Penyediaan Air Minum (Publik, Swasta, Penyedia Skala Kecil) dan Penanggulangan Kemiskinan

3.2 Penyediaan Air Minum (Publik, Swasta, Penyedia Skala Kecil) dan Penanggulangan Kemiskinan

3.2.1 Penyediaan Air Minum oleh Pemerintah dan Privatisasi

Air dipertimbangkan sebagai benda ekonomi sekaligus benda sosial. Air sebagai benda sosial menunjukkan bahwa air mempunyai limpahan (spill over) manfaat dan biaya yang nyata. Air sebagai benda ekonomi menunjukkan bahwa air mempunyai nilai dan dialokasikan sesuai dengan keuntungan maksimal yang dapat diperoleh. Memperlakukan air hanya sebagai benda ekonomi akan mengakibatkan hilangnya fungsi sosial dari air dan dapat berakibat penduduk miskin terabaikan kebutuhannya akan air.

Berdasarkan pada pandangan di atas, meningkatkan jangkauan pelayanan dan kualitas air minum dan sanitasi ke seluruh masyarakat, merupakan hak dasar bagi semua, dan merupakan tantangan utama bagi seluruh negara (Nigam dan Rasheed, 1998). Namun, dalam banyak kejadian, pengelolaan oleh pemerintah cenderung menerapkan harga rendah sehingga tidak mampu mempertahankan kualitas layanan jaringan yang ada, apalagi meningkatkan jangkauan pelayanan (Gray, 2000). Meskipun harga rendah yang dikatakan bermanfaat bagi penduduk miskin, dalam kenyataannya tidak membantu penduduk miskin karena mereka belum terlayani sehingga harus mencari sumber lain dengan harga yang jauh lebih mahal (Walker dkk, 2000).

Kondisi ini kemudian menyuburkan pandangan agar swasta dapat terlibat dalam penyediaan air minum. Namun, alasan utama privatisasi 28 air minum tidak

28 Definisi dan pengertian privatisasi akan sangat beragam tetapi secara umum tetap dapat dirangkum

sebagai berikut. (i) Perubahan bentuk usaha dari “perusahaan negara” menjadi perusahaan berbentuk perseroan terbatas, (ii) Pelepasan sebagian (besar/kecil) atau seluruh saham dari suatu perusahaan yang dimiliki negara kepada swasta, (iii) Pelepasan hak atau aset milik negara atau perusahaan yang sahamnya dimiliki negara pada swasta, baik pelepasan untuk selamanya (antara lain melalui jual beli, hibah atau tukar guling) maupun pelepasan untuk sementara waktu (termasuk dengan cara Build Operate Transfer), (iv) Pemberian kesempatan pada swasta untuk menggeluti bidang usaha tertentu yang sebelumnya merupakan monopoli pemerintah, (v) Membuat usaha patungan atau kerjasama dalam

Gejala privatisasi kemudian mulai mewabah sejak tahun 1980-an. Berdasarkan penelitian empiris, partisipasi swasta di semua sektor meningkatkan efisiensi, mendorong perubahan teknologi, dan memperkuat pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, partisipasi swasta juga meningkatkan transparansi penggunaan sumber daya publik, mengurangi kesenjangan pendapatan, memperbaiki operasi pasar modal, dan menyumbang pada kesejahteraan sosial (Mergos, 2002).

Pada studi yang membandingkan kinerja 50 perusahaan penyedia air minum di negara berkembang Asia dan Pasifik ditemukan bahwa perusahaan swasta lebih efisien (Estache, 1999). Sementara di negara maju, dengan asumsi bahwa perusahaan pemerintah relatif lebih efisien, diharapkan keterlibatan swasta menjadi kurang signifikan. Namun, kenyataan menunjukkan sebaliknya. Ahli ekonomi Trent University meneliti 3 studi di AS sejak tahun 1970an. Studi pertama yang dilakukan terhadap 112 penyedia air menunjukkan bahwa produktivitas perusahaan pemerintah hanya 60 persen dari perusahaan swasta. Ketika sebuah perusahaan pemerintah menjadi perusahaan swasta, keluaran (output) per pegawai meningkat 25 persen. Sebaliknya, ketika perusahaan swasta menjadi perusahaan public, keluaran (output) per pegawai menurun 40 persen. Studi kedua yang dilakukan terhadap 143 penyedia air minum, ditemukan bahwa biaya lebih besar 15 persen pada perusahaan pemerintah. Studi ketiga menunjukkan bahwa perusahaan pemerintah lebih mahal 20 persen (Brubaker, 2001).

Hasil studi di Eropa menunjukkan hal sebaliknya. Perbandingan antara perusahaan air minum milik pemerintah di Swedia dan swasta di Inggris untuk ukuran perusahaan yang sama menunjukkan bahwa biaya penyedia air minum swasta lebih besar. Kontrak manajemen di Puerto Rico, Trinidad, dan Budapest menunjukkan bahwa keterlibatan swasta tidak membawa perubahan berarti (PSI, 2000). Di Perancis,

bentuk lain dengan memanfaatkan aset pemerintah, (vi) Membuka dan meningkatkan adanya persaingan sehat dalam dunia usaha (Soebagjo, 1996).

Meskipun pengamatan secara internasional menunjukkan secara umum dampak privatisasi menguntungkan (Kikeri dan Nellis, 2001; Megginson dan Netter, 2001; Shirley dan Walsh, 2001), dampaknya di negara berkembang tetap kontroversial (Parker, 2003).

Di negara berkembang dampak privatisasi sedikit berseberangan dengan yang banyak ditemui di negara maju. Hal ini disebabkan beberapa hal. (i) Di negara maju, privatisasi mempunyai tujuan yang jelas, sementara di negara berkembang tidak jelas dan penuh konflik. (ii) Pemerintah berkeinginan menjual perusahaan yang merugi, sementara swasta mencari perusahaan yang menguntungkan yang disebut Paradoks privatisasi (Paradox of privatisation). (iii) Penilaian terhadap aset oleh pemerintah sering tidak realistis termasuk penilaian potensi keuntungan. (iv) Privatisasi tidak disertai perubahan iklim bisnis dan manajemen (Jusmaliani, 2003).

Cabrera (2003) berdasarkan pengamatannya terhadap privatisasi di Aguascalientes, Mexico menemukan beberapa kesimpulan diantaranya (i) pada beberapa aspek, keterlibatan swasta menguntungkan khususnya dalam bentuk peningkatan efisiensi dan akses, (ii) pada aspek keberlanjutan kurang mendapat perhatian seperti meningkatnya kesenjangan pendapatan. Khususnya dalam kondisi monopoli, dan keterbatasan sumber air, besar kemungkinan penduduk miskin akan mengalami kesulitan.

Jika dibandingkan dengan sektor lain, seperti listrik dan telekomunikasi, pembiayaan swasta dalam sektor air minum dan sanitasi relatif lebih sedikit yang berhasil (Haarmeyer, 1998). Hal ini mungkin disebabkan oleh sifat dari sektor air minum dan sanitasi yang berbeda, yaitu sebagai berikut. Pertama, air minum dan sanitasi ditandai dengan tingkat monopoli alamiah yang tinggi. Meskipun kompetisi dimungkinkan pada kegiatan terbatas seperti peningkatan kapasitas dan penyediaan layanan plumbing, sulit untuk juga melakukan hal yang sama untuk distribusi yang merupakan bisnis inti air minum dan sanitasi. Kedua, air merupakan kebutuhan dasar manusia dan akses terhadap air harus diberikan pada semua orang. Ketiga, air minum

Debat tentang peran swasta dalam penyediaan air minum telah berlangsung lama, sementara bukti empiris sebagian mendukung dan selebihnya menentang. Pihak pendukung menyatakan bahwa privatisasi meningkatkan efisiensi (misalnya, tingkat kebocoran air menurun dan tagihan macet berkurang), dan mendorong pertambahan investasi. Pihak penentang menyatakan bahwa swasta hanya mementingkan keuntungan dengan mengabaikan kesejahteraan dan meningkatkan tarif tanpa mempedulikan kualitas layanan.

Perdebatan ini telah salah kaprah. Pada kenyataannya, pendekatan terbaik untuk terlibat dalam diskusi ini adalah bersikap meragukan (agnostic) berdasar dua alasan. Pertama, sejarah penyediaan air minum bagi penduduk miskin di negara berkembang oleh pemerintah hasilnya mengecewakan. Pada sebagian besar negara berkembang, lebih dari setengah penduduk memperoleh air minum dari penyedia selain perusahaan air minum milik pemerintah (Snell, 1998). Jika kepedulian dalam debat ini adalah meningkatkan akses penduduk terhadap air minum perpipaan, sejarah menunjukkan bahwa menyandarkan diri pada sistem publik menciptakan hal yang tidak produktif. Kedua. sifat alami dari institusi penyedia air minum relatif sama, yaitu mengabaikan kepemilikan. Struktur biaya mengharuskan bahwa penyediaan air minum bagi komunitas dilakukan melalui sistem pengolahan dan distribusi tunggal, yaitu monopoli. Artinya, pilihannya adalah antara monopoli publik yang teregulasi atau monopoli swasta yang teregulasi, bukan antara institusi publik yang berniat mulia dan pemodal yang mencari untung. Kuncinya terletak pada regulasi. Ketika regulasi

3.2.2 Privatisasi Air Minum dan Penanggulangan Kemiskinan

Terdapat tiga cara mengukur keberhasilan partisipasi swasta di infrastruktur dalam membantu penduduk miskin, dengan melalui peningkatan layanan, yaitu berupa (i) penambahan sambungan, (ii) meningkatkan keandalan layanan, dan (iii) pengurangan tunggakan (Tynan, 2000).

Dari bukti empiris terlihat bahwa pengelolaan swasta meningkatkan efisiensi dan kualitas layanan bagi pelanggan yang ada (Tynan, 2000). Namun, pada banyak kasus peningkatan jangkauan pelayanan tidak terjadi. Privatisasi gagal menjangkau penduduk miskin dan bahkan menjadi penghalang (Tynan, 2000). Sejauh ini, implementasi kemitraan publik dan swasta sering mengabaikan kebutuhan penduduk miskin (Gleick dkk., 2002). Bahkan, timbul kecenderungan dominasi pasar oleh sedikit perusahaan multinasional (IWA dan UNEP, 2002).

Pada kasus Argentina, Chisari dkk (1999) dan Navajas (2000) menunjukkan bahwa privatisasi infrastruktur memberatkan golongan menengah jika dibanding dengan yang lainnya dengan dihilangkannya subsidi dan kemungkinan menguntungkan penduduk miskin dengan meningkatnya akses (Calderon, 2001).

Penilaian ekonomi makro, pentingnya privatisasi infrastruktur bagi penduduk miskin diperlukan sebab pada banyak kasus air, energi, telekomunikasi, dan transportasi reformasi mempunyai dampak pada pasar lainnya (seperti pasar tenaga kerja dan pasar tabungan investasi) yang mempengaruhi penduduk miskin. Dampak ini berpotensi nyata terhadap penanggulangan kemiskinan sehingga dibutuhkan analisis ekonomi. Ini memerlukan model multikomoditi dan multiagen. Model CGE menjadi semakin berguna untuk menanggapi kebutuhan ini (Estache, 2004)

Dari kacamata ekonomi makro, Estache (2002) menjelaskan bahwa terdapat tiga cara privatisasi mempunyai dampak pada kesejahteraan penduduk miskin.

(i) Pertumbuhan ekonomi. Investasi infrastruktur merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi, yang kemudian menjadi pendorong utama bagi pengurangan kemiskinan. (ii) Pengurangan pegawai. Langkah pertama privatisasi adalah peningkatan efisiensi dan keuntungan melalui pengurangan pegawai. Dalam jangka panjang langkah ini menghasilkan pertumbuhan ekonomi. (iii) Realokasi pengeluaran publik. Secara konvensional, infrastruktur menyerap dana pemerintah dalam jumlah besar untuk menutup subsidi dan membiayai pembangunan. Privatisasi mengurangi pengeluaran pemerintah pada kegiatan yang tadinya dibiayai pemerintah sehingga tersedia dana untuk membiayai kegiatan lain.

Tabel 3.1 Rangkuman Kaitan Ekonomi Makro antara Peningkatan Partisipasi Swasta dalam Pembangunan Infrastruktur dan Kesejahteraan Penduduk Miskin

Dampak Ekonomi Makro

Potensi Kerugian Penduduk

Faktor Positip

Miskin

Pertumbuhan ekonomi

Perubahan tarif akan

Jangka menengah, privatisasi

mempengaruhi konsumsi

seharusnya menyumbang

terutama ketika tidak tersedia

pertumbuhan yang pada gilirannya

cenderung mengurangi kemiskinan Pengurangan pekerja

jaring pengaman sosial

• Tenaga kerja dikurangi

Tergantung pada tingkat

setelah privatisasi

ketergantungan kerja penduduk

• miskin, besarnya kompensasi Gaji berkurang pada masa pemutusan hubungan kerja,

transisi

kemampuan pasar tenaga kerja menyerap pengangguran

Realokasi pengeluaran publik

Pengurangan alokasi

Penerimaan hasil privatisasi dan

keseluruhan subsidi sebagai

penetapan target yang lebih baik

hasil penyesuaian fiskal

mungkin meringankan sumber pembiayaan penduduk miskin

Sumber: Estache, Gomez-Lobo, Leipziger (2001) yang disarikan dari Foster (1999)

Sementara menurut Estache (2002), dari perspektif ekonomi mikro privatisasi mempengaruhi penduduk miskin dalam dua hal yaitu sebagai berikut. (i) Akses. Pengaruh terhadap akses melalui hal-hal berikut.

b. Pengurangan insentif. Penduduk miskin biasanya berlokasi di daerah yang sulit dijangkau (padat, akses rendah, tak aman) sehingga biaya layanan lebih tinggi, sementara konsumsi air rendah dan sering tidak membayar. Hal ini mengurangi keinginan swasta melayani penduduk miskin.

(ii) Keterjangkauan. Terdapat berbagai cara privatisasi dapat meningkatkan keterjangkauan.

a. Peningkatan tarif. Sebelum privatisasi, tarif selalu lebih rendah dari biaya operasi sehingga perlu ditingkatkan agar dapat menutup biaya operasi. Ketika produksi telah efisien dan regulasi telah diterapkan dengan baik, terdapat kemungkinan tarif akan menurun setelah beberapa waktu.

b. Pembayaran diformalkan. Perusahaan pemerintah cenderung membiarkan penunggakan dan sambungan liar. Perusahaan swasta berlaku sebaliknya. Akibatnya, banyak penduduk miskin kemudian mulai membayar sesuai dengan pemakaiannya. Hal ini bukan sesuatu yang buruk dengan mempertimbangkan bahwa sambungan liar cenderung tidak stabil, bahkan membayar lebih mahal pada ‘mafia air’.

c. Peningkatan kualitas. Kondisi ini membutuhkan biaya besar yang kemudian dibebankan pada konsumen, sehingga kemungkinan membebani penduduk miskin.

Tabel 3.2 Rangkuman Kaitan Ekonomi Mikro antara Peningkatan Partisipasi Swasta

dalam Pembangunan Infrastruktur dan Kesejahteraan Penduduk Miskin

Dampak Privatisasi

Kemungkinan Tambahan

Faktor Pencegah dan Manfaat bagi

Beban bagi Penduduk Miskin

Penduduk Miskin

Biaya bertambahnya

Penagihan dan pencegahan sam- • Sambungan resmi mungkin

formalitas

bungan liar kemungkinan lebih

merupakan aspirasi dari penduduk

efektif dan menghasilkan pe-

miskin ningkatan efektivitas penerimaan • Keamanan menjadi lebih baik

• Sambungan liar menjadi lebih mahal • Reformasi mungkin menghadirkan

teknologi baru yang menurunkan biaya

Biaya penyesuaian tarif

Peningkatan tarif rata-rata bergantung rata-rata

Tarif rata-rata dapat meningkat

disebabkan kebutuhan pemulih-

pada tingkat harga sebelumnya dan

an biaya dan pembiayaan inves-

tersedianya cadangan yang disisihkan

dari keuntungan Biaya penyesuaian struktur Struktur tarif mungkin disesuai-

tasi

Kompetisi memungkinkan penurunan tariff

kan yang dapat meningkatkan

tarif rata-rata dan dikompensasikan

tarif marjinal bagi penduduk

untuk penyeimbangan tarif yang

menguntungkan penduduk miskin Biaya meningkatnya harga

miskin

Ketersediaan layanan komunal barang substitusi

Privatisasi mungkin mengham-

bat akses ke layanan alternatif,

meningkat

khususnya jika sambungan ke jaringan publik suatu kewajiban

Biaya meningkatnya harga

Biaya memperoleh peralatan barang komplementer

Biaya sambungan menjadi me-

ningkat tajam

komplementer tidak terpengaruh tetapi biaya tetap tinggi

Sumber: Estache, Gomez-Lobo, Leipziger (2001) yang disarikan dari Foster (1999)

Terdapat beragam tipe dasar keterlibatan swasta dalam penyediaan air minum. Keterlibatan itu dapat diuraikan sebagai berikut. (i) Kontrak jasa (service contracts). Aspek individual dari penyediaan infrastruktur (pemasangan dan pembacaan meteran air, operasi stasiun pompa dan sebagainya) diserahkan kepada swasta untuk periode waktu tertentu (6 bulan sampai 2 tahun). Kategori ini kurang memberi manfaat bagi penduduk miskin. Kontrak jasa dipergunakan di banyak tempat seperti di Madras (India), dan Santiago (Chile).

