Modal Asing dan Kepemilikan dalam UU Penanaman Modal di Indonesia

Hanya Fraksi Kebangkitan Bangsa FKB dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan FPDIP yang meminta pengesahan RUU ini ditunda. Bahkan FPDIP meninggalkan ruangan walk out ketika pengambilan keputusan. 20 Dengan disahkannya UU ini, maka UU No. 11967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 61968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri dinyatakan tidak berlaku. 21 Tidak lama setelah disahkan menjadi UU, banyak pihak yang merasa dirugikan oleh UU ini, mengajukan permohonan Yudicial Review atas UU tersebut terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Sidang Uji Materi atas UU PM ini merupakan “sidang pertarungan dua kutub pemikiran ekonomi Indonesia”. 22 Pasal-pasal yang terkait dengan Modal Asing dan Kepemilikan dalam UU Penanaman Modal yang dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan sarat akan kepentingan asing adalah; Pasal 1 Ayat 1, Penjelasan Pasal 3 ayat 1 huruf d, Pasal 4 Ayat 2 huruf a, Pasal 12 ayat 1, 3 dan 4 huruf a, Pasal 21 dan 22 Ayat 1 huruf a, b dan c dan Ayat 2 UU PM. Bagi penggugat, keseluruhan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Berikut uraiannya. Bintang Pelopor Demokrasi FBPD, dan Fraksi Partai Bintang Reformasi FPBR. “Semata-mata untuk Menarik Investor”, Berita diakses pada 16 Maret 2008 dari: http:hukumonline.co mdetail.asp?id=16432cl=Berita 20 “Semata-mata Untuk Menarik Investor”, berita diakses pada 16 Maret 2008 dari: http:hukumonline.co mdetail.asp?id=16432cl=Berita 21 ”Inilah UU yang Paling Ideal”, berita diakses pada 16 Maret 2008 dari: http:hukumonline.co mdetail.asp?id=16400cl=Berita 22 Dani Setiawan, “Mengadili Konstitusi”, artikel diakses pada 7 Januari 2008 dari: http:web.bisnis.comedisi-cetakedisi-harianopini1id 36832.html 1. Penjelasan Pasal 3 ayat 1 huruf d Penjelasan Pasal 3 Ayat 1 huruf d UU PM berbunyi: Asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara adalah asas perlakuan pelayanan non diskriminasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing maupun antara penanam modal dari satu negara asing dan penanam modal dari negara asing lainnya . Menurut Pemohon I, Penjelasan Pasal 3 Ayat 1 huruf d UU PM akan mendorong liberalisasi ekonomi di Indonesia. Oleh karenanya bertentangan dengan Pasal 33 Ayat 2 dan 3 UUD 1945. Mengutip Ahli, pemohon mengatakan bahwa ”cabang-cabang produksi yang penting bagi negara” akhir-akhir ini disebut dengan the strategical economic sector on economic government . Di negara-negara lain, seperti Malaysia, minyak adalah suatu cabang produksi yang strategis sehingga tidak ada kepemilikan terhadap cabang produksi ini oleh swasta. 23 Pemerintah mengatakan bahwa “asas perlakuan sama yang tidak membedakan asal negara ” dalam UU PM berasal dari prinsip Most-Favoured Nations 24 dan National Treatment 25 dalam General Agreement on Trade and Tarriff GATTWorld Trade Organization WTO di mana Indonesia telah meratifikasinya dengan UU No. 71994 tentang Ratifikasi Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan 23 Alasan Pemohon, lihat selengkapnya dalam Putusan MKRI, h. 28-33. 24 Yaitu prinsip tidak membedakan asal negara dari mana datangnya modal tersebut. 25 Yaitu prinsip perlaku kan yang sama antara penanam modal dalam negeri dan pemodal luar negeri yang telah masuk ke dalam suatu negara. Dunia. 