AZAS-AZAS FILSAFAT Disusun Oleh
LAPORAN
PENYUSUNAN MODUL MATAKULIAH BERBASIS IT DIBIAYAI DENGAN DANA BOPTN FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS GADJAH MADA TAHUN ANGGARAN 2013
Nama Matakuliah:
AZAS-AZAS FILSAFAT
KODE MATAKULIAH : FIF 1201Disusun Oleh :
Drs. Sudaryanto, MHum.
FAKULTAS FILSAFAT UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA TAHUN 2013
(2)
HALAMAN PENGESAHAN
PENYUSUNAN MODUL MATAKULIAH BERBASIS IT DIBIAYAI DENGAN DANA BOPTN FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS GADJAH MADA TAHUN ANGGARAN 2013
1. NAMA MATAKULIAH : AZAS-AZAS FILSAFAT
2. IDENTITAS DOSEN
a. Nama Lengkap : Drs. Sudaryanto, M.Hum
b. Jenis Kelamin : Laki-laki
c. NIP : 195601231986011001
d. Jabatan/Pangkat/Gol. : Lektor Kepala/Pembina/IV/a e. Fakultas/Jurusan : Filsafat
f. Perguruan Tinggi : Universitas Gadjah Mada
g. Bidang Ilmu : Filsafat Seni
h. Alamat Kantor : Jl. Olahraga, Bulaksumur, Yogyakarta i. Alamat Rumah : Krapyak Kulon, Panggungharjo, Sewon,
Bantul
j. Hp./email : 08122695882
3. JANGKA WAKTU PENYUSUNAN : 15 Juli s.d. 23 Agustus 2013
4. BIAYA : Rp. 3.200.000, 00
(Tiga Juta Dua Ratus Ribu Rupiah)
Yogyakarta, 23 Agustus 2013 Penyusun
Drs. Sudaryanto, M. Hum
NIP. 195601231986011001
Menyetujui Mengetahui
PPK Fakultas Filsafat UGM Dekan Fakultas Filsafat UGM
Drs. Mustofa Amshori L, M. Hum Dr. M. Mukhtasar Syamsuddin NIP. 196707211991031001 NIP. 196802021994031002
(3)
RENCANA PROGRAM KEGIATAN
PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS)
1. Nama Matakuliah : Azas-azas Filsafat2. Kode/SKS : FIF 1201 / 2 SKS
3. Semester : I (satu)
4. Dosen Pengampu : Drs. Sudaryanto, M.Hum. 5. Tujuan Pembelajaran :
Pembelajaran matakuliah Azas-azas Filsafat bertujuan untuk membekali pengetahuan kepada mahasiswa tentang apa dan bagaimana filsafat itu, mengenali ciri-ciri problem dan pemikiran filsafat dan mampu membedakan pemikiran kefilsafatan dengan pemikiran sehari-hari (pra ilmiah), pemikiran ilmiah empiris dan keagamaan.
6. Outcome Pembelajaran
Setelah selesai mengikuti matakuliah ini mahasiswa diharapkan mampu :
a. Knowledge and Understanding, mahasiswa diharapkan mampu memahami aspek teoritis tentang apakah filsafat itu (what is philosophy) dan bagaimana berfilsafat (how to philosophize)
b. Skill and abilities, dengan pemahaman tentang filsafat dan bagaimana berfilsafat, mahasiswa mampu berfikir kritis dan menerapkan kearifan berfilsafat dalam kehidupan secara luas.
7. Jadwal Kegiatan Mingguan Minggu
ke BahasanTopik Substansi PembelajaranMetode
I Pengantar
Pendahuluan
a..Penjelasan aturan formal dan etiket perkuliaan b. Penjelasan tentang rencana perkuliahan
Penjelasan tentang renca Penjelasan tentang kesalahfahaman terhadap filsafat
Ceramah dan tanya jawab
II-III Pengertian dan Definisi Filsafat
a. Pengertian filsafat secara etimologi b. Pengertian filsafat secara terminologi c. Asal-mula filsafat
Ceramah dan tanya jawab
IV Objek
Material dan Objek Formal Filsafat
a. Pengertian objek material dan objek formal b. Objek material dan objek formal filsafat
di-bandingkan dengan ilmu khusus
Ceramah dan tanya jawab
(4)
V, VI Berfikir Secara Kefil-fatan dan Ber-fikir Ilmiah
a. Prinsip-prinsip pemiikiran
b. Ciri problem dan ciri berfikir kefilsafatan c. Berfikir ilmiah
Ceramah dan tanya jawab
VII Metode
Umum dan Metode Ke-filsafatan
a. Metode berfikir secara umum
b. Metode berfikir kefilsafatan secara umum Ceramah dantanya jawab
VIII Tahap-tahap menuju kebe-Naran a. Ketidaktahuan b. Kesangsian c. Pendapat d. Kepastian
Ceramah dan tanya jawab
IX Ujian sisipan Tertulis
X,XI,XII Problem Pokok Filsafat dan cabang Filsafat
Umum
a. Ada (being)
b. Pengetahuan (knowledge) c. Nilai (value)
Ceramah dan tanya jawab
XIII Aliran-aliran dalam Ontologi
a. Dari segi kuantitas
b. Dari segi kualitas Penugasan,cera-mah dan tanya jawab
XIV Aliran-aliran dalam Episte-Mologi
a. Sumber pengetahuan b. Hakikat pengetahuan
Penugasan cera-mah dan tanya jawab
XV Corak pende-katan etika & aliran-aliran dalam etika
a. Etika keutamaan b. Etika kewajiban c. Etika kemanfaatan
Ceramah dan tanya jawab
XVI Ujian Akhir Tertulis
8 Penilaian
Komponen yang akan dinilai dalam matakuliah ini meliputi :
Unsur yang dinilai Bobot Kriteria Penilaian
Ujian sisipan 35% Penguasaan materi, analisis dan keruntutan berfikir
Tugas 15% Bobot, isi, bahasan dan tata tulis
Ujian akhir 40% Penguasaan materi, analisis dan keruntutan berfikir.
Kehadiran 5% Kehadiran minimal 75%
(5)
9. Bahan, Sumber Informasi
Bacaan Wajib :
a. Ali Mudhofir dan Heri Santoso, 2007, Asas Berfilsafat, Pustaka Rasmedia, Yogyakarta
b. Gie, The Liang, 1979, Suatu Konsepsi Ke Arah Penertiban Bidang filsafat, penterjemah Ali Mudhofir, karya Kencana, Yogyakarta.
c. Kattsoff, Louis, O, 1987, Pengantar Failsafat, diterjemahkan oleh Soejono Soemargono, Tiara wacana, Yogyakarta.
d. Peursen, C.A., Van, 1980, Orientasi Di Alam Filsafat, diterjemahkan Dick Hartoko, PT. Gramedia, Jakarta.
e. Titus Harold, H. Smith dan Nolan, 1964, Persoalan-persoalan Filsafat, alih bahasa H.M. Rasjidi, Bulan-Bintang, Jakarta.
10. Resiko Kegagalan dan Rencana Antisipasi
Sebagaimana resiko yang sering dihadapi dalam proses pembelajaran pada umumnya adalah berkurangnya jumlah pertemuan dikarenakan adanya libur resmi yang jatuh bertepatan dengan jadwal perkuliahan. Jika masih memungkinkan maka terpaksa harus melakukan pemadatan materi perkuliahan untuk mengejar target materi perkuliahan agar dapat dicapai. Jika tidak memungkinkan karena jumlah pertemuan banyak berkurang maka diadakanlah kesepakatan dengan mahasiswa untuk melaksanakan perkuliahan pengganti agar target dapat tercapai. Jika hal itu tidak memungkinkan maka dosen memberikan tugas kepada mahasiswa melakukan pembelajaran mandiri dan menuliskan hasil kajian itu berupa book report.
(6)
11. Monitoring dan Umpan Balik
1. Perencanaan dan Monitoring No. Metode/Kegiatan
kelas.
Jenis kegiatan mahasiswa Indikator
1. Pembelajaran 1. Mahasiswa menyimak 1. Mahasiswa menyimak dengan metode dan mencatat penjelasan dan mencatat dengan
ceramah. dari dosen. baik.
2. Mengajukan pertanyaan. 2. Mengajukan pertanyaan 3. Menjawab pertanyaan yang relevan dengan
Yang diajukan oleh topik perkuliahan. teman/maahsiswa lain 3. Mahasiswa dapat men-(dosen mempersilahkan jawab pertanyaan dari mahasiswa untuk men- mahasiswa lain (jawaban jawab pertanyaan yang tidak harus selalu diberi-diajukan mahasiswa). kan oleh dosen).
2. Diskusi kelas. 1. Mahasiswa mempresenta- 1. Mahasiswa dapat me-sikan makalah kelompok. nyusun makalah dan
2. Berdiskusi. mempresentsikannya
dengan baik.
2. Mahasiswa mampu mengajukan pertanyaan yang bermutu dan men-jawab pertanyaan dengan tuntas.
3. Ujian mid - Mahasiswa menjawab soal- Mahasiswa dapat menjawab semester serta soal secara tertulis. Sesuai dengan pertanyaan
ujian akhir. yang terdapat di dalam soal
secara tuntas dengan logika yang teratur.
2. Rencana Dokumen Masukan Mahasiswa Lembar Informasi Balikan dari Mahasiswa
No. Informasi Balikan Skala
I. Materi Perkuliahan / Pembelajaran
1. Cakupan materi 1 2 3 4
2. Sistematika penyajian materi 1 2 3 4 3. Relevansi materi dengan pokok bahasan 1 2 3 4
4. Kemutakhiran materi 1 2 3 4
5. Pemahaman anda terhadap materi 1 2 3 4 6. Intensitas penerapan materi dalam latihan 1 2 3 4
II. Strategi dan Metode Pembelajaran
7. Kesesuaian strategi dengan tujuan pembelajaran 1 2 3 4 8. Kesesuaian strategi dengan karakteristik peserta 1 2 3 4 9. Kesesuaian penggunaan contoh 1 2 3 4
(7)
No. Informasi Balikan Skala
10. Kesesuaian penggunaan media pembelajaran 1 2 3 4 11. Kualitas diskusi kelas 1 2 3 4 12. Interaksi tanya jawab dalam kelas 1 2 3 4
13. Alokasi waktu diskusi 1 2 3 4
14. Kesesuaian waktu dengan strategi yang disiapkan 1 2 3 4 15. Kesesuaian waktu dengan pelaksanaan
pembelajaran 1 2 3 4
16. Ketuntasan materi yang dijelaskan 1 2 3 4 17. Kesempatan anda menyampaikan gagasan 1 2 3 4 18. Keterbukaan dosen terhadap gagasan anda 1 2 3 4 19. Interaksi antara dosen denga mahasiswa 1 2 3 4
III. lain-lain
20. Sebutkan kesulitan anda dalam pembelajaran ……….. 21. Berikan kesan, saran, dan komentar anda tentang
pembelajaran Azas-azas Filsafat ini ………..
22. Kegiatan pembelajaran ini akan lebih baik jika hal-hal
berikut ini diperbaiki ………..
23. Bagaimana agar sistem perkuliahan ini lebih baik ……….. Terimakasih atas peran serta anda dalam evaluasi pembelajaran ini.
Keterangan :
1 = tidak sesuai / tidak memuaskan 2 = kurang sesuai / kurang memuaskan 3 = cukup sesuai / cukup memuaskan 4 = sangat sesuai / sangat memuaskan 3. Tanggapan dan Perbaikan
Berdasarkan umpan balik dari mahasiswa terhadap pembelajaran dapat diperguna-kan untuk penyempurnaan dalam perencanaan maupun pelaksanaan pembelajaran pada kliah semester-semester mendatang.
