Islam dan Negara Hukum Republik Indonesia

akal lâ ‘aqla lahâ. Sedangkan aspek lainnya ahkâm al-madînah, ahkâm al- jinâiyyah , ahkâm al-murâ fa’ât, ahkâm al-dustûriyyah, ahkâm al-dauliyyah dan ahkâm al-iqtishâdiyyah wa al-mâliyyah , Al- Qur‟an hanya menjelaskan kaidah- kaidah umum al-qawâid al- ‘âmmah dan prinsip-prinsip dasar al-mabâdi al- asâsiyyah , karena aspek-aspek tersebut lebih berhubungan dengan pertimbangan- pertimbangan kemaslahatan. 4 2. Relasi Islam dan Negara; Respon Atas Konstitusi RI Munawir Sadzali membagi tiga kelompok pandangan atas relasi Agama Islam dengan Negara; Pertama, kelompok yang berpendirian bahwa Islam adalah sebuah negara yang sempurna dan lengkap. Segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara, diatur oleh Islam. Yang termasuk dalam kelompok ini di antaranya adalah Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, kelompok yang berpendirian bahwa Islam tidak mempunyai hubungan dengan masalah ketatanegaraan. Tokohnya antara lain adalah Ali Abd Al-Raziq dan Thaha Husein. Ketiga. Kelompok yang berpendirian bahwa Islam bukanlah Agama yang serba lengkap, yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia termasuk urusan ketatanegaraan. Meski demikian, aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Menurut aliran ini, 4 Ibid , h. 33-34. Islam tidak menetapkan sistem ketatanegaraan, tapi menyediakan seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Diantara tokohnya adalah Husein Haikal. 5 Sebagaimana telah disinggung pada bab sebelumnya, bahwa negara Republik Indonesia berdasarkan atas Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pada masa- masa awal pembentukan dan sejarah awal perjalanan Republik Indonesia, terdapat perdebatan tiga ideologi politik yang sekaligus kemudian sangat mempengaruhi substansi Pancasila. Pada pertengahan tahun 1950an, setidaknya terdapat tiga aliran utama yang saling berdebat;: 1 Aliran yang menghendaki sosial-ekonomi sebagai dasar negara dan menolak Pancasila dan Islam, 2 Aliran yang menghendaki agama Islam sebagai dasar negara dan menolak Pancasila dan sosial-ekonomi, dan 3 Aliran yang mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara dan menolak sosial-ekonomi dan agama Islam. 6 Menurut Taqiyuddin An-Nabhani, pendiri sekaligus rujukan Hizbut Tahrir, Akidah Islam harus menjadi dasar Negara asâs al-daulah. Semua aspek kenegaraan 5 Munawir Sadzali, Islam dan Tatanegara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI-Press, 1993, cet. ke-5, h. 1 s.d 2. 6 A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, Jakarta; CSIS, 1985, cet. ke-1, h. 133-134. Diantara alasan aliran yang menolak dijadikannya Islam sebagai dasar negara adalah; 1 Islam tidak dapat me laksanakan Theo-Demo krasi yang bagus di atas dunia kebendaan ini, 2 Islam berisi unsur-unsur reaksioner, 3 bukan Islam yang mendorong angkat senjata untuk mencapai kemerdekaan, ia hanya menambah semangat perjuangan saja, 4 untuk kehidupan diperlukan musyawarah guna menyusun peraturan-peraturan untuk pergaulan hidup, 5 tiap orang bebas memilih agamanya, 6 golongan agama, tidak merupakan golongan yang bersatu dalam asas dan tujuannya, mereka mempunyai pengertian sendiri-sendiri, 7 partai-partai Islam mempuyai perbedaan tafsiran tentang Islam itu sendiri, dan lain -lain. Sedangkan alasan aliran yang menolak d ijad ikannya Pancasila sebagai dasar negara diantaranya adalah; 1 Uraian mengenai Pancasila asih kurang luas dan kurang diperinci, yang dikemu kakan hanya sifat universalnya saja, 2 dasar Pancasila menemui kegagalannya, selagi para penciptanya masih h idup dan masih men jalan kan kekuasaan penuh, 3 dengan Pancasila, negara kesatuan tidak dapat dipertahankan, dan lain-lain. Lihat selengakapnya A.M.W. Pranarka, Ibid, h. 134-152. harus dibangun berdasarkan Akidah Islam. Akidah Islam harus menjadi asas undang- undang dasar dan perundang- undangan Syar‟i. Negara harus menerapkan Syariah Islam atas seluruh rakyat warga negara, baik Muslim maupun Non-Muslim. Kepala Negara harus Muslim dan menerapkan Syariat Islam berdasarkan Al- Qur‟an dan Hadits. Da‟wah Islam menjadi tugas pokok Negara. 7 Dalam konteks negara Indonesia, pemikiran ini dianut oleh Hizbut Tahrir Indonesia. Konsekuensi logisnya adalah kelompok ini tidak mengakui Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara karena bagi kelompok ini Pancasila dan UUD 1945 adalah sistem sekuler dan kufur yang tidak berasal dari Islam. Oleh karenanya, kelompok ini memperjuangkan penerapan Akidah Islam sebagai dasar Negara dengan sistem khilafah. 8 Berbeda dengan pendapat kelompok di atas, Musyawarah Nasional Alim Ulama Munas Mahdlatul Ulama NU pada tahun 1983 memutuskan bahwa rumusan nilai-nilai yang dijadikan dasar negara Republik Indonesia sudah tuntas dengan ditetapkannya Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian, semua pihak harus hanya memahami dasar negara tersebut menurut bunyi dan makna bi al-lafdz wa ma’nâ al-murâd yang terkandung di dalamnya. Kaum muslimin Indonesia bersama-sama dengan seluruh bangsa Indonesia juga berkewajiban untuk memenuhi 7 Taqiyuddin Al-Nabhâni, Mafâh î m Hizb Al-Tahrîr , ttp: HTI Press, 2001, cet. ke -6, h. 84. Konsep dan pandangan HTI tentang Negara Khilafah selengkapnya lihat, Taq iyuddin An -Nabhâni, Al- Daulah Al-Islâmiyyah , Beirut; Dar Al-Ummat, 1953, cet. ke -1. 8 “Islam Harus Jadi Dasar Negara”, artikel diakses pada tanggal 14 April 2009 dari: http:hizbut-tahrir.or.id20080708islam-harus-menjad i-dasar-negara kesepakatan bersama itu. 9 Hal ini adalah karena tidak ada pertentangan antara Pancasila dan UUD 1945 dengan nilai-nilai Islam. Oleh karenanya, upaya mengganti dasar negara yang sudah sah tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh KH. Muhyiddin Abdusshomad, bahkan dengan dasar Islam sekalipun, adalah tidak dibenarkan menurut syara‟. 10

B. Tinjauan Islam Atas Hukum dan Kepentingan; Studi Atas Undang-Undang

Penanaman Modal di Indonesia Sebagaimana telah diuraikan dalam Bab III bahwa beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dinilai sarat akan kepentingan asing dan mengalahkan kepentingan nasional national interest. Bahkan, undang-undang yang merupakan penyempurna atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing tersebut secara prinsip bertentangan 9 Pengurus Besar Nahdlatul „Ulama PBNU, Nahdlatul ‘Ulama Kembali ke Khithah 1926, Bandung; Risalah Bandung, 1985, cet. ke-1, h. 57-58. KH. Said Aqil Siradj mengatakan bahwa berdirinya suatu engara merupakan suatu keharusan dalam suatu komunitas umat. Negara tersebut dimaksudkan untuk mengayomi kehidupan umat, melayani mereka serta men jaga kemaslahatan bersama mashlahah musytarakah. Keharusan ini bagi faham Sunni hanyalah sebatas kewajiban fakultatif fardl kifâyah saja, sehingga -sebagaimana mengurus jenazah- jika sebagian orang sudah mendirikannya, maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya. Bagi kalangan Sunni, tidak ada patokan yang baku dalam Negara. Suatu Negara diberi kebebasan menetukan bentuk pemerintahannya. Yang ada hanya beberapa prinsip yang harus dipenuhi seperti prinsip musyawarah sebagaimana ditegaskan dalah QS. Al-Syurâ, 42: 36-39, prinsip keadilan al’adl sebagaimaan ditegaskan dalam QS. Al-Nisâ‟, 4: 58, p rinsip kebebasan al-hurriyyah dalam konteks ushul al-khams yang menjadi kebutuhan kebutuhan primer dlaruri dan prinsip persamaan derajat al-musâwah. Lihat, Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jama’ah; Sebuah Kritik Historis, Tangerang: Pustaka Cendekiamuda Jakarta, 2008, cet. ke-1, h.53-59. 