45

(ii) Kontrak manajemen. Manajemen swasta mengoperasikan perusahaan dengan memperoleh jasa menajemen baik seluruh maupun sebagian operasi. Kontrak bersifat jangka pendek (3 sampai 5 tahun) dan tidak terkait langsung dengan penyediaan jasa sehingga lebih fokus pada peningkatan mutu layanan daripada peningkatan akses penduduk miskin. Kontrak manajemen dilaksanakan di Mexico City, Trinidad, dan Tobago. (iii) Kontrak sewa-beli (lease contracts). Perusahaan swasta melakukan lease terhadap aset perusahaan pemerintah dan bertanggungjawab terhadap operasi dan pemeliharaannya. Perusahaan swasta mendapat hak dari penerimaan dikurangi biaya sewa beli yang dibayarkan kepada pemerintah.. Konsep ‘enhanced lease’ diperkenalkan karena di negara berkembang dibutuhkan investasi pengembangan sistem distribusi, pengurangan kebocoran, dan peningkatan cakupan layanan. Perbaikan kecil menjadi tanggung jawab operator dan invetasi besar untuk fasilitas pengolahan menjadi tanggung jawab pemerintah. Kontrak sewa-beli banyak digunakan di Perancis, Spanyol, Ceko, Guinea, dan Senegal. (iv) Bangun-operasi-alih (build-operate-transfer/BOT). BOT dan beragam variasinya biasanya berjangka waktu lama tergantung masa amortisasi (25-30 tahun). Operator menanggung resiko desain, membangun dan mengoperasikan. Imbalannya adalah berupa jaminan aliran dana tunai. Pada akhir masa perjanjian, pihak swasta mengembalikan seluruh aset ke pemerintah Terdapat beragam bentuk BOT. Terkecuali secara khusus distribusi diarahkan ke daerah permukiman kumuh, BOT akan memberi manfaat bagi penduduk miskin. Pelaksanaan BOT terdapat di Australia, Malaysia, dan Cina. (v) Konsesi. Konsesi biasanya berjangka waktu 25 tahun yang berupa pengalihan seluruh tanggung jawab investasi modal dan pemeliharaan serta pengoperasian ke operator swasta. Aset tetap milik pemerintah dan operator membayar jasa penggunaannya. Tarif mungkin direndahkan dengan mengurangi jumlah modal

Tabel 3.3 Model Kemitraan Pemerintah Swasta

yang Potensial Melayani Penduduk Miskin

Pilihan Melayani

Waktu Contoh Penduduk

likan

dan Peme- Investasi Komer-

Tidak Jakarta Rumah

terbatas Tangga

XX tangga

Manajemen XXX

Tidak Indone- Komunitas

Komu-

Komunitas Publik

terbatas sia

Beragam Jakarta independen

XXX skala kecil Kontrak

1-2 tahun Johan- Layanan

X Publik

Publik dan Publik

Publik

swasta

nesburg Gaza

3-5 tahun Mali manajemen

Kontrak

XX Publik

Namibia Lease

8-15 tahun Mozam- bique Konsesi

X Publik

25-30 Manila tahun

Jakarta Bangun-

20-30 Australia Operasi-

X Swasta

tahun Malaysia transfer

dan

Cina (BOT) Divestiture

Publik

XX Swasta

Tidak Inggris terbatas

Wales Sumber: Diadaptasi dari World Bank (1997) dan Stottmann (2000)

Keterangan:

X kurang potensil

XX potensi sedang XXX sangat potensil

(vi) Pengalihan (divestiture). Kategori ini merupakan bentuk paling ekstrim dari privatisasi, yang berupa pengalihan aset dan operasi ke swasta, dapat berupa keseluruhan atau sebagian aset. Pemerintah hanya bertanggung jawab terhadap regulasi. Tidak banyak contoh dari divestiture, hanya Inggris dan Wales melakukan dalam skala besar

(Weitz, 2002; Stottmann, 2000). Dari beragam jenis model kemitraan pemerintah swasta yang ada, hanya beberapa yang ditengarai berpotensi menguntungkan penduduk miskin, yaitu manajemen komunitas, penyedia independen skala kecil, dan konsesi.

3.3 Penyedia Air Minum Skala Kecil: Salah Satu Alternatif

3.3.1 Keterbatasan Penyediaan Air Minum Skala Besar

Penyediaan air minum skala besar oleh perusahaan air minum telah berlangsung beberapa dekade, tetapi hasilnya belum memuaskan. Struktur tarif dan bentuk pengelolaan saat ini tidak memungkinkan perusahaan air minum menyediakan air bagi seluruh penduduk. Beragam alasan bagi penduduk untuk tidak terjangkau oleh pelayanan air minum, yaitu sebagai berikut. Pertama, biaya sambungan terlalu tinggi dan pembayaran sekaligus di depan menghalangi penduduk miskin untuk berlangganan. Kedua, air yang tersedia tidak selamanya mencukupi kebutuhan; dan prioritas utama yang tidak mendapat layanan adalah penduduk miskin. Ketiga, struktur tarif dan rendahnya konsumsi air penduduk miskin mengakibatkan perusahaan air minum tidak tertarik melayani penduduk miskin. Keempat, jika penduduk bertempat tinggal di permukiman liar, mereka tidak akan mendapat layanan publik.

Ketika perusahaan air minum berkeinginan melayani penduduk miskin, mereka kadang-kadang tidak mempunyai pengetahuan yang memadai. Hal itu akan menimbulkan beragam akibat, yaitu sebagai berikut. (i) Tingkat layanan sering tidak sesuai dengan kebutuhan, dan lebih mengutamakan standar teknis yang sering tidak terjangkau. (ii) Sistem pembayaran tepat waktu tidak sesuai dengan bentuk penerimaan penduduk miskin yang tidak teratur. (iii) Tidak terjadi komunikasi yang baik antara perusahaan air minum dan penduduk miskin (McIntosh, 2003 dan Gulyani dkk, 2005).

3.3.2 Kategori Penyedia Air Minum Skala Kecil

Berdasarkan tinjauan terhadap beberapa studi empiris, penyedia air minum skala kecil dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori yaitu sebagai berikut.

a. Penyedia yang mempunyai hubungan permanen dengan perusahaan air minum, yang mendistribusikan air melalui kios atau hidran. Beberapa contoh adalah kios air di Nairobi (Kenya), Lilongwe (Malawi), Batam (Indonesia); hidran umum dikelola oleh komunitas di Dakar (Senegal), Mopti (Mali), Dhaka (Bangladesh); dan hidran umum dikelola oleh asosiasi komunitas skala kecil di Segou (Mali).

b. Masyarakat yang menjual air perpipaan ke komunitas yang belum terlayani air perpipaan. Beberapa contoh adalah sistem air minum dibangun masyarakat Buenos Aires (Argentina); sistem air minum dibangun oleh wirausaha di Guatemala City (Guatemala) dan pusat penjualan air minum hasil pemurnian air sungai menggunakan sinar matahari di Manila (Pilipina); truk tangki air, gerobak air yang diambil dari air perpipaan pada waktu dan tempat dimana perusahaan air minum tidak dapat melayani. Sebagai contoh di Dakar (Senegal), Port-au-Prince (Haiti), dan Jakarta (Indonesia).

c. Sistem air minum skala komunitas di Dhulikel (Nepal) (Snell, 1998 dan McIntosch, 2003).

Selain kategori di atas, penyedia air minum skala kecil dapat dikenali dari pembedaan berdasarkan beberapa karakteristik diantaranya tingkat investasi, tingkat inisiatif, keterkaitan dengan perusahaan air minum, resiko keuangan dan tingkat layanan. Hal itu selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Berdasarkan biaya yang harus dikeluarkan per satuan volume, penyedia air minum dapat dikategorikan sebagai berikut. (i) Kelompok harga termahal. Yang termasuk dalam kategori ini adalah truk tangki air dan gerobak air. Kelompok ini dapat menjual air dengan harga tertinggi karena mereka dapat menjangkau pembeli di mana saja dengan cepat dan dapat memenuhi kebutuhan pembeli setiap saat.

(ii) Kelompok harga menengah. Yang temasuk dalam kategori ini adalah hidran umum dan kios air. Kedua fasilitas ini dapat melayani daerah dengan kualitas air jelek atau mahal.

(iii) Kelompok harga murah. Sambungan rumah merupakan sumber air minum yang murah jika biaya investasi tidak terhitung dalam tariff. Biaya sambungan dapat dicicil.

(iv) Kelompok paling murah atau hampir gratis. Yang termasuk kategori ini adalah air sungai, danau dan sejenisnya. Biasanya digunakan untuk mandi dan mencuci.

Tabel 3.4 Tipe dan Karakteristik Penyedia Air Minum Skala Kecil

Tipe Tingkat

Tingkat Layanan Investasi

Tingkat

Kaitan dengan

Risiko

Inisiatif

Perusahaan Air Keuangan

Minum

Rendah Perusahaan Air

Kongsi dengan Sangat

(air di luar rumah) Minum

Penjual kembali Sangat

Penjaja keliling Rendah

Rendah

Lemah sampai Rendah

Rata-rata

(air diantar ke rumah) Truk Tangki Air

kuat

Menengah Tinggi Lemah sampai Menengah Rata-rata sampai

(truk dapat (air diantar ke rumah) Tinggi

kuat

digunakan untuk ke- giatan lain)

Penyedia Air Menengah Tinggi

Rata-rata sampai tinggi Minum Skala

Lemah sampai Tinggi

(air minum didistribusi Komunitas

kuat

ke rumah dengan selang atau sambungan rumah)

Sumber: McIntosch, 2003

3.3.3 Peran Penyedia Air Minum Skala Kecil

Penduduk miskin perkotaan sebagian besar tidak mempunyai akses ke air minum meskipun pembangunan air minum telah berlangsung lama. Hal ini mendorong timbulnya usaha swasta skala kecil dan informal dalam penyediaan air minum di

Beberapa alasan maraknya penyedia air minum skala kecil khususnya kios air di antaranya adalah (i) memungkinkan pengguna membeli dalam jumlah dan waktu yang sesuai kemampuan mereka; (ii) memungkinkan biaya modal rendah per rumah tangga yang terlayani; (iii) memungkinkan tingkat pemulihan biaya (cost recovery) perusahaan air minum lebih baik karena penyedia air minum skala kecil membayar sesuai dengan yang dipergunakannya. Dengan kata lain, kios air memberikan layanan fleksibel, sesuai kebutuhan bagi penduduk miskin dengan memungkinkan mereka membeli dalam jumlah kecil sesuai kemampuan. Penduduk miskin mendapat air dan perusahaan mendapat pengembalian biaya (Gulyani dkk, 2005).

Karakteristik utama dari usaha ini adalah inisiatif individu, fleksibel, mudah mengadaptasi terhadap pasar dalam konteks pengaturan keuangan, dan pilihan teknis. Selain itu, dengan keterlibatan usaha ini maka beban sektor publik menjadi berkurang. Beberapa pihak memandang perlunya mendukung keberadaan usaha ini dengan mempertimbangkan hasil peningkatan cakupan pelayanan yang dihasilkan (Snell, 1998)

Solo (1999) mengemukakan bahwa karakteristik yang mengesankan dari penyedia air skala kecil adalah dalam bentuk efisiensi operasi, yaitu (i) terpenuhinya pemulihan biaya, (ii) tidak terdapat kebocoran air, (iii) tidak membutuhkan subsidi publik dan pinjaman. Selain itu, penyedia air skala kecil dapat berkembang sesuai dengan situasi yang ada. Pada banyak kasus, penyedia air skala kecil dapat berkembang dari penjaja keliling menjadi truk tanki air bahkan menjadi sambungan pipa bawah tanah ke rumah. Walaupun demikian, keraguan akan kemampuan penyedia air skala kecil untuk berkembang menjadi besar dan beroperasi secara efisien tetap ada.

3.3.4 Beberapa Pengalaman Pengelolaan

Berdasar studi “Small Scale Water Providers” yang didanai ADB, ditemukan bahwa pelayanan air minum skala komunitas mempunyai beberapa karakteristik, yaitu (i) strategi teknis dan manajemen harus fleksibel, (ii) patokan pelayanan mengikuti perusahaan air minum, (iii) pelayanannya kurang dihargai oleh pemerintah daerah dan

Hambatan investasi dan biaya operasi ditangani dengan memilih jenis teknologi yang sesuai dengan kondisi masyarakat. Masyarakat yang dilayani sebagian besar merupakan pekerja harian sehingga penagihan dilakukan tidak sebulan sekali, tetapi lebih sering sesuai dengan kemampuan masyarakat. .

(ii) Patokan pelayanan mengikuti perusahaan air minum Pelayanan skala kecil menganggap perusahaan air minum sebagai pesaing sehingga kualitas pelayanan diusahakan setingkat.

(iii) Pelayanannya kurang dihargai oleh pemerintah daerah dan perusahaan air minum Kebutuhan investasi sulit terpenuhi karena dianggap usaha ilegal, tidak menguntungkan, dan asetnya tidak dapat dinilai. Akibatnya akses kredit terbatas dan berbunga tinggi sehingga resiko investasi menjadi tinggi.

(iv) Tingkat pelayanan berkaitan erat dengan keabsahan.

Kualitas pelayanan meningkat ketika pemerintah daerah memberi pengakuan. Berdasarkan pengalaman WaterAid 29 di Malawi, keberadaan kios air sangat

membantu penduduk miskin dalam memenuhi kebutuhannya. Namun, hambatan utama dalam pengelolaan kios air adalah tarif yang ditetapkan relatif tinggi sehingga tidak

terjangkau oleh penduduk miskin. Kasus free rider 30 yang dilakukan oleh pemuka masyarakat banyak terjadi sehingga menambah beban penduduk. (e-WaterAid, 2005).

PT. Adhya Tirta Batam yang merupakan penyedia air minum di kota Batam yang bekerja sama dengan Otorita Batam membangun kios air di dekat perumahan liar. Pembangunan kios air ini didasari pertimbangan untuk mengurangi tingkat pencurian air, dan menyediakan air minum bagi penduduk yang bermukim di permukiman liar tanpa harus membangun jaringan distribusi. Secara umum keberadaan kios air

29 Sebuah LSM besar berbasis di Inggris yang bergerak dalam penyediaan air minum bagi penduduk miskin

30 Free rider diterjemahkan sebagai seseorang/sekelompok orang yang dalam penggunaan/konsumsi barang/jasa tidak membayar jasa/barang yang telah dikonsumsinya/digunakan sehingga beban

pembayarannya menjadi tanggungan pengguna lainnya.

Walaupun penyedia air minum skala kecil diasosiasikan dengan investasi yang kecil, pada beberapa kasus usaha tersebut kemudian berkembang pesat dan

membutuhkan investasi besar dan melayani pelanggan dalam jumlah besar 32 .

3.3.5 Masa Depan Pelayanan Air Minum Skala Kecil

Pasar pelayanan air minum skala kecil sangat tergantung pada kondisi pelayanan air minum skala besar. Semakin baik dan terjangkau pelayanan air minum skala besar maka semakin kecil pasar pelayanan air minum skala kecil. Walaupun pada beberapa pengalaman (Pilipina, Vietnam) pelayanan air minum skala kecil kemudian berkembang menjadi pelayanan berskala besar, secara keseluruhan sebagian besar pelayanan air minum skala kecil bersifat pelengkap (komplementer) terhadap pelayanan skala besar.

Penyediaan air minum yang hanya bergantung pada satu sumber, yaitu air perpipaan jarang terjadi khususnya di negara berkembang. Bahkan, di negara Amerika Latin, yang termasuk paling maju dalam urusan penyediaan air minum, dengan cakupan pelayanan air perpipaan mencapai 79 persen ternyata hanya 15 persen dari penduduk miskin yang terlayani (Idelovitch, 1997). Akibatnya tetap terjadi ketidakmerataan pelayanan air minum.

Kondisi ini memungkinkan untuk mendorong pelayanan air minum skala kecil sebagai alternatif pencapaian Millenium Development Goals pada tahun 2015. Memasukkan penyedia air minum skala kecil dalam strategi investasi air minum akan dapat mempercepat peningkatan cakupan layanan, dengan memberi perhatian khusus

31 Kondisi ini terjadi disebabkan pengelola kios air menggunakan tarif penjaja air keliling sebagai pembanding, sehingga walaupun tarifnya lebih murah dari penjaja keliling tetapi masih lebih mahal

dari tarif air perpipaan. Harga air perpipaan Rp.3.000,00 per m3, dan harga air kios Rp. 25.000,00 per m3.

32 Di Metro Manila, Pilipina, terdapat penyedia air minum skala kecil yang telah menginvestasikan USD. 350.000 dalam lima tahun dan melayani 25.000 rumah tangga melalui sambungan pipa atau

selang air. Sementara di Ho Chi Minh City, Vietnam, terdapat penyedia air minum skala kecil yang melayani 400 rumah tangga melalui sambungan rumah dengan investasi USD. 80.000.

3.4 Kaitan Pembangunan Air Minum terhadap Kemiskinan, Distribusi Pendapatan, dan Pertumbuhan Ekonomi.

3.4.1 Pembangunan Air Minum dan Kemiskinan

Abad ke-21 dimulai dengan sebuah kondisi pembangunan manusia yang mendasar yang belum tertanggulangi, yaitu akses kepada layanan air minum, khususnya bagi penduduk miskin di daerah kumuh perkotaan. Sementara akses ke air minum merupakan sumber daya atau modal dasar bagi keberlangsungan hidup. Akses ke air minum merupakan salah satu komponen dalam klasifikasi kemiskinan (Howard, 2004). Kegagalan dalam penyediaan air membawa dampak ke semua kelompok. Akan tetapi, yang paling besar dampaknya adalah terhadap penduduk miskin kota sehingga mereka semakin tidak mampu keluar dari siklus kemiskinan.

Beberapa faktor ditengarai menjadi penyebab minimnya akses air minum, khususnya bagi penduduk miskin, yaitu sebagai berikut.

a. Lahan yang ditempati merupakan miliknya yang sah. Pada daerah perkotaan, penyedia layanan air minum tidak melayani daerah permukiman liar, dengan pertimbangan akan memberi legitimasi dan alasan bagi penduduk untuk terus menempati lokasi tersebut. Walaupun kebijakan nasional menyatakan bahwa air minum diperuntukkan bagi semua orang, dalam praktiknya hal ini tidak akan terjadi pada penduduk di permukiman liar.

b. Kemampuan penduduk miskin sangat terbatas untuk membayar biaya sambungan sekaligus di depan. Keterbatasan kemampuan untuk membayar biaya sambungan itu akan berakibat bahwa penduduk miskin tidak akan pernah memperoleh layanan air perpipaan. Harga satuan air perpipaan jauh lebih rendah dari air yang dijajakan keliling, tetapi biaya sambungan air perpipaan mahal (McIntosh, A. C, 2003).

d. Bagi sebagian besar pengambil keputusan, penduduk miskin dianggap tidak mampu dan/atau tidak mau membayar. Penduduk miskin dianggap tidak mampu untuk membayar. Walaupun demikian, pada saat tertentu seperti menjelang pemilihan umum, penduduk miskin perkotaan memperoleh perhatian berupa janji perbaikan lingkungan dan penyediaan air gratis..

e. Lokasi tempat tinggal jauh dari jaringan perpipaan. Ketika penduduk berlokasi di kawasan kumuh, atau berjarak jauh dari jaringan perpipaan, akses air minum menjadi berkurang.

Gambar 3.1

Pengaruh Ketersediaan Air Minum terhadap Beragam Dimensi kemiskinan

Dimensi

Dampak Utama

Kemiskinan

- Penyakit terkait air dan sanitasi

Kesehatan

- Malnutrisi karena diare

- Berkurangnya usia harapan hidup Kekura-

ngan Air

- Pendidikan Tingkat kehadiran berkurang Minum karena sakit, atau antri air

dan Sanitasi Tingginya proporsi pengeluaran -

Pendapatan/ untuk air

- Berkurangnya potensi penda- Konsumsi patan karena sakit, berkurangnya

kesempatan kerja yang memerlukan ketersediaan air.