DAFTAR ISI
(8)
A. Pendahuluan ... 1
B. Tujuan Pembelajaran ... 1
C. Materi Pembelajaran ... 1
1.Pengertiari Filsafat secara Etimologi ……….………..………... 1
2. Pengertiari Filsafat secara Etimologi ………..………..………. 2
3. Asal Mula Filsafat ………... 5
D. Rangkuman ..……… 6
E. Latihan/Contoh Soal ... 6
POKOK BAHASAN II. OBJEK MATERIAL DAN OBJEK FORMAL FILSAFAT ……….. 8
A. Pendahuluan ... 8
B. Tujuan Pembelajaran ... 8
C. Materi Pembelajaran ... 8
1. Pengertian Objek Material & Objek Material ... 8
2. Objek Material dan Objek Formal Filsafat ……..………..………. 9
D. Rangkuman ....……… 10
E. Latihan/Contoh Soal ... 10
POKOK BAHASAN III. BERFIKIR SECARA FILSAFAT DAN BERFIKIR ILMIAH ………. 11
A. Pendahuluan ... 11
B. Tujuan Pembelajaran ... 11
C. Materi Pembelajaran ... 11
1. Prinsip-prinsip Pemikiran……….……….………..………... . 11
2. Ciri-ciri Berfikir Kefilsafatan ………....………..………. 13
3. Berfikir Ilmiah ... 14
D. Rangkuman ……….……..………..………. 15
E. Latihan/Contoh Soal ... 16
POKOK BAHASAN IV. METODE UMUM DAN METODE KEFILSAFATAN ……… 17
(9)
A. Pendahuluan ... 17
B. Tujuan Pembelajaran ... 17
C. Materi Pembelajaran ... 17
1. Metode Berfikir Secara Umum ……….………..………. 17
2. Metode Berfikir Kefilsafatan …………...……….………..………. 19
D. Rangkuman ..……… 21
E. Latihan/Contoh Soal ... 21
POKOK BAHASAN V. KEBENARAN ... 22
A. Pendahuluan ... 22
B. Tujuan Pembelajaran ... 22
C. Materi Pembelajaran ... 22
1. Tahap-tahap Menuju Kebenaran ... 22
2. Hakikat Kebenaran ... 24
3. Kriteria (Ukuran) Kebenaran ... 25
D. Rangkuman ... 29
E. Latihan/Contoh Soal ... 29
POKOK BAHASAN VI. PROBLEMA POKOK FILSAFAT DAN CABANG FILSAFAT UMUM ……….. 30
A. Pendahuluan ... 30
B. Tujuan Pembelajaran ... 30
C. Materi Pembelajaran ... 30
1. Problema Ada (Being) atau Eksistensi (Existence) ……….. 30
2. Problem Pengetahuan …………...……….……….………..………. 31
3. Persoalan Nilai ……… 33
D. Rangkuman ..……… 34
E. Latihan/Contoh Soal ... 35
POKOK BAHASAN VII. ALIRAN-ALIRAN DALAM ONTOLOGI ... 36
A. Pendahuluan ... 36
(10)
C. Materi Pembelajaran ... 36
1. Dari Segi Kuantitas ……….……….………..………. 36
2. Dari Segi Kualitas………..……...……….………..………. 37
D. Rangkuman ……… 38
E. Latihan/Contoh Soal ... 38
POKOK BAHASAN VIII. ALIRAN-ALIRANDALAM BIDANG EPISTEMOLOGI ……… ... 39
A. Pendahuluan ... 39
B. Tujuan Pembelajaran ... 39
C. Materi Pembelajaran ... 39
1. DanSegi Sumber Pengetahuan ……….………..………. 39
2. Dari Segi Hakikat Pengetahuan …...………..……….………..………. 40
D. Rangkuman ..……… 41
E. Latihan/Contoh Soal ... 42
POKOK BAHASAN IX. ALIRAN-ALIRAN DALAM BIDANG ETIKA ... 43
A. Pendahuluan ... 43
B. Tujuan Pembelajaran ... 43
C. Materi Pembelajaran ... 43
1. Etika Keutamaan ... 43
2. Etika Kewajiban ... 44
3. Etika Kemanfaatan ... 44
D. Rangkuman ...44
E. Latihan/Contoh Soal ... 45
DAFTAR PUSTAKA ...46
POKOK BAHASAN 1
(11)
A. Pendahuluan
Pokok bahasan ini menguraikan tentang arti filsafat secara etimologis atau dengan melacak asal mula kata filsafat. Uraian berikutnya membicarakan pengertian filsafat secara terminologis dengan mengajukan enam definisi filsafat yang dipandang cukup mengggambarkan pengertian filsafat. Definisi tunggal yang mencakup seluruh aspek kefilsafatan dalah sesuatu hal yang mustahil dilakukan, karena para filsuf memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang aspek penting yMang perlu dimasukkan dalam definisi, tidak adanya kesepakatan tentang tugas utama filsafat, serta pemikiran filsafat yang selalu berkembang dari waktu ke waktu. Pokok bahasan ini ditutup dengan uraian tentang asal mula filsafat.
B. Tujuan Pembelajaran
1. Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan tentang asal mula istilah filsafat.
2. Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan berbagai variasi tentang pengertian filsafat berdasar perbedaan-perbedaan definisi filsafat.
3. Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan tentang asal mula munculnya filsafat.
C. Materi Pembelajaran 1. Pengertian Filsafat Secara Etimologi
Istilah filsafat di dalam bahasa Indonesia, memiliki padanan dengan istilah: falsafah (Arab), philosophy (Inggris), philosophia (Latin), dan philosophie (Belanda, Jerman, Perancis). Semua istilah itu secara etimologi mempunyai asal kata yang sama, yaitu kata Yunani philosophia. Philosophia berasal dan kata philein yang berarti mencintai (to love) dan kata sophos yang berarti bijaksana (wise); atau dan kata philos yang berarti teman (friend) dan kata Sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Sehingga filsafat dapat diartikan sebagai “mencintai hal-hal yang sifatnya bijaksana” atau “teman kebijaksanaan”.
Para filsuf tidak ingin menyebut. dirinya sebagai orang yang bijaksana, melainkan lebih merupakan orang yang mencintai kebijaksanaan. Pada awalnya philosophia atau filsafat merupakan kata yang sangat umum, yaitu sebagai usaha mencari keutamaan mental. Sophia sendiri pada awalnya mengandung pengertian yang lebih luas daripada kebijaksanaan. Istilah itu meliputi kemampuan bertukang (crafimanship), kebenaran pertama (first truth), pengetahuan luas (wide knowledge), kebajikanintelektual
(12)
(intellectual virtue), kecerdikan dalam memutuskan hal-hal yang praktis (shrewdness in practical decision).
The Liang Gie (1979 : 5) menyebutkan bahwa dalam uraian tradisional dari Yunani Kuno, Pythagoras (572-497 SM) sebagai orang pertama-tama memakai kata philosophia, dan menyebut dirinya sebagai pecinta kebijaksanaan sebagai pecinta kebijaksanaan. Demikian juga Heraklitos (± 500 SM) memakai kata “filsuf’, namun menjelaskan bahwa hanya Tuhanlah yang dapat disebut bijaksana. Plato menjelaskan bahwa para dewa tidak dapat disebut sebagai filsuf-filsuf, karena telah memiliki kebijaksanaan, hanya manusialah yang disebut filsuf karena sebagai pendamba kebijaksanaan yang tidak dapat meraih sepenuhnya (Peursen, 1980 :3).
2. Pengertianfilsafat secara Terminologi
Para filsuf memberikan makna filsafat secara berbeda-beda. Pemikiran filsuf yang satu pasti memiliki perbedaan dengan filsuf yang lain. Seorang filsuf berusaha mengkoreksi, mengkritisi pemikiran filsuf sebelumnya dan membangun filsafatnya sendiri. Oleh karena itu pengertian tentang filsafatpun berkembang dan waktu ke waktu. Setiap filsuf memberikan pengertian fdsafat berdasar pada kecenderungan filsafat pada umumnya dan menurut interpretasi pribadinya. Perbedaan pandangan tentang tugas filsafat, perbedaan perhatian para filsuf terhadap problem kefilsafatan dan tuntutan zaman menyebabkan perumusan makna filsafat secara berlainan. Berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi filsafat.
a. Filsafat sebagai sikap dan kepercayaan
Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Definisi ini merupakan arti filsafat yang bersifat informal, karena filsafat di sini bukan rnerupakan hasil pemikiran kritis sebagai ciri kegiatan berfilsafat (Titus, Smith, Nolan, 1984 : 11). Pengertian filsafat semacam ini misalnya pernyataan “filsafat saya adalah biar lambat asal selamat”, atau “takkan lari gunung dikejar”. Dua ungkapan itu sering dianggap sebagai kebenaran tanpa meninjaunya secara kritis. Dalam kenyataan ungkapan itu jika ditelaah lebih jauh ternyata tidak lagi sesuai dengan kenyataan. Kehidupan sekarang banyak ditentukan oleh sistem buatan daripada sistem alamiah. “Takkan lari gunung dikejar” secara alamiah benar, tetapi tidak berlaku dalam kehidupan yang kita hadapi sekarang. Pernyataan itu tidak berlaku dalam berbagai bidang. Mencani pekerjaan dan sekolah misalnya, sering terdapat pembatasan usia atau tahun kelulusan sebagai
(13)
syarat sehingga jika terlambat maka tidak memungkinkan lagi untuk mendapatkan kerja atau sekolah di dalam bidang atau tempat tertentu.
b. Filsafat sebagai proses knitik atau refleksi
Definisi ini berlawanan dengan definisi di atas. Filsafat adalah suatu proses Icritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi. (Titus, Smith, Nolan, 1984 11). Pengertian filsafat semacam ini misalnya ketika filsafat mempersoalkan waktu. Keyakinan kita pada umumnya waktu itu bergerak dan masa lalu, sekarang sampai yang akan datang. Selain itu, waktu biasa dipakai untuk mengukur suatu gerak. Iqbal misalnya mempersoalkan jika waktu itu bergerak , maka apa yang dipakai untuk mengukur gerak waktu itu ? Jika
pengukurnya waktu maka harus ada waktu lagi sebagai pengukur, dan seterusnya tidak ada habisnya. Oleh karena itu kepercayaan kita bahwa waktu itu bergerak dipersoalkan dan mungkin keliru.
c. Filsafat sebagai usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan
Filsafat adalah suatu usaha untuk mengkombinasikan hasil berbagai macam sain dan pengalaman kemanusiaan sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam (Titus, Smith, Nolan, 1984 :12). Aliran besar dalam filsafat selalu berusaha untuk menjelaskan secara konsisten tentang kehidupan dan alam. Materialisme misalnya, menjelaskan bahwa alam semesta ini terdiri dan materi-materi dan tidak ada kenyataan di luar materi-materi, artinya penganut aliran ini secara konsisten menolak adanya jiwa maupun Tuhan karena bukan materi. Mereka menjelaskan bahwa kehidupan itu dapat berada tanpa adanya jiwa. Materialisme mekanik misalnya, menerangkan kehidupan termasuk hidup manusia itu tanpa jiwa dan dapat dianalogikan dengan kerja sebuah mesin yang dapat hidup hanya dengan suatu sistem mekanik dan energi. Demikian juga alam semesta tidak ada yang menggerakkan, ia bergerak sendiri secara mekanis dan digerakkan oleh kekuatan buta (blind forces). Pandangan ini berlawanan dengan spiritisme yang memandang esensi segala sesuatu itu adalah spirit atau roh. Pandangan dunia spiritisme tentu juga bertolak belakang dengan materialisme secara keseluruhan.