10 Muhyiddin Abdus S homad, “Mengkonversi Sistem Pemerintahan Pengantar Diskusi Seputar Khilafah”, artikel diakses pada tanggal 14 April 2009 dari: http:www.nu.or.idpage.php?lang=idmenu=news_viewnews_id=10652 dengan semangat konstitusi RI, terutama Pasal 33 UUD 1945. Berikut beberapa masalah dalam undang-undang tersebut dalam perspektif Islam: 1. Bidang Usaha Terbuka dan Tertutup Uraian mengenai bidang usaha yang dinyatakan terbuka dan tertutup untuk modal asing dinyatakan dalam Pasal 12 Ayat 1, 2 dan 3 UU Nomor 25 Tahun 2007 sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab III. Terkait masalah ini, banyak kajian ulama menyimpulkan bahwa kepemilikan pribadi berdasarkan Al- Qur‟an surat Ar-Rahman ayat 10 adalah tidak diperboleh kan. Namun, sebagaimana dikemukakan Abdul Sami‟ Al-Mishri, kesimpulan tersebut merupakan kesimpulan sepihak yang mengabaikan kebiasaan ‘urf yang ada pada masa Rasulullah SAW dan para Sahabat. Sealiran dengan pendapat awal terdapat sebuah sistem ekonomi yang berpendapat tentang pentingnya nasionalisasi seluruh aset-aset produksi. Islam telah menentukan beberapa kaidah yang mengatur distribusi kepemilikan yang harus dimiliki negara dan individu masyarakat, public sector BUMN dan private sector perusahaan swasta, serta batasan-batasan kepemilikan yang berhak dimiliki masyarakat umum secara luas maupun pribadi. 11 Adapun status perusahaan swasta yang mengelola benda milik umum, sebagaimana dikemukakan oleh Alimuddin A. Lajju , adalah seperti orang 11 Abdul Sami‟ Al-Mishri, Pilar-Pilar Ekonomi Islam, penerj.: Dimyauddin Djuwaini, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, cet. I, h. 65. yang menanam di atas tanah milik orang lain. 12 Hal tersebut didasarkan atas hadits berikut: يع ب ةبي ق ح , كي ش ح , ق ح إ بأ ع , ء طع ع , جي خ ب عفار ع , ل ق : ص ها لو ر ل ق .م :. عْرَ لا ل ْي ف ْ ْذإ ْيغب مْوق ضْرأ يف عرز ْ قْ لو ءْيش دواد وبأ هاور 13 Artinya: ”Siapa saja yang menanam di tanah suatu kaum tanpa izin tidak berhak atas tanaman itu sama sekali, namun dia berhak atas biaya yang dikeluarkannya.” HR. Abu Dawud Tentang pembatasan kepemilikan, Ibnu Taimiyah membagi kepemilikan menjadi 3 tiga macam. Pertama, hak milik individual; setiap individu memiliki hak untuk menikmati miliknya tapi dibatasi oleh beberapa kewajiban seperti tidak merugikan orang lain dan tidak boleh bertentangan dengan syariat. Kedua, hak milik sosial atau kolektif. Contoh terpentingnya adalah anugerah alam. Diantara alasan keharusan pemilikan kolektif atas anugerah alam adalah bahwa semua itu diberikan oleh Allah secara gratis. Jika ada individu yang menguasainya atau memilikinya secara privat, maka hal ini akan mengakibatkan kesulitan bagi yang lainnya. Menurut Ibn Taimiyah, penyebutan air, rumput, dan sumber api dalam hadits hanyalah misal. Ia menganjurkan seluruh barang mineral yang dihasilkan oleh tanah negara menjadi milik kolektif, seperti emas, perak, minyak dan sebagainya. Dan, ketiga, hak milik 12 Alimuddin A. Lajju, “Undang-Undang Penanaman Modal = Penjajahan Ekonomi Neoliberal”, artikel diakses pada tanggal 17-01-2009 dari: http:hizbut-tahrir.or.id20070522 undang-undang-penanaman-modal-penjajahan-ekono mi-neoliberal 13 Al-Imam Abu Daud, Sunan Abî Dâud, dalam Abî A l-Thayyib Muhammad Syams al-Haq Al- „Adzîm Al-Âbâdy, ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abî Dâud, Kairo; Dar al-Hadits, 2001, jilid VI, h. 273.