Hukum dan Kepentingan LANDASAN TEORI

Tampak jelas bahwa lembaga legislatif lebih dekat dengan pekerjaan politik dari pada dengan hukum itu sendiri. 6 Jika proses-proses politik itu dihubungkan dengan tujuan hukum, yang pada dasarnya adalah untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, maka di zaman yang tidak lagi primitif, tujuan bersama itu dirangkum dalam sebuah organisasi kekuasaan bersama bernama negara. Maka, perlu dikemukakan di sini beberapa hipotesa tentang proses terbentuknya negara dengan segenap kepentingan-kepentingan di dalamnya. Filosof Yunani Klasik, Plato dan Arisoteles mengatakan bahwa menurut kodratnya manusia adalah zoon politicon atau makhluk yang hidup dalam “negara” polis , atau diterjemahkan dalam terminologi modern sebagai “makhluk sosial”. Artinya, adalah keniscayaan alamiah manusia untuk bermasyarakat, karena manusia tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Lebih jelas, Plato mengajukan argumen ekonomi dalam hal keniscayaan terbentunya polis itu; seperti tuntutan spesialisasi dalam hal pekerjaan. Baik Plato maupun Aristoteles menganggap bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk memperoleh “kebahagiaan” atau eudaimonia. Keteraturan kehidupan manusia itu dituntun oleh sebuah “ikatan sosial” Philia. Philia sendiri tidak lain adalah tuntutan ”moralitas sosial” Nomos yang hanya bisa diwujudkan dalam polis. 7 6 Moh. Mahfudz MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2001, cet. II, h. 8-9. 7 Mengenai pandangan Plato mengenai etika, moral dan politik, lihat selengkapnya K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani , Yogyakarta: Kan isius, 2006, cet. XXII, h. 140-151, sedangkan pandangan Aristoteles mengenai moral, etika dan politik, lihat selengkapnya K. Bertens, h. 192-204. Lihat juga Alvin Johnson, Sosiologi Hukum, penerj.: Rinaldi Simamora, S.H., Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994, cet. I, h. 72-73; Suhelmi, Pemikiran Politik Barat..., h. 35-47. Dalam pandangan Thomas Hobbes 1588-1679, manusia bukanlah hewan sosial social animal seperti yang dibayangkan Plato dan Aristoteles. Dalam “keadaan alamiah, menurut Hobbes, manusia memiiki watak suka perang dan berada dalam kekacauan. Hobbes menyebutnya dengan homo homini lupus atau manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya dan bellum omnium contra omnes atau manusia berperang melawan semua. Dalam keadaan ini, akal manusia dipaksa berperan untuk mencari kehidupan alternatif yang lebih baik. Kehidupa n alternatif itu ditemukan Hobbes setelah manusia mengadakan perjanjian antar individu atau kontrak sosial yang dalam bahasa Hobbes disebut dengan covenant. Di sinilah negara terbentuk. Dalam perjanjian itu, manusia sepakat untuk mematuhi undang-undang dan tidak saling menyerang. 8 Berbeda dengan Hobbes, John Locke 1632-1704 justru memandang kehidupan alamiah state of nature manusia dalam keadaan damai dan teratur di bawah kendali akal budi reason yang merupakan Suara Tuhan voice of God. Mulanya, manusia memanfaatkan alam seperlunya saja. Namun setelah manusia menemukan sistem moneter dan kepemilikan privat, muncullah ketimpangan yang membuat mereka yang tersingkir dan miskin iri kepada mereka yang kaya. 9 Bagi Locke, negara didirikan dalam rangka melindungi kepemilikan individu tersebut. 10 8 Selengkapnya lihat Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perk embangan Pemik iraan Negara, Masyarakat dan Kek uasaan , Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001, cet. I, h. 168-176; Azhary, Negara Hukum Indonesia, h. 23-25. 