d. Filsafat sebagai kritik terhadap pengetahuan
Bertrand Russel menyatakan bahwa filsafat sebagai kritik terhadap pengetahuan, filsafat memeriksa secara kritis asas-asas yang dipakai dalam ilmu dan
(14)
dalam kehidupan sehari-hari, dan mencari sesuatu ketidak selarasan yang dapat terkandung di dalarn asas-asas itu. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Windelband, bahwa intisari dan filsafat adalah untuk memeriksa secara niendalam asumsi-asumsi fundamental dalam ilmu-ilmu khusus (ilmiah) dan dalam kehidupan bersama (Gie, 1978 : 11). Contoh filsafat dalam pengertian semacam ini adalah, banyak orang berpendapat bahwa suatu pengetahuan ilmiah dapat dikatakan benar jika didukung oleh bukti-bukti yang mencukupi. Semakin banyak bukti yang meneguhkan teori atau pernyataan ilmiah maka kebenarannya semakin terjamin. Karl Raimund Popper mengkritik pandangan ini, ia mencontohkan pernyataan “semua angsa berwarna putih” seolah-olah dapat diteguhkan keberannya karena terbukti berjuta-juta angsa memang berwarna putih. Akan tetapi, pemyataan tersebut dapat runtuh hanya karena ditemukan seekor angsa berwarna hitam. Sehingga ia berpendapat, kebenaran ilmiah itu berlaku selama belum terdapat bukti yang menentangnya (menyalahkannya).
e. Filsafat sebagai analisa bahasa
Filsafat sebagai analisis logis dan bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. Hampir semua ahli filsafat dan filsuf telah memakai metode analisis serta berusaha untuk menjelaskan arti istilah-istilah dan pemakaian bahasa. Terdapat pendapat yang menganggap hal tersebut sebagai tugas pokok filsafat, bahkan ada yang beranggapan bahwa hal ini sebagai satu-satunya fungsi yang sah dan filsafat (Titus, Smith, Nolan, 1984 : 13). Analisis yang demikian misalnya, ketika filsafat hendak menjelaskan arti “baik” dalam bidang moral, arti “benar” dalam bidang pengetahuan, arti “indah” dalam bidang estetika, dan sebagainya. Para filsuf analitis berpendapat bahwa intisari filsafat adalah analisa kritis terhadap konsep-konsep dasar yang dengannya orang berfikir tentang dunia dan kehidupan manusia. Tujuan dari analisa itu adalah untuk menghasilkan kejelasan dan ketegasan yang berkaitan dengan gagasan-gagasan (konsep-konsep) dan ilmu dan akal sehaf (Gie, 1978:8). Filsafat semacam ini oleh C.D. Broad disebut dengan filsafat kritis (Critical Philosophy) (Kattsoff, 1987 : 21).
f. Filsafat sebagai hasil pemikiran para filsuf
Filsafat adalah sekumpulan problema yang langsung mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli filsafat. Filsafat mendorong penyelidikan sampai kepada soal yang paling mendalam dan eksistensi manusia (Titus, Smith, Nolan, 1984: 14). Filsafat bersangkutan dengan masalah yang sifatnya
(15)
umum, misalnya “apakah manusia hidup itu ada tujuannya:, Jika ada “apakah tujuan hidup manusia?”;“apakah proses alam semesta ini ada yang mengatur, ataukah hanya terjadi secara kebetulan?; “bagaimana manusia dapat memperoleh pengetahuan?”, “dengan alat apa manusia memperoleh pengetahuan?; dan sebagainya. Problem-problem itu berusaha dijawab secara mendalam oleh para filsuf dan hasilnya disebut dengan filsafat. Di dalam pembicaraan kita sering menyebut pemikiran para filsuf itu dengan filsafat Plato, filsafat Aristoteles, filsafat Descartes, filsafat J.Locke dan sebagainya.
3. Asal-mula Filsafat
a. Rasa kagum dan rasa heran
Peristiwa dalam kehidupan sehari-hari kebanyakan kita tanggapi sebagai sesuatu yang serba biasa dan tidak menimbulkan rasa kagum maupun heran. Rasa kagum dan heran menjadi pangkal tolak filsafat disadari dan dikemukakan oleh Plato. Dalam sebuah bagian ternama dalam dialog Thecitetos ia menampilkan Socrates yang menghubungkan filsafat derigan rasa heran. Dalam Theatetos orang yang sedang berdialog dengan Socrates menceritakan tentang pengalamannya ketika ia mulai merasa heran, ia menjadi pening. Di tengah peristiwa-peristiwa yang biasa, manusia menemukan perspektif yang asing yang membuatnya pening. Filsafat mulai ketika belenggu rasa biasa dipatahkan oleh rasa heran (Peursen 1980 :2).
Menurut Aristoteles filsafat diinulai dan rasa kagum (wonder, Inggris atau thauma, Yunani) yang tumbuh daii suatu aporia. Aporia merupakan kata Yunani yang berarti problem atau tanpa jalan keluar. Problem dapat diartikan sebagai suatu situasi teoritis maupun praktis dan problem itu tidak diternukan jawaban yang lazim atau otomatis memadai, oleh karena itu memerlukan proses perenungan atau refleksi (Mudhofir, 1985 :18).
Bertrand Russel (2002:3-5) memperlihatkan bahwa filsafat itu mulai ketika seseorang tidak lagi melihat sesuatu secara biasa. Ia mencontohkan, misalnya kita melihat meja berwarna cokiat dan kitapun percaya bahwa warna cokiat itu sama dan rata meliputi seluruh bidang meja itu. Akan tetapi ada bagian meja itu tampak lebih putih (muda) dan memantulkan cahaya lebih terang dibanding bagian lain. Karena efek cahaya itu apa yang kita lihat tidak lagi merupakan meja yang dalam semua permukaannya memilikI warna yang sama, akan tetapi ada bagian yang lebih terang karena cahaya dan dan ada yang lebih gelap karena cahayanya lebih sedikit. Oleh
(16)
karena itu kita sudah memasuki masalah filsafat yang membedakan antara “penampilan” dengan “realitas”. Pelukis ingin menampilkan meja (atau benda lain) menurut penampakannya, sedangkan orang biasa dan para filsuf ingin mengetahui yang sebenamya. Jika melangkah lebih jauh maka yang nampakpun tidak dapat dikatakan tidak nyata, akan tetapi bukanlah merupakan meja yang sejati. Begitulah filsafat mulai ketika kita melihat sesuatu keluar dan belenggu kebiasaan.
b. Dari mitos ke logos
Pada awalnya pengetahuan manusia itu disampaikan melalui cerita atau mitos-mitos. Untuk menjelaskan terjadinya peristiwa-peristiwa seperti hujan, petir, kilat, gempa bumi, gerhana bulan, dan sebagainya manusia membuat mitos-mitos. Salah satu fungsi mitos adalah mirip dengan ilmu pengetahuan dan filsafat dalam alam pikiran modern. Mitos memberikan “pengetahuan tentang dunia”. Melalui mitos manusia primitif memperoleh keterangan-keterangan tentang terjadinya dunia dan peristiwa-peristiwa alam. Mitos semacam ini oleh para ahli sering disebut sebagai “kosmogoni”. Terdapat pula ceritera tentang asal usul dewa-dewa di dalam “theogoni” (Peursen, 1976 41). Filsafat sering dianggap sebagal tahap perpindahan alam pikiran mitos ke logos. Gejala mi tidak hanya terjadi di Yunani tetapi terdapat di berbagai tempat di dunia. Filsafat adalah usaha manusia memahami dunia sekitar, diri dan kehidupannya mempergunakan akal budinya, tidak puas dengan menerima informasi dan ceritera-ceritera dalam mitologi. Dengan akalnya manusia mencari strategi guna menemukan hubungan yang tepat dengan alam sekitar, sesama manusia dan dunia supranatural. Perlu dicatat di sini bahwa filsafat pada awalnya adalab sebutan bagi semua pengetahuan rasional baik secara teoritis maupun praktis. Dalam Perkembangannya satu-persatu ilmu-ilmu itu melepaskan diri dari filsafat, oleh karena itu filsafat sering dianggap induk dan segala ilmu.
D. Rangkuman
1. Pengertian filsafat:
a. Sebagai sikap dan kepercayaan b. Sebagai proses kritik atau refleksi
c. Sebagai usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan d. Sebagai kritik terhadap pengetahuan
(17)
f. Hasil pemikiran para filsuf 2. Asal mula filsafat, karena
a. Rasa kagum dan rasa heran b. Perpindahan dan mitos ke logos
E. Latihan/Contoh Soal
1. Berikan penjelasan bahwa asal mulanya istilah sophia mengandung pengertian yang luas daripada kebijaksanaan dalam aktivitas berfikir semata-mata !
2. Berikan penjelasan bahwa filsafat sebagai sikap dan kepercayaan berlawanan dengan filsafat sebgai proses kritik !
3. Berikan penjelasan tentang pengertian filsafat itu merupakan perpindahan dari mitos ke logos !
(18)
POKOK BAHASAN II
OBJEK MATERIAL DAN OBJEK FORMAL FILSAFAT A. Pendahuluan
Pokok bahasan ini menguraikan tentang objek material atau objek pembicaraan atau penyelidikan filsafat yaitu segala sesuatu yang ada ; serta objek formal, yaitu sudut tinjauan atau sudut pandang filsafat terhadap objek material filsafat. Filsafat adalah merupakan bidang pengetahuan manusia yang berusaha mengungkap hakikat barang sesuatu. Oleh karena itu juga diuraikan tentang makna istilah hakikat itu sendiri.
B. Tujuan Pembelajaran
1. Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan pengertian objek material dan objek formal suatu ilmu.
2. Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan objek material dan objek formal filsafat.
3. Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan pengertian hakikat.
C. Materi Pembelajaran 1. Pengertian Objek Material dan Objek Formal
Pada saat ini terdapat berbagai jenis atau bidang ilmu. Ilmu yang satu berbeda dengan ilmu yang lain. Perbedaan antara ilmu yang satu dengan lainnya dapat dikarenakan objek yang dibahas diteliti berbeda,atau karena sudut tinjauannya berbeda, atau karena kedua-duanya berbeda. Setiap ilmu dan juga filsafat memiliki apa yang disebut dengan objek material (material object) dan objek formal (formal object).
1) Objek material (material object) adalah sesuatu hal atau objek yang diselidiki, dibahas, dipikirkan atau hal yang dipelajari oleh bidang ilmu atau filsafat. Objek material itu dapat berupa benda-benda atau hal-hal yang konkret seperti batu, tumbuhan, hewan, jasad manusia dan sebagainya; atau peristiwa-peristiwa seperti perang, demonstrasi, kerusuhan, terorisme, perdamaian dan sebagainya, Objek material dapat pula berupa hal-hal yang bersifat abstrak seperti gagasan atau pemikiran, kesadaran, nilai-nilai dan sebagainya.
b. Objek formal (formal object) adalah sudut tinjauan (viewpoint), sudut pendekatan (ilmu atau filsafat) terhadap objek material. Misalnya: objek material atau hal
(19)
yang diselidiki adalah tubuh binatang (objek material), jika dilihat dan strukturnya (objek formal) dapat menjadi ilmu anatomi, akan tetapi ketika dilihat dan fungsi struktur (objek fonnal) itu sendiri dapat menjadi ilmu fisiologi.
2. Objek Material dan Objek Formal Filsafat
Filsafat memiliki cakupan objek material yang sangat luas menyangkut segala sesuatu yang ada, yang meliputi:
a. Ada dalam kenyataan atau keberadaan objektif misalnya; alam semesta, manusia, materi, benda-benda, peristiwa-peristiwa konkret dan sebagainya.
b. Ada dalam pikiran (mind)dapat berupa pikiran itu sendiri, dan isi pikiran seperti: gagasan, kesadaran, imajinasi, asosiasi, pengertian (konsep), dan sebagainya. c. Ada dalam kemungkinan, seperti kemungkinan ada dan tidaknya hukum alam,
ada dan tidaknya tujuan dan proses atau kejadian alam dan sebagainya.
Secara umum dapatlah dikatakan bahwa filsafat merupakan bidang pengetahuan manusia yang berusaha untuk memperoleh pengetahuan tentang hakikat barang sesuatu. Dengan demikian, objek formal atau sudut tinjauan filafat adalah hakikat dan objek materialnya yaitu segala yang ada. Dengan kata lain filsafat berusaha mencari hakikat barang sesuatu yang dikajinya.
Menurut Soejono Soemargono (1983: 29) yang disebut dengan hakikat barang sesuatu, ada dua macam:
a. Inti — isi dan barang sesuatu, dan
b. Makna atau anti yang terkandung di dalam barang sesuatu atau arti yang terdalain yang diherikan oleh seseorang terhadap barang sesuatu.