Sumber: Bosch dkk (2000)

Kekurangan air dan sanitasi berdampak pada kemiskinan melalui empat dimensi, yaitu (i) kesehatan, (ii) pendidikan, (iii) jender, dan (iv) pendapatan dan konsumsi (Bosch, Hommann, Sadoff dan Travers, 2000). Hal itu selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3.1.

Ketika penduduk miskin tidak memperoleh akses air minum, penduduk miskin khususnya di perkotaan menanggung konsekuensinya, diantaranya berupa (Johnstone dan Wood, 1999) (i) meningkatnya biaya bagi yang tidak memperoleh akses, (ii) berkurangnya konsumsi air, dan (iii) bertambahnya beban kesehatan dan timbulnya biaya ekonomi karena hilangnya produktivitas. Satu persatu akan dijelaskan berikut ini.

Tabel 3.5 Perbandingan Harga Air Minum Penjaja Keliling dan Perpipaan di Kota Besar Dunia

Rasio harga air penjaja

Kota

keliling terhadap

Sumber Data

perpipaan

World Bank, 1998 Bandung

World Bank, 1998 Ho Chi Minh, Vietnam

World Bank, 1998

Kampala 4:1 – 9:1 World Bank, 1998 Karachi

World Bank, 1998 Lagos

World Bank, 1998 Lima

World Bank, 1998 Manila

David dan Ionesco, 1998 Nairobi

World Bank, 1998 Onitsha, Nigeria

Whittington dkk, 1991 Port-au-Prince, Haiti

World Bank, 1998 Surabaya

World Bank, 1998 Sumber: Diolah dari World Bank, 1998 dan Satterwaithe, 1998

a. Meningkatnya biaya bagi yang tidak memperoleh akses. Ketika penduduk tidak memperoleh akses, mereka mencari alternatif lain yang lebih mahal. Masyarakat miskin membeli 5-30 liter air per kapita/hari melalui “perantara” seperti pemilik rumah, kios air, dan penjaja keliling dengan harga

Sementara itu, RT pelanggan air perpipaan umumnya hanya mengeluarkan kurang dari 2 persen (Satterwaithe, 1998). Hal itu selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.5 dan Tabel 3.6.

Sebagai perbandingan, di negara maju, pengeluaran air berkisar pada 0,5 sampai 2 persen dari pendapatan rata-rata (1,3 persen di Jerman dan Belanda, 1,2 persen di Perancis). Air minum dianggap mahal jika pengeluaran melampaui 3 persen dari pendapatan rata-rata penduduk (Water Academy, 2004).

Tabel 3.6 Proporsi Pengeluaran Air Minum Rumah Tangga Miskin Perkotaan

Pengeluaran/Pendapatan

Onitsha, Nigeria

Whittington dkk, 1991 Manila, Filipina

18 persen

David dan Inocencio, 1998 Addis Abeba, Ethiopia

8,2 persen

Bahl dan Lihn, 1992 Port-au-Prince, Haiti

Khartoum, Sudan

Cairneross dan Kinner, 1992 Sumber: Satterwaithe, 1998

16,5 – 55,6 persen

b. Berkurangnya konsumsi air. Semakin besar biaya, waktu dan usaha yang dibutuhkan bagi konsumsi air, air yang dikonsumsi penduduk miskin kemungkinan semakin jauh dari kebutuhan minimal.

c. Bertambahnya beban kesehatan dan timbulnya biaya ekonomi karena hilangnya produktivitas. Kekurangan akses ke air minum berkaitan ke penyakit baik yang langsung

maupun yang tidak langsung 33 .

33 Tersedianya akses air minum berpotensi mengurangi angka kematian akibat penyakit terkait air telah lama

diamati oleh WHO seperti kolera (potensi berkurang 80-100 persen), dan diare (40-50 persen) (WHO, 1992) Diare mencapai 30 persen dari penyakit menular yang diderita anak-anak, yang mengakibatkan 2,2 juta kematian setiap tahun.

Gambar 3.2 Jalur Utama Penularan Penyakit melalui Air

konsumsi

Ikan Air

kontak

Manusia

Panen --------

Tanah kontak pengolahan

langsung

Air Air tanah permukaan dan dan pantai

permukaan dan pantai

siklus pendek siklus panjang

Sumber: Bosch dkk (2000)

Banyak penduduk miskin terjangkit penyakit disebabkan oleh kurang layaknya air yang dikonsumsi. Akibatnya, sebagian besar pendapatan habis untuk penanggulangan kesehatan sehingga tidak cukup tersedia dana untuk kegiatan produktif. Selain itu, penduduk yang menderita sakit diare atau yang merawat keluarga yang sakit tidak akan dapat bekerja, yang berarti hilangnya

produktivitas 34 . (Surjadi, 2003) Karakteristik pasar air minum diantara komunitas miskin menunjukkan hal-hal

sebagai berikut. (i) Kinerja penyedia air minum yang rendah lebih menyengsarakan penduduk miskin dibandingkan yang kaya. Penduduk miskin biasanya tergantung pada gaji harian sehingga waktu yang terbuang untuk memperoleh air akan mengurangi kesempatan memperoleh penghasilan. (ii) Penduduk miskin membayar lebih besar untuk air minum. Meskipun terdapat persepsi bahwa penduduk miskin tidak mampu membayar, kenyataannya mereka membayar lebih besar daripada penduduk kaya, seperti membeli air dari penjaja keliling dengan harga yang lebih mahal. (iii) Penyedia alternatif merupakan jalan keluar bagi penduduk miskin untuk mendapatkan layanan.

34 WHO memperkirakan 5,6 miliar hari kerja akan diperoleh per tahun kalau semua orang mempunyai akses ke air minum (Hansen, 2004)

Tingginya kebutuhan air yang tidak terlayani oleh penyedia air perpipaan memungkinkan penyedia skala kecil mengembangkan inovasi, seperti kios air, penjaja keliling, jaringan independent, dan lain-lain. (iv) Ketersediaan dana tunai merupakan isu dalam mendapatkan layanan air minum. Penduduk miskin cenderung membayar tidak teratur dan dalam jumlah kecil sesuai dengan ketersediaan dana mereka. (v) Pemilikan lahan merupakan kendala mendapatkan layanan (Kariuki, 2000).

Program pembangunan air minum dapat menanggulangi kemiskinan melalui 2 cara, yaitu (i) mengurangi biaya layanan dasar, dan (ii) mengurangi beberapa resiko penyebab menurunnya kondisi kesehatan masyarakat yang dapat menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat (Cain, 1998). Namun, aspek pertama yang terkait langsung dengan kondisi ekonomi yang sering dikemukakan adalah berupa peningkatan pendapatan yang dapat digunakan untuk keperluan selain air minum. Kaitan ini dijelaskan secara nyata melalui ilustrasi berupa peningkatan pendapatan penduduk miskin setelah penduduk miskin tersebut beralih dari mengonsumsi air yang dibeli dari

penjual keliling ke air perpipaan 35 . Ketika pemerintah maupun swasta berkeinginan memberikan layanan air

minum pada penduduk miskin, faktor yang menjadi kepedulian penduduk miskin perlu mendapat perhatian. Terdapat tiga hal yang menjadi kepedulian utama dari penduduk miskin. Ketiga hal tersebut akan diuraikan berikut ini. (i) Harga air.

Rumah tangga miskin lebih tertarik pada harga air yang rendah dan penerapan skema subsidi silang. (ii) Ekspansi sistem distribusi. Rumah tangga miskin akan lebih memberi perhatian pada besarnya biaya sambungan dan cara pembayaran biaya sambungan (sekali bayar vs dicicil).

(iii) Tingkat layanan (kualitas air, lama layanan, sistem penagihan dan lainnya). Rumah tangga miskin cenderung membayar tagihan dalam jumlah kecil dengan frekuensi yang lebih sering.

35 Sebagai ilustrasi, penduduk Manila membayar 900 pesos setiap bulan untuk air minum dari penjaja keliling, tetapi hanya membayar 100 pesos per bulan jika tersambung ke perpipaan. Selisih 800 pesos

akan berarti banyak ketika penghasilan sebulan hanya sekitar 6.000 pesos dan biaya sewa rumah sekitar 1.000 pesos(McIntosh,2000)

Selain itu, penyedia air minum harus memperhatikan beberapa hal, yaitu (i) desain penyediaan air minum harus tetap mempertahankan sasaran meningkatkan taraf kehidupan penduduk miskin, (ii) menghindari asumsi bahwa melayani penduduk miskin berisiko tinggi dan tingkat pengembalian rendah, (iii) memberikan kebijakan dan pengaturan yang jelas, (iv) mempersiapkan beragam pilihan akses air minum bagi penduduk miskin, dengan catatan bahwa penyedia air minum alternatif mungkin lebih sesuai dengan penduduk miskin, dan (v) memberikan subsidi ke penduduk miskin melalui tarif yang sering tidak berhasil. Penduduk miskin sebagian memperoleh air dari tempat umum bahkan penyedia skala kecil, sementara subsidi silang lebih mengarah pada sambungan rumah. Akibatnya, subsidi terhadap harga menguntungkan penduduk

kaya daripada penduduk miskin 36 . Harga air yang murah tanpa didukung oleh akses air minum ke penduduk miskin hanya akan menguntungkan pedagang dan bukan

penduduk miskin (McIntosch, 2003), (vi) perlu ditingkatkan keterlibatan penduduk miskin sehingga keinginan mereka dapat tersampaikan (Kariuki, 2000).

3.4.2 Pembangunan Air Minum dan Pertumbuhan Ekonomi

Keterkaitan antara kinerja perekonomian dan infrastruktur telah memicu debat berkepanjangan diantara ahli ekonomi infrastruktur dan ekonomi pembangunan. Bukti empiris belum dapat menunjukkan secara jelas keterkaitan antara infrastruktur dan perekonomian. Bank Dunia dalam laporan tahunannya World Development Report Tahun 1994 menyatakan bahwa belum terdapat konsensus mengenai besaran pasti dari pengaruh infrastruktur pada pertumbuhan ekonomi, tetapi, sebagian besar studi menyimpulkan bahwa peran investasi infrastruktur pada pertumbuhan ekonomi sangat mendasar, signifikan, dan bahkan lebih dari pada investasi modal lainnya.

Terlepas dari perdebatan di atas, sebagian ahli ekonomi berpendapat bahwa layanan infrastruktur yang memadai adalah kebutuhan dasar untuk pertumbuhan dan produktivitas.

Terkait dengan pembangunan air minum, analisis terbaru menunjukkan bahwa pengelolaan air berada pada peringkat kedua terbesar dalam investasi infrastruktur

36 Di manila, penduduk miskin mengkonsumsi hanya 6 m3 per bulan dibanding penduduk kaya sebanyak 30 m3 per bulan, sementara penduduk miskin yang membeli air dari penjual keliling membayar hampir

5 kali lebih besar dari yang dibayar penduduk kaya.

3.4.3 Pembangunan Air Minum dan Kesenjangan

Disamping dampak terhadap pertumbuhan pendapatan agregat, literatur terkini menunjukkan dampak pembangunan infrastruktur terhadap kesenjangan pendapatan. Hipotesis ini dibuktikan secara empiris dalam studi Lopez (2003) bahwa dalam kondisi tertentu, pembangunan infrastruktur dapat berdampak positip pada pendapatan dan kesejahteraan penduduk miskin dan pendapatan rata-rata. (Calderon, 2001).

Secara khusus terkait dengan air minum, dalam literatur empiris sebagaimana dikemukakan oleh Brenneman dan Kerf (2002), Galiani, Gertler dan Schargrodsky (2002), ditunjukkan bahwa peran akses air dan sanitasi dalam mengurangi tingkat kesenjangan, terlihat melalui dampaknya pada modal manusia khususnya penduduk miskin (Calderon, 2004).

Kajian Calderon (2004) menunjukkan bahwa pembangunan jaringan air minum mempunyai dampak negatif dan signifikan pada kesenjangan pendapatan. Beberapa kesimpulan studi adalah sebagai berikut. (i) Kuantitas infrastruktur mempunyai dampak positip signifikan pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang. (ii) Jumlah dan kualitas infrastruktur mempunyai dampak negatif terhadap kesenjangan pendapatan. Tanpa melihat pada tehnik yang digunakan dalam mengukur kesenjangan, ditemukan bahwa pengurangan kesenjangan tidak hanya dipengaruhi oleh kuantitas, tetapi dipengaruhi juga oleh kualitas infrastruktur. (iii) Infrastruktur meningkatkan pendapatan dan mengurangi kesenjangan berakibat bahwa pembangunan infrastruktur menjadi kunci pengurangan kemiskinan sehingga pembangunan infrastruktur seharusnya menjadi pendukung utama program pengurangan kemiskinan.

3.5 Pertumbuhan Pro-Poor

Pertumbuhan pro-poor telah dikenal luas dan didefinisikan oleh lembaga internasional sebagai pertumbuhan yang mengarah pada penurunan kemiskinan secara

Secara harafiah, ini berarti bahwa pertumbuhan pro-poor terjadi ketika penduduk miskin lebih banyak mendapat manfaat jika dibanding dengan lainnya. Selain itu, untuk dapat disebut pertumbuhan pro-poor, pertumbuhan harus disertai pengurangan kesenjangan. Terdapat cara lain mengartikan pertumbuhan pro-poor, yaitu pertumbuhan menurunkan angka kemiskinan (Ravallion dan Chen, 2003).

Pertumbuhan disepakati baik untuk penduduk miskin dan dibutuhkan untuk penurunan kemiskinan berkelanjutan. Akan tetapi, apakah ini memadai?. Sulit dibantah bahwa penurunan kemiskinan berkelanjutan dapat dicapai melalui kebijakan redistribusi menyertai kemandekan ekonomi. Pertumbuhan yang dikaitkan dengan perubahan redistribusi akan mempunyai dampak yang lebih besar terhadap penurunan kemiskinan dari pertumbuhan tanpa perubahan distribusi (Bourgignon, 2001). Terdapat dua penjelasan tentang hal ini, yaitu (i) dampak positif langsung dari perubahan distribusi terhadap penurunan kemiskinan tanpa memperdulikan besaran pertumbuhan ekonomi; (ii) dampak positip dan tidak langsung dari penurunan kesenjangan. Bahkan ketika tidak terjadi perubahan distribusi, pertumbuhan ekonomi akan mempunyai dampak penurunan kemiskinan yang lebih besar kalau kesenjangan awal rendah. Perubahan distribusi dapat berdampak sekarang pada kemiskinan dan dampak kedepan berupa penurunan kemiskinan sebagai akibat pertumbuhan ekonomi di masa depan (Mosley, 2004)

Jika pertumbuhan ekonomi baik untuk penduduk miskin, perubahan kesenjangan juga secara empiris sesuai untuk menjelaskan perubahan kemiskinan. Ravallion (2004) menyimpulkan bahwa pertumbuhan akan menjadi alat yang tidak

Gambar 3.3 Kebijakan, Pertumbuhan, Perubahan Distribusi dan Penurunan Kemiskinan

Pertumbuhan Pendapatan

Perubahan

Reformasi

Kebijakan Kemiskinan

Perubahan Distribusi Pendapatan

Sumber: Lopez, 2004

Pertumbuhan ekonomi yang bermanfaat bagi penduduk miskin harus menjadi prioritas dari kebijakan publik di negara berpendapatan rendah. Pertumbuhan ekonomi dan kebijakan pro-growth adalah muatan utamanya, tetapi itu saja tidak mencukupi. Negara miskin harus mencari cara melaksanakan kebijakan yang meningkatkan manfaat pertumbuhan bagi penduduk miskin. Perubahan distribusi yang progresif (bahkan sekedar mengurangi percepatan peningkatan kesenjangan) dapat mempunyai dampak penting pada tingkat pertumbuhan pendapatan penduduk miskin (Mosley, 2004).

3.6 Rangkuman

Air minum sebagai kebutuhan dasar telah disadari bersama. Sebagai konsekuensinya adalah penyediaan air minum tidak hanya memperhatikan segi ekonomis, tetapi juga memperhatikan segi sosial. Pengabaian fungsi sosial akan berakibat bahwa penduduk miskin terabaikan kebutuhannya akan air minum. Ketika air minum tidak terjangkau, penduduk miskin yang paling banyak menderita. Akses ke air minum merupakan salah satu komponen dalam klasifikasi kemiskinan. Hal ini telah

Ketiadaan akses terhadap air minum mempengaruhi kondisi kesehatan, pendidikan, dan pendapatan dan konsumsi. Konsekuensi kurangnya akses terhadap air minum diantaranya berupa biaya penyediaan air yang lebih mahal, waktu yang tersita lebih banyak untuk mendapatkan air, konsumsi air berkurang, bertambahnya beban kesehatan dan pada akhirnya bermuara pada timbulnya biaya ekonomi disebabkan hilangnya produktivitas.

Kesadaran bahwa air merupakan kebutuhan dasar kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan menyediakan air minum dengan harga yang terjangkau khususnya bagi penduduk miskin. Di pihak lain, harga yang terjangkau sering lebih rendah dari biaya produksi sehingga menyulitkan penyedia air minum untuk berkembang. Kemudian, harga terjangkau tidak dengan sendirinya membantu penduduk miskin karena dalam kenyataannya penduduk miskin masih banyak yang belum terlayani. Sebaliknya, kondisi ini malah mengurangi kemampuan pemerintah menyediakan air minum yang berkualitas dan menjangkau keseluruhan penduduk. Berdasarkan alasan ketidakmampuan pemerintah menyediakan kebutuhan air minum bagi masyarakat, swasta mulai berperan dalam penyediaan air minum.

Secara empiris kinerja swasta dalam penyediaan air minum masih kontroversial. Beberapa studi di Asia Pasifik, dan Amerika Serikat, menunjukkan bahwa kinerja swasta lebih efisien. Sementara itu, di Swedia, Inggris, dan Perancis menunjukkan hasil yang berseberangan. Kondisi ini mengakibatkan sebagian pihak mendukung keterlibatan swasta dengan menyatakan keterlibatan swasta meningkatkan efisiensi dan mendorong bertambahnya investasi dan pertumbuhan ekonomi. Di pihak lain, pihak penentang menyatakan bahwa swasta mengedepankan keuntungan dengan mengabaikan kepentingan penduduk miskin. .