26 Sedangkan menurut DPR, ”asas perlakuan yang sama” dalam UU PM mengacu kepada UU No. 291999 tentang Pengesahan International Convention on Elimination of All forms of Racial Discrimination 1965 dengan tetap ada pembatasan tertentu sesuai dengan UU 51999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 27 2. Pasal 4 Ayat 2 huruf a dan Pasal 1 Ayat 1 UU PM Penanaman Modal, menurut Pasal 1 Ayat 1, adalah ” …segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia .” Selanjutnya, dalam Pasal 4 Ayat 2 huruf a, dikatakan bahwa Pemerintah “memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional .” Pemohon mengatakan bahwa pasal ini menegaskan semangat untuk memberikan privilege bagi investor asing dengan adanya jaminan perlakukan yang 26 Pendapat Pemerintah, lihat selengkapnya Putusan MKRI, h. 130-131. Dalam sidang sebelumnya Menteri Perdagangan RI, Marie E. Pangestu mengatakan bahwa salah satu latar belakang lahirnya UU Penanaman Modal adalah dalam rangka menghadapi p erubahan perekonomian global dalam berbagai kerjasama internasional, perlu diciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan dan efisiensi, dan dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional. Lihat Jawaban Pemerintah c.q. Marie Pangestu point ke-4 dalam Risalah Sidang Perkara No mo r 21PUU-V2007 dan No mor 22PUU-V2007, h. 15 27 Keterangan DPR, lihat selengkapnya dalam Putusan MKRI, h. 176; lihat juga Putusan MKRI , h. 196. sama kepada penanam modal asing dan penanam modal dalam negeri. Pasal ini bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 tentang sistem perekonomian Indonesia. 28 Menanggapi pernyatan Pemohon, Pemerintah mengatakan bahwa Pemohon ”terlalu tergesa-gesa” menyimpulkan Pasal 1 UU PM. Sedangkan terhadap Pasal 4 Ayat 2, Pemerintah mengajukan argumen ”asas non-diskriminasi” sesuai mandat WTO sebagaimana argumen Pemerintah terhadap permohonan Pemohon berkaitan dengan Penjelasan Pasal 3 ayat 1 huruf d. 29 Sedangkan menurut DPR, Pasal 1 Ayat 1 dan Pasal 4 Ayat 2 UU PM, sehubungan dengan hak penguasaan oleh Negara, dalam praktiknya negara memiliki keterbatasan-keterbatasan sehingga tidak mampu menguasai sendiri cabang-cabang produksi yang penting bagi masyarakat, bahkan menimbulkan kerugian bagi masyarakat akibat tidak efisien, transparan, dan profesional jika dikuasai negara sendiri oleh negara. Penguasaan oleh negara tidaklah sama dengan memiliki. Dengan kewenangan yang dimilikinya, hak penguasaan oleh negara itu tidaklah hilang. 30 3. Pasal 12 ayat 1, 3 dan 4 huruf a Pemohon I memohonkan Pasal 12 Ayat 4, sedangkan Pemohon II memohonkan Ayat 1 dan 3 untuk dibatalkan. Pemohon I mengatakan bahwa Pasal 28 Meskipun terdapat klausul “memperhatikan kepentingan nasional”, menurut Pemohon II, namun prinsip persamaan dan tidak membedakan antara pemodal asing dan pemodal dalam negeri telah melanggar amanat konstitusi mengenai pengelolaan perekonomian Nasional. Bah kan semangat dalam Pasal 4 Ayat 2 UU PM adalah untuk mengundang investor asing dengan memberikan beberapa kemudahan. Alasan Pemohon, lihat Selengkapnya dalam Putusan MKRI, h. 81-84. 29 Lihat h. 46 skripsi ini. Selengkapnya lihat Putusan MKRI, h. 134-136. 30 Keterangam DPR, lihat selengkapnya dalam Putusan MKRI, h. 195. 12 Ayat 4 bertentangan dengan Pasal 33 Ayat 2 dan 3 UUD 1945. Pasal 4 Ayat 2 huruf a mengatakan bahwa “kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan Presiden .” Menurut Pemohon I, logika dalam Pasal ini terbalik, sehingga mengakibatkan terancamnya bidang-bidang yang seharusnya dilindungi undang- undang dari modal asing. 