Mereka yang memandang bahwa hakikat itu inti-isi dan barang sesuatu, seakan-akan memberikan pengertian baku kepada istilah hakikat itu, sebagai sesuatu yang pasti dan secara tetap terdapat di dalarn barang sesuatu itu. Inti isi ini dalam filsafat disebut dengan “substansi” atau “esensi”. Penganut faham ini disebut dengan “substansialisme” atau “esensialisme”.
Mereka yang memandang hakikat itu sebagai makna yang terkandung di dalam barang sesuatu atau arti yang terdalam yang diberikan seseorang terhadap barang sesuatu dinamakan para penganut “eksistensialisme”. Oleh karena arti yang terdalam itu disamakan dengan fungsi yang melekat pada barang sesuatu, maka penganut faham ini disebut “fungsionalisme”.
(20)
Perbedaan antara objek material filsafat dengan ilmu-ilmun khusus (seperti ekonomi, antropologi, fisika, kimia, dsb) adalah bahwa filsafat mengkaji keberadaan secara umum sedangkan ilmu-ilmu khusus objeknya bersifat spesifik. Misalnya, objek material dan ilmu anatomi adalah tubuh binatang atau manusia ditinjau (objek formalnya) dan segi struktur, sedan gkan ilmu fisiologi mempelajari tubuh manusia itu dan segi struktur dan fungsinya. Karena filsafat objek formalnya mencari hakikat maka filsafat menjelaskan aspek yang sifatnya umum dan barang sesuatu yang diteliti. Misalnya, hakikat dan segala sesuatu itu adalah terdiri dan materi dan bentuk (Aristoteles). Materi dan bentuk ini merupakan inti dan segala sesuatu tanpa kecuali. Demokritos misalnya, menemukan inti segala sesuatu itu adalah atom, sehingga segala sesuatu apapun tersusun dan atom-atom.
D. Rangkuman
1. Objek material filsafat yaitu objek yang menjadi sasaran pemikiran filsafat adalah segala yang ada, yang meliputi:
a. Ada dalam kenyataan objektif, b. Ada dalam pikiran, dan
c. Ada dalam kemungkinan
2. Objek formal filsafat adalah hakikat dan segala yang ada (sebagai objek material filsafat).
3. Pengertian hakikat:
a. Menurut Substansialisme atau esensialisme adalah inti – isi dan barang sesuatu
b. Menurut Eksistensialisme atau fungsionalisme disebut:
1). Sebagai makna atau anti yang terkandung dalam barang sesuatu
2). Arti yang terdalam yang diberikan oleh seseorang terhadap barang sesuatu.
E. Latihan/Contoh Soal
1. Berikan penjelasan dengan menyertakan contoh bahwa perbedaan antara bidang ilmu yang satu dengan yang lain karena perbedaan objek material atau dapat juga objek formalnya !
2. Berikan penjelasan tentang perbedaan pengertian hakikat sebagai esensi dengan hakikat sebagai eksistensi !
(21)
POKOK BAHASAN III
BERFIKIR SECARA KEFILSAFATAN DAN BERFIKIR ILMIAH A. Pendahuluan
Oleh karena filsafat itu merupakan aktivitas berpikir maka perlu diuraikan tentang prinsip-prinsip umum yang harus ditaati agar pemikiran itu logis dan dapat dipertanggung jawabkan. Berfilsafat adalah kegiatan berfikir, akan tetapi bukan berarti setiap orang yang berfikir itu berfilsafat. Pemikiran kefilsafatan memiliki ciri-ciri tertentu dilihat dari cara berfikirnya maupun objek atau problem yang dibahas. Berfikir kefilsafatan berbeda dengan berfikir secara ilmiah oleh karena itu perlu diuraikan tentang postulat atau asumsi pengetahuan ilmiah untuk memperjelas perbedaan antara keduanya.
B. Tujuan Pembelajaran
1. Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan tentang ciri-ciri berfikir kefilsafatan. 2. Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan tentang perbedaan antara berfikir biasa,
berfikir ilmiah dengan berfikir kefilsafatan.
C. Materi Pembelajaran 1. Prinsip-prinsip Pemikiran
Istilah prinsip memiliki makna yang sama dengan asas. Prinsip dalam bahasa Inggris disebut principle berawal dan kata principium (Latin) yang berarti permulaan. Dalam pengertian sehari-hani dalam kehidupan masyarakat, prinsip/asas dinyatakan dengan istilah-istilah umum, tanpa menyarankan cara-cara khusus bagaimana melaksanakannya. Prinsip atau asas merupakan dalil umum untuk memberi petunjuk seseorang dalam melakukan perbuatan. Misalnya : dalam moral terdapat asas/prinsip kemanusiaan, dalam bidang politik ada asas demokrasi, dalam hukum terdapat asas praduga tak bersalah, dan sebagainya.
Dengan demikian prinsip-prinsip pemikiran adalah kaidab/dalil umum yang memberi petunjuk seseorang dalam melakukan kegiatan berfikir. Prinsip pemikiran ini pemikiran ini penting, karena jika kita mengabaikannya maka hasil pemikiran menjadi tidak masuk akal, atau orang sulit untuk dapat memahaminya. Aristoteles mengemukakan
(22)
tiga prinsip yaitu prinsip kesamaan, prinsip kontradiksi dan prinsip penyisihan (tidak ada) jalan tengah. Kemudian Leibniz menambahkan satu prinsip yaitu prinsip cukup alasan. a. Prinsip kesamaan
Prinsip kesamaan (principle of identity) dalarn bahasa Latin disebut principium identitatis. Prinsip kesamaan dapat bersifat ontologism dalam arti “sesuatu itu identik dengan dirinya sendiri”, contohnya “yang ada itu ada”. Prinsip ini dapat pula bersifat logis yaitu jika kita telah menetapkan makna atau membuat defines suatu kata atau konsep (pengertian, gagasan) harus kita pegang teguh dan tidak boleh bersifat ambiqu (wayuh arti) di dalam suatu kesatuan pembahasan. Misalnya, jika istilah “materi” diartikan sebagai “hal yang bersifat kebendaan”, maka kita harus menghindarkan penggunaan istilah itu dalam pengertian yang lain, seperti pernyataan “materi pembahaan ini” karena materi disini diartikan sebagai bahan. b. Prinsip kontradiksi
Principle of contradiction atau dalam istilah Latin disebut principium contradictionis, Hamilton menyebut prinsip ini sebagai prinsip non-kontradiksi, berbunyi “sesuatu hal tidak dapat disamakan dengan sesuatu yang merupakan kontradiksinya”. Hidup tidak dapat disamakan dengan mati, benar tidak sama dengan salah, gelap dengan terang dan sebagainya.
c. Prinsip penyisihan (tidak ada) jalan tengah
Prinsip ini dalam bahasa Inggris disebut principle of exluded middle atau principium exclusi tertii. Bunyi dan prinsip ini adalah “jika ada dua putusan saling bertentangan, maka hanya satu yang benar dan yang satunya pasti salah, serta tidak ada kemungkinan ketiga “. Misalnya, si A itu mati atau masih hidup? Maka hanya ada satu kemungkinan dan dua pilihan antara hidup atau mati; tidak ada setengah mati, atau setengah hidup.
d. Prinsip cukup alasan
Prinsip ini dalam bahasa Inggris disebut principle of Sufficient reason atau principium rations sufficientis dalam bahasa Latin. Prinsip mi menyatakan “adanya sesuatu hal, peristiwa atau perubahan pasti memiliki alasan yang mencukupi “. Prinsip ini ada dua bentuk, yaitu alasan yang mencukupi secara nyata (actual sufficient reasons), dan alasan-alasan yang boleh jadi atau mungkin (possible
(23)
sufficient reasons). Misalnya, semua benda akan jatuh ke bumi jika tidak ada penopangnya, karena gaya gravitasi bumi. Dapat pula berupa kemungkinan, “mungkin jiwanya akan tertolong jika tidak terlambat dibawa ke rumah sakit”.
2. Ciri-ciri berfikir kefilsafatan
Manusia oleh Aristoteles disebut sebagai animal rasional. Berpikir merupakan ciri yang membedakan manusia dengan keberadaan yang lainnya. Salah satu bentuk pemikiran manusia adalah filsafat. Kegiatan berfilsafat adalah kegiatan berfikir, akan tetapi tidak semua kegiatan berfikir itu berfilsafat. Berfilsafat adalah berfikir dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Radikal
Pemikiran kefilsafatan berciri berfikir secara radikal. Radikal itu dan kata Yunani radix yang berarti akar. Berfikir secara radikal berarti berfikir sampai ke akar-akarnya atau sampai pada hakikat atau esensi yang difikirkan.
b. Konseptual /konsepsional
Pemikiran kefilsafatan berusaha untuk menyusun suatu pemikiran konsepsional. Konsep (gagasan) merupakan hasil generelisasi atau gambaran umum yang merupakan hasil abstraksi dan pengalaman tentang hal-hal serta proses yang individual. Karena itu, filsafat merupakan pemikiran tentang hal-hal serta proses yang sifatnya umum. Konsep itu dapat disimbolkan melalui kata atau bahasa. Kata “kendaraan” adalah mewakili atau merupakan generalisasi dan berbagai jenis benda seperti mobil, becak, andong, sepeda, sepeda motor dan sebagainya. Oleh karena itu filsafat tidak membicarakan atau memikirkan hal-hal atau peristiwa yang khusus. Misalnya, filsafat tidak hendak menilai suatu perbuatan konkret tertentu adil atau tidak, akan tetapi membicarakan tentang makna keadilan itu sendiri.
c. Sistematik
Setiap uraian dalam kefilsafatan haruslah saling berhubungan secara teratur, serta setiap uraian harus merupakan kesatuan yang padu. Sistematik berasal dan kata “system” yaitu merupakan kebulatan dan sejumlah unsur yang saling berhubungan itu bersifat fungsional dalam rangka mencapai suatu tujuan. Pengertian hubungan fungsional adalah bahwa setiap uraian itu memiliki fungsi masing-masing dalam
(24)
membentuk keseluruhan, sehingga tidak terdapat uraian yang bersifat sia-sia atau tidak ada fungsinya.
d. Komprehensif
Filsafat berusaha untuk memperoleh pandangan tentang hal-hal atau peristiwa secara menyeluruh. Berfikir kefilsafatan harus mempertimbangkan berbagai segi, artinya tidak hanya melihat objek dan sudut pandang tertentu. Dalam pemikiran kefilsafatan konsep ontologi (yang ada), epistemologi (tentang pengetahuan dan aksiologi (tentang nilai) merupakan suatu rangkaian yang tidak terpisahkan. Berfikir kefilafatan itu ibarat orang membuat lingkaran geometri. Memulai berfikir kefilsafatan dapat diumpamakan dengan mula dan salah satu titik lingkaran yang terdiri dan titik-titik yang tidak terhingga jumlahnya. Untuk membentuk lingkaran akhirnya semua titik itu harus terlewati.
e. Konsisten
Uraian kefilsafatan harus bersifat konsisten, artinya dalam satu uraian kefilsafatan harus dihindari pernyataan-pernyataan yang saling berkontradiksi atau kontradiksi intern. Konsistensi ini menjamin filsafat secara logika dapat dibenarkan dan dapat difahami. Jika di dalam uraian kefilsafatan terdapat kontradiksi intern maka akan menyulitkan orang untuk memahami.
f. Bebas
Berfilsafat harus merupakan pemikiran bebas. Kebebasan berfikir itu berarti dalam berfilsafat berusaha memikirkan segala sesuatu tanpa didasari oleh kecenderungan-kecenderungan, prasangka-prasangka, emosi, bias, agar pemikiran yang dihasilkan tidak berat sebelah. Berfikir secara bebas bukan berarti berfikir sembarangan, sesuka hati atau anarkhi, malahan sebaliknya berfikir dengan disiplin yang ketat dalam mematuhi prinsip-prinsip pemikiran.
g. Bertanggung Jawab
Pemikiran kefilsafatan dengan disiplin yang ketat untuk mematuhi prinsip pemikiran, juga harus bertanggung jawab terutama terhadap hati nurani.
