Hukum dan Kepentingan LANDASAN TEORI
Tampak jelas bahwa lembaga legislatif lebih dekat dengan pekerjaan politik dari pada dengan hukum itu sendiri.
6
Jika proses-proses politik itu dihubungkan dengan tujuan hukum, yang pada dasarnya adalah untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, maka di zaman yang tidak
lagi primitif, tujuan bersama itu dirangkum dalam sebuah organisasi kekuasaan bersama bernama negara. Maka, perlu dikemukakan di sini beberapa hipotesa tentang
proses terbentuknya negara dengan segenap kepentingan-kepentingan di dalamnya. Filosof Yunani Klasik, Plato dan Arisoteles mengatakan bahwa menurut
kodratnya manusia adalah zoon politicon atau makhluk yang hidup dalam “negara”
polis , atau diterjemahkan dalam terminologi modern sebagai “makhluk sosial”.
Artinya, adalah keniscayaan alamiah manusia untuk bermasyarakat, karena manusia tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Lebih jelas, Plato mengajukan
argumen ekonomi dalam hal keniscayaan terbentunya polis itu; seperti tuntutan spesialisasi dalam hal pekerjaan. Baik Plato maupun Aristoteles menganggap bahwa
tujuan hidup manusia adalah untuk memperoleh “kebahagiaan” atau eudaimonia. Keteraturan kehidupan manusia itu dituntun oleh sebuah
“ikatan sosial” Philia. Philia
sendiri tidak lain adalah tuntutan ”moralitas sosial” Nomos yang hanya bisa
diwujudkan dalam polis.
7
6
Moh. Mahfudz MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2001, cet. II, h. 8-9.
7
Mengenai pandangan Plato mengenai etika, moral dan politik, lihat selengkapnya K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani
, Yogyakarta: Kan isius, 2006, cet. XXII, h. 140-151, sedangkan pandangan Aristoteles mengenai moral, etika dan politik, lihat selengkapnya K. Bertens, h. 192-204. Lihat juga
Alvin Johnson, Sosiologi Hukum, penerj.: Rinaldi Simamora, S.H., Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994, cet. I, h. 72-73; Suhelmi, Pemikiran Politik Barat..., h. 35-47.
Dalam pandangan Thomas Hobbes 1588-1679, manusia bukanlah hewan sosial social animal seperti yang dibayangkan Plato dan Aristoteles. Dalam
“keadaan alamiah, menurut Hobbes, manusia memiiki watak suka perang dan berada dalam kekacauan. Hobbes menyebutnya dengan homo homini lupus atau manusia
menjadi serigala bagi manusia lainnya dan bellum omnium contra omnes atau manusia berperang melawan semua. Dalam keadaan ini, akal manusia dipaksa
berperan untuk mencari kehidupan alternatif yang lebih baik. Kehidupa n alternatif itu ditemukan Hobbes setelah manusia mengadakan perjanjian antar individu atau
kontrak sosial yang dalam bahasa Hobbes disebut dengan covenant. Di sinilah negara terbentuk. Dalam perjanjian itu, manusia sepakat untuk mematuhi undang-undang
dan tidak saling menyerang.
8
Berbeda dengan Hobbes, John Locke 1632-1704 justru memandang kehidupan alamiah state of nature manusia dalam keadaan damai dan teratur di
bawah kendali akal budi reason yang merupakan Suara Tuhan voice of God. Mulanya, manusia memanfaatkan alam seperlunya saja. Namun setelah manusia
menemukan sistem moneter dan kepemilikan privat, muncullah ketimpangan yang membuat mereka yang tersingkir dan miskin iri kepada mereka yang kaya.
9
Bagi Locke, negara didirikan dalam rangka melindungi kepemilikan individu tersebut.
10
8
Selengkapnya lihat Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perk embangan Pemik iraan Negara, Masyarakat dan Kek uasaan
, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001, cet. I, h. 168-176; Azhary, Negara Hukum Indonesia, h. 23-25.
9
Mengenai hipotesa ”State of Nature”-nya Locke. Selengkapnya lihat Suhelmi, Pemikiran Politik Barat...
, h.189-193.
10
Pandangan Locke tentang ”Supreme of Power”, selengkapnya lihat, Ibid, h. 194-205.
Mirip dengan konsep keadaan alamiah-nya Locke, Karl Marx 1818-1883 mencita-citakan masyarakat tanpa kelas, tanpa penghisapan satu manusia atas
manusia lainnya.