9 Mengenai hipotesa ”State of Nature”-nya Locke. Selengkapnya lihat Suhelmi, Pemikiran Politik Barat... , h.189-193. 10 Pandangan Locke tentang ”Supreme of Power”, selengkapnya lihat, Ibid, h. 194-205. Mirip dengan konsep keadaan alamiah-nya Locke, Karl Marx 1818-1883 mencita-citakan masyarakat tanpa kelas, tanpa penghisapan satu manusia atas manusia lainnya. 11 Hanya saja, jika Locke menghargai kebebasan dan pemilikan individu, Marx justru mengabaikannya dan mencita-citakan negara tanpa pemilikan individu atau negara tanpa kelas. Berangkat dari filsafat Materialisme Dialektika Historis , Karl Marx membuat pembagian dalam lingkup kehidupan manusia menjadi dua bagian besar, yaitu “basis“ atau “infrastruktur” dan “bangunan atas” atau “superstruktur”. Yang dimaksud basis dalam hal ini adalah struktur ekonomi dalam masyarakat yang terdiri dari alat-alat produksi atau tenaga-tenaga produksi produktivkrafte dan hubungan-hubungan sosial dalam produksi produktionsverhaltnisse. Hubungan produksi di sini adalah hubungan antara pemilik modal atau pemilik alat produksi dengan pekerja. Sedangkan yang dimaksud dengan superstruktur adalah segala macam lembaga yang mengatur kehidupan masyarakat di luar bidang produksi; organisasi pasar, sistem pendidikan, sistem kesehatan masyarakat, sistem lalu lintas, dan terutama sistem hukum dan negara. 12 11 Mengenai perkembangan masyarakat pra-kelas dalam h ipotesa Marx, lihat misalnya Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial..., h. 29-33. Ide-ide mengenai masyarakat tanpa kelas sebenarnya sudah ada sebelum Karl Marx. Di antaranya dikemukakan oleh Francois -Noel Babeuf, Saint-Simon, Robert Owen, Charles Fourier, Etienne Cabet, Louis -Auguste Blanqui, Weitling, Proudhon, Louis Blanc dan Moses Hess. Lihat selengkapnya Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx... h. 13-44. Dalam hal ini, Marx “datang” untuk membuatnya menjadi ilmiah.. Bahkan, jauh sebelumnya, Plato telah mengidealkan masyarakat ko munisme utopis. Lihat K. Bertens, Sejarah Filsafat... , h. 146-148. Meski, dalam karya-karya selanjutnya, sebagaimana dikemukakan Hatta, Plato ”menganulir” cita-cita masyarakat komunis me itu dengan mengakui kepemilikan perserangan dengan tetap mengharamkan penumpukan kekayaan pada satu tangan. Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani , Jakarta: UI-Press, 1986, cet. III, h. 114. 12 Lihat selengkapnya, Franz Magnis -Suseno, Pemikiran Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis k e Perselisihan Revisionisme , Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999, cet. IX, h. 87-177; lihat juga Ken Budha Kusumandaru, Karl Marx, Revolusi dan Sosialisme; Sanggahan terhadap Franz Dalam masyarakat yang berlandaskan nilai konflik sebagaimana di atas, maka berkaitan dengan pembuatan hukum di dalamnya, menurut Cambliss, ada dua kemungkinan, yaitu: pertama, merupakan proses adu kekuatan, dan negara menjadi senjata bagi penguasapemenang. Kedua, sekalipun terdapat pertentangan nilai di dalamnya, negara tetap dapat berdiri sebagai badan yang tidak memihak. 13 Senada dengan Cambliss, Schuyt mengatakan bahwa dua kemungkinan yang ditimbulkan atas pembuatan hukum dalam masyarakat seperti ini adalah; pertama, sebagai sarana untuk mencairkan pertentangan conflictoplossing dan kedua, sebagai tindakan yang memperkuat terjadinya pertentangan lebih lanjut conflictversterking. 