Keterlibatan swasta dalam penyediaan air minum dapat dilihat baik dari sudut pandang makro maupun mikro. Secara makro, peningkatan investasi air minum akan berdampak positip terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun secara mikro, penduduk miskin cenderung terabaikan disebabkan akses yang sulit (biaya sambungan meningkat,

Ketidakmampuan pemerintah, dan kemudian juga swasta, mendorong penduduk terutama yang miskin untuk memperoleh air minum dari sumber alternatif, yang dikenal dengan istilah penyedia air minum skala kecil (small scale water provider). Biaya layanan penyedia skala kecil relatif lebih mahal dari sistem perpipaan, tetapi

bentuk layanan yang diberikan oleh penyedia skala kecil bersifat fleksibel 37 sehingga terjangkau oleh penduduk miskin. Walaupun demikian, penyedia skala kecil masih

dianggap bersifat sementara sampai sistem air perpipaan dapat melayani. Sebagaimana investasi air minum perpipaan maka investasi air minum nonperpipaan (penyedia skala kecil) akan berdampak positip pada pertumbuhan ekonomi. Secara empiris belum diketahui dampak dari investasi air minum nonperpipaan terhadap distribusi pendapatan. Secara teoritis, dalam jangka menengah dampaknya tergantung pada harga air yang dikonsumsi dibandingkan dengan kemungkinan timbulnya dampak terhadap kesehatan jika mengkonsumsi air yang tidak layak. Sementara itu, dalam jangka pendek dampak dari harga akan lebih dominan.

Keterkaitan isu akses terhadap air minum dengan pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan menjadi mengemuka ketika kondisi kemiskinan perkotaan menjadi perhatian. Akses terhadap air minum merupakan salah satu penyumbang terhadap kemiskinan perkotaan. Bahkan, ditengarai pembangunan air minum yang mengabaikan penduduk miskin akan berdampak pada semakin meningkatnya kesenjangan pendapatan di perkotaan.

Keterkaitan antara kinerja perekonomian dan infrastruktur telah memicu debat berkepanjangan diantara ahli ekonomi infrastruktur dan ekonomi pembangunan. Belum terdapat konsensus mengenai besaran pasti dari pengaruh infrastruktur pada pertumbuhan ekonomi. Namun, sebagian besar studi menyimpulkan bahwa peran investasi infrastruktur pada pertumbuhan ekonomi sangat mendasar, signifikan dan bahkan lebih dari pada investasi modal lainnya.

37 Penduduk dapat membeli/membayar dalam jumlah dan pada waktu yang sesuai kemampuan mereka

Kaitan pertumbuhan dan kesenjangan lebih terlihat pada literatur teoritis. Sementara itu, berbeda dengan pandangan Kutznets, beberapa literatur empiris terkini secara seragam menyatakan bahwa pertumbuhan tidak mempunyai dampak sistematis pada kesenjangan.

Teori sederhana dan bukti empiris menunjukkan bahwa pengurangan kemiskinan dapat dicapai melalui percepatan pertumbuhan ekonomi dan/atau perubahan distribusi pendapatan. Pada saat pendapatan rata-rata meningkat, proporsi populasi yang hidup dalam kemiskinan absolut akan berkurang, Meskipun bukti menunjukkan bahwa pertumbuhan dapat dikaitkan dengan meningkatnya kesenjangan pendapatan, penurunan kemiskinan didominasi oleh pengaruh langsung dari pertumbuhan.

Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa pertumbuhan .itu penting bagi penanggulangan kemiskinan. Berdasarkan riset terdahulu, Kraay (2004) menguraikan dampak pertumbuhan pada kemiskinan melalui tiga sumber pertumbuhan pro-poor, yaitu (i) pertumbuhan tinggi, (ii) kemiskinan yang sensitif terhadap pertumbuhan, dan (iii) pertumbuhan berpola mengurangi kemiskinan.

Ketiadaan akses terhadap air minum khususnya bagi penduduk miskin perkotaan akan berdampak semakin parahnya distribusi pendapatan di perkotaan. Selanjutnya, hal itu akan berdampak terhadap menurunnya pertumbuhan ekonomi. Di pihak lain, pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai syarat utama dalam mengatasi kemiskinan perkotaan. Penyediaan air minum secara teoritis dapat menjadi alat yang membantu menjembatani proses pertumbuhan ekonomi dengan pengurangan kesenjangan melalui dampak ketersediaan air minum terhadap tingkat pendapatan penduduk miskin. Kondisi ini kemudian dikenal sebagai fenomena pertumbuhan pro- poor, yaitu pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan pengurangan kesenjangan pendapatan dan/atau kemiskinan.

Pembangunan air minum seharusnya disadari bukan suatu beban, tetapi suatu kesempatan untuk mengatasi kemiskinan khususnya di perkotaan. Pembangunan air minum seharusnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan sekaligus juga mengurangi kesenjangan pendapatan.

BAB IV PEMODELAN DAMPAK INVESTASI AIR MINUM

4.1 Teori Keseimbangan Umum

Teori keseimbangan umum merupakan teori yang menjelaskan tentang keberadaan beragam pasar yang saling terkait satu sama lain dalam suatu perekonomian. Sebagai akibatnya, perubahan pada satu pasar akan berpengaruh terhadap pasar lainnya. Kondisi keseimbangan akan terbentuk ketika permintaan dan penawaran pada masing-masing pasar berada pada kondisi keseimbangan simultan. Secara matematis, tingkat harga keseimbangan merupakan solusi dari sistem persamaan simultan yang menggambarkan perilaku dari setiap pelaku ekonomi dan keseimbangan di setiap pasar (Hartono, 2002).

Model keseimbangan umum dikembangkan pertama kali oleh Leon Walras yang mengemukakan bahwa semua harga dan jumlah barang di semua pasar ditentukan secara simultan melalui proses interaksi satu dengan lainnya (Lewis, 1991). Untuk menjelaskan konsepnya, Walras menggunakan pendekatan matematis melalui konsep kelebihan permintaan sebagai berikut.

Asumsi yang diperguna- kan dalam Hukum Walras adalah

Kotak 4.1 Hukum Walras

bahwa suatu perekonomian ter-

Suatu sistem yang terdiri atas n pasar, memiliki fungsi

diri dari n pasar komoditi yang

permintaan X (P ) , fungsi penawaran X (P ) dan

fungsi kelebihan permintaan untuk pasar ke-j yang

dibedakan atas dua keseimbang-

didefinisikan sebagai: D Z S j ( P ) = X j an yaitu keseimbangan parsial − X j

Dalam kondisi keseimbangan, untuk setiap pasar ke-i

dan keseimbangan umum. Kese-

D secara simultan berlaku S X (P ) = X (P ) dan

imbangan parsial terjadi pada

kondisi:

P j • Z j = 0 , untuk setiap P j ≥ 0 ∑ .

sebuah pasar komoditi, semen-

tara keseimbangan umum terjadi secara serentak pada semua tara keseimbangan umum terjadi secara serentak pada semua

4.2 38 Model Komputasi Keseimbangan Umum (CGE)

4.2.1 Prinsip dan Kerangka Dasar

Model komputasi keseimbangan umum (computable general equilibrium, CGE) merupakan suatu model kuantitatif yang berhubungan dengan keseimbangan perekonomian secara umum yang harga-harga dari semua barang dan jasa serta faktor- faktor produksi memiliki peranan yang sangat penting dalam menyeimbangkan antara permintaan (demand) dan penawaran (supply). Model keseimbangan umum disusun oleh persamaan-persamaan yang memuat perilaku-perilaku dari para pelaku ekonomi (rumah tangga, perusahaan, pemerintah dan dunia internasional) dalam kerangka suatu model. Permintaan dan penawaran akan barang dan jasa serta faktor-faktor produksi oleh para pelaku ekonomi tersebut didasarkan kepada mekanisme pasar.

Perilaku para pelaku ekonomi dalam suatu model komputasi keseimbangan umum (computable general equilibrium, CGE) dasar pada umumnya terdiri dari: rumah tangga, perusahaan, pemerintah dan dunia internasional. Perilaku para pelaku ekonomi dalam model keseimbangan umum diasumsikan sangat rasional, yaitu memaksimumkan keuntungan untuk para pelaku ekonomi yang membutuhkan faktor produksi atau memaksimumkan utilitas untuk pelaku ekonomi yang mengkonsumsi barang dan jasa serta faktor produksi. (Bappenas, 2004).

Model CGE adalah sebuah model keseimbangan yang dibangun berdasarkan struktur sosial ekonomi dari Social Accounting Matrix (SAM), dengan disagregasi multisektor. Struktur dasar SAM yang dipergunakan dalam model CGE disajikan pada Tabel 4.1

38 Computable General Equilibrium (CGE) Model diterjemahkan menjadi Model Komputasi Keseimbangan Umum. Pada beberapa kajian kadang juga diterjemahkan menjadi Model Keseimbangan

Umum Terapan

Tabel 4.1 Struktur Dasar SAM pada Model CGE

Sisa Dunia Total

Output yang dipasarkan

Output yang dikonsumsi

aktivitas (output kotor)

Komoditi

Input Antara

Biaya transaksi

Ekspor Permintaan Pendapatan

Faktor Pendapatan

Nilai Tambah faktor dari sisa dunia

faktor untuk

Transfer antar

Surplus untuk

Transfer ke

rumah tangga Pendapatan

Transfer ke

Tangga

rumah tangga

rumah tangga

rumah tangga

rumah tangga

dari sisa dunia rumah tangga

Pendapatan

Transfer ke

Perusahaan

faktor untuk

Transfer ke perusahaan

perusahaan dari Pendapatan

sisa dunia perusahaan Pajak produsen

Transfer ke

Surplus ke

pemerintah dari Pendapatan tambah

Transfer ke

Pemerintah

dan pajak nilai

penjualan, tarif,

faktor untuk

pemerintah,

pemerintah,

pajak ekspor

pemerintah,

pajak langsung

pajak langsung

sisa dunia pemerintah

pajak faktor

rumah tangga

rumah tangga

perusahaan

pemerintah

Asing Tabungan

Sisa Dunia

Impor

faktor ke sisa

Surplus untuk

pemerintah

exchange

outflow Pengeluaran

dunia

sisa dunia

untuk sisa dunia

Total Foreign

rumah tangga

exchange inflow

Sumber: Lofgren dkk (2001)

Gambar 4.1 Struktur Dasar Model CGE

Sumber: Lofgren dkk (2002). Tabungan Swasta Domestik

Pasar Faktor

Tabungan Pemerintah Biaya

Biaya Input

Aktivitas Antara

Rumah

Tabungan/

Pemerintah

Tangga

Investasi

Pasar Komoditi

Permintaan Investasi

Transfer dari

Ekspor

Luar Negeri

Impor Tabungan dari

Luar Negeri

Bagian Lain Dunia

4.2.2 Model Standar Komputasi Keseimbangan Umum 39

Perilaku dalam mengambil keputusan untuk melakukan produksi dan konsumsi dalam model standar komputasi keseimbangan umum diasumsikan memiliki struktur yang tidak linier serta memenuhi kondisi syarat perlu dan cukup berupa optimisasi turunan pertama dan turunan kedua. Disamping itu, rangkaian-rangkaian persamaan dalam model dasar kesetimbangan umum juga memuat beberapa kendala (constraints) yang harus dapat dipenuhi oleh sistem model dasar kesetimbangan umum secara keseluruhan dengan tidak perlu melihat kepada pertimbangan-pertimbangan dari masing-masing pelaku ekonomi.

• Aktifitas, Produksi dan Pasar Faktor Produksi

Masing-masing produsen yang direpresentasikan dengan suatu kegiatan diasumsikan untuk memaksimumkan keuntungan. Keuntungan merupakan selisih antara pendapatan (revenue) dengan seluruh biaya dari faktor-faktor produksi (factors

of production) dan barang antara

Gambar 4.2 Teknologi Produksi

(intermediate inputs) yang diperlu-

Output Komoditas

kan dalam seluruh kegiatan produk-

(koefisien hasil tetap)

si. Kendala yang membatasi perilaku Tingkat Aktifitas memaksimumkan keuntungan dari

(CES/Leontief)

produsen didasarkan kepada keada- an teknologi yang dimiliki dan

Nilai Tambah

Antara (CES) (Leontief)

dipergunakan dalam melakukan proses produksi.

Faktor

Komoditas

Primer Komposit

Pada bagian yang paling atas dipergunakan persamaan produk-

Impor

Domestik

si berdasarkan constant elasticity Sumber: Lofgren, 2001 of substitution (CES) atau fungsi

39 Sub Bab ini merupakan terjemahan bebas dari A Standard Computable General Equilibrium Model in GAMS oleh Hans Lofgren dkk, IFPRI, 2001.

Leontief 40 yang menggabungkan antara seluruh nilai tambah serta barang-barang input antara.

Masing-masing kegiatan dapat memproduksi atau menghasilkan satu jenis komoditi atau lebih berdasarkan koefisien-koefisien hasil produksi yang tetap (fixed yield coefficients). Pendapatan (revenue) dari kegiatan dihitung berdasarkan tingkat proses kegiatan dan hasil produksi dengan berpatokan kepada harga jual yang ditawarkan oleh produsen.

Sesuai dengan keinginan para produsen untuk memaksimumkan keuntungan dilihat dari sisi penggunaan faktor-faktor produksi, masing-masing kegiatan atau proses produksi yang dilakukan oleh para produsen akan mempergunakan faktor-faktor produksi sampai pada suatu titik yang pendapatan marjinal dari masing-masing hasil produksi (marginal revenue of factors production) sama dengan biaya perolehan masing-masing faktor produksi (factors price or rent) tersebut. Harga perolehan dari masing-masing faktor produksi tersebut akan berbeda-beda bergantung pada segmentasi dari pasar faktor-faktor produksi maupun pada mobilitas dari faktor-faktor produksi tersebut.

• Lembaga atau Para Pelaku Kegiatan Ekonomi

Lembaga atau pelaku ekonomi yang akan diakomodasi ke dalam model diantaranya berupa rumah tangga, perusahaan, pemerintah dan bagian lain dunia (rest of the world, ROW).

Rumah tangga yang didisagregasi sesuai dengan yang tercantum di SAM mendapatkan pendapatan (income) dalam bentuk upah tenaga kerja dari perusahaan- perusahaan sebagai imbalan dari penggunaan faktor produksi (tenaga kerja) oleh perusahaan-perusahaan. Disamping itu, rumah tangga juga mendapatkan pendapatan lain yang berasal dari transfer dari pelaku-pelaku ekonomi lainnya. Transfer dari bagian lain dunia (rest of the world, ROW) ke rumah tangga memiliki nilai yang tetap dengan

40 Fungsi produksi CES sesuai untuk dipergunakan pada sektor-sektor yang secara empiris diketahui bahwa komposisi dari seluruh nilai tambah dan barang-barang input antara berubah-ubah. Sementara

itu, fungsi produksi Leontief sangat sesuai dipergunakan pada sektor-sektor yang secara empiris diketahui bahwa komposisi dari seluruh nilai tambah dan barang-barang input antara relatif tidak berubah-ubah atau selalu tetap .

Konsumsi yang dilakukan rumah tangga meliputi komoditi-komoditi yang dijual di pasar yang diperoleh dengan harga pasar termasuk pajak komoditi yang harus dibayar serta biaya-biaya transaksi yang timbul dari perpindahan komoditi dalam rantai pasokan perdagangan komoditi tersebut serta home commodities yang diperoleh dengan harga yang ditawarkan oleh produsen. Pengeluaran konsumsi rumah tangga diperuntukkan untuk membeli bermacam-macam komoditi (marketed and home commodities) berdasarkan suatu fungsi yang dikenal dengan linear expenditure system (LES).

Pendapatan dari faktor produksi tidak selamanya dibayarkan langsung kepada rumah tangga melainkan bisa juga dibayarkan melalui satu atau beberapa perusahaan. Perusahaan dapat juga memperoleh transfer dari para pelaku ekonomi lainnya. Pendapatan yang diperoleh oleh perusahaan dialokasikan untuk membayar pajak langsung, keperluan tabungan dan transfer kepada para pelaku ekonomi lainnya. Perusahaan-perusahaan diasumsikan tidak melakukan kegiatan konsumsi. Pembayaran yang dilakukan oleh dan kepada perusahaan dimodelkan sama dengan pembayaran yang dilakukan oleh dan kepada rumah tangga.

Pemerintah mengumpulkan pajak dan mendapatkan transfer dari para pelaku ekonomi lainnya. Dalam model dasar, pajak yang diterapkan adalah digolongkan

Bagian lain dunia merupakan salah satu pelaku ekonomi yang masih tersisa. Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa pembayaran transfer dari dan ke bagian lain dunia serta para pelaku ekonomi dalam negeri dan pembayaran faktor produksi dilakukan dalam mata uang asing. Perdagangan komoditi antara para pelaku ekonomi dalam negeri dengan bagian lain dunia akan diterangkan secara lebih terperinci dalam bagian berikutnya. Tabungan luar negeri atau current account deficit merupakan selisih antara pengeluaran dan penerimaan dalam mata uang asing tersebut.

• Pasar Komoditi

Seluruh komoditi untuk keperluan konsumsi dalam negeri dan ekspor (kecuali output produk yang dikonsumsi sendiri) diperdagangkan pada pasar-pasar komoditi. Produk yang dihasilkan di dalam negeri dapat diperdagangkan atau dikonsumsi sendiri. Tahapan pertama dalam rantai pasokan dari produk yang diperdagangkan adalah melakukan agregasi produk yang dihasilkan dalam negeri dari produk yang dihasilkan oleh beberapa kegiatan produksi untuk suatu jenis komoditi tertentu. Hasil produksi tersebut memiliki sifat substitusi tidak sempurna (imperfectly subsitution) yang diakibatkan oleh adanya perbedaan waktu, kualitas dan lokasi dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berbeda. Suatu fungsi constant elasticity of substitution (CES) dipergunakan sebagai fungsi untuk mengagregasi hasil-hasil produksi dari keseluruhan kegiatan. Permintaan dari masing-masing hasil produksi dari masing-masing kegiatan diturunkan berdasarkan upaya meminimisasi biaya dalam menawarkan output agregat dalam jumlah tertentu dengan memperhatikan batasan pada fungsi CES. Harga dari komoditas tertentu berperan sebagai patokan penentuan harga pada pasar yang implisit dari masing-masing komoditi yang didisagregasi.

Gambar 4.3

Kemudian pada tahap berikutnya,

Aliran Komoditas yang Dipasarkan

hasil-hasil kegiatan produksi dalam

Output Komoditas

negeri secara agregat dialokasikan

Output Komoditas

dari aktifitas 1

dari aktifitas n

CES masing-masing untuk keperluan ekspor

dan penjualan di dalam negeri dengan

Output agregat

asumsi maksimisasi keuntungan yang

CET

dilakukan oleh pemasok untuk setiap

Impor Penjualan

Ekspor

agregat Domestik

agregat

kegiatan produksi dengan batasan kepada

CES

tingkatan transformasi tidak sempurna

Komoditi Komposit

yang dinyatakan dengan suatu fungsi constant elasticity of transformation

Penggunaan Rumah Antara + Investasi + Pemerintah + Tangga

(CET). Jika dilihat dari sisi pasar Sumber: Lofgren, 2001 internasional, permintaan akan komoditi ekspor diasumsikan bersifat elastik

sempurna pada tingkat harga internasional yang berlaku. Harga yang diterima oleh para pemasok dalam negeri dari kegiatan ekspor dinyatakan dalam nilai mata uang domestik. Harga yang diterima oleh para pemasok tersebut telah mengakomodasi seluruh biaya transaksi dan pajak ekspor. Sementara itu, harga yang diterima oleh para pemasok dalam negeri yang memperdagangkan produknya di dalam negeri adalah harga yang dibayarkan oleh konsumen dalam negeri dikurangi dengan seluruh biaya transaksi pemasaran produk dalam negeri. Apabila produk yang dihasilkan di dalam negeri tidak diekspor, produk-produk tersebut akan dipasarkan di pasar dalam negeri atau dipergunakan sendiri.