11
Hanya saja, jika Locke menghargai kebebasan dan pemilikan individu, Marx justru mengabaikannya dan mencita-citakan negara tanpa pemilikan
individu atau negara tanpa kelas. Berangkat dari filsafat Materialisme Dialektika Historis
, Karl Marx membuat pembagian dalam lingkup kehidupan manusia menjadi dua bagian besar, yaitu “basis“ atau “infrastruktur” dan “bangunan atas” atau
“superstruktur”. Yang dimaksud basis dalam hal ini adalah struktur ekonomi dalam masyarakat yang terdiri dari alat-alat produksi atau tenaga-tenaga produksi
produktivkrafte dan
hubungan-hubungan sosial
dalam produksi
produktionsverhaltnisse. Hubungan produksi di sini adalah hubungan antara pemilik modal atau pemilik alat produksi dengan pekerja. Sedangkan yang dimaksud
dengan superstruktur adalah segala macam lembaga yang mengatur kehidupan masyarakat di luar bidang produksi; organisasi pasar, sistem pendidikan, sistem
kesehatan masyarakat, sistem lalu lintas, dan terutama sistem hukum dan negara.
12
11
Mengenai perkembangan masyarakat pra-kelas dalam h ipotesa Marx, lihat misalnya Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial..., h. 29-33. Ide-ide mengenai masyarakat tanpa kelas
sebenarnya sudah ada sebelum Karl Marx. Di antaranya dikemukakan oleh Francois -Noel Babeuf, Saint-Simon, Robert Owen, Charles Fourier, Etienne Cabet, Louis -Auguste Blanqui, Weitling,
Proudhon, Louis Blanc dan Moses Hess. Lihat selengkapnya Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx...
h. 13-44. Dalam hal ini, Marx “datang” untuk membuatnya menjadi ilmiah.. Bahkan, jauh
sebelumnya, Plato telah mengidealkan masyarakat ko munisme utopis. Lihat K. Bertens, Sejarah Filsafat...
, h. 146-148. Meski, dalam karya-karya selanjutnya, sebagaimana dikemukakan Hatta, Plato ”menganulir” cita-cita masyarakat komunis me itu dengan mengakui kepemilikan perserangan dengan
tetap mengharamkan penumpukan kekayaan pada satu tangan. Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani
, Jakarta: UI-Press, 1986, cet. III, h. 114.
12
Lihat selengkapnya, Franz Magnis -Suseno, Pemikiran Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis k e Perselisihan Revisionisme
, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999, cet. IX, h. 87-177; lihat juga Ken Budha Kusumandaru, Karl Marx, Revolusi dan Sosialisme; Sanggahan terhadap Franz
Dalam masyarakat yang berlandaskan nilai konflik sebagaimana di atas, maka berkaitan dengan pembuatan hukum di dalamnya, menurut Cambliss, ada dua
kemungkinan, yaitu: pertama, merupakan proses adu kekuatan, dan negara menjadi senjata bagi penguasapemenang. Kedua, sekalipun terdapat pertentangan nilai di
dalamnya, negara tetap dapat berdiri sebagai badan yang tidak memihak.
13
Senada dengan Cambliss, Schuyt mengatakan bahwa dua kemungkinan yang ditimbulkan
atas pembuatan hukum dalam masyarakat seperti ini adalah; pertama, sebagai sarana untuk mencairkan pertentangan conflictoplossing dan kedua, sebagai tindakan yang
memperkuat terjadinya pertentangan lebih lanjut conflictversterking.
14
Berangkat dari uraian di atas, penulis mengklasifikasikan pengertian hukum menjadi dua kubu; pertama, hukum sebagai alat peredam konflik kepentingan dan
dalam posisi netral, dan kedua hukum sebagai alat kelompok pemenang untuk melanggengkan kepentingannya, dan dengan demikian berada dalam posisi yang
tidak netral. Pengertian kelompok kedua ini sekaligus sebagai antitesis atas pengertian hukum mainstream yang diajukan kelompok pertama.
Termasuk dalam kelompok pertama adalah pengertian yang dikemukakan antara lain oleh para pemikir dan sarjana hukum sebagai berikut:
Magnis-Suseno , Yogyakarta: Resist Book, 2006, cet. I, h. 54-196. Kedua karya in i sama-sama
mengupas pemikiran Karl Marx, hanya saja, jika pada karya Magnis -Suseno cenderung anti-Marx melalui ”beberapa catatan kritisnya”-nya, maka Kusumandaru, dengan ”marah -marah” membela Marx.
