Kondisi Perekonomian DKI Jakarta
2.2 Kondisi Perekonomian DKI Jakarta
2.2.1 Pangsa dan Pertumbuhan Sektor Ekonomi
Sektor PDRB yang
Gambar 2.1 PDRB DKI Jakarta 2000-2003
dominan di DKI Jakarta
Harga Konstan 1993 (Rp. Triliun)
pada tahun 2003 berdasar-
Jasa-Jasa
kan sumbangannya terhadap
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
perekonomian adalah Perda- Pengangkutan dan Komunikasi gangan, Hotel dan Restoran
Perdagangan, Hotel dan Restoran (24,3 persen); Industri Peng- Bangunan olahan (21,1 persen); Keu-
Listrik, Gas dan Air Bersih angan, Persewaan, dan Jasa
Industri Pengolahan Perusahaan (22,2 persen).
S umber: Tabel 2.2
Sementara Listrik, Gas dan Air Bersih hanya menyumbang sebesar 2,2 persen terhadap total PDRB. Pangsa tersebut relatif stabil jika dibandingkan dengan kondisi tahun 2000.
Pertumbuhan PDRB DKI Jakarta periode 2000-2003, berdasar harga konstan 1993, mencapai sekitar 4,17 persen per tahun. Ada tiga sektor yang pertumbuhannya relatif tinggi. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi mencapai 6,17 persen per tahun. Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih mencapai 5,49 persen per tahun. Kemudian, sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran mencapai 5,1 persen per tahun. Ketiga sektor tersebut mencapai tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dari pertumbuhan rata-rata PDRB DKI Jakarta pada periode yang sama.
Tabel 2.2 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DKI Jakarta Tahun 2000 dan 2003 (Berdasar Harga Konstan 1993) dalam Rp. Juta
2003 No
Lapangan Usaha
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan
107.430 0,2 2 Pertambangan dan Penggalian
0 0 0 0 3 Industri Pengolahan
14.172.360 21,1 4 Listrik, Gas dan Air Bersih
7.068.180 10,5 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran
16.334.370 24,3 7 Pengangkutan dan Komunikasi
6.797.170 10,1 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
Sumber: BPS, berbagai tahun
Gambar 2.2 Pertumbuhan PDRB/Kapita DKI Jakarta
Pangsa sektor listrik, gas,
Harga Konstan 1993 Tahun 1996-2002
dan air bersih relatif kecil terhadap
total PDRB DKI Jakarta, tetapi laju
pertumbuhannya relatif besar yang
melebihi tingkat pertumbuhan rata-
P erse
rata DKI Jakarta.
-15.00 -20.00
Periode
2.2.2 Pendapatan per Kapita
PDRB per Kapita DKI Jakarta Tahun 2002 berdasarkan harga konstan 1993 mencapai sekitar Rp. 7,6 juta. Pertumbuhan PDRB per Kapita me-nunjukkan peningkatan yang stabil sejak tahun 1999, dengan angka pertumbuhan sekitar 3,08 sampai 3,99 persen per tahun. PDRB per kapita DKI Jakarta berdasarkan harga konstan 1993 sempat mengalami pertumbuhan negatif sejak krisis ekonomi melanda Indonesia, dengan pertumbuhan negatif tertinggi mencapai –17,62 persen per tahun (1998/1999). Walaupun demikian tingkat pertumbuhan beberapa tahun terakhir belum menyamai tingkat pertumbuhan sebelum krisis. Hal itu selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita DKI Jakarta Periode 1996-2002
PDRB/Kapita (Rp.)
Harga Kons-
an PDRB/
3.99 01/02 Sumber: BPS DKI Jakarta, 2003 Keterangan: * harga konstan
2.2.3 Tingkat Kemiskinan
Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin DKI Jakarta cenderung meningkat setelah krisis ekonomi. Sebelum krisis ekonomi (tahun 1996), penduduk miskin mencapai 215 ribu jiwa (tingkat kemiskinan 2,4 persen), kemudian meningkat menjadi 284,7 ribu jiwa (2,9 persen) pada tahun 2000. Angka ini terlihat tetap meningkat pada tahun 2003 yaitu 314,7 ribu jiwa dengan tingkat kemiskinan mencapai 3,7 persen.
Daerah dengan tingkat kemiskinan yang relatif tinggi melampaui tingkat kemiskinan rata-rata DKI Jakarta (3,7 persen) adalah Jakarta Utara (9,2 persen), Jakarta Pusat (5,2 persen), dan Kepulauan Seribu (11,3 persen).