31 Pemohon II mengatakan bahwa Pasal 12 Ayat 1 dan 3 bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 33 Ayat 2, 3 dan 5 UUD 1945. Pasal 12 Ayat 1 mengatakan bahwa “Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan ”, sedangkan Ayat 3 mengatakan bahwa “Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal.. .” Menurut Pemohon II, pengaturan bidang terbuka dan tertutup harus melalui undang-undang sebagaimana semangat dalam mandat konstitusi, bukan peraturan setingkat Perpres. 32 Terhadap anggapan Pemohon, Pemerintah mengatakan bahwa UU PM sudah memberikan batasan yaitu dalam Pasal 12 Ayat 3 yang meliputi kriteria kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional serta 31 Alasan Pemohon, lihat selengkapnya dalam Putusan MKRI, h. 33-35. 32 Alasan Pemohon, lihat selengkapnya dalam Putusan MKRI, h. 87-90. Leb ih jauh, Pemohon II menganggap seluruh ayat dalam Pasal in i bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 karena pada dasarnya seluruh ayat tersebut adalah saling terkait. Putusan MKRI, h. 90. kepentingan nasional lainnya, dan Ayat 5 yang mengatakan kriteria kepentingan nasional adalah perlindungan sumber daya alam, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah. Sedangkan berkaitan dengan pengaturan melalui Perpres sebagaimana dalam Ayat 4, adalah menyangkut masalah teknis yang bisa ditambah atau dikurangi sesuai dengan kebutuhan ekonomi. 33 Adapun DPR mengatakan bahwa ketentuan bidang-bidang usaha yang tertutup dan terbuka adalah berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia KBLI danatau International Standard for Industrial Classification sebagaimana dalam Penjelasan Pasal 12 Ayat 1. Selain itu, mengenai bidang usaha atau jenis usaha yang tertutup dan yang terbuka yang diatur melalui Perpres adalah sesuai dengan hierarki perundang-undangan Republik Indonesia berdasarkan UU No. 102004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 34 4. Pasal 21 dan 22 Ayat 1 huruf a, b dan c dan Ayat 2 UU PM Pasal 21 mengatakan bahwa “…Pemerintah memberikan kemudahan pelayanan danatau perizinan kepada perusahaan penanam modal untuk memperoleh: hak atas tanah, fasilitas pelayanan keimigrasian dan fasilitas perizinan impor .” Selanjutnya Pasal 22 Ayat 1 huruf a, b dan c UU PM memberikan 33 Keterangan Pemerintah, lihat selengkapnya dalam Putusan MKRI, h. 143-144. 34 Keterangan DPR, lihat selengkapnya dalam Putusan MKRI, h. 177-178; lihat juga Putusan MKRI , h. 196-197. kemudahan hak atas tanah bagi investor berupa Hak Guna Usaha HGU selama 95 tahun dengan cara ”dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 tahun dan dapat diperbarui selama 35 tahun ”, Hak Guna Bangunan HGB selama 80 tahun dengan cara “dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 tahun dan dapat diperbarui selama 30 tahun ”, dan Hak Pakai selama 70 tahun dengan cara “dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 tahun dan dapat diperbarui 25 tahun .” Pemohon menilai pemberian hak atas tanah tersebut terlalu berlebihan dan lebih lama dari ketentuan dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria PA dan bahkan dari Agrarische Wet produk pemerintah kolonial Belanda yang memberikan penguasaan tanah paling lama 75 tahun. Padahal, hal inilah yang menyebabkan ketimpangan penguasaan atas tanah sebagai cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, dan menyebabkan petani pribumi tersingkir dari pekerjaannya serta berbagai konflik agraria. 35 Oleh karenanya bertentangan dengan Pasal 28C Ayat 1 dan Pasal 33 UUD 1945. 