Kinerja Pengelolaan Air Minum DKI Jakarta Setelah Privatisasi
2.3.3 Kinerja Pengelolaan Air Minum DKI Jakarta Setelah Privatisasi
Indikator kinerja privatisasi air minum DKI Jakarta tidak tersedia, tetapi beberapa indikator yang secara umum sering dijadikan patokan diantaranya adalah
produksi air, jumlah sambungan, cakupan pelayanan, dan tingkat kebocoran. Secara umum setelah privatisasi (2004), terjadi peningkatan kinerja pada keempat indikator, tetapi hanya produksi air dan cakupan pelayanan yang melampaui target. Sementara pencapaian jumlah sambungan masih berkisar 98 persen dari target. Kemudian, tingkat kebocoran masih melampaui target kebocoran, yaitu sekitar 112- 120 persen dari target.
18 Tingkat Kebocoran = [(Volume air terdistribusi – Volume air tertagih) / volume air terdistribusi] x 100 %
Tabel 2.9 Kinerja Privatisasi Pengelolaan Air Minum DKI Jakarta, Tahun 2004
No Kriteria
1 Produksi Air (juta m3)
108 2 Jumlah sambungan (ribu)
98,7 3 Cakupan pelayanan (%)
104-106 4 Tingkat Kebocoran (%)
112-120 Sumber: Diolah dari Argo (2004) dan BPS (2003)
Usaha peningkatan cakupan pelayanan, mengabaikan banyaknya keluhan terhadap kualitas dan kuantitas pelayanan 19 , kedua operator telah mencapai
perkembangan yang nyata. Pelayanan telah bertambah menjadi 44 persen di bagian barat, dan 62 persen di bagian timur, yang secara keseluruhan mencapai 52 persen untuk seluruh Jakarta. Dari cakupan pelayanan tersebut, sebanyak 12,7 persen merupakan penduduk miskin. Sementara sekitar 10,7 persen penduduk miskin belum terlayani oleh air perpipaan (Anwar, 2003).
Tabel 2.10 Cakupan Layanan Air Minum di Jakarta Tahun 2002
Terlayani Air
Tidak
Perpipaan
Terlayani Air
Perpipaan
Tidak Miskin
Sumber: Alizar Anwar (2003)
Dari keseluruhan jumlah pelanggan, kelompok nonniaga (rumah tangga) merupakan pelanggan terbanyak mencapai 79 persen, kelompok niaga dan industri (5,6 persen), kelompok sosial (0,9 persen), dan kelompok khusus relatif kecil sekali.
19 Beberapa survei primer menunjukkan tingginya ketidakpuasan pelanggan terhadap kualitas air perpipaan, distribusi yang lebih mengutamakan lokasi yang mudah dijangkau seperti tepi jalan besar, tekanan air kecil
dan air mengalir hanya pada jam tertentu saja. Sementara studi dalam rangka Ex-Post Evaluation for ODA Loan Projects (2001) menyatakan bahwa sekitar 40 persen responden tidak puas dengan layanan air perpipaan (Siregar dkk, 2004).
Terlepas dari usaha peningkatan cakupan pelayanan air minum, terlihat bahwa penggunaan sumber air minum nonperpipaan masih dominan pada tahun 2002 yang
mencapai sekitar 54,3 persen dari total KK 20 . Sumber air nonperpipaan sebagian besar berasal dari penggunaan pompa yang dapat menyebabkan turunnya permukaan tanah
dan terjadinya intrusi air laut. Sementara penggunaan sumur membahayakan kesehatan masyarakat karena berdasarkan penelitian sekitar 80-90 persen sumur yang ada tercemar oleh bakteri E. Coli (Argo, 1999).
Tabel 2.11 Klasifikasi Rumah Tangga berdasar Sumber Air Minum Tahun 2003
Rumah Tangga
Sumber Air Minum
Jumlah (KK)
Proporsi (%)
Air kemasan
Air Perpipaan
Sumur Terlindungi
Sumur Tak Terlindungi
Mata Air Terlindung
Sumber: BPS DKI Jakarta, 2003.
Peningkatan cakupan pelayanan air minum di DKI Jakarta sampai tahun 2002 mencakup juga pembangunan fasilitas bagi penduduk miskin berupa kran umum
sebanyak 49 unit 21 , yang berarti penambahan sekitar 3,1 persen, dan penambahan sambungan rumah sekitar 40.000 sambungan atau sekitar 133 persen.
Berdasarkan data BPS DKI Jakarta (2003), dari jumlah rumah tangga miskin yang ada, sekitar 32,5 persen menggunakan sumber air sendiri, 35 persen menggunakan sumber bersama, 31,2 persen menggunakan sumber umum, dan sisanya
1,25 persen tidak mempunyai sumber 22 .