Tabel 2.4 Jumlah Penduduk Miskin DKI Jakarta Tahun 1996, 2000 dan 2003
Tingkat Kemiskinan*)
Jumlah Penduduk Miskin (jiwa)
Kota (%)
2000 2003 Jakarta Utara
5,3 9,2 Jakarta Barat
3,1 3,0 Jakarta Timur
1,9 2,3 Jakarta Pusat
3,8 5,2 Jakarta Selatan
1,5 1,3 Kepulauan Seribu
-** 11,3 DKI Jakarta
19,1 17,4 Sumber: BPS DKI Jakarta, 2004.
Keterangan: *) Jumlah Penduduk Miskin dibagi Jumlah Penduduk ( x 100%) **) Belum terbentuk
Gambar 2.3
Penduduk miskin terdistribusi tidak
Penyebaran Penduduk Miskin DKI Jakarta Tahun 1996, 2000 dan 2003
merata di DKI Jakarta, dengan konsentrasi
50 terbesar di Jakarta Utara yang mencapai
40 sekitar 41 persen dari total penduduk mis-
kin. Sementara konsentrasi penduduk mis-
persen 20
10 kin di Jakarta Barat, Jakarta Timur dan Ja-
karta Pusat relatif berimbang. Kepulauan
Jakarta Utara Jakarta Barat Jakarta
Jakarta Pusat
Seribu mempunyai tingkat kemiskinan ter- tinggi di DKI Jakarta tetapi jumlahnya re-
latif kecil terhadap total jumlah penduduk miskin DKI Jakarta (0,7 persen) (Gambar 2.3). Namun, jumlah penduduk miskin sebagaimana yang dinyatakan oleh BPS masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan beberapa angka penduduk miskin dengan menggunakan indikator yang berbeda.
Indikator lain yang digunakan untuk mengukur kemiskinan perkotaan di Jakarta adalah jumlah penduduk yang tinggal di kampung atau permukiman liar. Meskipun tidak semua yang tinggal pada lokasi tersebut miskin, terdapat kecen- Indikator lain yang digunakan untuk mengukur kemiskinan perkotaan di Jakarta adalah jumlah penduduk yang tinggal di kampung atau permukiman liar. Meskipun tidak semua yang tinggal pada lokasi tersebut miskin, terdapat kecen-
2.2.4 Distribusi Pendapatan
Data Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) DKI Jakarta Tahun 2000 mengklasifikasikan tingkat pendapatan ke dalam 10 kategori. Pada kategori terendah dengan tingkat pendapatan dibawah Rp1.691.380,00 per kapita per tahun atau sekitar
Rp.141.000,00 per kapita per bulan 12 , ternyata proporsi penduduk pada kelompok tersebut mencapai 1.055.905 jiwa atau 12,6 persen dari total penduduk. Sementara
semakin tinggi golongan pendapatan, semakin kecil proporsi penduduknya.
Tabel 2.5 Distribusi Pendapatan per Kapita DKI Jakarta Menurut Golongan Rumah Tangga, Tahun 2000
Pendapatan Golongan
rata-rata per Kapita Rumah Tangga
Jumlah Penduduk
per Tahun
1.812.680 Golongan II
Golongan I
2.784.920 Golongan III
3.502.380 Golongan IV
5.245.410 Golongan V
6.670.050 Golongan VI
9.259.470 Golongan VII
12.962.420 Golongan VIII
16.592.900 Golongan IX
22.826.250 Golongan X
13.950.180 Sumber: BPS DKI Jakarta 2002
12 Tingkat pendapatan penduduk yang diklasifikasikan sebagai penduduk miskin di perkotaan berdasar standar BPS adalah Rp.139.000,00 per kapita per bulan.