(25)
Filsafat adalah usaha manusia untuk memahami dunia dan segi maknanya (meanings), nilai-nilainya, serta sifat dasarnya. Filafat dan ilmu memiliki banyak persamaan. Kedua bidang tersebut tumbuh dan sikap reflektif dan sikap bertanya dan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan dilandasi oleh sikap objektif terhadap kebenaran.
Ilmu atau pengetahuan ilmiah bertalian dengan objek-objek khusus dan terbatas. Tujuannya adalah memaparkan (description), sehingga dapat melakukan penafsiran dengan istilah-istilah yang pasti dan kadang-kadang secara matematis. Tujuan lain dan ilmu adalah melakukan control atau proses-proses alami dan fenomena-fenomena kehidupan.
Pengetahuan ilmiah terutama bidang sain mendasarkan pemikirannya pada asumsi dasar, postulat, aksioma atau kondisi tertentu. Terdapat delapan asumsi pokok bidang sain yaitu prinsip kausalitas, prediktif uniformatif, objektivitas, empirisme, kehematan, isolasi, control dan pengukuran pasti (Titus, Smith, Nolan, 1984: 234).
a. Prinsip kausalitas
Ilmu pengetahuan sama dengan filsafat, mempergunakan akal sebagai alat rnendapatkan pengetahuan. Akal hanya dapat bekerja dengan prinsip kausalitas (sebab akibat). Di dalam sains terdapat keyakinan bahwa setiap kejadian mempunyai sebab dalam situasi yang sama sebab yang sama akan menimbulkan efek yang sama. b. Prinsip prediktif uniformatif
Prinsip ini menyatakan bahwa sekelompok kejadian memperlihatkan struktur dan hubungan dalam derajat yang sama pada masa lampau dan yang akan datang. c. Prinsip objektivitas
Mengharuskan peneliti untuk melihat data-data apa adanya, menghindari sikap subjektif. Fakta-fakta harus dihayati dengan cara yang sama sebagaimana dihayati oleh orang-orang normal.
d. Prinsip empirisme
Mempercayai bahwa kesan indrawi dapat dipercaya untuk memahami factor-faktor yang ditemukan dalam pengalaman. Pengetahuan adalah hasil pengamatan, pengalaman, dan eksperimen.
e. Prinsip kehematan (parsimony)
Di dalam sain dan juga diharapkan dari filsafat untuk mempergunakan keterangan sesederhana mungkin. Penjelasan tidak boleh berbelit-belit, dan penjelasan paling sederhanalah yang paling benar.
(26)
f. Prinsip isolasi
Di dalam sain, fenomena yang diteliti dipisahkan dari yang lain, dan diteliti tersendiri. Filsafat berbeda dengan sain melihat fenomena sebagai bagian dan diteliti dalam kaitan dengan keseluruhan.
g. Prinsip kontrol
Kontrol diperlukan dalam penelitian terutama yang dilakukan dengan eksperimen. Tanpa control eksperimen tidak dapat diulang, serta terdapat factor-faktor yang tidak teramati mempengaruhi hasil penelitian.
h. Prinsip pengukuran pasti
Sedapat mungkin hasil penelitian dapat dijelaskan secara kuantitatif atau matematis. Berbeda dengan filsafat yang penelitiannya bersifat kualitatif.
D. Rangkuman
a. Prinsip-prinsip berfikir: 1) Prinsip kesamaan 2) Prinsip kontradiksi
3) Prinsip penyisihan jalan tengah 4) Prinsip cukup alasan
b. Ciri-ciri berfikir kefilafatan, meliputi : radikal, konseptual, sistematik, komprehensif, konsisten, bebas dan bertanggung jawab.
3. Postulat-postulat ilmiah a. Prinsip kausalitas
b. Prinsip prediktif uniformatif c. Prinsip objektivitas
d. Prinsip empirisme e. Prinsip kehernatan f. Prinsip isolasi g. Prinsip control
h. Prinsip pengkuran pasti
E. Latihan/Contoh Soal
1. Berikan penjelasan dengan menyertakan satu contoh bahwa prinsip-prinsip berfikir itu perlu ditaati agar logis dan dapat dimengerti orang lain !
(27)
2. Berikan penjelasan bahwa dengan ciri komprehensif pemikiran filsafat itu berbeda dengan pemikiran ilmiah !
POKOK BAHASAN IV
METODE UMUM DAN METODE KEFILSAFATAN A. Pendahuluan
Pokok bahasan ini menguraikan tentang pengertian metode, metode secara umum, dan metode kefilsafatan. Terdapat berbagai metode kefilsafatan yang dipakainoleh para filsuf. Pembahasan tentang metode kefilsafatan secara mendalam akan dibahas dalam matakuliah yang lebih lanjut yaitu metode-metode filsafat. Pokok bahasan ini hanya memperkenalkan metode kefilsafatan yang berlaku umum dalam dunia filsafat.
B. Tujuan Pembelajaran
a. Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan metode pemikiran secara umum.
b. Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan berbagai metode dialektik, metode kritik dan metode spekulatif.
C. Materi Pembelajaran 1. Metode Berfikir Secara Umum
Metode berasal dan kata Yunani methodos, gabungan dan kata depan meta (menuju, melalui, mengikuti, sesudah, dibalik) dan kata hodos (jalan, perjalanan, cara, arah). Metode dapat diartikan sebagai:
a. Suatu tata cara (prosedur) yang dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu. b. Suatu teknik untuk mengetahui yang dipergunakan di dalam proses memperoleh
pengetahuan tentang suatu pokok persoalan.
c. Ilmu yang merumuskan aturan-aturan tentang prosedur pemikiran.
Metode berfikir secara umum terdiri dari : analisis, sintesis, deduksi dan induksi. Dalam proses berfikir metode itu dapat dilaksanakan secara bergantian, artinya tidak sekedar mempergunakan satu metode melainkan dapat menggabungkan metode yang satu dengan yang lain.
(28)
a. Metode analisis / analitik
Metode analisis adalah cara penanganan terhadap suatu objek dengan cara memerinci atau memilah-milah unsur-unsurnya agar mendapat pengetahuan lebih terinci atau mendalam terhadap objek yang diteliti. Metode ini tidak menghasilkan pengetahuan yang baru, namun sekedar untuk memperoleh kejelasan atas bagian-bagian dan objek penelitian atau memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam.
Objek atau pengetahuan yang dianalisis / ditelaah dapat merupakan sesuatu yang bersifat a priori maupun a posteriori.
Istilah a priori menurut I Kant berarti:
1) Putusan dan prinsip yang validitas atau kebenarannya tidak tergantung pada kesan indera.
2) Menunjuk kepada sesuatu yang tidak empiris atau sesuatu yang hanya dapat diketahui dengan akal semata (Mudhofir, 1992: 14).
3) Hal-hal / pengertian-pengertian yang ada mendahului pengalaman indrawi (Soejono Soemargono, 1983: 14).
Pengertian a posteriori menunjuk kepada sifat bahan yang berupa hal-hal atau pengertian-pengertian yang dipunyai seseorang melalui pengalaman (indrawi) sebelumnya. Sehingga metode analisis dapat bersifat:
1) Analisis apriori, jika objek yang dibahas/dianalisis berupaka pengertian apriori, seperti : demokrasi mengandung unsur persamaan, persaudaraan dan kebebasan atau misalnya definisi yang menyatakan bahwa segitiga jumlah sudut dalamnya seratus delapan puluh derajad.
2) Analisis a posteriori, jika objek yang dibahas/dianalisis berupa pengertian a posteriori, seperti : kursi adalah tempat duduk yang memiliki kaki dan sandaran punggung atau segitiga terdiri dan tiga garis yang saling beririsan.
b. Metode sintesis / sintetik
Metode sintesis adalah penanganan terhadap suatu objek dengan cara menggabungkan pengertian yang satu dengan pengertian yang lainnya. Metode sintesis dapat bersifat a priori maupun a posteriori.
1) Sintesis a priori, jika objek atau pengertian yang berupa pengertian a priori. Misalnya : kita memiliki pengertian tentang demokrasi dan pengertian liberal maka diperoleh pengertian baru, yaitu demokrasi liberal.
2) Sintesis a posteriori, jika objek atau pengertian yang digabungkan berupa pengertian a posteriori. Misalnya : kita melihat seseorang berjalan dan melihat
(29)
gedung Fakultas Filsafat maka kita dapat mengatakan, “ada seseorang menuju gedung Fakultas Filsafat”.
c. Metode Deduksi
Metode deduksi adalah cara penanganan terhadap suatu objek tertentu dengan jalan menarik kesimpulan yang bersifat khusus berdasar atas ketentuan-ketentuan dalil-dalil atau prinsip-prinsip yang sifatnya umum. Contoh pemikiran deduktif adalah jika kita memiliki prinsip umum bahwa semua makhluk hidup akan mengalami kematian, dan kucing kita termasuk makhluk hidup maka kita dapat menyimpulkan bahwa kucing kita suatu saat mati. Silogisme adalah suatu contoh bentuk pemikiran deduktif. Pemikiran deduktif itu dipergunakan para hakim untuk memutuskan apakah suatu perbuatan melanggar hukum atau tidak.
d. Metode Induksi
Metode induksi adalah cara penanganan terhadap suatu objek tertentu dengan jalan menarik kesimpulan-kesimpulan yang bersifat umum atau yang bersifat lebih umum berdasarkan atas penyataan terhadap sejumlah hal yang bersifat khusus. Contoh dari pemikiran induktif ini paling mudah dijumpai pada penelitian bidang ilmu kealaman, misalnya penelitian terhadap berbagai macam logam yang dipanaskan semua memuai, sehingga dapat ditarik kesimpulan umum bahwa “semua logam jika dipanaskan akan memuai”.
Penalaran atau pemikiran secara induktif dapat juga dilakukan dalam bidang sosial maupun kefilsafatan. Misalnya, berdasar informasi dan pengamatan yang didapat maka pada tahap awal berbagai kebudayaan mempergunakan mitologi sebagai sumber informasi tentang bagaimana berbagai gejala alam terjadi, sejarah sesuatu dsb. Mereka belum mengenal ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sumber informasi seperti halnya dalam dunia modem seperti sekarang. Maka Van Peursen misalnya menyimpulkan bahwa tahap awal kebudayaan manusia adalah kebudayaan mitologis. Berbeda dengan Agust Comte menyimpulkan tahap pemikiran awal kebudayaan manusia adalah tahap religius. Kesimpulan itu berdasarkan atas berbagai informasi yang diperoleh, bahwa pada awalnya segala gejala termasuk gejala alam selalu dikaitkan dengan perbuatan para dewa. Dalam berbagai kebudayaan dikemukakan ada dewa petir, dewa bumi, dewa langit, dewa angin dan sebagainya.
2. Metode Berfikir Kefilsafatan
(30)
Istilah dialektik menunjukkan proses berfikir yang dikembangkan Socrates. Filsafat mulai dengan diskusi tentang aspek-aspek yang biasa diterima tentang suatu problema. Proses dialektik adalah dialog antara dua pendirian yang bertentangan. Dengan proses dialog setiap peserta dalam pembicaraan terpaksa menjelaskan idenya. Filsafat berjalan dengan berusaha mengkoreksi fikiran yang tidak tepat atau tidak sempurna. Di dalam dialog itu akan ditemukan bahwa setiap proses (sikap) tidak menyajikan pemahaman yang sempurna tentang kebenaran. Dengan begitu muncullah alternatif baru. Setiap tahap dialektika memasuki pemahaman lebih mendalam terhadap problem asli, dengan demikian akan diperoleh pengetahuan yang lebih mendekati kebenaran (Titus, Smith, Nolan, 1984: 15-16).
b. Metode Anahisis / analitik (metode kritik)
Metode analisis diperkenalkan oleh Aristoteles dengan metode analisis abstraksi. Metode analisis adalah metode yang menangani objek dengan mengurai atau memerinci unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Pengertian abstraksi adalah menyisihkan untuk sementara hal-hal atau unsur-unsur yang tidak esensial (aksidensia) dan pikiran.