36 Berkaitan dengan Pasal 21, Pemerintah mengatakan bahwa UU ini tidak hanya memberikan kemudahan kepada penanam modal asing, tapi juga kepada 35 Hasil Sensus Pertanian 2003 menyebutkan, jumlah rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar milik sendiri maupun menyewa mening kat 2,6 persen per tahun dari 10,8 juta ru mah tangga 1993 menjad i 13,7 juta ru mah tangga 2003. Persentase rumah tangga petani gurem terhadap ru mah tangga pertanian pengguna lahan juga meningkat ari 52,7 persen 1993 menjad i 56,5 persen 2003. Dari 24,3 juta ru mah tangga petani berbasis lahan ,20,1 juta 82,7 persen diantaranya dapat dikategorikan miskin. Hasil sensus tersebut membuktikan adanya ketimpangan dalam pemilikan tanah yang juga menjadi penyebab konflik agraria di Indonesia sebagaimana dilaporkan oleh KOMNAS HAM RI, KPA dan Badan Pertanahan Nasional. Lihat Putusan MKRI , h. 38. 36 Alasan Pemohon I, lihat selengkapnya dalam Putusan MKRI, h. 35-38; Alasan Pemohon II, lihat selengkapnya dalam Putusan MKRI, h. 90-97. penanam modal dalam negeri. Selain itu, juga tetap diberikan perlindungan kepada pedagang tradisional sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU PM. 37 Adapun terhadap Pasal 22 UU PM, Pemerintah mengatakan bahwa perpanjangan yang diberikan di muka adalah berupa jaminan dari Negara bagi penanam modal untuk mendapatkan jangka waktu yang cukup guna pengembalian modalnya. 38 Sedangkan DPR dapat memahami dan sepakat terhadap Pemohon bahwa UU PM memberikan penguasaan hak atas tanah yang lebih lama dari pada UU PA. Namun, lanjut DPR, masih ada batasan tertentu sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 22 Ayat 3 39 dan 4 40 UU PM. 41 Me nurut DPR, pengertian ”dikuasai” dalam 33 UUD 1945, tidak berarti harus memiliki, tapi suatu kewenangan mengusahakan baik secara langsung maupun tidak melalui pengaturan kegiatan usaha. 42 Menanggapi gugatan atas Undang-Undang Penanama Modal Tahun 2007, Hakim Konstitusi Maruarar dalam dissenting opinion-nya mengatakan bahwa bangsa Indonesia harus belajar dari segala pengalaman yang lalu dan harus memperhatikan pandangan-pandangan yang berbeda dari kebijakan-kebijakan yang dirumuskan oleh lembaga-lembaga Internasional untuk diikuti Indonesia sebagai kondisionalitas 37 Keterangan Pemerintah, lihat selengkapnya dalam Putusan MKRI, h. 146-147. 38 Keterangan Pemerintah, lihat selengkapnya dalam Putusan MKRI, h. 155-157. 39 Hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilaku kan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak. 40 Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan sekaligus di muka dan yang dapat diperbarui sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dan Ayat 2 dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umu m, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya,serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. 41 Keterangan DPR, lihat selengkapnya Putusan MKRI, h. 178-179. 42 Keterangan DPR, lihat selengkapnya Putusan, h. 180; lihat juga Putusan MKRI, h. 197. penyelamatan ekonomi yang justru membawa petaka dengan doktrin liberalisme dan free-market economy . UU No. 252007 tentang Penanaman Modal menggambarkan kebijakan baru, yang amat reseptif terhadap kekuatan global investor asing. Lebih lanjut, Hakim Konstitusi ini mengatakan bahwa penilaian norma-norma yang diuji di depan Mahkamah tidak boleh melupakan konteks kesejarahan Pasal 33 UUD 1945 yang hanya bernilai jika konkordan dengan jawaban atas pertanyaan untuk apa kemerdekaan kebangsaan disusun sebagaimana ditegaskan dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945, yang menjadi kerangka berpikir perekonomian nasional berupa usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan untuk memajukan kesejahteraan umum. Sehingga makna “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” dipahami bukan semata-mata pada bentuk.. Sejarah kebangsaan pra-proklamasi yang ingin melepaskan diri dari penjajahan secara politik dan ekonomi mencatat bahwa para founding fathers Indonesia menyusun UUD 1945 sebagai dasar negara Indonesia merdeka, berpijak pada semangat, jiwa dan cita-cita untuk melepaskan diri dari dominasi dan pemerasan kapitalisme yang mengabadikan kemiskinan rakyat. Hal ini bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia agar mampu berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain dan sanggup menjadi tuan di negeri sendiri. Oleh karenanya mengundang penanaman modal secara besar-besaran adalah tepat, tapi jika dalam semangat keterbukaan dan persaingan dalam doktrin ekonomi pasar sempurna yang tidak membedakan lagi penanam modal asing, yang pada hakikatnya merupakan modal besar dan memiliki jaringan global, dengan penanam modal dalam negeri yang secara umum masih lemah, baik modal, skill, pengalaman dan jaringan, adalah hal yang tidak adil dan tidak sesuai dengan semangat yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 UUD 1945. 43

C. Modal Asing dan Kepemilikan Negara; sebuah Konflik Kepentingan

1. Modal Asing dan Kepentingan Negara Maju Mengutip Erman Rajagukguk, Salim HS., SH, MS. dan Budi Santoso, SH., M.Hum., mengatakan bahwa ada dua teori yang menganalisa faktor penyebab negara maju menanamkan investasinya di negara berkembang; Teori Siklus Produk The product cycle theory dan Teori Organisasi Industri Vertikal The industrial Organization Theory of Vertical Integration . Teori yang pertama dikembangkan oleh Raymond Vernon 1966. Teori ini cocok diterapkan pada investasi asing secara langsung foreign-direct investment dalam bidang manufacturing, yang merupakan usaha ekspansi awal perusahaan-perusahaan Amerika. Sedangkan yang kedua cocok diterapkan pada multinasionalisme baru dan investasi yang terintegrasi secara vertikal, yakni produksi barang-barang di beberapa pabrik yang menjadi input bagi pabrik-pabrik lain dari suatu perusahaan. 44 Dalam literatur Marxisme, mengenai penanaman modal bisa ditemukan dalam teori imperialisme, yang merupakan perkembangan dari kapitalisme. 45 Setidaknya, 43 Dissenting Opinion , lihat selengkapnya dalam Putusan MKRI, h. 271-283; lihat juga Koran Tempo , 26 Maret 2008, h. A21-A23. 44 Salim HS, SH., MS., dan Budi Sutrisno, SH., M.Hu m., Hukum Investasi di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008, cet. I, h. 157-161. 45 Istilah Kapitalis me diciptakan oleh Karl Marx Mark Skousen, Sang Maestro Teori-Teori Ek onomi Modern , penerj.: Tri Wibowo Budi Santoso, Jakarta: Prenada, 2005, h. 167. Sebagaimana dikutip Anthony Giddens, Karl Mark menekan kan bahwa kapitalisme adalah suatu sistem produksi terdapat dua versi dalam teori ini; Imperialisme Perdagangan yang dikemukakan oleh Rosa Luxemburg dan Imperialisme Modal oleh Lenin 1870-1924. Menurut Rosa Luxemburg, kapitalisme harus mencari pasar di luar negeri. Kolonialisme dan imperialisme, lanjut Luxemburg, adalah pemecahan masalah produksi berlebihan. Sedangkan menurut Lenin pembentukan monopoli-monopoli dan modal moneter merupakan keniscayaan perkembangan kapitalisme. Ekspor komoditi semakin diganti dengan ekspor modal untuk memperkuat ketergantungan moneter dan ekonomi negara-negara pra-kapitalis kepada negara-negara industri maju yang kaya modal. Untuk mengurangi persaingan, kartel-kartel dan trust-trust internasional bersekutu dan membagi pasar komoditi dan wilayah bahan mentah di antara mereka. 