14 Berangkat dari uraian di atas, penulis mengklasifikasikan pengertian hukum menjadi dua kubu; pertama, hukum sebagai alat peredam konflik kepentingan dan dalam posisi netral, dan kedua hukum sebagai alat kelompok pemenang untuk melanggengkan kepentingannya, dan dengan demikian berada dalam posisi yang tidak netral. Pengertian kelompok kedua ini sekaligus sebagai antitesis atas pengertian hukum mainstream yang diajukan kelompok pertama. Termasuk dalam kelompok pertama adalah pengertian yang dikemukakan antara lain oleh para pemikir dan sarjana hukum sebagai berikut: Magnis-Suseno , Yogyakarta: Resist Book, 2006, cet. I, h. 54-196. Kedua karya in i sama-sama mengupas pemikiran Karl Marx, hanya saja, jika pada karya Magnis -Suseno cenderung anti-Marx melalui ”beberapa catatan kritisnya”-nya, maka Kusumandaru, dengan ”marah -marah” membela Marx. Pemikiran ”pertentangan kelas”-nya Marx ini kemudian dijadikan dasar klasifikasi sejarah peradaban Eropa ke dalam 4 empat periode; ko munisme primitif, perbudakan, feodalisme dan kapitalisme. Periode terakhir kapitalisme merupakan masa transisi kepada ”diktatur proletariat”. Lihat, Suhelmi, Pemik iran Politik Barat... , h. 284. 13 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Penerbit Angkasa, tt, h. 50. 14 Ibid , h. 50-51. 1 Aristote les Hukum partikular adalah hukum yang tiap-tiap komunitas bersandar kepadanya dan berlaku untuk masyarakat itu. 15 2 Leo n Duguit Hukum adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan yang jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu. 16 3 Dr. E. Utrec ht, SH Hukum adalah himpunan peraturan perintah dan larangan yang mengurus tata-tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu. 17 4 Teori S is te m Untuk melengkapi pengertian hukum “netral”, penulis kemukakan Teori Sistem. Teori Sistem dalam hukum merupakan teori yang sudah cukup tua. Kebanyakan ahli hukum berkeyakinan bahwa teori hukum yang mereka kemukakan, di dalamnya terdapat sebuah sistem. Asumsi umum mengenai sistem mengartikan kepada kita secara langsung bahwa jenis sistem hukum telah ditegaskan lebih dari ketegasan yang dibutuhkan oleh sistem manapun. Suatu sistem merupakan suatu himpunan bagian yang saling berkaitan yang membentuk satu keseluruhan yang rumit 15 Kansil, Pengantar..., Jilid II, h. 9; Soeroso, Pengantar.... h. 37. 16 Kansil, Ibid; Soeroso, Ibid, h. 38. 17 Soeroso, Ibid, h. 35. dan kompleks tetapi membentuk satu kesatuan. 18 Yang mengemukakan Teori Sistem dalam hukum antara lain adalah Talcott Parsons, 19 H.L.A. Hart, 20 Ronald Dworkin 21 dan Anthony Allots. 22 Sedangkan pengertian hukum yang termasuk dalam kelompok kedua, atau yang menganggap hukum sebagai alat bagi “pemenang” dan tidak dalam posisi netral, adalah sebagai berikut: 1 Thras ymac hus Dalam dialognya dengan Socrates, sebagaimana diceritakan Plato, seorang sofis bernama Thrasymachus mengatakan bahwa kekuasaan adalah hukum, dan 18 Lihat selengkapnya, Otje Salman dan Anthon F Susanto, h. 86-90. 19 Menurut Parsons, setiap masyarakat memiliki empat permasalahan subsistem; adaptasi adaptation, pencapaian tujuan goal attainment, Integrasi integration, dan latensi atau pemeliharaan pola latency, yang disingkat AGIL. Hu ku m merupakan salah satu komponen penting dalam Teori Sistem Parsons. Fungsi utama undang-undang adalah mengintegrasikannya. Huku m men jadi alat untuk mengurangi konflik dan memudahkan interaksi sosial dengam mengatur relasi antara bagian-bagian yang berbeda-beda. Lihat selengkapnya, Sharyn L. Roach Anleu, Law and Social Cange, h. 41-44; lihat juga George Ritzer dan Douglas J. Good man, Teori Sosiologi Modern edisi Keenam , penerj.: Alimandan Jakarta: Prenada Media, 2004, cet. II, h. 121-136. 