Praprivatisasi Pengelolaan Air Minum DKI Jakarta
2.3.1 Praprivatisasi Pengelolaan Air Minum DKI Jakarta
A. Perkembangan Awal
Penyediaan air minum DKI Jakarta telah dimulai sejak tahun 1843, yang bersumber dari sumur dalam di beberapa lokasi. Kemudian, pada tahun 1918, Pemerintah Belanda meresmikan Water Leidingen Bedriff van Batavia (Local Water Supply Enterprise of Batavia) untuk mengelola distribusi air perpipaan yang menggunakan sumber air baku dari sungai. Salah satu maksud pendirian perusahaan
ini adalah memperkenalkan penyediaan air minum yang bersifat egaliter 15 . Pada tahun 1922 Pemerintah Belanda membangun jaringan pipa dengan kapasitas 484 liter/detik
bersumber dari mata air Ciomas-Ciburial, Bogor. Namun, dalam kenyataannya penduduk asing mendapat jauh lebih banyak air minum jika dibandingkan dengan pribumi. Pribumi memperoleh air minum dari sumber hidran dan membayar lebih mahal (Argo, 2000).
Pada tahun 1953, Instalasi Pengolah Air Pejompongan I dibangun dengan kapasitas 2.000 liter/detik, kemudian disusul tahun 1964 dengan Water Treatment Plant (WTP) Pejompongan II dengan kapasitas 3.000 liter/detik. Cakupan pelayanan
15 Pada masa itu, penduduk asing mendapatkan keistimewaan (privilege) untuk mendapatkan air minum.
meningkat menjadi 12,5 persen dari total penduduk. Namun, banyak penduduk miskin yang tidak menggunakan air minum perpipaan karena tidak mampu membayar sehingga mereka tetap menggunakan sumur dan kanal.
Pada tahun 1968, PDAM Jakarta dipisahkan dari Departemen Pekerjaan Umum dan menjadi PAM Jaya berdasar Peraturan Pemerintah Daerah No. 3 Tahun 1977. Sementara pemerintah mulai mempertimbangkan untuk menambah kapasitas penyediaan air minum bagi penduduk miskin. Pada tahun 1972, Rencana Induk Pengembangan Air Minum dan Saluran Air Limbah diselesaikan sebagai acuan dalam meningkatkan sistem penyediaan air minum DKI Jakarta. Rencana Induk tidak langsung dapat dilaksanakan. Pemerintah DKI Jakarta masih bergantung pada pemerintah pusat. Pembangunan sebagian besar fasilitas dibiayai pemerintah pusat.
Kemampuan pemerintah kota menyediakan air minum masih tertinggal oleh kebutuhan penduduk akan air minum. Permintaan air minum dari rumah tangga, industri, perdagangan semakin meningkat. Akibatnya, sejak tahun 1970-an, volume air yang diambil dari sungai dan kanal bertambah dengan pesat. Pada saat bersamaan, sumur pompa mulai dipergunakan. Antara tahun 1968-1975, jumlah sumur dalam bertambah sebanyak 1.200 yang sekitar 60 persen melayani kebutuhan industri (Tirtomiharjo, 1996).
Cakupan pelayanan air minum tahun 1975 meningkat menjadi 25 persen dari total penduduk. Kapasitas produksi meningkat menjadi 2.300 liter/detik. Selanjutnya, dengan semakin meningkatrnya kebutuhan air minum, dibangunlah WTP Pulogadung dengan kapasitas 4.000 liter/detik, WTP Buaran dengan kapasitas 5.000 liter/detik. Beberapa WTP dengan kapasitas kecil juga dibangun sehingga total kapasitas produksi air minum mencapai 18.000 liter/detik.
Berdasarkan Rencana Induk Pembangunan Air Minum DKI Jakarta, sampai tahun 2019, tercatat 83 persen penduduk Jakarta akan mendapat akses air minum. Hal ini berarti bahwa kapasitas produksi harus ditingkatkan menjadi 44.520 liter/detik dengan asumsi kebutuhan air 185 liter/kapita/hari dan tingkat kehilangan air 25 persen.
