Menurut Afgany, ilmu pengetahuan yang dapat menundukkan suatu bangsa, dan ilmu pula sebenarnya yang berkuasa di dunia ini yang
kadangkala berpusat di Timur ataupun di Barat. Ilmu juga yang mengembangkan pertanian, industri, dan perdagangan, yang menyebabkan
penumpukan kekayaan dan harta. Tetapi filsafat menurutnya merupakan
ilmu yang laping teratas kedudukannya di antara ilmu-ilmu yang lain.
Selain itu beliau juga dikenal sebagai pejuang prinsip egaliter yang universal.Salah satu gagasannya adalah persamaan manusia antara laki-
laki dan perempuan.Menurutnya keduanya mempunyai akal untuk berpikir, maka tidak ada tantangan bagi wanita bekerja di luar jika situasi
menginginkan. Ini membuktikan bahwa pendidikan bagi beliau mendapat prioritas
utama agar umat Islam bisa bangkit dari keterpurukan menuju kemajuan.Dalam hal menuntut ilmu tidak dibatasi kepada laki-laki saja
melainkan perempuan pun harus ikut andil dalam bidang pendidikan tersebut.
4. Taha Husain
Taha Husain, juga berasal dari keluarga petani dan di masa kecil mendapat penyakit yang membuat ia kehilangan penglihatan untuk
selamanya. Setelah selesai dari madrasah di desa ia dikirim ke Al-Azhar untuk meneruskan pelajaran. Di sini ia bertemu dengan ide-ide
Muhammad Abduh dan murid-muridnya, terutama Lutfi al Sayyid. Selanjutnya ia belajar bahasa Prancis, mengikuti kuliah-kuliah di
Universitas Kairo dan kemudian pergi ke Paris. Di sana ia belajar empat tahun dan kawin dengan putri Prancis. Sekembalinya di Kairo di tahun
1919, ia bekerja sebagai dosen di Universitas Kairo dan Universitas Alexandria. Sungguh-pun kehilangan penglihatan, ia pernah menjadi
Menteri Pendidikan Mesir di tahun lima puluhan. Ia banyak mengarang, terutama dalam bidang sastra Arab. Ia
berpendapat bahwa sebagian besar dari sastra Arab Jahiliah seperti yang terdapat dalam buku-buku, bukanlah sebenarnya sastra Arab Jahiliah,
tetapi karangan-karangan yang timbul di zaman sesudah Islam. Hanya sebagian kecil dari apa yang disebut sastra Jahiliah itu benar-benar otentik.
Karangan-karangan yang tidak asli itu timbul dan dikatakan berasal dari penyair-penyair kenamaan di zaman Jahiliah, untuk keperluan politik, dan
untuk memperkuat argument-argumen yang dikemukakan oleh ahli tata bahasa Arab, para teologi, ahli haadis dan ahli tafsir. Pendapat ini ia
uraikan dalam buku Fi al-Adab al-Jahili, di tahun 1925. Taha Husain mendapat kritik dan tantangan keras, karena ide itu
menghancurkan dasar keyakinan pada keorisinalan syair Jahiliah, dan kalau diterapkan pada hal-hal yang langsung bersangkutan dengan soal
agama, akan merusak keyakinan orang terhadap Islam. Tidak mengherankan kalau Rasyid Rida menganggap ide itu telah membuat Taha
Husain keluar dari Islam dan akan mempunyai efek yang negative terhadap mahasiswa-mahasiswa Mesir. Kalangan-kalangan di Universitas
Kairo menuntut supaya Taha Husain dikeluarkan, dan untuk mengatasi kehebohan yang timbul buku itu akhirnya disita. Pengarangnya sendiri