Permintaan komoditi dalam negeri merupakan gabungan antara permintaan komoditi untuk keperluan konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi, pengadaan barang antara serta input keperluan berbagai transaksi (kegiatan perdagangan dan transportasi).

• Sistem Persamaan Model CGE dari sebuah perekonomian nasional merupakan sistem persamaan

yang mencerminkan perilaku semua pelaku ekonomi, yaitu perilaku konsumen dan produsen, serta kondisi kliring pasar (market-clearing condition) dari barang dan jasa dalam perekonomian tersebut. Sistem persamaan ini biasanya dibagi dalam enam blok persamaan. Blok-blok tersebut adalah sebagai berikut.

ƒ Blok Produksi Persamaan-persamaan dalam blok ini mencerminkan struktur kegiatan produksi dan perilaku produsen.

ƒ Blok Konsumsi Blok ini terdiri dari persamaan-persamaan yang mencerminkan perilaku rumah

tangga dan institusi lainnya. ƒ Blok Ekspor-Impor

Blok ini menggambarkan keputusan negara/daerah untuk mengekspor atau mengimpor barang dan jasa. ƒ Blok Investasi

Persamaan-persamaan dalam blok ini menyimulasikan keputusan untuk melakukan investasi dalam perekonomian dan permintaan akan barang dan jasa yang dipergunakan dalam pembentukan modal baru.

ƒ Blok Kliring Pasar Persamaan-persamaan dalam blok ini menentukan kondisi kliring pasar untuk

tenaga kerja, barang dan jasa dalam perekonomian. Neraca pembayaran nasional juga termasuk dalam blok ini.

ƒ Blok Antarwaktu (Intertemporal) Blok ini terdiri dari persamaan-persamaan dinamik yang menghubungkan kegiatan ekonomi tahun ini dengan kondisi ekonomi masa depan.

Berikut ini akan dibicarakan blok tersebut secara satu per satu.

Secara spesifik, perilaku produsen dalam suatu model CGE merupakan pusat yang menghubungkan antar pasar tenaga kerja, output, upah dan harga (Devarajan, 1988).

Gambar 4.4 di bawah ini

Gambar 4.4 Struktur Fungsi Sektor Produksi

menunjukkan struktur dari fungsi sektor produksi.

Output X

Berdasarkan Gambar 4.4,

terlihat bahwa output diproduksi dengan menggunakan kombinasi

CES

Antara

Nilai Tambah

dari intermediate input dan value

Proporsi tetap

CES

added untuk semua sektor yang berasal dari faktor produksi. Di

dalam gambar tersebut, diasum-

Sumber: Lofgren, 2001 sikan hanya menggunakan dua faktor produksi, yaitu tenaga kerja dan modal (termasuk tanah).

Teknologi yang digunakan dalam proses produksi diasumsikan mengikuti fungsi produksi Nested CES (Constant Elasticity of Substitution). Output (X) didefinisikan sebagai fungsi CES yang merupakan komposit dari input antara (intermediate input/ IN) dan nilai tambah (value added/ VA). Disamping itu, input antara adalah fungsi dari barang dan jasa dalam perekonomian yang keduanya digunakan secara proporsi tetap (fixed proportion). Sebaliknya, nilai tambah sendiri merupakan fungsi dari faktor produksi, yang faktor tersebut diekspresikan sebagai fungsi CES sehingga fungsi produksi yang dimaksud di atas dapat dinyatakan dalam bentuk:

i = α i i IN i

1 i VA i

persamaan [3.1]

Parameter α adalah parameter efisiensi yang juga merupakan indikator untuk menjelaskan teknologi, parameter β adalah parameter distribusi yang menunjukkan fak- tor share di dalam produk secara relatif, sedangkan paramater ρ adalah parameter subs-

dihasilkan nilai elastisitas sama dengan 1 yang pada akhirnya akan memberikan fungsi Cobb-Douglas. Sebaliknya, untuk nilai 0 < ρ < ∞, akan diperoleh nilai elastisitas substitusi yang lebih kecil daripada satu.

Dengan uraian yang dipaparkan di atas, dapat dikemukakan proses optimisasi dari perilaku produsen, yaitu dengan meminimumkan biaya produksi dengan kendala fungsi produksi CES sebagai berikut:

Minimumkan

TC = IN i . P IN i + VA i P VA i

− β i ) VA i ρ ]

i = α i β i IN i

X X − i X X − i X Dengan kendala X X ρ

First Order Condition (FOC): − ∂ 1

( 1 − β i ) [ VA i = 0 ∂ VA i ]

) VA i

0 ⇔ P VA i − λα i β i IN i + 1 − β i

…………. persamaan [3.2]

λα i [ β i i + ( 1 − β i

) VA i ] β i IN i = 0

………….. persamaan [3.3] Dengan mengatur dan menata ulang kembali persamaan [3.2] dan [3.3] melalui

proses substitusi nilai λ, akan diperoleh bentuk sebagai berikut:

X ⎡ X P VA + IN 1 i i β i ⎤ ρ i = ⎢

VA i ⎣ ⎢ P IN i ( 1 − β i )

……… persamaan [3.4]

Persamaan [3.4] menunjukkan rasio input yang optimal. Dari persamaan ini, dapat diturunkan suatu proses yang menghasilkan input antara optimal yang dibutuhkan untuk memproduksi output domestik.

Disamping input antara, terdapat faktor produksi yang juga dibutuhkan untuk menghasilkan output domestik, yaitu nilai tambah. Nilai tambah didefinisikan sebagai fungsi Cobb-Douglas yang merupakan kombinasi dari faktor tenaga kerja, modal, dan tanah (FACDEM). Fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan kasus khusus dari fungsi CES ketika ρ = 0 sehingga dapat dinyatakan bahwa proses untuk mendapatkan nilai tambah yang optimal adalah dengan melakukan hal berikut.

Maksimumkan: Π = P VA i . VA i − WA if FACDEM if ∑

Dengan kendala: VA i = α i ⎢ β if FACDEM ∑ if ⎥

First Order Condition (FOC): ∂ Π

∂ VA i

− WA if = 0 …persamaan [3.5] ∂ FACDEM if

= 0 ⇔ P VA i .

∂ FACDEM if

dengan

∂ VA i

β if FACDEM if ∂

i ⎢ β if FACDEM if

FACDEM if

…… persamaan [3.6] dengan melakukan substitusi [3.6] ke [3.5] diperoleh bentuk sebagai berikut:

FACDEM if

P VA i . β if

…. persamaan [3.7] VA i

() α i ⎦

WA if . WFDIST if .

Persamaan [3.7] memperlihatkan tingkat yang optimal dari rasio antara faktor produksi primer dan nilai tambah untuk memproduksi sejumlah barang. Dalam studi ini selain fungsi yang telah dijelaskan di atas, terdapat fungsi lain yang juga digunakan untuk menjelaskan perilaku dari produsen, yaitu fungsi CET (Constant Elasticity of Transformation). Fungsi CET yang dimaksud disini adalah fungsi yang hampir sama dengan fungsi CES, hanya saja perbedaan yang mendasar dari

Fungsi ini diperkenalkan untuk digunakan dalam menentukan bagaimana output didistribusikan diantara pasar luar negeri (XEX) dan pasar domestik (XD). Adapun fungsi CET dapat dinyatakan sebagai berikut.

+ [ 1 β XEX i ( − β i XD i ρ ) i ]

dengan α, β dan ρ merupakan parameter. Parameter α adalah parameter efisiensi, parameter β adalah parameter distribusi yang menunjukkan faktor share di dalam produk secara relatif, sedangkan paramater ρ adalah parameter substitusi yang menunjukkan nilai (konstanta) dari elastisitas transformasi.

Dengan demikian dapat dikemukakan proses optimisasi dari perilaku produsen, yaitu dengan memaksimumkan penerimaan dari penjualan dengan didasarkan kepada fungsi CET sebagai berikut.

Maksimumkan: TR = P XEX i . XEX i + P XD i . XD i

X XEX i 1 XD i i = α i β i i + − β i i ρ i

Dengan kendala:

First Order Condition (FOC): ∂ 1 L

XEX i − λα i [ β i XEX i +

( 1 − β i ) XD i

β i XEX i = 0 ∂

XEX

…… persamaan [3.8] ∂ 1 L

− β i XD ρ ( i ) i ( 1 ) XD

= 0 ∂ XD i

0 ⇔ P XD i − λα i β i XEX ρ i

….. persamaan [3.9] Dengan mengatur dan menata kembali persamaan [3.8] dan [3.9] serta melakukan proses substitusi di dalamnya diperoleh bentuk sebagai berikut.

X X XEX 1

⎡ P XEX .( 1 − β i ) ⎤ ρ i i −

..... . persamaan [3.10] XD i

P XD i ⎣ . ⎢ β i

Persamaan [3.10] di atas menunjukkan rasio penjualan yang optimal untuk produsen.

o Blok Konsumsi

Blok ini mencerminkan perilaku dari rumah tangga dan institusi lainnya, khususnya dalam mengkonsumsi barang domestik dan barang impor sehingga dalam blok ini, permintaan konsumen akan barang komposit (Q) yang memuat barang impor (M) dan barang domestik (D) dinyatakan sebagai suatu agregat CES dari barang impor dan domestik.

Dalam studi ini, menggunakan

Gambar 4.5 Struktur Fungsi Konsumsi

formula Armington yang memperlakukan suatu produk sejenis

Komposit

yang diproduksi di negara yang berbeda

(Q)

sebagai produk yang berbeda, Formula ini diambil untuk mengakomodasikan

CES

fenomena dalam suatu negara yang

Barang

Barang

mempunyai dua jenis barang, yaitu

Domestik

Impor

barang impor maupun domestik, sebagai

Sumber: Thorbecke, 1985

dua jenis barang yang sama (cross

hauling). Dengan demikian fungsi konsumsi dari barang komposit (Q) dengan asumsi mengikuti fungsi CES dinyatakan dalam bentuk sebagai berikut.

Berdasarkan fungsi di atas, dapat dikemukakan proses optimisasi dari perilaku konsumen, yaitu memaksimumkan kepuasan dengan kendala anggaran sebagai berikut.

X X − X X Maksimumkan: − Q ρ i ρ i X X

Dengan kendala:

Dengan melakukan proses kondisi turunan pertama dan mengatur persamaan yang dihasilkan dalam kondisi turunan pertama melalui proses substitusi akan diperoleh bentuk sebagai berikut.

……. Persamaan [3.11]

Persamaan [3.11] menunjukkan rasio barang konsumsi yang optimal dari proses memaksimumkan kepuasan (utility) dari konsumen.

4.3 Model CGE Air Minum DKI Jakarta

4.3.1 Kebutuhan Data Data dasar yang dibutuhkan untuk menyusun Model Komputasi Keseimbangan Umum Air Minum DKI Jakarta berasal dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) 2000 DKI Jakarta yang disusun oleh BPS DKI Jakarta. Kebutuhan data diperoleh langsung dari SNSE 2000 DKI Jakarta termasuk koefisien input output, pendapatan dan pengeluaran sektor, pajak impor dan pajak produksi, permintaan faktor per sektor, investasi, dan pangsa pemerintah dan rumah tangga.

4.3.2 Penyesuaian SNSE dalam Model CGE

Neraca yang terdapat dalam SNSE mengalami penyesuaian sesuai dengan kebutuhan studi. Dari 103 klasifikasi yang terdapat dalam SNSE DKI Jakarta 2000, diagregasi menjadi 45 klasifikasi. Beberapa perubahan mendasar yang dilakukan adalah sebagai berikut.

(i) Faktor produksi. Tenaga kerja diagregasi menjadi satu saja. Modal dipecah menjadi dua klasifikasi yaitu modal air minum berupa (a) investasi air minum yang dilakukan oleh perusahaan penyedia air minum, (b) modal bukan air minum perpipaan berupa

82

investasi air minum yang dilakukan selain oleh perusahaan air minum dan modal lainnya. Klasifikasi awal 9 faktor berubah menjadi 3 faktor. (ii) Institusi. Tidak dilakukan perubahan terhadap klasifikasi yang ada sehingga klasifikasi tetap 12 institusi. (iii) Sektor produksi. Dilakukan penambahan klasifikasi sektor produksi dari 26 menjadi 27, yaitu berupa pemecahan sektor air minum menjadi air minum perpipaan dan air minum nonperpipaan. Air minum perpipaan adalah air minum yang diproduksi oleh perusahaan air minum, sedangkan air minum nonperpipaan adalah air minum, baik yang bersumber dari air minum perpipaan maupun non perpipaan, dikelola oleh pihak selain perusahaan penyedia air minum perpipaan (kran umum, kios air, truk tanki air, penjaja keliling dan lainnya). Marjin perdagangan, komoditas ekspor dan komoditas impor dilebur kedalam sektor produksi . Klasifikasi berubah dari 79 sektor menjadi 27 sektor.

Tabel 4.2

Penyesuaian Klasifikasi SNSE DKI Jakarta 2000

Ukuran 103x103

Neraca SNSE 103 x 103 CGE Faktor

• Tenaga Kerja (8 klasifikasi)

• Tenaga Kerja

Produksi • Modal • Modal Air Minum • Modal Bukan Air Minum

Institusi

• Rumah tangga (10 golongan)

• Rumah tangga (10 golongan) • Swasta/perusahaan

• Swasta/perusahaan

• Pemerintah

• Pemerintah

• Sektor produksi (26 sektor) • Sektor produksi (27 sektor) produksi • Marjin perdagangan dan

Sektor

pengangkutan • Komoditas domestik (26 sektor)

• Komoditas impor (26 sektor)

• Neraca Kapital

• Neraca Kapital

Neraca

• Pajak tak langsung minus subsidi • Pajak tak langsung minus subsidi • Neraca luar negeri

Lainnya

• Neraca luar negeri Sumber: diolah dari BPS DKI Jakarta (2002)

(iv) Neraca lainnya. Tidak dilakukan perubahan klasifikasi sehingga klasifikasi tetap 3.

4.3.3 Beberapa Prinsip Dasar

Model CGE yang dibangun dalam studi ini merupakan hasil pengembangan dari model yang dibangun oleh Azdan (2001) yang menjelaskan dampak kebijakan sumber daya air terhadap distribusi pendapatan di DKI Jakarta. Beberapa perbedaan mendasar adalah sebagai berikut. (i) Model Azdan yang menggunakan data SNSE DKI Jakarta tahun 1993, sementara studi ini menggunakan data SNSE DKI Jakarta tahun 2000. (ii) Model Azdan menambahkan air tanah sebagai salah satu faktor primer, sementara dalam studi ini modal dipecah menjadi modal air minum dan modal bukan air minum.

DKI Jakarta dianggap mempunyai ekonomi terbuka. Aktifitas ekspor dan impor memegang peran utama dalam perekonomian dan dicakup dalam bagian lain dunia. Neraca bagian lain dunia mencakup perdagangan antarwilayah sebagaimana juga perdagangan internasional. Harga impor dan ekspor diukur dalam mata uang domestik.

Sebagaimana dalam model Azdan (2001), CGE didasarkan pada beberapa asumsi penting. Pertama, RT memaksimalkan utilitasnya sebagai fungsi dari sejumlah konsumsi mereka pada tahun tertentu, mengikuti kendala anggaran pada tahun bersangkutan. Kedua, digunakan koefisien porsi tetap untuk menentukan jumlah modal baru yang diinvestasikan pada setiap sektor produksi. Ketiga, dibatasi jumlah sumber kemajuan teknologi yang dapat terjadi dalam perekonomian wilayah.

Aktivitas sisi penawaran diwakili oleh pasar faktor dan produksi industri. Penawaran yang terdiri dari produksi domestik dan impor harus sama dengan permintaan termasuk permintaan RT, pemerintah, permintaan antara, permintaan investasi, dan ekspor. Sisi permintaan diwakili oleh pasar produk dan penghasil pendapatan.

4.3.4 Aktor dan perilakunya

Perekonomian DKI Jakarta dalam model diwakili oleh empat sektor, yaitu (i) sektor produsen, (ii) sektor rumah tangga, (iii) sektor pemerintah, dan (iv) sektor bagian lain dunia. Pada sektor produsen, sektor air minum memiliki dua pelaku, yaitu penyedia

A. Produsen/Industri Sektor produksi memerlukan input dan menyediakan output. Produsen

diasumsikan memaksimalkan keuntungan. Output sektor produksi nonair minum dapat digunakan sebagai input antara, dikonsumsi domestik atau ekspor. Output dari sektor air minum (perpipaan dan nonperpipaan) diproduksi dan digunakan oleh domestik.

Faktor produksi primer adalah (i) tenaga kerja, dan (ii) modal yang diklasifikasikan dalam modal air minum dan modal nonair minum. Teknologi produksi yang digunakan untuk mengombinasikan faktor primer adalah bersifat constant return to scale. Terdapat substitusi antarfaktor dan kombinasi input primer ditentukan melalui harga relatif. Input antara diperlukan dalam porsi tetap terhadap output kotor. Industri menerima pembayaran dari rumah tangga, pemerintah, dan bagian lain dunia dengan menjual barang dan jasa di pasar produk. Total output sektor ditunjukkan melalui fungsi produksi nested. Fungsi produksi Constant Elasticity of Substitution (CES) digunakan untuk menggabungkan nilai tambah dan input antara (Azdan, 2001).

B. Rumah tangga (RT)

Kelompok rumah tangga diklasifikasikan dalam sepuluh tingkatan pendapatan. Setiap kelompok rumah tangga diasumsikan memaksimalkan utilitas. Setiap RT mempunyai modal dan tenaga kerja, dan memutuskan sejumlah tertentu dari pendapatan digunakan untuk tabungan dan investasi, seperti juga sejumlah pendapatan dihabiskan untuk barang nonair minum, air minum, dan jasa yang tersedia, sesuai harga berlaku.

RT menyediakan sejumlah tetap tenaga kerja dan menerima pembayaran atas jasa tenaga kerja. Tenaga kerja dibayar berdasarkan asumsi bahwa nilai produk marjinal tenaga verja sama dengan tingkat upah nominal. Pengeluaran RT untuk barang dispesifikasikan sebagai fungsi dari pendapatan yang dapat dibelanjakan oleh RT dan pendapatan modal yang didistribusikan. Pada kasus ini, pendapatan yang dapat

Untuk barang yang diperdagangkan dan diproduksi secara lokal, harga pasar domestik merupakan fungsi harga internasional ditambah biaya masuk dan harga produsen. Kepemilikan modal memberikan RT pengembalian modal. Proporsi tetap diambil dari pendapatan yang dapat dibelanjakan untuk barang sektor produksi. Porsi konsumsi privat sektor tetap.