Aristoteles mengurai keberadaan itu dalam sepuluh kategori, yang terdiri dari satu substansi dan sembilan aksidensia. Kategori adalah kelompok pengertian yang sifatnya paling umum. Substansi merupakan sesuatu yang dapat berdiri sendiri merupakan kategori pertama. Sedangkan aksidcnsia adalah sesuatu yang hanya bersifat kebetulan dan keberadaannya tergantung pada substansi. Dengan menyisihkan aksidensia diharapkan dapat diperoleh substansi atau esensi sesuatu. Sembilan aksidensia itu adalah : kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, keadaan, pemilikan, aksi dan pasi (menderita).
Pada masa kini metode analisis lebih menunjuk kepada filsafat yang oleh CD. Broad disebut filsafat kritik, yaitu filsafat yang menganalisis tentang makna istilah-istilah. Akhirnya terdapat filsuf yang menganggap bahwa tugas satu-satunya filsafat adalah melakukan analisis tentang makna bahasa. Alasannya, setiap hari kita dikelilingi oleh lautan makna-makna karena segala sesuatu kita hayati sebagai makna dan bukan sebagai benda yang diam dingin tanpa makna. Misalnya kita perlu menjernihkan pengertian “materi”. Apakah materi sama dengan benda?, maka jika Aristoteles menyebut benda itu terdiri dan materi dan bentuk maka jelas materi tidak sama dengan benda, mungkin lebih tepat diartikan sebagai bahan. Akan tetapi dapat timbul pertanyaan apakah materi dapat dikatakan ada tanpa bentuk ? dan seterusnya.
(31)
Setiap pemikiran kefilsafatan akan berhadapan dengan tugas melakukan penjernihan istilah melalui analisa bahasa.
c. Metode Sintesis / Sintetik (Spekulatif)
Metode sistetis merupakan metode yang dipakai oleh filsafat spekulatif dalam menyusun sistem. Maksud dan sintesis yang pokok adalah mengumpulkan semua pengetahuan yang dapat diperoleh untuk menyusun suatu pandangan dunia. Seorang filsuf bertolak dan sejumlah besar bahan keterangan. Semakin banyak keterangan atau pengetahauan yang dimiliki seorang filsuf dimungkinkan sistem yang disusunnya lebih baik. Sistesis adalah usaha untuk mencari kesatuan di dalam keragaman itu (Kattsoff, 1987 : 22).
Para filsuf analitik yang menolak filsafat spekulatif pun mau tidak mau harus menyusun sebuah sistem. Para filsuf analitik menyimpulkan diantara keaneka ragaman benda-benda dan kejadian-kejadian itu merupakan suatu sistem tanda, semuanya merupakan teks yang harus diungkap maknanya. Oleh karena itu filsuf yang baik memperhatikan dua aspek sekaligus yaitu penjernihan makna bahasa dan penyusunan suatu sistem.
D. Rangkuman
1. Metode berfikir secara umum: a. Metode analisis, meliputi:
1) Analisis a priori 2) Analisis a posteriori b. Metode Sintesis, meliputi:
1) Sintesis a priori 2) Sintesis a posteriori c. Metode deduksi
d. Metode induksi
2. Metode berfkir kefilsafatan secara umum, meliputi: metode dialektik, metode analitik (kritik) dan metode sintetik (spekulatif)
E. Latihan/Contoh Soal
1. Berikanlah penjelasan dengan menyertakan contoh perbedaan antara metode analisis atau analitik dengan metode deduktif !
(32)
2. Berikan penjelasan dengan menyertakan contoh tentang metode spekulatif dalam berfikir kefilsafatan !
POKOK BAHASAN V KEBENARAN A. Pendahuluan
Pemikiran sebagai suatu proses yang memiliki tujuan sedapat mungkin untuk memperoleh kebenaran. Untuk mencapai kebenaran, akal melakukan pemikiran dengan melalui proses bertahap. Suatu pemikiran dapat dimulai dan kondisi ketidak tahuan maupun keragu-raguan. Dengan proses berfikir itu diharapkan dapat memperoleh kepastian. Terdapat beberapa bentuk yang menyangkut penerapan istilah atau kata “benar”. Selain itu juga terdapat kriteria untuk menentukan tetang sesuatu yang dikatakan benar tersebut. Pokok bahasan ini akan menguraikan tentang teori kesesuaian atau teori korespondensi, teori kebenaran koherensi, dan teori kebenaran pragmatik.
B. Tujuan Pembelajaran
1. Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan tahap-tahap pemikiran dari tahap ketidaktahuan sampai tahap kepastian.
2. Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan bentuk-bentuk kebenaran, yaitu : kebenaran deskriptif, instrumental, ontologis, dan eksistensial.
3. Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan tentang kriteria-kriteria atau teori-teori yang dipakai untuk menetapkan kebenaran.
C. Materi Pembelajaran 1. Tahap-tahap Menuju Kebenaran
a. Tahap Ketidaktahuan (iquorance) / Kekurangtahuan
Iqnorance secara etimologis berasal dan kata Latin in = tidak, dan noscere = kenal, tahu, mengetahui tentang. Ketidaktahuan berarti tidak ada atau belum ada
(33)
pengetahuan secara keseluruhan maupun sebagian. Dalam keadaan semacam mi akal dalam keadaan negative dalam arti “kurang” atau “tidak mengenal” sesuatu hal. Dalam kondisi ini akal belum memiliki kebenaran.
b. Tahap Kesangsian atau Keragu-raguan
Kesangsian adalah suatu keadaan akal dalam ketidakmampuan untuk menegaskan (afirmasi) atau menyangkal (negasi). Ketidakmampuan ini disebabkan karena alasan yang memperkuat maupun yang memperlemah atau menolak dalam posisi seimbang. Kesangsian dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu kesangsian spontan, reflek, metodis dan universal.
1) Kesangsian spontan, adalah kesangsian yang mendahului pemikiran atau penelaahan. Akal belum mempertimbangkan, kesangsian muncul begitu saja.
2) Kesangsian reflek, adalah kesangsian yang terjadi setelah akal melakukan penelaahan. Kesangsian muncul setelah akal menemukan alasan-alasan yang pro (menguatkan) maupun yang kontra (menolak atau menegasikan) sama-sama kuat, sehingga tidak mampu menegaskan atau menolak.
3) Kesangsian metodis adalah kesangsian sengaja dipakai sebagai sikap awal, agar dalam penelaahan suatu problem dapat bersifat adil atau objektif (tanpa didahului syak wasangka). Kesangsian metodis ini dapat dikenakan didalani kehidupan sehari-hari dalam rangka memutuskan sesuatu secara adil. Dalam bidang kefilsafatan metode kesangsian ini dipakai oleh Al Ghazali untuk menjalankan atau mengenali kemampuan yang dapat mengantarkan kepada pengetahuan tentang Tuhan. Oleh Descartes kesangsian metodis ini dipakai untuk mencari dasar pengetahuan yang tidak dapat diragukan kebenarannya. Ia akhirnya menemukan pangkal tolak itu dalam pernyataan cogito ergo sum atau saya berfikir maka saya ada. Dan pangkal tolak itulah kemudian ia menyusun filsafatnya.
4) Kesangsian universal, yaitu sikap menyangsikan segala sesuatu apapun. Kesangsian semacam ini dianut oleh Skeptisisme yang meragukan setiap penegasan atau setiap pengetahuan yang dimiliki manusia, karena dipandang tidak pasti. Ketidakpastian ini timbul karena menyangsikan kemampuan akal dan indera karena hanya menghasilkan pengetahuan yang relatif. Skeptisisme berpendirian bahwa pengetahuan itu tidak ada, yang ada hanya pendapat (yang mudah berubah).
c. Tahap Pendapat (Opinion), yaitu akal sudah mengambil sikap menegaskan (mengafirmasi), namun kebenarannya belum sampai tingkat kepastian baru dalam tahap
(34)
kebolehjadian atau kemungkinan (probability). Kemungkinan itu dapat bersifat matematis maupun moral.
1) Kemungkinan matematis, adalah kemungkinan yang dapat dirumuskan secara matematis biasanya dengan angka pecahan atau bentuk perbandingan. Misalnya kemungkinan 2: 1, 3: 1, dsb.
2) Kemungkinan moral, adalah kemungkinan yang dapat ditentukan berdasarkan pengalaman, kebiasaan atau moralitas yang telah berlaku dalam kehidupan. Contoh: kemungkinan ia sedang berpuasa.
d. Tahap Kepastian (Certitude), yaitu kondisi akal yang menegaskan tanpa adanya keraguan bahwa yang ditegaskan itu salah. Alasan-alasan yang menegaskan itu begitu kuatnya sehingga pengingkarannya dapat dipastikan salah. Yang merupakan prinsip kepastian itu adalam evidensi, yaitu kejelasan yang mewujudkan dirinya sehingga dapat diterima akal. Evidensi juga dapat diartikan sebagai sesuatu hal yang diangap mendukung kebenaran proposisi. Kepastian dapat bersifat metafisis, fisis maupun moral.
1) Kepastian metafisis, adalah kepastian yang didasarkan pada hakikat dan hal-hal, sehingga pengingkarannya pasti keliru dan mustahil. Contoh: “keseluruhan lebih besar dan bagian-bagiannya”.
2) Kepastian fisis adalah kepastian yang didasarkan pada hukum alam, sehingga pengingkarannya keliru tetapi belum mustahil. Contoh: “Logam dapat sebagai penghantar listrik”.
3) Kepastian moral, yaitu kepastian yang didasarkan pada prinsip moral atau hukum psikologis, sehingga penegasannya sebagian besar merupakan kebenaran. Contoh: “Ibu menyayangi anaknya”.
2. Hakikat Kebenaran
Hakikat kebenaran. Ada beberapa bentuk yang menyangkut penerapan istilah atau kata “benar”.
a. Kebenaran dapat deskriptif, artinya dapat diterapkan pada pernyataan
(statement), proposisi, atau kepercayaan yang mesti atau yang boleh jadi. Pernyataan yang mesti misalnya yang secara analitis benar. Misalnya “Jika p maka q; dan kemudian p; kesimpulannya adalah q. Pernyataan yang boleh jadi, adalah yang secara empiris benar. Misalnya “Bumi itu bulat”. Kebenaran berfungsi sebagai ajektif misalnya kepercayaan yang benar.
b. Kebenaran dapat instrumental, artinya diterapkan pada kepercayaan-kepercayaan yang membimbing pikiran atau tindakan yang menimbulkan keberhasilan.
(35)
Misalnya tindakan yang didasarkan pada kepercayaan bahwa api yang membakar membantu seseorang agar terhindar dan kebakaian. “Kebenaran” berfungsi sebagai adverb, misalnya “seseorang mempercayai secara benar”.
c. Kebenaran dapat substantive atau ontologis, artinya istilah itu menunjuk pada sesuatu yang nyata. Misalnya :Tuhan adalah kebenaran”. Kebenaran berfungsi sebagai kata benda (noun).
d. Kebenaran dapat eksistensial, artinya menunjuk pada cara hidup (way of life) seseorang atau keterikatan yang terdalam. Manusia hidup dan tidak hanya sekedar mengetahui kebenaran. “Kebenaran” berfungsi sebagai kata kerja (verb).
3. Kriteria (ukuran) Kebenaran.
Salah satu pertanyaan dalam epistemologi adalah: apakah kebenaran itu?. Manusia belum merasa puas kalau hanya memperoleh pengetahuan. Mereka melangkah lebih lanjut yaitu berusaha untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang benar yang dicari ini tidak sekedar benar bagi sendiri, akan tetapi adalah benar bagi orang lain. Inilah yang dimaksud dengan kebenaran yang universal. Berdasar atas hal ini pertanyaan yang muncul adalah: apakah kebenaran itu. Kebenaran bersifat objektif atau subjektif? Untuk menjawab pertanyaan ini ada beberapa teori. Teoni-teori .ini mengajukan ukuran yang menentukan apakah pengetahuan yang diperoleh itu benar atau salah. Masing-masing teori mengajukan ukuran tentang kebenaran sesuai dengan asumsi dan sudut pandangan yang digunakan.