Pemikiran ”pertentangan kelas”-nya Marx ini kemudian dijadikan dasar klasifikasi sejarah peradaban Eropa ke dalam 4 empat periode; ko munisme primitif, perbudakan, feodalisme dan kapitalisme.
Periode terakhir kapitalisme merupakan masa transisi kepada ”diktatur proletariat”. Lihat, Suhelmi, Pemik iran Politik Barat...
, h. 284.
13
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Penerbit Angkasa, tt, h. 50.
14
Ibid , h. 50-51.
1 Aristote les
Hukum partikular adalah hukum yang tiap-tiap komunitas bersandar kepadanya dan berlaku untuk masyarakat itu.
15
2 Leo n Duguit
Hukum adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan
dari kepentingan bersama dan yang jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu.
16
3 Dr. E. Utrec ht, SH
Hukum adalah himpunan peraturan perintah dan larangan yang mengurus tata-tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.
17
4 Teori S is te m
Untuk melengkapi pengertian hukum “netral”, penulis kemukakan Teori Sistem. Teori Sistem dalam hukum merupakan teori yang sudah cukup tua.
Kebanyakan ahli hukum berkeyakinan bahwa teori hukum yang mereka kemukakan, di dalamnya terdapat sebuah sistem. Asumsi umum mengenai sistem mengartikan
kepada kita secara langsung bahwa jenis sistem hukum telah ditegaskan lebih dari ketegasan yang dibutuhkan oleh sistem manapun. Suatu sistem merupakan suatu
himpunan bagian yang saling berkaitan yang membentuk satu keseluruhan yang rumit
15
Kansil, Pengantar..., Jilid II, h. 9; Soeroso, Pengantar.... h. 37.
16
Kansil, Ibid; Soeroso, Ibid, h. 38.
17
Soeroso, Ibid, h. 35.
dan kompleks tetapi membentuk satu kesatuan.
18
Yang mengemukakan Teori Sistem dalam hukum antara lain adalah Talcott Parsons,
19
H.L.A. Hart,
20
Ronald Dworkin
21
dan Anthony Allots.
22
Sedangkan pengertian hukum yang termasuk dalam kelompok kedua, atau yang menganggap hukum sebagai alat
bagi “pemenang” dan tidak dalam posisi netral, adalah sebagai berikut:
1 Thras ymac hus
Dalam dialognya dengan Socrates, sebagaimana diceritakan Plato, seorang sofis bernama Thrasymachus mengatakan bahwa kekuasaan adalah hukum, dan
18
Lihat selengkapnya, Otje Salman dan Anthon F Susanto, h. 86-90.
19
Menurut Parsons, setiap masyarakat memiliki empat permasalahan subsistem; adaptasi adaptation, pencapaian tujuan goal attainment, Integrasi integration, dan latensi atau
pemeliharaan pola latency, yang disingkat AGIL. Hu ku m merupakan salah satu komponen penting dalam Teori Sistem Parsons. Fungsi utama undang-undang adalah mengintegrasikannya. Huku m
men jadi alat untuk mengurangi konflik dan memudahkan interaksi sosial dengam mengatur relasi antara bagian-bagian yang berbeda-beda. Lihat selengkapnya, Sharyn L. Roach Anleu, Law and Social
Cange,
h. 41-44; lihat juga George Ritzer dan Douglas J. Good man, Teori Sosiologi Modern edisi Keenam
, penerj.: Alimandan Jakarta: Prenada Media, 2004, cet. II, h. 121-136.
20
Inti pemikiran Hart terletak pada apa yang disebutnya sebagai primery rules dan secondary rules
. Penyatuan dari keduanya merupakan pusat dari sistem huku m, dan keduanya harus berada dalam satu sistem huku m. Primary rules menekankan pada kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak
bertindak. Hal ini akan ditemukan dalam seluruh bentuk dari hukum forms o f law. Lihat selengkapnya, Otje Salman, Teori Hukum; Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali ,
Bandung: Refika Aditama, 2007, cet. III., h. 90-92.
21
Inti pemikiran Dworkin adalah berkaitan dengan Content Theory-nya. Dworkin mengembangkan pemahaman bahwa hu ku m meliputi prinsip-prinsip, politik, standar-standar dan
aturan-aturan. Teori sistem yang ditawarkan Dwo rkin adalah seperangkat prinsip sebagai sesuatu yang hipotikal, yaitu menciptakan dengan menyediakan pertimbangan yang terbaik tentang institusi hukum
dalam masyarakat dan keputusan pengadilan, aransemen konstitusional dan out put dari badan legislatif. Empat karakteristik dalam sistem huku m menurut Dworkin adalah bagian element,
hubungan relation, struktur structure dan penyatuan wholeness. Lihat selengkapnya, Salman, Teori Huk um
, h. 93-94.