20 Inti pemikiran Hart terletak pada apa yang disebutnya sebagai primery rules dan secondary rules . Penyatuan dari keduanya merupakan pusat dari sistem huku m, dan keduanya harus berada dalam satu sistem huku m. Primary rules menekankan pada kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak bertindak. Hal ini akan ditemukan dalam seluruh bentuk dari hukum forms o f law. Lihat selengkapnya, Otje Salman, Teori Hukum; Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali , Bandung: Refika Aditama, 2007, cet. III., h. 90-92. 21 Inti pemikiran Dworkin adalah berkaitan dengan Content Theory-nya. Dworkin mengembangkan pemahaman bahwa hu ku m meliputi prinsip-prinsip, politik, standar-standar dan aturan-aturan. Teori sistem yang ditawarkan Dwo rkin adalah seperangkat prinsip sebagai sesuatu yang hipotikal, yaitu menciptakan dengan menyediakan pertimbangan yang terbaik tentang institusi hukum dalam masyarakat dan keputusan pengadilan, aransemen konstitusional dan out put dari badan legislatif. Empat karakteristik dalam sistem huku m menurut Dworkin adalah bagian element, hubungan relation, struktur structure dan penyatuan wholeness. Lihat selengkapnya, Salman, Teori Huk um , h. 93-94. 22 Adapun inti pemikiran Allots adalah berkaitan dengan apa yang disebutnya sebagai k omunik asi . Hukum, menurut Allots, merupakan proses komunikasi. Allots mengemukakan argumen konvensional untuk menyebut bahwa hukum adalah sebuah sistem; 1 huku m sebagai sistem aturan yang selalu berkaitan dengan manusia, 2 aturan tersebut adalah patokan prilaku, 3 tingkah laku berarti tingkah laku seseorang dalam masyarakat, dan 4 hanya aturan yang dibuat oleh otorita s yang berwenang dankompeten dalam masyarakat yang dapat disebut sebagai aturan hukum. Lihat selengkapnya, Salman, Teori Hukum, h. 95-97. keadilan adalah kepentingan golongan kuat. Pemerintahan, baik demokratis, aristokratis maupun autokratis, membuat undang-undang menurut kepentingan mereka masing-masing. Undang-undang yang melindungi kepentingan mereka itu dititahkan kepada rakyat sebagai ”adil” dan siapa yang melanggarnya dianggap bersalah dan dihukum. Jika suatu saat muncul orang kuat yang menggantikannya, ia akan menghapus segala peraturan itu dan menggantinya dengan yang sesuai dengan kepentingannya. 23 2 Karl Mar x Menurut Marx, hukum dan negara bukanlah sebagai bentuk-bentuk perwujudan dari kebebasan, tapi cenderung sebagai ungkapan dari hubungan- hubungan kemasyarakatan tertentu, yang di dalamnya produksi dan pemenuhan diorganisasi dengan cara tertentu. Hukum dan negara merupakan cara pengorganisasian produksi dan konsumsi. Secara hakiki, negara adalah negara kelas, artinya negara dikuasai secara langsung atau tidak oleh kelas yang menguasai bidang- bidang ekonomi. 24 3 Evge ni Pa s huka nis Sebagaimana pandangan kaum Marxis dan Neo-Marxis pada umumnya, yang mengungkap hukum dan perundang-undangan tidak terlepas dari struktur ekonomi dan kepentingan kelas, seorang Neo-Marxis, Pashukanis, adalah orang pertama yang 23 Dialog antara Socrates, Thrasymachus , Glaucon, Polemarchus dan Cleitophon mengenai Huku m dan Kead ilan selengkapnya lihat Plato, Republik, penerj.: Sylvester G. Sukur Jogjakarta: Bentang Budaya, 2002, cet. I, h. 21-51. 