Fungsi CES digunakan untuk menunjukkan kombinasi barang nonair minum impor dan domestik maksimum yang tersedia yang RT, industri dan pemerintah mampu membeli, sesuai dengan teknologi yang tergambarkan dalam the product transformation frontier dan kendala neraca perdagangan (De Melo dan Tarr, 1992).

C. Pemerintah Daerah

Pada model ini, sektor publik diwakili oleh pemerintah daerah. Pendapatan diambil melalui transfer dari pemerintah pusat, yang termasuk dalam neraca bagian lain dunia, sebagaimana biaya masuk dan pajak langsung dan tidak langsung. Tingkat pajak dan biaya masuk dianggap tetap dan eksogen. Pengeluaran merupakan porsi tetap dari pendapatan, dan dialokasikan pada basis porsi-tetap pembelian barang dan jasa dari beragam sektor produksi. Tabungan pemerintah lokal terdiri dari perbedaan antara pendapatan dan pengeluaran.

D. Bagian Lain Dunia

Neraca bagian lain dunia menggabungkan neraca internasional dan antarwilayah yang tidak secara khusus diidentifikasi dalam model ini. Pemerintah pusat dimasukkan dalam neraca ini.

Diasumsikan bahwa dalam sektor nonair minum terdapat pembedaan produk (product differentiation) sebagai contoh substitusi tidak sempurna bagi impor dan ekspor. Pada sisi impor, konsumen memilih antara barang impor dan ekspor yang ditentukan oleh harga relatif. Harga relatif menentukan pangsa pasar dari barang impor dan ekspor. Berdasar asumsi negara kecil, harga dunia tidak berubah sebagai akibat aktivitas negara. Harga dunia impor dan ekspor bersifat eksogen terhadap model. Exchange rate merupakan variabel yang menyeimbangkan (clear) neraca (current

E. Kesetimbangan dan Solusi Akhir

Pada pasar domestik, kesetimbangan pasar menentukan harga domestik. Persamaan kelebihan permintaan produk dan pasar faktor memberikan kendala sistemik dan menentukan kesetimbangan di pasar yang ada. Variabel yang menyeimbangkan adalah harga produk dan harga faktor, yang memberikan tanda pada produsen dan RT dalam menentukan perilaku penawaran dan permintaan. Hukum Walras dipenuhi ketika jumlah nominal kelebihan permintaan di seluruh pasar produk dan faktor adalah nol. Ketika hanya harga relatif yang ditentukan, normalisasi harga diperlukan.

Pada gambar berikut, model menunjukkan keterkaitan antara pemerintah, aktivitas produktif, rumah tangga, faktor primer (sumber daya) dan perdagangan. Setiap komponen dibagi dalam beberapa subkomponen. Keterkaitan di antara subkomponen diperlihatkan dengan panah. Aliran barang dan jasa ditunjukkan dengan panah terputus, sementara aliran dana dengan panah. Semua agen ekonomi (produsen, RT, dan pemerintah) bertindak bersama dan mengoptimalkan fungsi sasaran mereka. Sebagai hasilnya, seperangkat harga ketimbangan endogen ditentukan untuk menyeimbangkan semua pasar dalam ekonomi.

Dalam model ini, RT memberikan jasa tenaga kerja dan modal ke produsen dan hasilnya RT menerima gaji sebagai pembayaran tenaga kerja dan sewa modal. Tenaga kerja, modal air minum dan modal lainnya adalah faktor primer untuk aktifitas produktif. Industri membutuhkan faktor primer bersama dengan input antara untuk memproduksi barang dan jasa dalam perekonomian. Hasilnya, industri memberikan pendapatan pada tenaga kerja, dan pendapatan modal. Untuk memaksimalkan keuntungan, produsen harus mempertimbangkan teknologi, harga input, pajak pemerintah dan biaya produksi lainnya, tetapi mereka juga harus memutuskan tempat memasarkan produknya (domestik atau ekspor).

Pemerintah menerima hasil dari pajak langsung dan tidak langsung dan hasil dari modal sendiri (pendapatan modal). Pengeluaran pemerintah termasuk konsumsi barang dan jasa dan tabungan pada neraca modal.

Gambar 4.6 Keterkaitan Antarsektor dalam Wilayah

Bagian lain dunia termasuk pemerintah

Bagian lain dunia

Domestik

Pasar domestik

Institusi:

Neraca modal Pemerintah

Listrik dan

produktif

Manufaktur

Air non- perpipaan

Jasa lainnya

Faktor

Modal Lain Primer

Modal Air Minum

Tenaga kerja

Menengah Atas Rumah Miskin

(RT VII-VIII)

(RT III –IV)

Tangga

Sangat Pendapatan Tinggi

Miskin (RT I-II)

Menengah Bawah

(RT IX-X)

(RT V-VI)

aliran dana

aliran barang dan jasa

Sumber: Diadopsi dari Azdan, 2001

4.3.5 Variabel dan Skalar

Variabel dan skalar diklasifikasikan berdasar kategori (i) blok harga, (ii) blok produksi, (iii) blok faktor, (iv) blok pendapatan dan pengeluaran, (v) blok neraca pembayaran. Variabel selengkapnya pada Lampiran.

4.3.6 Persamaan Model

Persamaan model CGE air minum DKI Jakarta terdiri dari enam blok persamaan yaitu sebagai berikut. (i) Blok Persamaan Produksi. Persamaan-persamaan dalam blok ini mencerminkan struktur kegiatan produksi dan perilaku produsen (ii) Blok Persamaan Ekspor-Impor. Blok ini menggambarkan keputusan daerah untuk mengekspor atau mengimpor barang dan jasa. (iii) Blok Persamaan Kapital dan Investasi. Persamaan-persamaan dalam blok ini menyimulasikan keputusan untuk melakukan investasi dalam perekonomian dan permintaan akan barang dan jasa yang dipergunakan dalam pembentukan kapital (modal) baru. (iv) Blok Persamaan Pendapatan. Blok ini terdiri dari persamaan-persamaan yang mencerminkan aliran pendapatan aktifitas produksi ke rumah tangga, penerimaan pemerintah, dan tabungan. (v) Blok Persamaan Pengeluaran. Blok ini terdiri dari persamaan-persamaan yang menentukan permintaan barang komposit oleh berbagai pelaku. (vi) Blok Persamaan Kliring Pasar. Persamaan-persamaan dalam blok ini menentukan kondisi kliring pasar untuk tenaga kerja, barang dan jasa dalam perekonomian. Neraca pembayaran nasional juga termasuk dalam blok ini .

A. Blok Persamaan Produksi

Persamaan produksi terdiri dari 7 persamaan. Persamaan (1) dan (2) merupakan persamaan yang menentukan harga produsen dan harga input antara.

Persamaan (3) mengindikasikan bahwa output (X) diproduksi melalui kombinasi nilai tambah (VA) dan input antara (IN) dengan teknologi produksi CES untuk semua sektor (indeks I). Persamaan (4) menentukan rasio input optimal, yang dihasilkan dari kondisi orde pertama dari fungsi produksi (minimisasi biaya produksi).

Gambar 4.7 Struktur Fungsi Sektor Produksi

Output X

CES

Antara Nilai Tambah

Proporsi tetap

Modal Air

X air minum

X air minum

Minum

perpipaan nonperpipaan

Persamaan (5) menentukan nilai tambah dalam sektor produksi. Persamaan (6) menggambarkan kondisi orde pertama dari fungsi nilai tambah. Total angkatan kerja adalah jumlah tidak bekerja dan bekerja di sektor produksi dan ditandai pada persamaan (7). Jumlah pengangguran ditetapkan nol yang mengakibatkan bahwa total angkatan kerja dalam model ini sama dengan tenaga kerja yang bekerja dalam perekonomian. Persamaan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Persamaan Produksi

PERSAMAAN PRODUKSI

(1) PX (I) * X(I) * (1 – ITX(I))

= PV(I) * VA(I) + PN(I) * IN(I)

(2) PN(I)

= SUM (J, PQ(J) * IOMI (J,I))

(3) X(I) = ALPHAX(I) * (BETAX(I) * IN(I) ** (-RHOX(I)) + (1 – BETAX(I)) * VA(I) ** (- RHOX(I))) ** (-1 / RHOX(I)) (4) IN(I) / VA(I)

= (PV(I) / PN(I) * BETAX (I) / (1 - BETAX(I)))

** (1 / (1 + RHOX(I)))

(5) VA (I) = ALPHAV(I) * (SUM (F, BETAV(I,F) * FACDEM(I,F)

** (- RHOV(I)))) ** ( -1 / RHOV(I))

(6) FACDEM(I,F) /VA(I) = ((BETAV(I,F) * PV(I)) / ((ALPHAV(I) ** RHOV(I) * WA(F)

* WFDIST(I,F))) ** (1 / (1 + RHOV(I)))

(7) LABFOR

= UNEMPL + SUM (FLAB, FD(FLAB))

KETERANGAN

PX (I) = harga output rata-rata

SUM = jumlah

PV (I) = harga nilai tambah I, J = Indeks seperangkat sektor produksi (27 sektor) PN (I) = harga input antara

F = Indeks seperangkat faktor primer PQ (I) = harga permintaan domestik rata-rata

FLAB = faktor produksi tenaga kerja X (I) = output sektor domestik komposit

IOMI (J,I) = koefisien tetap input barang ITX (I) = tingkat pajak tidak langsung

ALPHAX (I) = parameter pergeseran fungsi produksi VA (I) = nilai tambah sektor komposit

BETAX (I) = parameter pangsa fungsi produksi IN (I) = input antara sektor komposit

RHOX (I) = eksponen fungsi produksi WA (F) = harga input faktor rata-rata

ALPHAV (I) = parameter pergeseran fungsi nilai

tambah

WFDIST (I,F) = harga input proporsional faktor sektor BETAV (I,F) = parameter pangsa fungsi nilai tambah FACDEM (I,F) = permintaan faktor sektor

RHOV (I) = eksponen fungsi nilai tambah LABFOR = total angkatan kerja

UNEMPL = total pengangguran FD (FLAB) = permintaan faktor tenaga kerja

B. Blok Persamaan Ekspor dan Impor

Persamaan ekspor dan impor terdiri dari sepuluh persamaan yang menunjukkan hubungan antara perekonomian wilayah Jakarta dan bagian lain dunia melalui transaksi ekspor-impor. Persamaan memperlihatkan perilaku produsen dalam menentukan distribusi output pada pasar luar negeri dan/atau pasar domestik dengan menggunakan fungsi CET. Selain juga menjelaskan perilaku rumah tangga dan institusi lain dalam

Persamaan (8) dan (9) menentukan harga ekspor dan impor domestik. Persamaan (10) dan (11) menentukan nilai output dan penjualan domestik. Persamaan (12) menggambarkan agregasi ekspor sebagai fungsi CET. Fungsi ini menggambarkan cara produksi sektoral komposit ditransformasikan ke barang yang dijual di pasar domestik dan ekspor. Persamaan (13) menggambarkan penjualan domestik dari sektor bukan perdagangan. Persamaan (14) merupakan persamaan penawaran ekspor yang ditentukan dari kondisi orde pertama fungsi CET. Ini merupakan fungsi rasio harga ekspor terhadap domestik dan elastisitas transformasi antara dua penggunaan.

Persamaan (15) dan (16) adalah fungsi agregasi Armington sektor perdagangan dan bukan perdagangan, diasumsikan bahwa tidak terdapat perfect sustainability antara barang domestik dan impor dalam setiap sektor. Persamaan ini menyimbolkan permintaan konsumen dari sebuah barang komposit, yang merupakan CES agregat dari barang domestik dan impor. Persamaan (17) adalah kondisi orde pertama bagi minimisasi biaya dalam pembelian sejumlah barang komposit yang tersedia.

Tabel 4.4 Persamaan Ekspor dan Impor

PERSAMAAN EKSPOR dan IMPOR

(8) PM(IM)

= PWM(IM) * EXR * (1 + TM(IM))

(9) PE(IE)

= PWE(IE) * EXR

(10) PQ(I) * Q(I)

= PD(I) * XD(I) + (PM(I) * XIM(I)) $IM(I)

(11) PX(I) * X(I)

= PD(I) * XD(I) + (PE(I) * XEX(I)) $IE(I)

(12) X(IE) = ALPHAEX(IE) * (BETAEX(IE) * XEX(IE) ** RHOEX(IE) + (1 - BETAEX(IE)) * XD(IE) ** RHOEX(IE)) ** (1 / RHOEX(IE))

(13) X(IEN) = XD(IEN); dimana IEN = barang produksi bukan ekspor (14) XEX(IE)/XD(IE)

= (PE(IE) / PD(IE) * (1 - BETAEX(IE)) / BETAEX(IE))

** (1 / (RHOEX(IE) – 1))

(15) Q(IM) = ALPHAIM(IM) * (BETAIM(IM) * XIM(IM) ** (-RHOIM(IM)) + (1 – BETAIM(IM)) * XD(IM) ** (-RHOIM(IM))) ** ( - 1 /RHOIM(IM))

(16) Q(IMN) = XD(IMN); dimana IMN = barang produksi bukan impor (17) (XIM(IM) / XD(IM))

= (PD(IM) / PM(IM) * BETAIM(IM) / (1-BETAIM(IM)))

** (1 / (1 + RHOIM(IM)))

KETERANGAN

PQ (I) = harga permintaan domestik rata-rata I = Indeks seperangkat sektor produksi (27 sektor) PX (I) = harga output rata-rata

IE = sektor ekspor ke domestik dan luar negeri PD (I) = harga penawaran domestik

IEN = sektor bukan ekspor

PN (I) = harga input antara IM = sektor impor dari domestik dan luar negeri PE (IE) = harga domestik barang ekspor

IMN = sektor bukan impor

PE (I) $IE(I) = harga domestik barang ekspor XD (IEN) = penjualan domestik barang nonekspor PM (IM) = harga domestik barang impor

XD (IMN) = penjualan domestik barang nonimpor PM (I) $IM(I) = harga domestik barang impor

XEX (IE) = output ekspor sektor ke domestik PD (IE) = harga penawaran domestik barang ekspor

XEX (I) $IE (I) = output sektor ekspor ke domestik PWM (IM) = harga pasar impor (Rp.)

Q (I) = penawaran barang komposit PWE (IE) = harga pasar ekspor (Rp.)

Q (IM) = penawaran barang impor X (I) = output domestik komposit sektor

Q (IMN) = penawaran barang bukan impor X (IE) = output domestik sektor ekspor

TM (IM) = pajak impor EXR = nilai tukar X (IEN) = output domestik sektor nonekspor

ALPHAEX (IE) = parameter perubahan fungsi ekspor XIM (IM) = impor sektor

ALPHAIM (IM) = parameter perubahan fungsi impor XIM (I) $IM = impor sektor

BETAEX (IE) = parameter pangsa fungsi ekspor XD (I) = penjualan domestik

BETAIM (IM) = parameter pangsa fungsi impor XD (IM) = penjualan domestik barang impor

RHOEX (IE) = ekspornen fungsi ekspor XD (IE) = penjualan domestik barang ekspor

RHOIM (IM) = eksponen fungsi impor

C. Blok Persamaan Modal

Persamaan modal terdiri dari 4 persamaan. Persamaan (18) menentukan harga barang modal. Persamaan (19) menentukan investasi tetap sektor tujuan. Persamaan (20) merupakan persamaan investasi tetap netto dari persediaan. Persamaan (21) menentukan jumlah investasi per sektor tujuan.

Tabel 4.5 Persamaan Modal

PERSAMAAN MODAL

(18) PK(I)

= SUM (J, ICAP(J,I) * PQ(J))

(19) ID(I)

= SUM (J, ICAP(I,J) * DK (J)

(20) FXDINV = INVEST – SUM (I, INV(I) * (X(I) + XIM (I)) * PQ(I)) (21) PK(I) * DK(I)

= ZZ(I) * FXDINV

KETERANGAN

X (I) = output domestik komposit sektor SUM = total ICAP (I,J) = komposisi modal XIM (I) = impor sektor INVEST = total investasi

DK (I) = investasi tetap per sektor tujuan PK (I) = harga modal baru

INV (I) = parameter pangsa stok persediaan PQ (J) = harga permintaan domestik rata-rata

ZZ (I) = pangsa investasi per sektor ID (I) = permintaan akhir investasi produktif

FXDINV = total investasi tetap

D. Blok Persamaan Pendapatan

Persamaan pendapatan menunjukkan aliran pendapatan dari aktivitas produksi, penerimaan pemerintah, dan tabungan. Persamaan (22.a) dan (22.b) menunjukkan jumlah total subsidi yang dialokasikan baik dari pajak maupun pemerintah pusat. Persamaan (23) menentukan distribusi subsidi air minum menurut kelompok rumah tangga penerima. Persamaan (24), (25) dan (26) menentukan pendapatan faktor primer, pendapatan rumah tangga, dan pendapatan perusahaan berturutan. Persamaan (27) sampai (30) menentukan pendapatan pemerintah dari biaya masuk, pajak tidak langsung produksi domestik, pajak pendapatan industri, dan pajak rumah tangga. Persamaan (31) merupakan jumlah penerimaan pemerintah. Persamaan (32), (33) dan (34) menentukan tabungan rumah tangga, tabungan perusahaan, dan total tabungan.