22
Adapun inti pemikiran Allots adalah berkaitan dengan apa yang disebutnya sebagai k omunik asi
. Hukum, menurut Allots, merupakan proses komunikasi. Allots mengemukakan argumen konvensional untuk menyebut bahwa hukum adalah sebuah sistem; 1 huku m sebagai sistem aturan
yang selalu berkaitan dengan manusia, 2 aturan tersebut adalah patokan prilaku, 3 tingkah laku berarti tingkah laku seseorang dalam masyarakat, dan 4 hanya aturan yang dibuat oleh otorita s yang
berwenang dankompeten dalam masyarakat yang dapat disebut sebagai aturan hukum. Lihat selengkapnya, Salman, Teori Hukum, h. 95-97.
keadilan adalah kepentingan golongan kuat. Pemerintahan, baik demokratis, aristokratis maupun autokratis, membuat undang-undang menurut kepentingan
mereka masing-masing. Undang-undang yang melindungi kepentingan mereka itu dititahkan
kepada rakyat sebagai ”adil” dan siapa yang melanggarnya dianggap bersalah dan dihukum. Jika suatu saat muncul orang kuat yang menggantikannya, ia
akan menghapus segala peraturan itu dan menggantinya dengan yang sesuai dengan kepentingannya.
23
2 Karl Mar x
Menurut Marx, hukum dan negara bukanlah sebagai bentuk-bentuk perwujudan dari kebebasan, tapi cenderung sebagai ungkapan dari hubungan-
hubungan kemasyarakatan tertentu, yang di dalamnya produksi dan pemenuhan diorganisasi dengan cara tertentu. Hukum dan negara merupakan cara
pengorganisasian produksi dan konsumsi. Secara hakiki, negara adalah negara kelas, artinya negara dikuasai secara langsung atau tidak oleh kelas yang menguasai bidang-
bidang ekonomi.
24
3 Evge ni Pa s huka nis
Sebagaimana pandangan kaum Marxis dan Neo-Marxis pada umumnya, yang mengungkap hukum dan perundang-undangan tidak terlepas dari struktur ekonomi
dan kepentingan kelas, seorang Neo-Marxis, Pashukanis, adalah orang pertama yang
23
Dialog antara Socrates, Thrasymachus , Glaucon, Polemarchus dan Cleitophon mengenai Huku m dan Kead ilan selengkapnya lihat Plato, Republik, penerj.: Sylvester G. Sukur Jogjakarta:
Bentang Budaya, 2002, cet. I, h. 21-51.
24
Meuwissen, Meuwissen tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Huk um
, penerj.: Prof. Dr. B. Arief Sidharta, S.H., Bandung: Refika Aditama, 2007, cet. I., h. 73; Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx..., h. 120.
mengaplikasikan kritik ekonomi-politik Marx menjadi kritik jurisprudensi pada tahun 1920-1930-an. Pashukanis mengemukakan teori hukum perubahan komoditi sebagai
argumen bahwa untuk memahami hukum sebagai hubungan sosial sebagaimana Marx melihat modal. Pashukanis memprediksikan bahwa hukum privat dan perundang-
undangan yang akan menghapus pemilikan pribadi akan semakin memburuk terkait dengan realita politik di Soviet, di mana hukum mengarah kepada pemusatan
perencanaan ekonomi dan transformasi sosial.
25
4 Pie re Bo urd ie u
Bourdieu mengatakan bahwa perdebatan dominan dalam jurisprudensi adalah perdebatan antara pendekatan Formalis Formalist Approach dan Instrumentalis
Instrumentalist Approach. Bagi kelompok Formalis, hukum adalah sesuatu yang otonom dari nilai-nilai sosial dan pengaruh politik dan ekonomi. Hukum
dikonseptualisasikan seperti sebuah sistem organik yang tertutup. Sedangkan menurut pendekatan instrumentalis, hukum adalah refleksi dari kepentingan ekonomi dan
politik untuk melayani kepentingan kelas dominan, seperti kelas kapitalisborjuis atau kelas laki-lakipatriarkhi.