24 Meuwissen, Meuwissen tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Huk um , penerj.: Prof. Dr. B. Arief Sidharta, S.H., Bandung: Refika Aditama, 2007, cet. I., h. 73; Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx..., h. 120. mengaplikasikan kritik ekonomi-politik Marx menjadi kritik jurisprudensi pada tahun 1920-1930-an. Pashukanis mengemukakan teori hukum perubahan komoditi sebagai argumen bahwa untuk memahami hukum sebagai hubungan sosial sebagaimana Marx melihat modal. Pashukanis memprediksikan bahwa hukum privat dan perundang- undangan yang akan menghapus pemilikan pribadi akan semakin memburuk terkait dengan realita politik di Soviet, di mana hukum mengarah kepada pemusatan perencanaan ekonomi dan transformasi sosial. 25 4 Pie re Bo urd ie u Bourdieu mengatakan bahwa perdebatan dominan dalam jurisprudensi adalah perdebatan antara pendekatan Formalis Formalist Approach dan Instrumentalis Instrumentalist Approach. Bagi kelompok Formalis, hukum adalah sesuatu yang otonom dari nilai-nilai sosial dan pengaruh politik dan ekonomi. Hukum dikonseptualisasikan seperti sebuah sistem organik yang tertutup. Sedangkan menurut pendekatan instrumentalis, hukum adalah refleksi dari kepentingan ekonomi dan politik untuk melayani kepentingan kelas dominan, seperti kelas kapitalisborjuis atau kelas laki-lakipatriarkhi. 26 5 Charles Sa mford Samford adalah pencetus Teori Keos dalam Hukum, yang merupakan pengkritik dan menganggap gagal Teori Sistem dalam Hukum. Samford mengatakan 25 Lihat selengkapnya, Sharyn L. Roach Anleu, Law and Social Cange, London-Thousand Oaks-New Delhi: SA GE Publications, 2000, cet. I, h. 61-62. 26 Lihat selengkapnya, Ibid, h. 54-55. Lebih lanjut, Bourdieu mengatakan bahwa hukum tampak seperti universal, abstrak dan dapat digunakan untuk seluruh masyarakat, padahal dalam kenyataannya hukum merefleksikan ketidaksamaan reproduksi sosial reproduces social inequalities dan tidak universal specific worldviews. Lihat, Ibid, h. 56. bahwa teori hukum tidak hanya muncul dari sistem, tapi dapat juga muncul dari situasi keos. Bahkan, menurut Samford, masyarakat sendiri selalu berada dalam jalinan hubungan-hubungan yang tidak dapat diprediksi dan tidak teratur. Singkatnya, masyarakat hidup tanpa sistem atau dalam bahasa Samford disebut Melee. Samford memperlihatkan adanya kebenaran selain kebenaran yang selama ini diklaim oleh paham hukum sistematis. Bagi pemikir sistematis-positivistik, keadaan chaosmeleedisordera simetris yang di dalamnya terkandung pluralitas, diversitas, multiplisitas dan transformasi sebagai hantu yang menakutkan dan dipandang negatif. 27 6 Roberto M Unge r Aktivis Critical Legal Studies CLS ini mengatakan bahwa implikasi dari dikotomi negara-masyarakat, kita bisa menyimpulkan bahwa hukum publik bertindak sebagai alat negara untuk memanipulasi relasi-relasi sosial. Hukum menjadi alat kepentingan kekuasaan kelompok-kelompok yang mengendalikan negara. 28 27 Lihat selengkapnya Otje Salman dan Anthon F Susanto, h. 104-108. Dennis J. Brion mengatakan bahwa gagasan Samford memberikan implikasi yang serius terhadap filsafat dan metode dalam ilmu hukum. Karena, pada dasarnya pandangan umum tentang hukum akan berubah total, hal ini tentu saja sebuah mo mentum penting yang dapat kita tempatkan sebagai sebuah lonjakan paradigmatik paradigm shift sebagaimana terjadi dalam ilmu pengetahuan lainnya. Lihat, Ibid, h. 106. 