Tabel 4.6 Persamaan Pendapatan

PERSAMAAN PENDAPATAN

(22.a) TOTSUBS1 = (ITX("WATPAM") – ITXO("WATPAM")) * PX("WATPAM") * X("WATPAM") (22.b) TOTSUBS2

= TRANSF

(23) SUB (I, H) = TOTSUBS * CDO("WATPAM",GH) / (SUM(GJ,CDO("WATPAM",GJ))) (24) YF(F)

= SUM (I, WA(F) * WFDIST(I,F) * FACDEM(I,F)) + FIROW(F) (25) YH(H)

= SUM(FLAB, SEDW(H,FLAB) * YF(FLAB) + SHHCPAM(H)

* YF(“CAPAM”) + SHHCNPAM(H) * YF(“CAPNAM”) + SUM(HH, THS(H,HH) * YH(HH) * (1- TH(HH)) * (1 – MPS(HH))) * (1 - TROWS(HH))) + CTH(H) * YCORP * (1 – CTAX) + TGOV(H) * GOVBUD + ROWHH(H)+ SUB("WATPAM",H)

(26) YCORP = SCORCPAM * YF(“CAPAM”) + SCORCNAM * YF(“CAPNAM”) + CORTCOR + ROWCOR + CORBOR – CORAMOR – CORINTR

(27) TARIFF

= SUM (I, TM(I) * XIM(I) * PWM(I)) * EXR

(28) INDTAX

= SUM (I, ITX(I) * PX(I) * X(I))

(29) CORTAX

= YCORP * CTAX

(30) HHTAX

= SUM (H, TH(H) * YH(H))

(31) GR = TARIFF + INDTAX + CORTAX + HHTAX +ROWTAX+ SGOVCPAM * YF(“CAPAM”) + SGOVCNAM * YF(“CAPNAM”) + ROWGOV + GOVGOV + GOVBOR

(32) HSAV

= SUM (H, MPS(H) * YH(H) * (1 – TH(H)))

(33) CORSAV

= CSAV * YCORP * (1 – CTAX)

(34) SAVING

= HSAV + CORSAV + GOVSAV – SAVROW + FORINV

KETERANGAN

PX (I) = harga output rata-rata

SUM = jumlah

PX (”WATPAM”) = harga output air minum perpipaan I, J = Indeks seperangkat sektor produksi (27 sektor) PWM (I) = harga pasar impor (Rp)

F = Indeks seperangkat faktor primer X (I) = output sektor domestik komposit

H,HH = rumah tangga

X (”WATPAM”) = output air minum perpipaan GH,GJ = rumah tangga penerima subsidi XIM (I) = impor sektor

CAPAM = modal air minum perpipaan ITX (I) = tingkat pajak tidak langsung

CAPNAM = modal air minum nonperpipaan ITX (”WATPAM” ) = tingkat pajak air minum perpipaan

WATPAM = air minum perpipaan ITXO (”WATPAM”) = tingkat pajak awal air minum

FLAB = modal tenaga kerja

perpipaan TOTSUBS1 = total subsidi dari peningkatan pajak air minum

THS (H,HH) = pangsa transfer antar rumah tangga TOTSUBS2 = total subsidi dari transfer dana pusat

TH (H,HH) = patokan pajak pendapatan rumah tangga TRANSF = transfer dana pusat

MPS (HH) = patokan kecenderungan marjinal tabungan RT SUB (I,H) = subsidi air minum perpipaan per RT miskin

TROWS (HH) = pangsa transfer RT ke bagian lain dunia CDO (I,GH) = permintaan akhir rumah tangga

CTH (H) = pangsa transfer perusahaan ke rumah tangga YF (F) = pendapatan faktor

CTAX = patokan tingkat pajak pendapatan perusahaan YH (H) = pendapatan rumah tangga

TGOV (H) = pangsa transfer pemerintah ke rumah tangga YCORP = pendapatan perusahaan

GOVBUD = total konsumsi pemerintah TARIFF = penerimaan biaya masuk

ROWHH (H) = pendapatan RT dari bagian lain dunia INDTAX = pendapatan pajak tidak langsung komoditi

SCORCPAM = pangsa modal air minum perpipaan yang

dimiliki perusahaan

CORTAX = pajak pendapatan perusahaan SCORCNAM = pangsa modal air minum nonperpipaan yang

dimiliki perusahaan

HHTAX = pajak pendapatan rumah tangga CORTCOR = transfer perusahan ke perusahaan GR = pendapatan pemerintah lokal

ROWCOR = pendapatan perusahaan dari bagian lain dunia SAVROW = tabungan luar negeri

ROWGOV = pendapatan pemerintah dari bagian lain dunia GOVSAV = tabungan pemerintah lokal

GOVGOV = transfer pemerintah ke pemerintah CSAV = patokan tingkat tabungan perusahaan

GOVBOR = pinjaman luar negeri pemerintah HSAV = tabungan rumah tangga

CORBOR = pinjaman luar negeri perusahaan dari bagian lain

dunia

CORSAV = tabungan perusahaan CORAMOR = pembayaran amortisasi hutang luar negeri

perusahaan

SAVING = total tabungan CORINTR = pembayaran bunga hutang luar negeri perusahaan WA (F) = harga input faktor rata-rata

CORTAX = pajak pendapatan perusahaan WFDIST (I,F) = harga input proporsional faktor sektor

TM (I) = tingkat pajak impor

FACDEM (I,F) = permintaan faktor sektor

EXR = nilai tukar

FIROW (F) = pendapatan faktor dari bagian lain dunia HHTAX = pajak pendapatan rumah tangga SEDW (H,FLAB) = pangsa kepemilikan tenaga kerja dari RT

ROWTAX = pendapatan pajak dari bagian lain dunia SHHCNPAM (H) = pangsa modal air minum non perpipaan

SGOVCNAM = pangsa modal air minum nonperpipaan yang yang dimiliki rumah tangga

dimiliki pemerintah FORINV = investasi asing dari bagian lain dunia

E. Blok Persamaan Pengeluaran Persamaan pengeluaran menunjukkan permintaan barang-barang komposit dari

berbagai aktor. Persamaan pengeluaran terdiri dari tujuh persamaan. Persamaan (35) menunjukkan total barang antara yang digunakan untuk kebutuhan produksi. Persamaan (36) dan (37) menentukan perilaku konsumsi dari sektor pemerintah dan swasta. Persamaan (38) dan (39) menentukan PDB riil dan Nilai tambah domestik kotor. Persamaan (40) dan (41) masing-masing menunjukkan transfer perusahaan ke perusahaan dan bagian lain dunia.

Tabel 4.7 Persamaan Pengeluaran

PERSAMAAN PENGELUARAN

(35) TOTINT(I)

= SUM (J, IOMI(I,J) * IN(J))

(36) PQ(I) * CD(I,H) = CHS(I,H) * YH(H) * (1 – TH(H)) * (1 – MPS(H)) * (1 - TROWS(H)) (37) PQ(I) * CGOV(I)

= CGS(I) * GOVBUD

(38) RGDP = SUM (I, PQ(I) * (SUM (H, CD(I,H)) + INV(I) * (X(I) + XIM(I)) + ID(I) + CGOV(I))) + SUM (IE, PE(IE) * XEX(IE)) – SUM(IM, (PM(IM) – TM(IM) * PWM(IM) * EXR) * XIM(IM))

(39) GDVA

= SUM(I, PV(I) * VA(I)) + INDTAX + TARIFF

(40) CORTCOR

= CCOR * YCORP * (1 - CTAX)

(41) CORROW

= CTR * YCORP * (1 – CTAX)

KETERANGAN

SUM = total X (I) = output sektor domestik komposit I,J = Indeks seperangkat sektor produktif (27 sektor) XIM (I) = impor sektor

IE = sektor ekspor ke domestik dan laur negeri ID (I) = permintaan akhir investasi produktif IM = sektor impor dari domestik dan luar negeri

PE (IE) = harga domestik barang ekspor H = rumah tangga

XEX (IE) = ekspor sektor

TOTINT (I) = total penggunaan antara PM (IM) = harga domestik barang impor IOMI (I,J) = koefisien tetap dari input

TM (IM) = pajak impor

IN (J) = input antara sektor komposit PWM (IM) = harga pasar impor (Rp.) PQ (I) = harga permintaan domestik rata-rata

EXR = nilai tukar

CD (I,H) = permintaan akhir konsumsi rumah tangga

XIM (IM) = impor sektor

CHS (I,H) = parameter pangsa konsumsi rumah tangga GDVA = nilai tambah domestik kotor YH (H) = pendapatan rumah tangga

PV (I) = harga nilai tambah

TH (H) = patokan pajak pendapatan rumah tangga VA (I) = nilai tambah sektor komposit MPS (H) = patokan kecenderungan marjinal tabungan

INDTAX = pendapatan pajak tidak langsung komoditi RT

TROWS (H) = pangsa transfer RT ke bagian lain dunia TARIFF = penerimaan biaya masuk CGOV (I) = permintaan akhir konsumsi pemerintah

CORTCOR = transfer perusahaan ke perusahaan CGS (I) = parameter pangsa konsumsi pemerintah

CCOR = patokan tingkat pendapatan perusahaan GOVBUD = total komsumsi pemerintah

YCORP = pendapatan perusahaan RGDP = produk domestik regional bruto

CTAX = patokan tingkat pajak pendapatan perusahaan INV (I) = parameter pangsa stok persediaan

CORROW = transfer perusahaan ke bagian lain dunia CTR = pangsa pembayaran perusahaan ke bagian lain

F . Blok Persamaan Kliring Pasar Persamaan kliring pasar menunjukkan kendala sistem yang harus dipenuhi oleh

model. Persamaan kliring pasar terdiri dari enam persamaan. Persamaan (42) merupakan pasar barang dalam kondisi seimbang yang berarti bahwa penawaran sektor dari komoditas komposit sama dengan permintaan. Persamaan (43) merupakan pasar faktor dalam kondisi seimbang.

Penawaran faktor primer diasumsikan tetap secara eksogen. Kliring pasar memerlukan permintaan total faktor sama dengan total penawaran. Persamaan (44) merupakan current account balance (neraca keseimbangan). Karena nilai exchange rate (nilai tukar) tetap, current account akan ditentukan secara endogen.

Persamaan (45) menggambarkan penerimaan pemerintah. Tabungan netto peme-rintah didefinisikan sebagai penerimaan pemerintah dikurangi konsumsi pemerintah dikurangi pembayaran hutang eksternal pemerintah (baik amortisasi dan pembayaran bunga). Persamaan (46) dan (47) merupakan indeks harga yang merupakan numeraire bagi model.

Tabel 4.8 Persamaan Kliring Pasar

PERSAMAAN KLIRING PASAR

(42) Q(I) = TOTINT(I) + SUM(H, CD(I,H)) + CGOV(I) + ID(I) + INV(I) * X(I) +

INV(I) * XIM(I)

(43) FD(F) = SUM(I, FACDEM(I,F)) (44) CURRACW

= SUM(F, FIROW(F)) + SUM (H, ROWHH(H)) + ROWGOV + ROWCOR + SUM (IE, PE(IE) * XEX(IE) + FORINV + ROWTAX + SUM(I,TM(I) * PWM(I) * XIM(I) + ROWTRW + GOVBOR + CORBOR – SUM (FLAB, SFROW(FLAB) * YF(FLAB) – SROWCPAM * YF(“CAPAM”) – SROWCNAM * YF(“CAPNAM” – SUM (I, PWM(I) * XIM(I) * EXR) – SUM (H, HHTRW(H)) – GOVROW – CORROW – SAVROW – GOVINTR – CORINTR – GOVAMOR – CORAMOR – ROWTRW

(45) GR = GOVBUD + GOVSAV + GOVROW + GOVGOV + GOVINTR +

GOVAMOR

(46) PINDEX = SUM (I, WTQ(I) * PQ(I)) (47) PINDOM

= SUM (I, WTD(I) * PQ(I))

KETERANGAN

X (I) = output sektor domestik komposit

SUM = total

XIM (I) = impor sektor

I,J = sektor

XEX (IE) = ekspor sektor

H = rumah tangga

Q (I) = penawaran barang komposit

IE = sektor ekspor

PQ (I) = harga permintaan domestik rata-rata

F = faktor

PE (IE) = harga domestik barang ekspor

FLAB = faktor tenaga kerja

PWM (I) = harga pasar impor CAPAM = modal air minum perpipaan CD (I,H) = permintaan akhir konsumsi rumah tangga

CAPNAM = modal air minum nonperpipaan ID (I) = permintaan akhir investasi produktif

YF (F) = pendapatan faktor

INV (I) = parameter pangsa stok persediaan SROWCPAM = pangsa modal air minum perpipaan dimiliki oleh bagian lain dunia

TOTINT (I) = total pengguna antara SROWCNAM = pangsa modal air minum nonperpipaan dimiliki oleh bagian lain dunia

CGOV (I) = permintaan akhir konsumsi pemerintah GOVROW = transfer pemerintah netto ke bagian lain

dunia

FD (F) = permintaan faktor CORROW = transfer perusahaan ke bagian lain dunia FACDEM (I,F) = permintaan faktor sektor

SAVROW = tabungan luar negeri CURRACW = neraca pembayaran

GOVINTR = pembayaran bunga hutang luar negeri

pemerintah

FIROW (F) = pendapatan faktor dari bagian lain dunia CORINTR = pembayaran bunga hutang luar negeri

perusahaan

ROWHH (H) = pendapatan RT dari bagian lain dunia GOVAMOR = pembayaran amortisasi hutang luar

negeri pemerintah

ROWGOV = pendapatan pemerintah dari bagian lain CORAMOR = pembayaran amortisasi hutang luar dunia

negeri perusahaan

ROWCOR = pendapatan perusahaan dari bagian lain ROWTRW = transfer dari bagian lain dunia ke bagian dunia

lain dunia

FORINV = investasi asing dari bagian lain dunia GR = pendapatan pemerintah lokal ROWTAX = pendapatan pajak dari bagian lain dunia

GOVBUD = total konsumsi pemerntah HHTRW (H) = transfer RT ke bagian lain dunia

GOVSAV = tabungan pemerintah lokal TM (I) = pajak impor

GOVGOV = transfer pemerintah ke pemerintah ROWTRW = transfer dai bagian lain dunia ke bagian

PINDEX = indeks harga komposit lain dunia

GOVBOR = pinjaman luar negeri pemerintah PINDOM = indeks harga domestik CORBOR = pinjaman luar negeri perusahaan dari

WTQ (I) = indeks harga komposit tertimbang bagian lain dunia

SFROW (FLAB) = pangsa pendapatan tenaga kerja ke WTD (I) = indeks harga domestik tertimbang bagian lain dunia

4.4 Perubahan Kesejahteraan

Dalam analisis kesetimbangan umum, evaluasi dampak kebijakan pada kesejahteraan dan distribusinya memerlukan kriteria kesejahteraan. Kriteria yang digunakan dalam studi ini adalah pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable

BAB V SKENARIO KEBIJAKAN DAN HASIL SIMULASI

5.1 Validasi Model CGE

Model CGE Air Minum DKI Jakarta telah memenuhi syarat uji konsistensi yang umum digunakan (Mahi, 1997 dan 2003), yaitu (i) mampu mereplikasi data SAM yang menjamin tidak adanya kesalahan spesifikasi pada model, (ii) memenuhi syarat Walras yaitu tabungan sama dengan investasi, dan (iii) memperlihatkan kestabilan suatu model. Selain itu, juga telah memenuhi keseimbangan fiskal berupa keseimbangan tabungan pemerintah dengan selisih penerimaan pemerintah dan pengeluaran pemerintah.

5.2 Skenario Simulasi

Secara umum, pertumbuhan perekonomian DKI Jakarta menunjukkan perbaikan pada beberapa tahun terakhir. Walaupun demikian, pertumbuhan ekonomi yang terjadi ditengarai belum berupa pertumbuhan yang bersifat pro-poor karena masih tingginya tingkat kesenjangan pendapatan dan tingginya proporsi penduduk miskin.

Beberapa studi empiris memperlihatkan bahwa pertumbuhan penduduk perkotaan yang tinggi, sebagaimana juga terjadi di DKI Jakarta, mengakibatkan ketidakmampuan pemerintah menyediakan prasarana dan sarana pelayanan publik yang memadai, diantaranya, dalam bentuk pelayanan kebutuhan air minum. Penduduk masih belum sepenuhnya dapat terlayani kebutuhan air minumnya, khususnya rumah tangga miskin, sehingga sebagian kebutuhan dipenuhi oleh air minum nonperpipaan dan bahkan dari sumber air yang kurang layak, seperti sumur dan sungai yang tercemar.

Pemenuhan kebutuhan air minum penduduk melalui air minum perpipaan khususnya penduduk miskin perkotaan, ditengarai dapat mengurangi beban pengeluaran air minum, beban pengeluaran bagi biaya pengobatan akibat penggunaan air minum yang tidak layak, dan mengurangi jumlah hari nonproduktif. Kondisi ini akan mendorong peningkatan produktivitas dan tabungan penduduk miskin yang mengarah pada meningkatnya pendapatan per kapita dan membaiknya kesenjangan Pemenuhan kebutuhan air minum penduduk melalui air minum perpipaan khususnya penduduk miskin perkotaan, ditengarai dapat mengurangi beban pengeluaran air minum, beban pengeluaran bagi biaya pengobatan akibat penggunaan air minum yang tidak layak, dan mengurangi jumlah hari nonproduktif. Kondisi ini akan mendorong peningkatan produktivitas dan tabungan penduduk miskin yang mengarah pada meningkatnya pendapatan per kapita dan membaiknya kesenjangan

Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu (Bab I) bahwa investasi, termasuk investasi air minum, baik secara teoritis maupun secara empiris, terbukti mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, pemenuhan kebutuhan air minum penduduk perkotaan, khususnya penduduk miskin, dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk yang berdampak pada perbaikan distribusi pendapatan. Kombinasi dari investasi air minum dan pemenuhan kebutuhan air minum penduduk miskin perkotaan akan menghasilkan pertumbuhan pro-poor sehingga pembangunan air minum di DKI Jakarta akan dapat menjadi salah satu pintu masuk bagi penanggulangan kemiskinan di DKI Jakarta. Untuk itu, dalam studi ini akan dilakukan beberapa simulasi secara bertahap untuk mengetahui skenario-skenario pembangunan air minum yang dapat mengarah pada pertumbuhan pro-poor. Langkah pertama adalah mengetahui dampak investasi air minum, baik air minum perpipaan maupun nonperpipaan, terhadap pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan (Simulasi I dan II). Jika investasi tersebut menghasilkan pertumbuhan ekonomi pro-poor, simulasi tidak akan dilanjutkan dengan pertimbangan bahwa pembangunan air minum di DKI Jakarta telah sesuai dengan yang diharapkan.

Selanjutnya, jika hasil simulasi menunjukkan bahwa hanya pertumbuhan eko- nomi yang meningkat sementara distribusi pendapatan cenderung memburuk, ditengarai subsidi harga yang diterapkan selama ini menjadi kurang efektif, karena penduduk miskin yang seharusnya mendapat subsidi kemungkinan tidak terlayani sehingga rumah tangga miskin menggunakan air minum nonperpipaan dengan harga yang jauh lebih mahal. Sementara itu, sebagian rumah tangga bukan miskin ditengarai tidak menggunakan sumber air minum perpipaan seperti sumur dalam. Akibatnya, pendapatan rumah tangga miskin cenderung berkurang dan distribusi pendapatan memburuk.

Dapat disimpulkan bahwa penerapan sistem tarif progresif yang dimaksudkan agar terjadi subsidi silang terhadap rumah tangga miskin ternyata tidak menunjukkan hasil yang diharapkan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian subsidi harga kurang Dapat disimpulkan bahwa penerapan sistem tarif progresif yang dimaksudkan agar terjadi subsidi silang terhadap rumah tangga miskin ternyata tidak menunjukkan hasil yang diharapkan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian subsidi harga kurang

Pada skenario berikutnya subsidi akan diberikan dari dua sumber yang berbeda, yaitu dari sumber (i) peningkatan pajak air minum perpipaan (simulasi III) dan (ii) transfer dana pusat atau sumber dana yang berasal dari luar DKI Jakarta (simulasi IV).