B. Sumber Air Minum Rumah Tangga
Sumber air minum penduduk DKI Jakarta bergantung pada tiga sumber utama yaitu air perpipaan, air tanah dan penjaja air keliling. Pada kondisi tertentu, banyak penduduk yang mempunyai lebih dari satu sumber air minum. Pada tahun 1993, porsi terbesar sebagai sumber utama air minum adalah air tanah (55,7 persen), sementara porsi air perpipaan dan penjaja air keliling sebagai sumber air minum relatif berimbang masing-masing 22,6 persen dan 21,7 persen (Cestti, 1994).
C. Produksi Air Perpipaan
Pada tahun 1997, PAM Jaya memiliki
Gambar 2.5 Produksi dan Air Terjual PAM Jaya 1993-1997
enam instalasi pengolah, tujuh instalasi
kecil dan satu instalasi transmisi mata air.
Kapasitas produksi keseluruhan instalasi
pengolahan mencapai 382 juta m3 tetapi
hanya 191 juta m3 (46 persen) didistri-
busikan, sehingga terdapat 54 persen air
terbuang (non revenue water). Diperkirakan kebocoran pipa mencapai 40 persen dan
Produksi (juta m3)
Terjual (juta m3)
Gambar 2.6 Penerimaan dan Biaya Operasional
kebocoran karena sambungan liar dan kesa-
PAM Jaya 1993-1997
lahan penagihan terdapat sekitar 10 persen.
Rata-rata penyaluran air minum hanya 200 mencapai 9 jam per hari sehingga sebagian 150
konsumen mengalami kesulitan mendapatkan 50
air pada jam tertentu (Shofiani, 2003). 1997
Penerimaan (Rp. M)
Produksi air terus meningkat tetapi
Biaya operasional (Rp. M) Sisa Penerimaan (Rp. M)
ting-kat kebocoran tidak berubah, yaitu di sekitar angka 50 persen. Hal ini yang menyebabkan penerimaan bersih PAM Jaya relatif konstan dari tahun 1993 sampai tahun 1997 pada besaran sekitar 30 miliar Rupiah walaupun penerimaan kotor PAM Jaya terus meningkat (Azdan, 2001).
D. Cakupan Pelayanan Air Perpipaan
Jumlah sambungan domestik tahun 1997 mencapai 426.735 sambungan. Penduduk yang terlayani mencapai 3,26 juta 16 orang atau sekitar 33 persen dari total
penduduk (Shofiani, 2003). Pada periode tahun 1993-1997 terjadi pertambahan sambungan sebanyak 101.000 sambungan, yang berarti terdapat
Gambar 2.7 Jumlah Sambungan PAM Jaya 1993- 1997
pertambahan rata-rata sambungan sebanyak
25.000 sambungan per tahun atau sekitar 7,8 persen per tahun (Azdan, 2001).
Penduduk yang terlayani meningkat
sebanyak 770.000 pada periode 1993-1997, yang berarti terdapat pertambahan rata-rata
penduduk terlayani sebanyak 195.000 per
E. Daerah Pelayanan
Sistem penyediaan air minum DKI Jakarta mencakup daerah seluas 316 km2 (1995) yang berarti 48 persen dari luas DKI Jakarta.
Daerah pelayanan dibagi dalam 6 zona teknis (Gambar 2.1). Sistem zona tidak menun- jukkan sistem distribusi mandiri, tetapi hanya digunakan sebagai unit operasi dan manajemen.
PT. Palyja beroperasi pa-
Gambar 2.8 Sistem Jaringan Pipa Distribusi Air Minum DKI Jakarta
da Zona 1, Zona 4 dan Zona 5
16 Berdasar perhitungan PAM Jaya yang mengasumsikan 1 sambungan melayani 7,6 penduduk.
(Wilayah Barat DKI Jakarta), sementara PT. Thames Jaya beroperasi pada Zona 2, Zona 3 dan Zona 6 (Wilayah Timur DKI Jakarta).
F. Layanan Air Minum Nonperpipaan
Penduduk daerah utara dan barat DKI Jakarta, umumnya membeli air dari kran umum yang dikelola oleh swasta atau penjaja air keliling. Penjaja air keliling memperoleh air dari kran umum yang dikelola swasta yang tersambung ke sambungan pipa milik PAM Jaya. Diperkirakan jumlah kran umum yang dikelola swasta tersebut mencapai 8.000 unit yang melayani sekitar 21,7 persen dari total penduduk pada tahun 1993 (Crane, 1994).