dengan yang sebenarnya. Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap dua norma dasar:
1 Kebenaran kepercayaan yang pelanggarannya dapat tergolong dalam kelompok kejahatan penipuan.
2 Ketertiban masyarakat, yang pelanggarannya tergolong dalam kelompok kejahatan terhadap Negaraketertiban masyarakat.
Sementara itu, apabila hukum pidana itu dikategorikan sebagai hukum sanksi yang berawal dari tujuan hukum pidana itu sendiri , oleh kerena itu hukum pidana
bertujuan : a.
Secara umum
ia harus
diorientasikan demi
dan dalam
rangka menyelenggarakan tata tertib dalam kehidupan masyarakat, baik dalam
83
Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center For Documentation and Studies Of Busines Law CDSBL, Yogyakarta, 2003, Hal. 148.
Universitas Sumatera Utara
99
kedudukannya pribadi sebagi anggota masyarakat maupun sebagai bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
b. Dan, tujuan secara khusus hukum pidana adalah sebagai supaya pencegahan
untuk tidak dilakukannya tidak pidana mencegah kejahatan, dengan jalan melindungi kepentingan benda hukum subyek hukum terhadap pihak-pihak
yang hendak memperkosanya. Perlindungan tersebut diwujudkan melalui pemberian sanksi mengancam dengan penderitaan, nestapa atau segala
sesuatu yang tidak mengenakkan yang tegas terhadap pihak-pihak yang telah tebukti memperkosa benda-benda hukum subjek hukum tersebut.
84
Dari pengertian hukum pidana pemidanaan apabila dikaji secara sempit maka pidana disamping penindakan dan kebijaksanaan, maka hukum pidana dapat
juga disebut sebagai hukum sanksi. “Mengkategorikan hukum pidana sebagai hukum sanksi, sebetulnya kita ketahui dari sifat hukum pidana dan tujuan daru hukum pidana
itu sendiri. Hukum pidana merupakan obat terakhir apabila hukum lain selain hukum pidana telah dinyatakan tidak mampu menunjukkan keberadaannya dalam hal
menyelenggarakan tata tertib dalam pergaulan masyarakat.”
85
Alasan Negara melaksanakan menjatuhkan hukum pidana diantaranya untuk maksud-maksud :
1 Hukuman dilakukan dengan dasar harus memajukan dan mendukung perbuatan atau tindakan mempertahankan tata tertib dalam masyarakat.
2 Hukuman dapat mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan kekacauan.
3 Negara harus mempertahankan tata tertib kemasyarakatan yang ada. 4 Negara harus mengembalikan ketentraman dalam masyarakat apabila
ketentraman tersebut terganggu.
86
84
Waluyadi, Hukum Pidana Indonesia, Djambatan, Jakarata, 2003, Hal. 30.
85
Ibid Hal. 30.
86
Sudjono. D, The Control Of Crime Hukuman Dalam Perkembangan Hukum Pidana, Tarsito, Bandung, 1974. Hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
100
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN