Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
ANK oleh Australia, Bank Indomonex dan Bank Swadesi oleh India, Bank Haga dan Hagakita oleh Rabo Bank Belanda, BNP oleh Bank of Tokyo dan bank-bank syariah
oleh Timur Tengah. Mirisnya, hampir semua bank-bank tersebut manggantungkan perolehan keuntungan dari Sertifikat Bank Indonesia SBI yang tidak lain adalah
uang Rakyat Indonesia.
6
Prof. Hendrawan Supratikno, Ph.D mengatakan bahwa banyak kalangan di Singapura mengomentari fakta tersebut dengan mengatakan
“Indonesia for sale Indonesia diobral”.
7
Sementara itu, angka kemiskinan di Indonesia pada tahun 2008 dengan standard US 1hari standard Bank Dunia, mencapai 15,4 atau sekitar 35.000
penduduk, angka yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka kemiskinan pada tahun 1990, yaitu 15,1. Jika standar tersebut dinaikkan menjadi US 2hari standar
PBB, maka hampir separuh penduduk Indonesia berada di bawah garis kemisninan. Sedangkan jumlah pekerja rentan pada tahun yang sama mencapai 62.
8
Padahal, sebagaimana dikemukakan Drajad Wibowo, seandainya lumbung minyak yang ada di Blok Cepu tidak diserahkan kepada perusahaan asing, dan tetap
dikelola Indonesia sendiri melalui Pertamina secara profesional, maka dengan asumsi
6
Pandji R. Hadinoto, ”Peraturan Presiden Tentang Penyelamatan Aset Bangsa dan Negara Menjadi Kebutuhan”, Figur, Edisi XIX, 2007, h. 4.
7
Prof. Hendrawan Supratikno, Ph.D, ”Privatisasi atau Piratisasi?”, Koran Seputar Indonesia, Jakarta, 21 November 2007, h. 11.
8
Lihat selengkapnya, UNDP, “MDGs Report”, laporan diakses pada tanggal 16 April 2009 dari: http:www.undp.or.idpubsdocsLet20Speak20Out20for20MDGs20-20ID.pdf
harga minyak mentah US 55 per barel dan gas US 3 per mmbtu, Pertamina akan memperoleh tambahan aset senilai minimal US 40 miliar.
9
Berkaitan dengan investasi asing, sejarah Negara Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah investasi Asing. Pada tahun 1870 Pemerintah kolonial
Belanda di Hindia Belanda menerapkan Undang-Undang Agraria Agrarische Wet. Tujuan utamanya adalah untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan
hukum kepada para pengusaha swasta besar agar dapat berkembang di Hindia Belanda.
10
Pada tahun inilah liberalisasi ekonomi secara resmi dimulai di Hindia Belanda. Pintu investasi terbuka lebar untuk para pemilik modal swasta Eropa. Hanya
dalam kurun waktu tidak lebih dari satu tahun sejak liberalisasi ekonomi Hindia Belanda dibuka, terjadi booming perusahaan swasta dari negara-negara Eropa selain
Belanda. Sebut saja pada tahun 1870, jumlah perusahaan swasta asing Belanda di Surakarta meningkat tajam hingga mencapai 160 buah. Jumlah tersebut mengalami
penurunan pada tahun-tahun berikutnya tergeser, bukan oleh perusahaan pribumi, tapi, oleh perusahaan swasta asing dari Inggris, Swedia, dan Belgia.
11
9
Dradjad Wibowo, “Ironi Blok Cepu”, Tempo, edisi 27 Maret -2 April 2006, April 2006 h. 44. Ironisnya, selama lebih dari 60 tahun Indonesia Merdeka, Pemerintah Indonsia hanya
mengeksploitasi minyaknya sendiri sebesar 8 persen, dan sisanya dieksploitasi bangsa asing. Kwik Kian Gie, ”Sudah Lama Bangsa Ini Tidak Mandiri,” artikel diakses pada tanggal 04 November 2008
dari http:www.my rmnews.co mindexframe.php?url=situsberitaindex.php?pilih=lihat2id=75 .
10
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia; Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelak sanaannya
, Jakarta: Penerb it Djambatan, 1997, cet VII, Jilid I, h. 37.
11
Zainul Munasichin, Berebut Kiri; Pergulatan Marxisme Awal di Indonesia 1912 -1926, Yogyakarta: LKiS, 2005, h. 2. Perusahaan asing yang masuk ke Hindia saat itu lebih banyak
mengambil sektor perkebunan seperti tebu, karet, kopi dan tembakau. Kesuburan tanah Nusantara adalah pertimbangan utamanya. Richard Robinson dalam Indonesia: The Rise of Capital 1986
mencatat bahwa pada tahun 1930-an luas perkebunan Hindia Belanda mencapai hamp ir 3,8 juta hektar. Ekspornya mencapai 1,6 miliar Gulden pada 1929. Gatra, Edisi Agustus 2005, h. 16. Dipilihnya sektor
perkebunan ini sekaligus menandai dimulainya revolusi agraria d i Hindia. Para petani bu miputera
Sejarawan sekaligus Indonesianis M.C. Ricklefs mengatakan bahwa pada zaman liberal sekitar tahun 1800-1900 modal perusahaan-perusahaan swasta
memainkan pengaruh yang sangat menentukan terhadap kebijakan penjajahan. Pada masa ini, di tangan perusahaan-perusahaan swasta produksi komoditi daerah tropis
meningkat dengan cepat. Pada tahun 1900 sampai 1930 produksi gula meningkat hampir empat kali lipat, dan produksi teh meningkat hampir sebelas kali lipat.
Produksi tembakau berkembang pesat mulai tahun 1860-an, terutama di pesisir timur Sumatera. Produksi lada, kopra, timah, kopi, dan komoditi-komoditi lainnya semakin
meningkat, dan kini sebagian besar dikembangkan di daerah-daerah luar Jawa.
12
Modal asing selain Belanda diinvestasikan terutama pada minyak dan karet. Investasi Inggris dalam perkebunan teh kira-kira dalam tahun 1900 merupakan
pemasukan pertama modal asing secara besar-besaran. Dari tahun 1912 setengah
diperkenalkan dengan sistem sewa-menyewa tanah yang dinilai dengan uang. Sebelumnya, yang dianut oleh para petani pribu mi adalah sistem bagi hasil. Lihat, Zainul Munasichin, Berekut Kiri, h. 2.
12
M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Penerj.: Drs. Dharmono Hardjo wid jono, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995, cet. ke-5, h. 229. Ada dua jenis komoditi yang
sangat penting untuk menempatkan Indonesia pada garis depan bagi kepentingan perekonomian dunia pada abad ke-20, yaitu minyak bu mi dan karet. Pada tahun 1890 A. J. Zijlker mendirikan Koninklijke
Nederlandsche Maatschappij tot Exploitatie van Petrolium-bronnen in Nederlandsch-Indie atau
Perusahaan Kerajaan Belanda bagi Eksploitasi Su mber-su mber Minyak Bu mi di Hindia Belanda, yang kemudian terkenal dengan de Koniklijke, setelah mendapatkan konsesi pada tahun 1883. Pada tahun
1892 produksi dimu lai dan pada tahun 1900 dimu lailah kegiatan ekspor minyak bu mi. Perusahaan - perusahaan lain pun segara turut tertarik untuk “mereguk” kandungan minyak bumi Nusantara.
Ricklefs mencatat pada tahun 1920-an ada sekitar 50 perusahaan yang beroperasi di Su matera, Jawa, dan Kalimantan. Untuk memb iayai pengeboran di Kalimantan Timur, pada tahun 1897 di London
didirikan sebuah perusahaan dengan modal Inggris, yaitu Shel Transport and Trading Company. Pada tahun 1907 Shell dan de Koninklijke bergabung menjadi satu dan menjad i salah satu perusahaan
mu ltinasional minyak terbesar dengan nama Royal Dutch Shell. Pada 1920an, turut pula mereguk nikmat minyak bu mi Nusantara, sebuah perusahaan asal Amerika Serikat, di antaranya dua yang
terpenting adalah Caltex dan Stanvac. Pada 1930, Jepang ikut memproduksi minyak bumi Nusantara dengan Borneo Oil Co mpany yang beroperasi di Kutai, Kalimantan timur. lihat, Ricklefs, Sejarah
Indonesia…, h. 229-230.
perusahaan-perusahaan karet di Jawa ada di tangan Inggris.
13
Pada tahun 1930, 44 persen dari luas tanah yang disediakan bagi tanaman-tanaman perkebunan yang
utama di Indonesia ditanami karet. Pada masa ini, Indonesia memproduksi hampir separoh pasokan karet dunia.
14
Melimpah-ruahnya tembakau di daerah Deli di Sumatera menarik modal-modal Inggris, Swiss, dan Jerman. Tahun 1913 investasi
modal Belanda di Sumatera Timur hanya 109 gulden dari jumlah 206 itu. Modal Belanda menguasai industri gula. Persis sebelum kejatuhan hebat harga-harga di
dunia, modal asing, termasuk Belanda, yang diinvestasikan di Hindia Belanda diperkirakan 50.000.000 gulden. Deflasi yang disebabkan oleh kejatuhan harga dunia
ternyata sangat berpengaruh terhadap modal asing yang ada di Hindia. Pada tahun 1939, modal itu diperkirakan 2,875 juta gulden. Dari jumlah ini kira-kira 75 adalah
milik Belanda, 13,5 milik Inggris dan 2,5 milik Amerika Serikat.
15
Banyaknya modal asing yang masuk ke Hindia ternyata hanya membawa keuntungan untuk negara-negara asing itu, sama sekali bukan untuk kesejahteraan
kaum pribumi. Sebut saja Belanda, sejak lima belas tahun penerapan liberalisasi 1870, pemerintah Belanda berhasil membayar hutang-hutangnya kepada sejumlah
negara Eropa yang sebelumnya memberikan pinjaman untuk kebutuhan perang melawan Diponegoro 1825-1830.
16
13
D. G. E. Hall, Sejarah Asia Tenggara. Penerjemah Drs. I.P. Soewarsha Surabaya: Usaha Nasional, 1988, cet. I, h. 734.
14
Ricklefs, Sejarah Indonesia …, h. 230.
15
Hall, Sejarah Asia…, h. 734.
16
Munasichin, Berebut Kiri …, h. 5.
Lebih detail, statistik 1930, seperti dikemukakan Prof. Mubyarto 2005 menunjukkan bahwa dari penerimaan Hindia Belanda yang sekitar 670 juta gulden
saat itu, 59,1 juta warga bumiputera hanya kecipratan 3,6 juta gulden atau 0,54. Penduduk “Asia lain”, terutama Tionghoa yang populasinya 1,3 juta, menangguk 0,4
juta gulden. Sedangkan bagian terbesar, 665 juta gulden 99,4 dinikmati oleh warga kulit putih yang hanya berjumlah 241.000 jiwa.
17
Untuk melaksanakan program penghisapan ekonominya, VOC membentuk aparat kekuasaan pribumi yang sebelumnya tidak begiu terpadu dan aparat kekuasaan
pribumi yang secara relatif berimbang menjadi sistem hirarki terpadu yang sifatnya sangat otoriter.
18
Proses peminggiran terhadap kaum pribumi ini dilakukan pemerintah kolonial Belanda dengan mengerahkan para bupati dan lurah untuk
mengorganisasi para petani lokal agar bersedia menyewakan tanahnya secara kolektif kepada pengusaha perkebunan asing. Kebijakan ini membawa dampak yang luar
biasa bagi para petani. Ini tentunya berkaitan dengan, sebagaimana disinggung di atas, bahwa kebanyakan modal asing itu memilih sektor perkebunan. Pertama, dalam
kurun waktu tertentu para petani mengalami apa yang disebut dengan vakum kepemilikan tanah. Pada masa vakum kepemilikan tanah ini petani diorganisasi untuk
alih profesi menjadi buruh pabrik. Ini artinya, jika pada mulanya petani pribumi adalah petani abadi, kini menjadi buruh pabrik. Kedua, para petani bumiputera mulai
17
“Koeli Kontrak di Kebun Tebu”, Gatra, Edisi Khusus Jejak Ekonomi Indonesia, No. 40 Tahun XI, 20 Agustus, 2005, h. 16.