Rata-rata pendapatan per kapita di DKI Jakarta pada tahun 2000 mencapai Rp.13.950.180,00 per tahun (berdasarkan harga berlaku) atau sekitar Rp.1.162.515,00
per bulan. Sementara pendapatan rata-rata per kapita antara golongan I dan golongan
X terlihat berbeda jauh. Kesenjangan pendapatan mencapai rasio 1 : 47,7. Berdasarkan SNSE DKI
Gambar 2.4
Jakarta 2000 ukuran 38x38, penggo-
Distribusi Pendapatan DKI Jakarta 2000 (%)
longan rumah tangga diklasifikasikan dalam 3 golongan yaitu (i) golongan
bawah yang merupakan 40 persen rumah tangga dengan pengeluaran
konsumsi paling bawah, (ii) golongan 59.6 menengah yang merupakan 40 persen
rumah tangga dengan tingkat penge-
bawah menengah atas
luaran konsumsi di atas rumah tangga golongan bawah, (iii) golongan atas yang merupakan 20 persen rumah tangga dengan tingkat konsumsi tertinggi. Disini terlihat bahwa golongan atas yang hanya mencakupi
20 persen dari total penduduk menikmati pendapatan hingga mencapai 59,6 persen. Sementara golongan bawah dan golongan menengah masing-masing menikmati hanya sebesar 11,3 persen dan 29,1 persen. Data ini menunjukkan besarnya kesenjangan pendapatan di DKI Jakarta. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Distribusi Pendapatan per Kapita DKI Jakarta
Menurut Golongan Rumah Tangga, 2000
Pendapatan Golongan
Jumlah
Total Pendapatan
per Kapita Rumah Tangga
Penduduk
(Jiwa)
(Rp. Juta)
(Rp)
Golongan Bawah
3.285.948 Golongan Menengah
11.091.593 Golongan Atas
13.950.177 Sumber: BPS DKI Jakarta, 2000.
Berdasarkan kriteria Bank Dunia, jika penduduk golongan bawah yang merupakan 40 persen rumah tangga dengan pendapatan terendah menerima kurang
dari 12 persen dari jumlah pendapatan, hal itu menunjukkan tingkat ketimpangan yang tinggi dari distribusi pendapatan. Jika penduduk tersebut menerima antara 12–17 persen, hal itu menunjukkan tingkat ketimpangan yang sedang dari distribusi pendapatan. Kemudian, jika penduduk tersebut menerima lebih besar dari 17 persen, hal itu menunjukkan tingkat ketimpangan yang rendah dari distribusi pendapatan. Setelah memperhatikan kriteria di atas, kita dapat mengatakan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan di DKI Jakarta termasuk dalam kategori tinggi.
Jika diukur dengan menggunakan rasio Gini, besaran rasio Gini DKI Jakarta pada tahun 2000 mencapai 0,597 13 yang menunjukkan ketimpangan distribusi
pendapatan tinggi (BPS DKI Jakarta, 2003).
2.2.5 Kebijakan Sektor Air Minum DKI Jakarta
Sasaran pembangunan air minum DKI Jakarta adalah meningkatkan cakupan layanan air perpipaan, mengurangi penggunaan air tanah, dan mencapai sistem distribusi air minum yang merata dan terjangkau.
Kebijakan utama pembangunan air minum DKI Jakarta adalah (i) menyediakan dan meningkatkan kualitas air baku instalasi pengolah yang ada, (ii) meningkatkan kapasitas instalasi pengolahan air minum dan jaringan distribusi, (iii) memprioritaskan daerah padat dan daerah dengan kualitas air tanah jelek, (iv) membenahi koordinasi diantara institusi terkait untuk melindungi kualitas air baku, dan (v) merehabilitasi jaringan perpipaan untuk mengurangi kebocoran.
2.2.6 Pola Penyediaan Air Minum di DKI Jakarta
DKI Jakarta dilalui oleh 13 sungai, beberapa kanal dan 11 danau dengan luas sekitar 111 ha. Beberapa tahun terakhir, penggunaan air permukaan sebagai sumber air
menjadi semakin terbatas 14 . Air sungai menjadi semakin kotor sehingga hanya berfungsi sebagai drainase dan pengendali banjir. Walaupun demikian, beberapa
14 Angka rasio Gini ini dihitung menggunakan pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income). Pemerintah DKI Jakarta mengklasifikasikan penggunaan sungai dalam kategori (i) sumber air minum; (ii)
sumber air bersih; (iii) sesuai bagi tempat mancing; (iv) pengendali banjir.
bagian sungai masih menjadi sumber air bagi perusahaan air minum. Sumber air permukaan lainnya yang berupa danau hanya dipergunakan sebagai pengendali banjir (Argo, 1999).
Pola penyediaan air minum di DKI Jakarta sejak zaman penjajahan Belanda tidak berubah banyak. Pada zaman Belanda, air minum perpipaan merupakan salah satu unsur pelayanan publik yang pendistribusiannya berdasar pembedaan pengelompokan etnis. Permukiman yang mendapat akses air minum merupakan permukiman elite. Saat ini, penyediaan air minum cenderung memisahkan pengguna berdasar permukiman legal vs permukiman liar, permukiman mewah vs permukiman kumuh. Keputusan penyediaan air minum cenderung mengarah pada daerah elite, permukiman menengah ke atas dan daerah yang terencana baik.