28 Roberto M Unger, Teori Hukum Kritis; Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern, penerj.: Dariyatno dan Derta Sri Widowatie Bandung: Penerbit Nusamedia, 2007, cet. I, h. 78-79. Dalam hal ini Unger mengemukakan tiga konsep hukum; Pertama, huku m adat customery law atau hukum interaksional interactional law. Unger mengatakan bahwa dalam pengertiannya yang lebih luas, hukum adalah setiap pola interaksi yang muncul beru lang -ulang di antara banyak indiv idu dan kelo mpok, diikuti pengakuan yang relatif eksplisit dan memunculkan ekspektasi perilaku timbal-balik yang harus dipenuhi. Inilah yang disebut Unger sebagai customery law atau interactional law itu. Kedua , hukum biro kratis bureucratic law atau hukum pengatur regulatory law, yaitu hukum positif yang ditegakkan oleh pemerintah. Sedangkan yang ketiga adalah tatanan hukum legal order atau legal system yang bercirikan otonomi khusus, institusional, metodologis dan okupasional. Dalam ciri Sebagai penutup sub bab ini, penulis kemukakan unsur dan ciri yang melekat dalam hukum. Unsur-unsurnya adalah: 1 adanya peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat, 2 peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib, 3 peraturan itu bersifat memaksa; dan 5 Adanya sanksi terhadap pelanggaran atas peraturan tersebut adalah tegas. 29 Adapun ciri-cirinya adalah: 1 adanya perintah danatau larangan; 30 2 perintah danatau larangan itu harus patuh ditaati setiap orang; 31 dan 3 ciri terpenting dari hukum, sebagaimana dikemukakan Prof. Dr. D.H.M. Meuwissen, adalah menyangkut obyek dan isi hukum. Hukum memiliki pretensi untuk mewujudkan atau mengabdi pada tujuan tertentu. 32

B. Negara Hukum dan Rasio-Legis-Falsafi Kenegaraan Indonesia

1. Negara Hukum Dalam khazanah ilmu hukum, ada dua istilah yang diterjemahkan secara sama ke dalam kepustakaan bahasa Indonesia menjadi Negara Hukum; rechtstaat dan rule yang terakhir, sekelo mpok khusus, profesi legal, yang dicirikan oleh aktivitas, prerogative, dan pendidikannya, meman ipulasi peraturan, mengisi jabatan dalam institusi-institusi hukum dan terlibat praktik perdebatan hukum. Tiga konsep hukum in i, menurut Unger, dapat dianggap sebagai spesies dalam genus tatanan normative normative order. Ketiga-tiganya menjabarkan bagaimana standar- standar prilaku. Bermula dari interactional law, keteraturan dan standar itu bersifat lestari. Lalu dengan munculnya hukum birokratis dan tatanan hukum, pembedaannya menjadi semakin tajam, meski tidak pernah absolut. Dunia fakta dan norma mulai menampilkan identitas yang berlainan. Lihat selengkapnya, Ibid, h. 61-83. 29 Kansil, 12. Lihat juga Soeroso, h. 38. 30 Kansil, h . 12. 31 Ibid , h. 12. 32 Penjabaran ciri-ciri huku m menurut Meuwissen, lihat selengkapnya Prof. Dr. D.H.M. Meuwissen, Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Huk um dan Filsafat Hukum, penerj.: Porf. Dr. B. Arief Sidharta, S.H., Bandung: PT Refika Aditama, 2007, cet, ke -1, h. 35-37. of law . 33 Survey Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 1975 menyimpulkan bahwa Negara Hukum merupakan terjemahan langsung dari rechtstaat . Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Notohamidjojo. Namun, sejak tahun 1966, sudah dikenal istilah rule of law, yang antara lain dikemukakan oleh Sunaryati Hartono. 