18
Go rge McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia; Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik
, penerj.: Nin Bakdi Soemanto, Su rabaya: UNS-Press, 1995, cet. I. h. 7.
diperkenalkan dengan uang dalam jumlah yang cukup besar. Arti besar di sini adalah jika dibandingkan dengan yang pernah mereka pegang, bukan dalam arti
perbandingan dengan kerugian petani saat menggarap sawahnya. Secara bertahap, apa yang disebut dengan kapitalisasi perkebunan tersebut mendorong para petani semakin
teralienasi dari tanahnya. Tanah yang semula menjadi modal tetap petani tidak lagi sepenuhnya berada dalam kendali petani.
19
Mengenai hal tersebut, Pimpinan Sarekat Islam SI Semarang, Semaoen dalam Hikajat Kadiroen yang dimuat surat kabar
Sinar Hindia pada tahun 1920 mengatakan:
Golongan kaum buruh ini asalnya adalah dari kaum petani, tukang batik, tukang tenun, pedagang kecil dari berbagai macam bangsa dan sebagainya.
Sebagaimana tadi sudah saya terangkan, mereka kehilangan pekerjaannya karena terdesak oleh pabrik-pabrik, oleh mesin-mesin dan pedagang besar. Semakin canggih
dan berkembangnya pabrik dan mesin, semakin kuat pula sesakan menghilangkan pekerjaan asli bumiputra....
20
Di Sumatera, perkebunan Sanembah milik Belanda yang didirikan pada tahun 1889. Ibrahim Datuk Tan Malaka atau yang terkenal dengan Tan Malaka
menggambarkan nasib 240.000 kuli kontrak yang dipekerjakan di perkebunan tersebut sebagai berikut:
Inilah kelas yang memeras keringat dari pagi sampai malam; kelas yang diberi gaji hanya cukup untuk mengisi perutnya; kelas yang setiap saat bisa dipukul atau
dimaki-maki dengan godverdome; kelas yang setiap saat harus melepaskan istri atau anak perempuan kalau ada seorang kulit putih yang menyukainya... Inilah kelas orang
Indonesia yang dikenal sebagai kuli kontrak. Kuli-kuli perkebunan biasanya harus bangun pukul 4 pagi, karena tempat pekerjaan mereka jauh letaknya. Baru pukul 7
atau 8 malam boleh pulang. Bayarannya menurut kontrak berjumlah empat puluh sen setiap hari. Makanannya biasanya tidak cukup untuk melakukan pekerjaan yang berat
19
Munasichin, Berebut Kiri …, h. 2-3.
20
Ibid, h. 91
selama 8 sampai 12 jam setiap hari di bawah terik panas matahari. Pakaian mereka cepat menjadi compang-camping karena sering bekerja di hutan
.
21
Begitu jauhnya rakyat pribumi dari kesejahteraan, harian Pewarta Deli edisi 7 Desember 1932, sebagaimana dikutip Bung Karno dalam “Mencapai Indonesia
Merdeka ” mengabarkan bahwa “...Di kota sering ada orang yang menyamperi pintu
bui, minta dirawat di bui saja, sebab merasa tidak kuat sengsara. Di bui masih kenyang makan, sedang di luar belum tentu sekali sehari...
”.
22
Membuka lembaran sejarah Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari sejarah penguasaan modal asing terhadap sumber-sumber kehidupan bangsa Indonesia,
diikuti dengan perumusan cita-cita kemerdekaan dari dominasi ekonomi dan politik asing pada masa kemerdekaan, dan pada era pasca-perjuangan kemerdekaan justru
lahir Undang-Undang Penanaman Modal yang membuka kembali jalan bagi modal asing. Mencermati hal tersebut penulis tertarik untuk mengangkat skripsi dengan
judul “Hukum dan Kepentingan; Telaah Kritis Atas UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
dalam Perspektif Hukum Nasional dan Hukum Islam.”