20 Data yang tersedia tidak memungkinkan mengetahui secara persisnya proporsi sumber air minum yang berasal dari penjaja keliling, dan truk tangki
21 Berdasarkan perjanjian kerjasama maka penambahan kran umum sama sekali tidak diprogramkan dengan
22 pertimbangan untuk mendorong penduduk menggunakan sambungan rumah. Penjelasan mengenai klasifikasi sumber air minum selengkapnya pada Lampiran 1
Tabel 2.12 Peningkatan Layanan Air Minum bagi Penduduk Miskin di Jakarta (1998-2002)
Perkembangan Fasilitas
Kran Umum
71.671 133 Rumah (unit)
Sumber: Anwar (2003)
Pada periode 1998-2002, peningkatan sambungan rumah ke penduduk miskin menunjukkan jumlah yang signifikan. Namun, diterapkannya pelarangan penggunaan sumur artesis dan sumber lainnya mengakibatkan beberapa komunitas permukiman
miskin yang belum terlayani air perpipaan terpaksa membeli dari penjaja keliling dengan harga yang jauh lebih mahal dari air perpipaan. Selain itu, penduduk miskin juga menggunakan sumber seperti sumur dangkal, sebagian penduduk menjual air ke tetangganya, truk air, dan air kemasan isi ulang.
Walaupun peningkatan cakupan akses air minum pada penduduk miskin meningkat, proporsi penduduk miskin yang belum terlayani masih relatif besar, yaitu
sekitar 10 persen 24 . Sebagai usaha memberi akses air minum pada penduduk miskin, kran umum dibangun dahulu sebelum distribusi air perpipaan dibangun. Air dari kran
tersebut dihargai sama dengan air perpipaan untuk tarif sosial. Namun, dalam kenyataannya karena jumlah kran umum yang masih kurang, penduduk tetap saja memperoleh air melalui penjaja keliling dengan tarif yang jauh lebih mahal, yaitu berkisar antara 6-20 kali.
Selain itu, subsidi silang diperkenalkan. Untuk kelompok sosial dan penduduk miskin, konsumsi 20 m3 pertama dihargai murah. Tarif air yang diterapkan jauh dibawah biaya yang sebenarnya. Kendalanya adalah bahwa banyak penduduk miskin yang tidak terakses air minum karena biaya sambungan sangat berat. Akibatnya,
Berdasarkan data BPS (2004), rumah tangga miskin yang menggunakan air bersih mencapai 90,89 persen. Sementara definisi rumah tangga pengguna air bersih adalah persentase rumah tangga yang menggunakan air minum yang berasal dari air mineral, air ledeng/PAM, pompa air, sumur atau mata air terlindung (jarak ke sumber pencemaran lebih dari 10 meter). Kondisi ini menunjukkan belum terjaminnya sumber air minum yang terjangkau bagi penduduk miskin, karena sumber masih mencakup air mineral, dan juga penjual air keliling dan sejenisnya.
sebagian besar pelanggan yang terlayani itu berasal dari kelompok tidak miskin, sementara penduduk miskin yang tidak terlayani membeli air dengan harga jauh lebih mahal, yaitu sampai 25 kali tarif air perpipaan. Subsidi yang diberikan akhirnya sebagian besar dinikmati oleh penduduk tidak miskin (Anwar, 2003).
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 138/2005 tanggal
20 Januari 2005 tentang Penyesuaian Tarif Otomatis (PTO) Air Minum Semester I Tahun 2005 di DKI Jakarta, maka struktur tarif dibagi dalam 7 golongan. Golongan Kelompok I, Kelompok IV B, dan Kelompok Khusus memperoleh tarif flat masing- masing sebesar Rp.550,00/m3, Rp.9.750,00/m3 dan Rp.11.500,00/m3. Golongan lainnya berlaku tarif progresif untuk setiap penggunaan 0-10 m3, 11-20 m3 dan > 20m3. Secara lengkap dapat kita lihat pada Tabel 2.13.
Tabel 2.13 Sistem Tarif Air Minum DKI Jakarta, Tahun 2005
Blok Pemakaian dan Tarif Air (Rp./m3) Kelompok Pelanggan
Kelompok I
550 Kelompok II
1.000 Kelompok III A
4.000 Kelompok III B
5.600 Kelompok IV A
7.500 Kelompok IV B
9.750 Kelompok V/Khusus
11.500 Sumber: PAM Jaya, 2005
Secara rata-rata penduduk miskin DKI Jakarta memperoleh air dari berbagai sumber dengan pengeluaran total rata-rata sebesar Rp.182.000,00 per rumah tangga