Tidak semua pernyataan dapat dinilai dengan kata benar atau kata salah. Misalnya “usulan” dapat diterima atau ditolak, dan bukannya benar atau salah, “Resolusi”, diikuti atau dilanggar. “Janji”, dipenuhi atau tidak dipenuhi. “Saran” diperhatikan atau tidak diperhatikan. “Perintah” dipatuhi atau tidak dipatuhi,
a. Teori Kesesuaian tentang kebenaran (Correspondence Theory of Truth). Teori ini digunakan oleh alirari realisme, Menurut realisme objek-objek yang diketahui yang berupa pengetahuan, tidak bergantung pada subjek yang mengetahui atau pada pikiran yang mengetahui. Objek-objek pengetahuan merupakan sesuatu hal yang berdiri sendiri berada di luar subjek, terpisah dan pikiran.
Menurut teori korespondensi, kebenaran adalah kesesuaian (kecocokan) hal-hal atau pengetahuan yang terdapat dalam pikiran (subjek) dengan kenyataan objektif yang di luar pikiran. Seseorang yang mengetahui berarti dia memiliki pengetahuan. Pengetahuan itu mengacu (menunjuk) pada sesuatu yang di luar pikiran yaitu dengan kenyataan yang wujud konkritnya berupa fakta-fakta. Dengan demikian dapat
(36)
dinyatakan bahwa kebenaran merupakan kesesuaian di antara pengetahuan yang ada dalam pikiran dengan fakta yang sesungguhnya yang ada di luar pikiran. Seseorang yang memiliki pengetahuan akan mengungkapkan pengetahuannya dalam bentuk pernyataan atau putusan. Putusan ini menggambarkan sesutu objek atau peristiwa yang diketahui. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara putusan (judgment) dengan situasi atau keadaan yang digambarkan oleh putusan tersebut.
Misalnya dikatakan bahwa “candi Borobudur terletak di Propinsi Jawa Tengah”, Pernyataan ini merupakan pengetahuan yang benar bukan karena sesuai dengan pernyataan-pernyataan lain yang lebih dahulu telah dikemukakan melainkan karena pernyataan itu sesuai dengan kenyataan atau fàkta-fakta situasi geografis yang dapat diamati. Proses menemukan kesesuaian atau pembuktian dengan fakta disebut verifikasi atau konfirmasi. Verifikasi dibedakan menjadi dua yaitu: versi kuat dan versi lemah. Menurut verifikasi versi kuat, suatu pernyataan bermakna jika dan hanya jika pemyataan itu dapat diverifikasi secara empiris. Sedangkan menurut verifikasi versi lemah, suatu penyataan bermakna jika dan hanya jika pernyataan itu sedikitnya dalam prinsip dapat diverifikasi secara empiris.
Teori korespondensi berasumsi bahwa data indera itu jelas dan cermat. Data indera dipandang mengungkapkan sifat dan kenyataan duniawi seperti apa adanya. Bagi aliran idealisme dan pragmatisme mempertanyakan validitas asumsi ini. Dikatakan bahwa dalam persepsi (cerapan indera) akal mengubah pandangan-pandangan tentang dunia. Kalau kemampuan persepsi berkurang atau meningkat, atau seseorang memiliki alat penginderaan yang kurang baik atau malahan lebih baik, dengan sendirinya dunia mungkin nampak berbeda. Akibatnya pernyataan atau putusan yang dibuat tidak menggambarkan kenyataan seperti apa adanya.
George Edward Moore salah seorang tokoh teori ini mendefinisikan kebenaran sebagai kesesuaian pengetahuan (idea) dengan sesuatu yang berada di luar (dunia objektif, fakta-fakta). Fakta itu sendiri tidak dapat dikatakan benar atau salah, tetapi yang ada adalah kepercayaan. Kebenaran dan kesalahan ditempatkan sebagai sebutan (predikat) bagi idea, pernyataan dan kepercayaan. Yang harus memiliki hubungan kesesuaian dengan fakta-fakta. Sifat umum dari kebenaran adalah kesesuaiannya dengan fakta, sedangkan kesalahan adalah tidak adanya sifat seperti itu. Kebenaran merupakan kepercayaan yang menggambarkan unsur-unsur dan struktur alam (kenyataan).
(37)
b. Teori Keruntutan tentang Kebenaran (Coherence atau Consistence Theory of Truth). Yang menenima teori ini adalah aliran idealisme. Menurut idealisme tidak ada yang dapat diketahui kecuali jiwa dan pikiran. Yang dapat diketahui semata-mata merupakan kerja jiwa dan pikiran. Pengetahuan tentang jiwa atau pikiran adalah hal yang pokok dan merupakan satu-satunya sumber untuk membentuk pengetahuan. Adanya pengetahuan sebagai isi di dalam jiwa dan disebabkan oleh jiwa.
Karena manusia tidak dapat secara langsung membandingkan gagasan atau putusan dengan dunia luar seperti apa adanya, maka diperolehnya pengetahuan yang benar didasar.kan pada koherensi atau konsistensi atau keselarasan di antara putusan-putusan yang dibuat. Suatu putusan-putusan dikatakan benar, kalau putusan-putusan-putusan-putusan itu runtut atau selaras dengan putusan-putusan yang lain yang sebelumnya sudah dianggap benar.
Istilah “koherensi” mengandung arti “berhubungan dengan sesuatu idea, prinsip, tatanan atau berhubungan dengan konsep yang bersifat umum”. Atau dapat juga berarti mengikuti secara logis, sesuai dengan hukum-hukum logika. Sedangkan istilah “konsistensi” mengandung arti tidak mengandung pertentangan secara kontradiksi. Konsep-konsep dikatakan konsisten jika tidak mengandung makna- makna yang bertentangan secara kontradiksi atau makna yang saling menyisihkan. Pernyataan atau istilah yang tidak konsisten misalnya “lingkaran yang berbentuk segitiga”, “bujangan yang sudah rnenikah”, “orang Negro yang berkulit putih”.
Teori koherensi tentang pengetahuan dikaitkan dengan pandangan aliran rasionalisme dan idealisme sebagaimana dikemukakan oleh Leibniz, Spinoza, Hegel dan Bradley.Teori ini berlaku dalam matematika. Dengan mengandaikan definisi-definisi dan aksioma-aksioma tertentu dapat dibentuk sistem geometri yang mengandung definisi dan aksioma yang sesuai dengannya. Asas konsistensi atau implikasi logis mendasari sistem-sistem matematika dan logika formal.
Bagi teori ini dapat diajukan kritik. Kalau teori ini diterima berarti dapat dikonstruksikan sistem-sistem koherensi yang salah maupun benar. Teori ini tidak membedaan antara kebenaran yang runtut (consistent truth) dengan kesalahan yang runtut (consistent error).
c. Teori Pragmatik tentang Kebenaran (Pragmatic Theoiy of Truth). Teori ini dianut oleh aliran pragmatisme. Dalam kaitannya dengan kebenaran, teori pragmatik beranggapan bahwa manusia tidak dapat mengetahui “substansi”, “hakikat”, “kenyataan yang terdalam”. Penganut pragmatisme seluruhnya bersifat empiris
(38)
dalam menafsirkan pengalaman. Bagi pragmatisme, pengetesan atas pengetahuan yang benar adalah:
1) kemanfaatan, kegunaan (utility) 2) dapat dikerjakan (workability)
3) akibat-akibat yang memuaskan (satisfacto,y consequences)
Menurut C.S. Peirce, yang penting adalah pengaruh apa yang dilakukan sebuah ide dalam suatu rencana untuk bertindak. Pengetahuan yang dimiliki manusia tidak lain daripada gambaran yang diperoleh tentang akibat (consequence) yang dapat disaksikan. Nilai suatu konsep tergantung pada penerapannya yang konkrit dalam masyarakat. Pengetahuan yang dimiliki manusia itu dikatakan benar bukannya karena memantulkan atau menciptakan kenyataan melainkan pengetahuan itu dapat membuktikan kemanfàatan bagi masyarakat.
Menurut William James, ukuran kebenaran ditentukan oleh akibat praktisnya. Sesuatu ide tidak pernah benar, sesuatu ide hanya dapat menjadi benar. Ukuran kebenaran dicari dalam taraf seberapa jauh manusia sebagai pribadi dan secara psikis merasa memperoleh kepuasan. Kebenaran mutlak (absolute truth) yang terlepas pada akal tu tidak ada, karena semuanya selalu berjalan terus, selalu berubah. Yang ada hanya kebenaran khusus dalam pengalaman khusus. Akal hanya memberikan informasi bagi perbuatan-perbuatan. Dunia selalu dalam keadaan menjadi. Dunia dapat dibuat manusia. Dunia adalah suatu multiversum dan bukannya universum.
Ada pergeseran arti kebenaran yang dikemukakan oleh James. James memberikan penafsiran secara personal. Dikatakan bahwa “Kita tidak dapat menolak sesuatu hipotesis jika akibat-akibatnya berguna untuk kehidupan. Jika hipotesis Tuhan berlaku (bagi individu) maka hipotesis itu benar.” Pada awalnya James mendefinisikan kebenaran sebagai yang bekeija (that which works). Kemudian ia mendefinisikan sebagai berikut:
1) sesuatu yang memiliki nilai kontan (cash value) artinya secara prinsip dapat diverifi kasi (dibuktikan kebenarannya secara empiris)
2) yang bersifat koheren, artinya cocok dengan fakta-fakta sebelumnya.
3) yang menyetujui nilai-nilai yang lebih tinggi, artinya mendorong kemajuan. Menurut John Dewey, tiap-tiap organisme selalu dalam keadaan berjuang yang berlangsung terus-menerus terhadap alam sekitarnya dan mengembangkan alat yang membantu dalam perjuangan tersebut. Akal atau pikiran berkembang sebagai alat untuk mengadakan eksperimen ketika manusia berusaha untuk menguasai dan
(39)
memberi bentuk pada alam sekitar itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kecerdasan bersifat kreatif dan pengalaman merupakan unsur terpokok dalam segala pengetahuan.
Bagi Dewey, yang penting bukan benar tidaknya pengetahuan, melainkan sejauh mana manusia dapat memecahkan masalah-masalah yang muncul di dalam masyarakat dan dalam kehidupan yang nyata. Seperti halnya Peirce, bagi Dewey yang menjadi ukuran adalah kegunaan untuk umum. Daya pikir dan daya tahu merupakan sarana. Bukan konsep-konsep sendiri yang benar, tetapi ide-ide itu baru menjadi benar dalam rangka proses penggunaan (penerapan) oleh manusia. Pengetahuan bersifat dinamis, karena harus sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang silih berganti dan yang memantulkan hakikat dunia.
Berkebalikan dengan William James, Peirce dan Dewey memberikan penafsiran secara sosial dalam kerangka kemampuan meramal (predictive power). Kebenaran harus bersifat sosial dan dapat diverifikasi secara eksperimental dan bukan hanya berguna secara pribadi. Kebenaran adalah publik dan bukannya privat.
D. Rangkuman
1. Tahap-tahap menuju kebenaran, meliputi : a. Tahap ketidak tahuan
b. Tahap kesangsian atau keraguaan, meliputi : kesangsian spontan, reflek, metodis dan universal
c. Tahap pendapat
d. Tahap kepastian, meliputi : kepastian metafisis, kepastian fisis, dan kepastian moral
2. Hakikat kebenaran, meliputi : kebenaran deskriptif, instrumental, ontologis, dan eksistensial.
3. Kriteria (ukuran kebenaran), meliputi : teori korespondensi atau kesesuaian, teori koherensi atau keruntutan, dan teori pragmatik.
(40)
E. Latihan/Contoh Soal
1. Berikanlah penjelasan dengan menyertakan contoh tentang perbedaan antara kesangsian spontan dengan kesangsian refleks !