46 2. UU Penanaman Modal dan Kepentingan Imperialisme Banyak perdebatan dalam UU Penanaman Modal. Masalah kontroversial sejak pembahasan Rancangan UU ini, sebagaimana dikemukakan Wakil Ketua ko moditi. Kapitalis me hidup dari penghisapan manusia satu atas manusia lainnya. Marx meru muskannya dalam teori n ilai lebih atau nilai surplus surplus value. Dalam sistem ini, yang berlaku adalah nilai tukar barang, bukan nilai pakai. Artinya orang memp roduksi atau membeli sesuatu bukan karena ia mau menggunakannya, melain kan karena ingin menjualnya lagi dengan keuntungan setinggi mungkin. Ru musan Karl Marx tentang Nilai Leb ih dan hubungan produksi dalam masyarakat Kapitalis me, lihat Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis karya-tulis Marx, Durk heim dan Max Weber , penerj.: Soeheba Kramadibrata, Jakarta: UI Press, 1986, h.43-79 ; Lihat juga Magnis-Suseno, h. 159-206; Skousen, h. 184-188. 46 Lihat selengkapnya Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme , Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999, cet. III, h. 234-239; lihat juga Franz Magnis-Suseno, Dalam Bayangan Lenin; Enam Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malak a , Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003, cet. I, h. 9-10. Umum Kadin, Chris Kanter, adalah masalah national interest. 47 Hal ini terkait dengan pernyataan Menteri Perdagangan Indonesia, Marie E. Pangestu berikut: “The essence of the new law UU Penanaman Modal baru, penulis is legal certainty as it provides equal treatment to domestic as well as foreign investmen ”. 48 Di Indonesia, proses kelahiran UU No. 11967 tentang Penanaman Modal Asing tidak bisa dilepaskan dari sejarah kepentingan Globalisasi Kapitalisme Amerika Serikat menghadapi Perang Dingin. Menurut Jeffrey Winters, sebagaimana dikutip Kwik Kian Gie, rancangan UU PMA disiapkan oleh kelompok David Rockeffeler di Jenewa, Swiss, bersama-sama dengan, yang oleh Rockeffeler dinamakan, kelompok Mafia Berkeley. 49 “Mafia Berkeley”, sebagaimana dikemukakan Revrisond Baswir, adalah sekelompok ekonom Indonesia yang “dibina” oleh pemerintah Amerika Serikat untuk membelokkan arah perekonomian Indonesia ke jalan ekonomi pasar neoliberal atau liberalisme. 50 Karena generasi pertamanya kebanyakan adalah lulusan Universitas Berkeley, California, maka 47 Chris Kanter, “UU Penanaman Modal dan Dampaknya terhadap Dunia Usaha”, makalah seminar sehari UU PM dan UU PT, Jakarta 2007. Diakses pada 16 Maret 2008 dari: http:www.kad in- indonesia.or.idenmimagesdokumenKADIN-98-2495-06022008.pdf. 48 Diakses pada 16 Maret 2008 dari: http:www.kadin-indonesia.or.idenmimagesdokumenKADIN-98-2495-06022008.pdf. 49 Kwik Kian Gie, ”50 Tahun Mafia Berkeley; Antara Kenyataan dan Fiksi”, Jakarta, 2006, h. 6. Kwik mengatakan bahwa boleh jad i istilah Mafia Berkeley kurang dikenal d i Indonesia. Tapi, istilah ini cukup dikenal d i dunia, terutama oleh lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia, Ban k Pembangunann Asia, IMF dan CGI. Kwik Kian Gie, “50 Tahun Mafia Berkeley: Antara Kenyataan dan Fiksi ”, Jakarta, 2006, h. 1. 50 Revrisond Baswir, Mafia Berkeley dan Krisis Ekonomi Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, cet. I, h. 17. Menurut Rizal Mallarangeng, sebutan Mafia Berkeley bermu la dari sebuah kelo mpok d iskusi sabtu malam Emil Salim dan kawan-kawan di Berkeley di bawah bimb ingan para ekonom terkemuka A merika Serikat. Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992 , penerj.: Martin Aleida, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002, cet. I, h. 43.