Hubungan Muhammad Ali Pasha Dengan Dunia Barat

yang memungkinkan generasi muda Mesir mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk mengisi pembangunan. Kairo dijadikan sebagai lanskap dari proyek modernisasi tersebut. 6

C. Pengiriman Muhammad Tantawi Sebagai Imam Tentara Ke Perancis

Rifa’ah Badawi Rafi’ al-Tahtawi adalah pembawa pemikiran pembaharuan yang besar pengaruhnya di pertengahan pertama dari abad ke-19 di Mesir. Dalam gerakan pembaharuan Muhammad Ali Pasya, al- Tahtawi turut memainkan peranan. Al-Tahtawi dilahirkan pada tahun 1801 di Tahta, suatu kota yang terletak di Mesir bagian selatan. Ia berasal dari keluarga berekonomi lemah. Dimasa kecilnya Al-Tahtawi terpaksa belajar dengan bantuan dari keluarga ibunya. Ketika berumur 16 tahun ia berkesempatan untuk belajar di Al-Azhar Kairo. Setelah menyelesaikan studinya ia mengajar disana selama 2 tahun, kemudian diangkat menjadi imam mahasiswa yang belajar dan dikirim oleh Muhammad Ali Pasya ke Paris. Keikutsertaannya dalam rombongan pengiriman pelajar-pelajar Mesir ke Perancis merupakan titik penting yang dilalui Tahtawi dalam fase hidupnya. Pada fase ini Tahtawi mulai bersentuhan dengan dunia baru yang tidak pernah ia rasakan ketika berada di Mesir. Walaupun mungkin persentuhan secara intelektual dengan dunia modern dalam pengertian sempit sudah ia dapatkan, ketika ia banyak belajar dan berkomunikasi Zuhairi Misrawi. Al-Azhar menara ilmu, reformasi, dan kiblat keulamaan. Jakarta, Kompas, 2010. dengan Syekh Hasan al-Athar, yang menjadi salah seorang gurunya di Al- Azhar. Dimana ketika itu ia mulai diperkenalkan dengan ilmu-ilmu modern. Rombongan pelajar yang dikirim oleh Muhammad Ali pada tahun 1826 berjumlah 41 orang orang pelajar. Namun setelah fase itu jumlah tersebut bertambah hingga mencapai jumlah 114 orang. Bidang keilmuan yang dipelajari meliputi banyak hal di antaranya : administrasi perang, administrasi pemerintahan, politik, ilmu statistic, mekanik perang, kimia, kedokteran, ilmu kelautan, seni tulis dan bangunan, pertanian, pertambangan, sejarah alam, terjemah dan lain-lainnya. Utusan ini diharapkan nantinya bisa memberikan kontribusi dalam membangun dan memajukan Mesir pada periode berikutnya. Pada mulanya, Tahtawi tidak masuk dalam list rombongan yang akan diberangkatkan ke Perancis. Namun berkat usulan dan rekomendasi Syeikh Hasan al-Athar. Ia diikutsertakan sebagai salah satu dari anggota rombongan dengan ditemani dua orang ulama dari Al-Azhar. Ia menerima misi tersebut, bahkan ia bertekad untuk belajar seperti pelajar lainnya, disamping menjalankan tugasnya sebagai penasehat keagamaan dan imam shalat. Hal itu bukan berati tanpa kendala, orang tua ibunya tidak mau memberikan pernyataan setuju dengan keberangkatannya ke Perancis. Akhirnya pada tanggal 24 April 1826, rombongan pelajar Mesir berangkat menuju Perancis dengan menggunakan kapal perang Perancis “ La Truite’ dari pelabuhan Alexandria. Pada tanggal 17 Mei 1826 rombongan pelajar merapat di pelabuhan Mersaille, salah satu kota pelabuhan di perancis. Seperti telah diputuskan sebelumnya, bahwa Tahtawi bertekad untuk belajar selain menjalankan tugasnya sebagai penasehat keagamaan dan imam shalat. Setibanya di Paris ia mempelajari bahasa Perancis, sebagai dasar untuk mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Tahtawi lebih tertarik bahasa tersebut dari sisi bagaimana memahami arti kata atau ungkapan, ketimbang mempelajari cara pengucapan atau dialek bahasa Perancis. Menurut Tahtawi memahami bahasa Perancis yang ia lakukan bukan dalam konteks menjadikan dirinya seorang yang piawai bicara dan bercakap-cakap dalam bahasa Perancis dengan fasih. Akan tetapi ia ingin mentransfer ilmu pengetahuan yang ada ke dalam bahasa Arab melalui cara terjemah. Dalam masa tugasnya ia memanfaatkan waktunya untuk belajar dan membina pengalaman sebanyak-banyaknya. Ia mendapat banyak kesan selama ia berada di Paris sehingga kesan yang didapatnya, ia tuangkan dalam sebuah buku Takhlis Al-Ibriz Fi Talkhis Bariz. Buku itu mengisahkan pengalaman ia selama berada di Paris dan juga berisi seputar kehidupan dan kemajuan eropa yang dilihatnya selama di Paris. Di antara pendapat baru yang dikemukakannya adalah ide pendidikan yang universal. Sasaran pendidikannya terutama ditujukan kepada pemberian kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan di tengah masyarakat. Menurutnya, perbaikan pendidikan hendaknya dimulai dengan memberikan kesempatan belajar yang sama antara pria dan wanita, sebab wanita itu memegang posisi yang menentukan dalam pendidikan.