2. Berikanlah penjelasan dengan menyertakan contoh tentang kebenaran instrumental !
3. Berikanlah penjelasan dengan menyertakan contoh bahwa menurut teori
kebenaran koherensi maka untuk menentukan kebenaran tidak perlu mencocokkan dengan fakta !
(1)
Positivisme berpendirian bahwa kepercayaan yang dogmatis harus digantikan dengan pengetahuan faktawi. Apapun yang berada di luar dunia pengalaman tidak perlu diperhatikan. Manusia harus menaruh perhatian pada dunia ini Sikap negative positivisme terhadap kenyataan yang diluar pengalaman telah mempengaruhi berbagai bentuk pemikiran modern, yaitu pragmatisme, instrumentalisme, naturalisme ilmiah, dan behaviorisme. Penganut analis filsafati dewasa ini pada umumnya adalah penganut empirisme. Beberapa tokoh diantaranya mengatakan bahwa pemyataan yang mengandung arti adalah pernyataan yang dapat diverifikasi secara empiris. Pernyataan yang tidak berdasar pengalaman atau tidak dapat diverifikasi dianggap tidak bermakna atau bukan merupakan pengetahuan.
d. Pragmatisme
Pragmatisme tidak mempersoalkan apa hakikat pengetahuan, tetapi menanyakan apa guna pengetahuan tersebut. Daya pengetahuan hendaklah dipandang sebagai sarana bagi perbuatan. CS. Pierce menyatakan bahwa yang penting adalah pengaruh apa yang dapat dilakukan sebuah ide atau suatu pengetahuan dalam suatu rencana. Pengetahuan kita tidak lain merupakan gambaran yang kita peroleh tentang akibat yang dapat kita saksikan, Nilai dan suatu pengertian atau pengetahuan bergantung pada penerapannya yang nyata dalam masyarakat. Pengetahuan yang dimiliki manusia dikatakan benar tidak karena pengetahuan itu mencerminkan kenyataan, tetapi dikatakan benar kalau dapat membuktikan manfaatnya bagi umum.
William James menyatakan bahwa ukuran kebenaran sesuatu itu ditentukan oleh akibat praktisnya. Sesuatu pengertian tidak pernah benar, tetapi pengertian hanya dapat menjadi benar. Ukuran kebenaran hendaknya dicari dalam tingkatan seberapa jauh manusia sebagai pribadi dan secara psikis merasa puas.
John Dewey menyatakan bahwa tidak perlu mempersoalkan kebenaran suatu pengetahuan, tetapi sejauh mana kita dapat memecahkan persoalan yang timbul dalam masyarakat. Bagi John Dewey, kegunaan atau kemanfaatan untuk umum hendaknya menjadi ukuran, sedangkan daya untuk mengetahui dan daya untuk berpikir merupakan sarana. Bukan pengetahuan itu sendiri yang benar, melainkan pengertian itu baru menjadi benar dalam rangka proses penerapannya. Dengan demikian, pengetahuan bersifat dinamis karena harus sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang silih berganti dan yang mencerminkan hakikat alam semesta ini.
(2)
D. Rangkuman
1. Aliran-aliran bidang epistemologi dan segi sumber pengetahuan:
a. Rasionalisme merupakan aliran yang berpendirian semua pengetahuan bersumber pada akal
b. Empirisme merupakan aliran yang berpendirian bahwa semua pengetahuan diperoleh melalui pengalaman indrawi. Pendukung aliran ini adalah positivisime, positivisme logis dan filsafat analitik Inggris.
c. Kritisisme merupakan aliran yang menggabungkan antara empirisme dengan rasionalisme, menyatakan bahwa pengetahuan indrawi yang masih kacau perlu ditertibkan dengan akal.
2. Aliran-aliran bidang epistemology dan segi hakikat pengetahuan
a. Idealisme yang berpendirian bahwa hakikat pengetahuan berupa proses mental yang bersifat subjektif
b. Empirisme yang berpendirian bahwa hakikat pengetahuan berupa pengalaman c. Positivisme berpendirian bahwa hakikat pengetahuan adalah pengalaman yang
dapat diverifikasi secara empiris jika perlu dengan pengukuran yang pasti.
d. Pragmatisme aliran yang berpendirian bahwa ukuran kebenaran pengetahuan adalah sejauh mana ia memiliki kegunaan praktis.
E. Latihan/Contoh Soal
1. Berikan penjelasan dengan menyertakan contoh rasionalisme cenderung mempergunakan metode deduktif sedangkan empirisme cenderung induktif ! 2. Berikan penjelsan bahwa menurut idealisme epistemologis pengetahuan itu tidak
(3)
POKOK BAHASAN IX
ALIRAN-ALIRAN DALAM BIDANG ETIKA A. Pendahuluan
Sebagaimana yang ada dalam bidang ontologi dan epistemologi, bidang etika juga memiliki berbagai aliran. Sebenarnya aliran yang ada dalam etika itu banyak, namun dalam pokok bahasan ini hanya mengulas tentang tiga pendekatan etika yang cukup dapat mewadahi aliran-aliran yang ada. Etika keutamaan, etika kewajiba, dan etika kemanfaatan memiliki kriteria yang berbeda untuk menetukan suatu perbuatan itu baik atau buruk.
B. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan aliran-aliran dalam bidang etika terutama tentang kriteria-kriteria untuk menentukan kebaikan dari tiga pendekatan etika, yaitu : etika keutamaan, etika kewajiban, dan etika kemanfaatan.
C. Materi Pembelajaran 1. Etika Keutamaan (Virtue - ethics)
Etika keutamaan adalah etika yang paling tua dalam sejarah filsafat. Etika keutamaan mengajarkan tentang perilaku atau sikap agar manusia itu hidupnya berkualitas atau memiliki keutamaan. Di dalam etika ini tidak dipersoalkan tentang kejahatan dan kebaikan, melainkan berkualitas tidaknya suatu tindakan. Contoh dalam etika Yunani banyak ditekankan bahwa hidup berkualitas itu adalah hidup yang rasional, maka bukan berarti hidup yang tidak rasional itu jahat melainkan hanya tidak berkualitas.
Oleh karena etika keutamaan itu memiliki tujuan, maka termasuk dalam aliran teleologisme moral. Istilah teleology berasal dan bahasa Yunani telos = tujuan, akhir, dan logos = uraian tentang, teori tentang. Berikut ini termasuk dalam teleologisme moral.
a. Hedonisme
Hedonisme berasal dan kata Yunani hedone yang berarti kesenangan atau kenikmatan. Etika ini berkembang di Yunani dengan tokoh-tokohnya : Aristipus dan Epicipros. Aliran ini mengajarkan bahwa hidup yang baik adalah mendapatkan kenikmatan atau kesenangan dan menghindari rasa sakit atau penderitaan. Pada saat
(4)
ini hedonisme sering dianggap atau berkonotasi buruk, karena seolah seorang hedonis itu mengutamakan hawa nafsu. Dalam hedonisme Yunani tidak demikian. Pada masa lampau di Yunani dan juga terdapat di semua kebudayaan, bahwa manusia itu sudah membawa takdir masing-masing. Takdir itu ditentukan oleh alam atau tuhan dan manusia itu tidak dapat menolak, sehingga hidup yang baik adalah menerima takdir atau nasib. Jika kita dapat menerima nasib maka kita dapat menikmati hidup, serta menghindari penderitaan dan kesakitan. Hedonisme semula merupakan etika menerima nasib (Epicuros) atau etika keselarasan (Stoa).
b. Eudaemonisme
Eudaemonisme sering dipakai untuk menyebut etika Aristoteles- Eudaemonisme berasal dan kata Yunani eudaemonia yang berarti kebahagiaan. Manusia tidak cukup hanya mencari kesenangan karena kesenangan dapat juga diraih oleh hewan. Manusia harus mencapai kebahagiaan dengan cara mengembangkan potensinya untuk kehidupan yang rasional. Kebahagiaan itu berbeda dengan kesenangan atau kenikmatan. Kebahagiaan adalah kondisi harmoni dalam kehidupan batin manusia.
2. Etika Kewajiban
Etika ini termasuk ke dalam aliran deontologisme moral. Deontologi berasal dari kata yunani deon dan logos, deon berarti “kewajiban moral” atau “perintah moral”. Tokoh aliran deontologisme moral atau etika kewajiban ini adalah I Kant. Salah satu ajaran utama dan etika ini adalah kewajiban untuk menghormati dan memperlakukan manusia sebagai pribadi atau person. Secara lebih mudah; manusia haruslah dilihat sebagai subjek bukan objek, sehingga semua tindakan yang menjadikan manusia sebagai objek harus ditinggalkan.
3. Etika Kemanfaatan
Etika ini dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Etika mereka sering disebut sebagai Utilitarianisme, utilitarisme atau atilisme yaitu etika yang mendasarkan diri pada akibat perbuatan itu pada kemanfaatan. Utilisme berasal dari kata Latin utilis “berguna atau berfaedah”. Menurut aliran ini perbuatan harus sekurang-kurangnya menghindari kerugian yang diakibatkan oleh suatu perbuatan. Maksimalnya adalah memperbesar kemanfaatan atau keuntungan bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Semakin banyak orang yang menikmati manfaat maka perbuatan itu semakin baik.
(5)
D. Rangkuman Etika dapat dilihat dan tiga macam model:
1. Etika keutamaan aalah etika yang mengajarkan tentang keutamaan hidup dan menuntun agar manusia dapat hidup secara berkualitas.
Etika yang mengukur tindakan dan tujuan-tujuan disebut teleologisme moral. Pendukung aliran mi adalah:
a. Hedonisme, aliran yang mempercayai ukuran moral dan tercapainya kesenangan atau kenikmatan.
b. Eudaetonomisme, aliran yang mempergunakan ukuran moral dan tercapainya kebahagiaan.
2. Etika kewajiban sering disebut aliran deontologisme moral, yang mengajarkan bahwa moralitas tidak diukur dan tercapainya tujuan, melainkan karena kewajiban yang harus dilakukan yaitu menghormati orang lain sebagai subjek, sebagai pribadi atau sebagai person.
3. Etika kemanfaatan didukung oleh Utilisme yang memberikan ukuran moral dari akibat atau kemanfaatannya.
E. Latihan/Contoh Soal
1. Berikan penjelasan tentang perbedaan fundamental dari etika keutamaan dengan etika kemanfaatan !
2. Berikan penjelasan bahwa etika kewajiban tidak melihat baik buruknya suatu tindakan itu berdasar tujuan yang hendak dicapai melalui tindakan tersebut !
(6)
DAFTAR PUSTAKA
Gie, The Liang, 1979, Suatu Konsepsi Ke Arah Penertiban Bidang filsafat, penterjemah Ali Mudhofir, karya Kencana, Yogyakarta
Kattsoff, Louis, O, 1987, Pengantar Failsafat, diterjemahkan oleh Soejono Soemargono, Tiara wacana, Yogyakarta
Mudhofir, Ali, 1985, Garis Besar Filsafat, Fakultas Filsafat UGM
..., 1988, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat, Liberty, Yogyakarta ..., 1992, Kamus Istilah Filsafat, Liberty, Yogyakarta
Mudhofir, Ali dan Heri Santoso, 2007, Asas Berfilsafat, Pustaka Rasmedia, Yogyakarta Peursen, C.A., Van, 1976, Strategi Kebudayaan, Di Indonesiakan oleh Dick Hartoko,
Kanisius, Yogyakarta dan BPK Gunung Mulia, Jakarta
..., 1980, Orientasi Di Alam Filsafat, diterjemahkan Dick Hartoko, PT. Gramedia, Jakarta.
Russell, Bertrand, 2002, Persoalan-persoalan Seputar Filsafat : The Problem Of Philosophy, Penterjemah Ahmad Asnawi, Ikon Teralitera, Yogyakarta
Soemargono, Soejono, 1983, Filsafat Pengetahuan, Nur Cahaya, Yogyakarta
Titus Harold, H. Smith dan Nolan, 1964, Persoalan-persoalan Filsafat, alih bahasa H.M. Rasjidi, Bulan-Bintang, Jakarta.