34 Menurut Roscoe Pound, terdapat perbedaan antara rechsstaat dengan rule of law . Rechsstaat memiliki karakter administratif, sedangkan rule of law berkarakter yudisial. Rechsstaat bersumber dari tradisi hukum negara-negara Eropa Kontinental yang bersandar pada civil law dan legisme yang menganggap hukum adalah hukum tertulis, sedangkan rule of law berkembang dalam tradisi hukum negara-negara Anglo Saxon yang mengembangkan common law hukum tak tertulis. 35 Senada dengan Pound, Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa karena rechsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme, sifatnya revolusioner, sebaliknya dengan rule of law justru berkembang secara evolusioner. 36 2. Negara Hukum dan Rasio-Legis-Falsafi Kenegaraan Indonesia Tanggal 17 Agustus 1945 adalah hari lahirnya negara Republik Indonesia. Ditandai dengan pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia oleh Soekarno-Hatta sekitar pukul 10.00 WIB dan diiringi dengan pengibaran bendera 33 Moh.Mahfudz MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2006, cet. I, h. 24. 34 Azhary, Negara Hukum Indonesia, Jakarta: UI-Press, 1995, cet. I, h. 30-33. 35 Lihat selengkapnya Mahfudz MD, Membangun Politik Hukum..., h. 25-26; Azhary, Negara Huk um Indonesia , h. 32-33. 36 Azhary, Ibid, h. 33. Merah Putih dan lagu Indonesia Raya. 37 Proklamasi Kemerdekaan ini kemudian menjadi sumber hukum bagi pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 38 Beberapa teori kenegaraan yang terdapat dalam proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia adalah: a. Proklamasi sesuai dengan teori kenegaraan modern tentang terbentuknya sebuah negara dalam lingkungan masyarakat negara-negara lainnya secundaire staatswording . Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berarti lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. 39 Namun, Indonesia tidak berdasarkan vertrag atau kontrak sosial antar individu ala Barat seperti Locke atau Hobbes, tapi berdasarkan gesamt akt atau konsensus sosial yang mengutamakan mutualism dan brotherhood serta semangat ukhuwah. 40 b. Dengan proklamasi sekaligus terbentuk suatu bangsa yang sadar bernegara natie dari bangsa Indonesia sebagai suatu kelompok manusia yang berkebudayaan yang sama. Dengan kata lain, meminjam istilah Ben Anderson, terbentuklah sebuah “komunitas terbayang”. 41 37 Mengenai proses- proses terjadinya “Revolusi Indonesia”, lihat selengkapnya dalam M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern…, h. 317-320; lihat juga Kahin, Nasionalisme…, h. 170-175. 38 Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H., dan Cristine S.T. Kansil, S.H., M.H., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Huk um Indonesia , Jakarta: Balai Pustaka, 1993, cet. IX, jilid II, h. 14. 39 Padmo Wahjono, Negara Republik Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1986, cet. II, h. 4; Kansil, Pengantar Huk um Indonesia , jilid II, h. 15. 40 Sri- Edi Swasono, “Berkeley Mafia vs Pemikiran Hatta”, h. 13-14. Makalah Seminar 50 Tahun Mafia Berkeley, Jakarta, 2006. 41 Padmo Wahjono, Negara Republik Indonesia, h. 4. Benedict Anderson mendefinisikan bangsa nation sebagai ko munitas politis dan dibayangkan, sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan. Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil pun tidak bakal tahu dan tidak akan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Namun di benak anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka. Lihat Benedict