26
5 Charles Sa mford
Samford adalah pencetus Teori Keos dalam Hukum, yang merupakan pengkritik dan menganggap gagal Teori Sistem dalam Hukum. Samford mengatakan
25
Lihat selengkapnya, Sharyn L. Roach Anleu, Law and Social Cange, London-Thousand Oaks-New Delhi: SA GE Publications, 2000, cet. I, h. 61-62.
26
Lihat selengkapnya, Ibid, h. 54-55. Lebih lanjut, Bourdieu mengatakan bahwa hukum tampak seperti universal, abstrak dan dapat digunakan untuk seluruh masyarakat, padahal dalam
kenyataannya hukum merefleksikan ketidaksamaan reproduksi sosial reproduces social inequalities dan tidak universal specific worldviews. Lihat, Ibid, h. 56.
bahwa teori hukum tidak hanya muncul dari sistem, tapi dapat juga muncul dari situasi keos. Bahkan, menurut Samford, masyarakat sendiri selalu berada dalam
jalinan hubungan-hubungan yang tidak dapat diprediksi dan tidak teratur. Singkatnya, masyarakat hidup tanpa sistem atau dalam bahasa Samford disebut Melee. Samford
memperlihatkan adanya kebenaran selain kebenaran yang selama ini diklaim oleh paham hukum sistematis. Bagi pemikir sistematis-positivistik, keadaan
chaosmeleedisordera simetris yang di dalamnya terkandung pluralitas, diversitas,
multiplisitas dan transformasi sebagai hantu yang menakutkan dan dipandang negatif.
27
6 Roberto M Unge r
Aktivis Critical Legal Studies CLS ini mengatakan bahwa implikasi dari dikotomi negara-masyarakat, kita bisa menyimpulkan bahwa hukum publik bertindak
sebagai alat negara untuk memanipulasi relasi-relasi sosial. Hukum menjadi alat kepentingan kekuasaan kelompok-kelompok yang mengendalikan negara.
28
27
Lihat selengkapnya Otje Salman dan Anthon F Susanto, h. 104-108. Dennis J. Brion mengatakan bahwa gagasan Samford memberikan implikasi yang serius terhadap filsafat dan metode
dalam ilmu hukum. Karena, pada dasarnya pandangan umum tentang hukum akan berubah total, hal ini tentu saja sebuah mo mentum penting yang dapat kita tempatkan sebagai sebuah lonjakan
paradigmatik paradigm shift sebagaimana terjadi dalam ilmu pengetahuan lainnya. Lihat, Ibid, h. 106.
28
Roberto M Unger, Teori Hukum Kritis; Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern, penerj.: Dariyatno dan Derta Sri Widowatie Bandung: Penerbit Nusamedia, 2007, cet. I, h. 78-79. Dalam hal
ini Unger mengemukakan tiga konsep hukum; Pertama, huku m adat customery law atau hukum interaksional interactional law. Unger mengatakan bahwa dalam pengertiannya yang lebih luas,
hukum adalah setiap pola interaksi yang muncul beru lang -ulang di antara banyak indiv idu dan kelo mpok, diikuti pengakuan yang relatif eksplisit dan memunculkan ekspektasi perilaku timbal-balik
yang harus dipenuhi. Inilah yang disebut Unger sebagai customery law atau interactional law itu. Kedua
, hukum biro kratis bureucratic law atau hukum pengatur regulatory law, yaitu hukum positif yang ditegakkan oleh pemerintah. Sedangkan yang ketiga adalah tatanan hukum legal order atau
legal system yang bercirikan otonomi khusus, institusional, metodologis dan okupasional. Dalam ciri
Sebagai penutup sub bab ini, penulis kemukakan unsur dan ciri yang melekat dalam hukum. Unsur-unsurnya adalah: 1 adanya peraturan mengenai tingkah laku
manusia dalam pergaulan masyarakat, 2 peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib, 3 peraturan itu bersifat memaksa; dan 5 Adanya sanksi
terhadap pelanggaran atas peraturan tersebut adalah tegas.
29
Adapun ciri-cirinya adalah: 1 adanya perintah danatau larangan;
30
2 perintah danatau larangan itu harus patuh ditaati setiap orang;
31
dan 3 ciri terpenting dari hukum, sebagaimana dikemukakan Prof. Dr. D.H.M. Meuwissen, adalah
menyangkut obyek dan isi hukum. Hukum memiliki pretensi untuk mewujudkan atau mengabdi pada tujuan tertentu.
32