Simulasi III dilakukan secara bertahap, yaitu pertama kali dilakukan peningkatan pajak air minum perpipaan. Kemudian, hasil pajak air minum perpipaan tersebut dialokasikan kepada rumah tangga miskin perkotaan. Peningkatan pajak pada awalnya yang tanpa penyediaan subisidi air minum akan menyebabkan menurunnya pertumbuhan ekonomi, tetapi di pihak lain menyebabkan membaiknya distribusi pendapatan. Subsidi air minum yang kemudian disediakan, dari hasil peningkatan pajak, bagi rumah tangga miskin akan menyebabkan membaiknya pertumbuhan ekonomi walaupun belum menjamin akan kembali pada posisi sebelum pengenaan pajak.

Pada kondisi penyediaan dana pusat, diasumsikan dana tersebut merupakan suntikan dana dari luar perekonomian sehingga dampaknya terhadap perekonomian akan berbeda dengan peningkatan pajak air minum perpipaan, terutama tidak akan terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi.

Pada simulasi sebelumnya telah dilakukan simulasi peningkatan investasi air minum perpipaan (simulasi I), peningkatan investasi air minum nonperpipaan (simulasi II), penyediaan subsidi bagi rumah tangga miskin dari sumber pajak air minum perpipaan (simulasi III), dan penyediaan subsidi bagi rumah tangga miskin dari sumber transfer pemerintah pusat (simulasi IV). Keempat simulasi tersebut memberi gambaran Pada simulasi sebelumnya telah dilakukan simulasi peningkatan investasi air minum perpipaan (simulasi I), peningkatan investasi air minum nonperpipaan (simulasi II), penyediaan subsidi bagi rumah tangga miskin dari sumber pajak air minum perpipaan (simulasi III), dan penyediaan subsidi bagi rumah tangga miskin dari sumber transfer pemerintah pusat (simulasi IV). Keempat simulasi tersebut memberi gambaran

Jika hasil simulasi awal menunjukkan belum terjadinya pertumbuhan pro-poor, yaitu pertumbuhan ekonomi yang disertai perbaikan distribusi pendapatan, skenario selanjutnya adalah berupa penggabungan antara investasi yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan subsidi yang memperbaiki distribusi pendapatan. Skenario penggabungan ini terdiri dari simulasi V yang berupa peningkatan investasi air minum perpipaan sekaligus penyediaan subsidi langsung bagi rumah tangga miskin dari hasil peningkatan pajak air minum perpipaan dan simulasi VI yang berupa peningkatan investasi air minum perpipaan dan penyediaan subsidi langsung bagi rumah tangga miskin dari dana pusat.

Dengan mempertimbangkan kenyataan adanya kemungkinan keterbatasan dana subsidi sehingga harus diterapkan prioritas penerima subsidi, penerima subsidi dibedakan antara kelompok penerima subsidi pertama adalah kelompok rumah tangga (RT) termiskin, yaitu kelompok RT sangat miskin I (RT I) dan kelompok penerima subsidi kedua adalah seluruh kelompok RT miskin yang merupakan empat kelompok RT dengan penghasilan terendah, yaitu RT sangat miskin I (RT I), RT sangat miskin II (RT II), RT miskin I (RT III), dan RT miskin II (RT IV).

Keseluruhan skenario di atas dilaksanakan secara bertahap melalui beberapa simulasi seperti berikut.

A. Simulasi Investasi (i) Simulasi I berupa peningkatan investasi air minum perpipaan masing-masing sebesar 10 persen, 25 persen, dan 50 persen. (ii) Simulasi II berupa peningkatan investasi air minum nonperpipaan masing- masing sebesar 10 persen, 25 persen, dan 50 persen.

B. Simulasi Subsidi (iii) Simulasi III berupa peningkatan pajak air minum sebesar 10 persen, 25 persen, dan 50 persen, dan hasilnya dialokasikan untuk subsidi bagi kelompok rumah tangga miskin.

(iv) Simulasi IV berupa penyediaan dana dari pemerintah pusat masing-masing sebesar nilai peningkatan pajak 10 persen, 25 persen, dan 50 persen.

C. Simulasi Gabungan (investasi dan subsidi) (v) Simulasi V berupa peningkatan investasi air minum perpipaan masing-masing sebesar 10 persen, 25 persen, dan 50 persen, dan penyediaan subsidi langsung bagi rumah tangga miskin dari hasil peningkatan pajak air minum perpipaan masing-masing sebesar 10 persen, 25 persen, dan 50 persen.

(vi) Simulasi VI berupa peningkatan investasi air minum perpipaan masing- masing sebesar 10 persen, 25 persen, dan 50 persen, dan penyediaan subsidi langsung bagi rumah tangga miskin dari dana pusat yang nilainya setara dengan hasil peningkatan pajak air minum perpipaan masing-masing sebesar

10 persen, 25 persen, dan 50 persen. Keseluruhan skenario dan simulasi tersebut digambarkan selengkapnya pada Gambar 5.1 dan Tabel 5.1.

Gambar 5.1 Bagan Alir Skenario Simulasi

Pajak Air

Peningkatan

Minum Peningkatan

Investasi

Air Minum

air minum

Subsidi Bagi RT Miskin

an Penda-

Pro - poor?

patan /Ka-

pita RT

pusat Miskin

Miskin

tidak

+-+ + Pro-poor

+-+ - Pro-poor

+ - -+

Subsidi

Pertumbuh- an ekonomi

- dst

bagi RT miskin meningkat ?

Pajak air minum

Air Minum

Simulasi I, II Simulasi III Simulasi IV

Subsidi

Bagi RT Miskin

Simulasi V Simulasi VI

Tabel 5.1 Skenario Simulasi I dan II

Investasi air minum perpipaan

Investasi air minum nonperpipaan

25 % 50 % Peningkatan pajak Dana pemerintah pusat Penerima subsidi RT I Penerima subsidi RT I – RT IV

Tabel 5.2 Skenario Simulasi III

Investasi air minum perpipaan Investasi air minum nonperpipaan Peningkatan pajak

25% 50% Dana pemerintah pusat Penerima subsidi RT I Penerima subsidi RT I – RT IV

Tabel 5.3 Skenario Simulasi IV

Investasi air minum perpipaan Investasi air minum nonperpipaan Peningkatan pajak Dana pemerintah pusat*

25% 50% Penerima subsidi RT I Penerima subsidi RT I – RT IV

Keterangan : * Dana pemerintah pusat setara dengan nilai peningkatan pajak masing-masing 10%, 25%, 50%.

Tabel 5.4 Skenario Simulasi V

Investasi air minum perpipaan

10% 10% Investasi air minum nonperpipaan Peningkatan pajak

25% 50% Dana pemerintah pusat Penerima subsidi RT I Penerima subsidi RT I – RT IV

Lanjutan Tabel 5.4

Investasi air minum perpipaan

25% 25% Investasi air minum nonperpipaan Peningkatan pajak

25% 50% Dana pemerintah pusat Penerima subsidi RT I Penerima subsidi RT I – RT IV

Lanjutan Tabel 5.4

Investasi air minum perpipaan

50% 50% Investasi air minum nonperpipaan Peningkatan pajak

25% 50% Dana pemerintah pusat Penerima subsidi RT I Penerima subsidi RT I – RT IV

Tabel 5.5 Skenario Simulasi VI

Investasi air minum perpipaan

10% 10% Investasi air minum nonperpipaan Peningkatan pajak Dana pemerintah pusat*

25% 50% Penerima subsidi RT I Penerima subsidi RT I – RT IV

Keterangan : * Dana pemerintah pusat setara dengan nilai peningkatan pajak masing-masing 10%, 25%, 50%.

Lanjutan Tabel 5.5

Investasi air minum perpipaan

25% 25% Investasi air minum nonperpipaan Peningkatan pajak Dana pemerintah pusat*

25% 50% Penerima subsidi RT I Penerima subsidi RT I – RT IV

Keterangan : * Dana pemerintah pusat setara dengan nilai peningkatan pajak masing-masing 10%, 25%, 50%.

Lanjutan Tabel 5.5

Investasi air minum perpipaan

50% 50% Investasi air minum nonperpipaan Peningkatan pajak Dana pemerintah pusat*

25% 50% Penerima subsidi RT I Penerima subsidi RT I – RT IV

Keterangan : * Dana pemerintah pusat setara dengan nilai peningkatan pajak masing-masing 10%, 25%, 50%.

Gambar 5.2 Bagan Alir Simulasi SKENARIO INVESTASI SKENARIO SUBSIDI

SIMULASI I dan II SIMULASI III dan IV

Peningkatan Dana

investasi pusat/pajak

10% - 25% - 50%

10% - 25% - 50%

Investasi AM Investasi AM

Subsidi

Subsidi

perpipaan nonperpipaan

RT I

RT I - IV

SKENARIO GABUNGAN (INVESTASI dan SUBSIDI)

SIMULASI V dan VI

Subsidi air minum

ke RT I ke RT I – RT IV perpipaan

dari pajak

air minum/ dana pusat

5.3 Hasil Simulasi

Hasil dari simulasi ini akan dibagi menjadi tiga pokok bahasan, yaitu (i) dampak terhadap pertumbuhan ekonomi, (ii) dampak terhadap pendapatan per kapita dan distribusi pendapatan, dan (iii) perbandingan dampak pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan.

5.3.1 Simulasi I: Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan

Peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar masing-masing 10 persen, 25 persen, dan 50 persen mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh peningkatan PDRB masing-masing sebesar 0,05 persen, 0,11 persen, dan 0,2 persen.

Pendapatan rumah tangga per kapita juga meningkat pada semua kategori, tetapi terlihat bahwa kelompok pendapatan tinggi relatif lebih besar proporsi pertumbuhannya jika dibanding dengan kelompok pendapatan rendah. Pertumbuhan pendapatan kelompok menengah relatif seimbang dengan kelompok pendapatan rendah. Hal ini berakibat meningkatnya pangsa pendapatan kelompok RT pendapatan tinggi. Di pihak lain, pangsa pendapatan kelompok RT miskin dan menengah berkurang sehingga rasio Gini semakin besar, walaupun nilai pertambahan rasio Gini tersebut sangat rendah, yaitu masing-masing sebesar 0,0006 persen (investasi 10%), 0,001 persen (investasi 25%) dan 0,002 persen (investasi 50%).

Jika membandingkan indikator perubahan rasio pendapatan kelompok RT berpendapatan terendah terhadap pendapatan kelompok RT berpendapatan tertinggi dari masing-masing skenario terhadap kondisi awal, yaitu -0,003 persen (investasi 10%), - 0,006 persen (investasi 25%), dan -0,011 persen (investasi 50%), terlihat bahwa semakin besar investasi semakin besar kesenjangan. Selengkapnya, hal itu dapat dilihat pada Tabel

5.6, Gambar 5.3, Gambar 5.4, dan Gambar 5.5. Secara umum, semakin besar investasi air minum perpipaan, semakin meningkat pertumbuhan ekonomi. Di pihak lain, perubahan rasio Gini kecil sekali tetapi perubahan rasio pendapatan RT berpendapatan terendah terhadap RT berpendapatan tertinggi cukup signifikan. Akibatnya, investasi air minum perpipaan berdampak positip terhadap pertumbuhan ekonomi tetapi berakibat pada meningkatnya kesenjangan pendapatan.

Tabel. 5.6 Perubahan PDRB dan Pendapatan Rumah Tangga berdasar Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan

Simulasi

Skenario Peningkatan Investasi 1.1 – 1.2 - 1.3

Kondisi

Awal

50% Pertumbuhan Ekonomi

• PDRB (Rp. M)

194.440 194.620 • Perubahan (Rp. M)

Pendapatan per Kelompok RT Miskin

• Total pendapatan (Rp. M)

13.184 13.196 • Perubahan (Rp. M)

11,2580 11,2578 • Pendapatan/kapita (Rp.)

• Total pendapatan (Rp. M)

34.127 34.160 • Perubahan (Rp. M)

29,1423 29,1417 • Pendapatan/kapita (Rp.)

• Total pendapatan (Rp. M)

69.795 69.863 • Perubahan (Rp. M)

59,5997 59,6005 • Pendapatan/kapita (Rp.)

Distribusi Pendapatan

• Rasio Gini

0,001 0,002 • Rasio Pendapatan RT

0,035255 0,035253 terendah/RT tertinggi • Pertumbuhan (%)**

- 0,006 - 0,011 Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

Pertumbuhan Ekonomi dan Rasio Gini Pangsa Pendapatan per Kelompok RT Miskin berdasar Peningkatan Pendapatan per Kapita berdasar Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan Skenario Investasi Air Minum Perpipaan

Skenario Peningkatan Investasi Air Minum

bu m 0.15

i K ini 0.2 an 11.2581

0.597206 at 0.15

rt 11.2579 um ono 0.1

P E 0.05 R 0.05 P an g 11.2577

Invest asi 10%

invest asi 25%

invest asi 50%

Investasi 10% Investasi 25% Investasi 50%

S k e na r i o I n v e st a si ( %)

RT Miskin

Ske nario Inve stasi (%)

PDRB Rasio Gini

RT Miskin

RT Menengah

RT Tinggi

Aw al

Investasi 10% investasi 25% investasi 50%

5.3.2 Simulasi II: Peningkatan Investasi Air Minum Nonperpipaan

Peningkatan investasi air minum nonperpipaan masing-masing sebesar 10 persen,

25 persen, dan 50 persen menghasilkan pertumbuhan ekonomi dalam proporsi relatif sangat kecil yang ditunjukkan oleh peningkatan PDRB masing-masing sebesar 0,0003 persen, 0,0005 persen, dan 0,0008 persen.

Tabel. 5.7 Perubahan PDRB dan Pendapatan Rumah Tangga

berdasar Peningkatan Investasi Air Minum Nonperpipaan

Simulasi

Skenario Peningkatan Investasi 2.1 – 2.2 – 2.3

Kondisi

Awal

50% Pertumbuhan Ekonomi

194.226,1 • Perubahan (Rp. M)

• PDRB (Rp. M)

Pendapatan per Kelompok RT Miskin

• Total pendapatan (Rp. M)

13.168,9 13.168,9 • Perubahan (Rp. M)

11,2583 11,2583 • Pendapatan/kapita (Rp.)

• Total pendapatan (Rp. M)

34.088,9 34.089 • Perubahan (Rp. M)

29,1430 29,1430 • Pendapatan/kapita (Rp.)

• Total pendapatan (Rp. M)

69.713,1 69.713,3 • Perubahan (Rp. M)

59,5987 59,5987 • Pendapatan/kapita (Rp.)

Distribusi Pendapatan

0,597198 • Pertumbuhan (%)*

• Rasio Gini

0 0 0 • Rasio Pendapatan RT

0,03526 0,03526 terendah/RT tertinggi

• Pertumbuhan (%)** 0 0 0 Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

Pendapatan rumah tangga per kapita juga meningkat pada semua kategori. Akan tetapi, terlihat bahwa pertambahannya sangat kecil dan relatif sama untuk seluruh kelompok RT. Akibatnya, pangsa pendapatan setiap kelompok RT relatif tetap, yang ditunjukkan oleh perubahan rasio Gini dan perubahan rasio pendapatan RT berpendapatan terendah terhadap RT berpendapatan tertinggi yang mendekati nol. Dengan demikian, pertambahan investasi air minum nonperpipaan tidak mengakibatkan perubahan distribusi pendapatan. Selengkapnya, hal itu dapat dilihat pada Tabel 5.7.

Semakin besar investasi air minum nonperpipaan, semakin meningkat pertumbuhan ekonomi walaupun dalam proporsi yang kecil sekali. Di pihak lain, investasi air minum nonperpipaan tidak berpengaruh terhadap perubahan kesenjangan pendapatan. Akibatnya, investasi air minum nonperpipaan tidak mempunyai dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi maupun distribusi pendapatan.

5.3.3 Simulasi III : Penyediaan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum

Secara ringkas, simulasi peningkatan

Gambar 5.6 Pertumbuhan Ekonomi dan Rasio Gini

pajak air minum perpipaan dilakukan dalam dua

Skenario Peningkatan Pajak Air Minum

0 tahap, yaitu (i) peningkatan pajak masing-

-0.0005 Pajak 10% Pajak 25% Pajak 50% 0.59719840

a % -0.001

masing sebesar 10 persen, 25 persen dan 50

i( -0.0015

persen, (ii) perolehan dana dari pajak kemudian

rt onom k -0.0025

P e E -0.003

0.59719800 R

dialokasikan dalam bentuk subsidi pada

-0.0035 -0.004

kelompok rumah tangga miskin.

Pajak

Pada tahap awal, peningkatan pajak air

PDRB

Rasio Gini

minum perpipaan masing-masing sebesar 10

persen, 25 persen, dan 50 persen berdampak

Gambar 5.7

Perubahan Pendapatan RT berdasar Skenario Peningkatan Pajak Air MInum Perpipaan

pada menurunnya pertumbuhan ekonomi

0 masing-masing sebesar -0,0006 persen, -0,0017

at -0.001

persen dan -0,0036 persen. Di pihak lain, rasio

ap -0.0015 d

en -0.002

Gini walaupun menunjukkan terjadinya

-0.0025 P

an -0.003

perbaikan distribusi pendapatan, perubahannya

kat g -0.0035 in -0.004

juga terjadi dalam proporsi yang sangat kecil

P en -0.0045

RT Miskin RT Menengah RT Tinggi RT Miskin RT Menengah RT Tinggi

Secara umum, peningkatan pajak air minum perpipaan mempengaruhi beberapa indikator ekonomi yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan. Hal itu dimulai dengan peningkatan penerimaan pemerintah sebesar 0,0009 persen (pajak 10%) sampai 0,004 persen (pajak 50%). Peningkatan penerimaan pemerintah itu mempengaruhi peningkatan tabungan pemerintah, yaitu sebesar 0,015 persen (pajak 10%) sampai 0,074 persen (pajak 50%). Selanjutnya, konsumsi pemerintah meningkat walaupun kecil sekali sehingga pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi juga kecil.

Peningkatan pajak mempengaruhi output yang berkurang sebesar –0,0006 persen (pajak 10%) sampai –0,0037 persen (pajak 50%). Selanjutnya, hal itu mempengaruhi penerimaan faktor, baik tenaga kerja maupun modal, sehingga pendapatan rumah tangga juga menurun. Akibatnya, konsumsi rumah tangga menurun yang berkisar –0,0006 persen (pajak 10 %) sampai –0,0039 persen (pajak 50%). Penurunan konsumsi rumah tangga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Sebagaimana diketahui bahwa peningkatan pajak mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dari dua jalur, yaitu (a) jalur konsumsi rumah tangga dan (b) jalur konsumsi pemerintah termasuk transfer ke rumah tangga. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan pajak hanya mendorong konsumsi pemerintah yang sangat kecil. Sementara itu, pengaruhnya terhadap konsumsi rumah tangga, walaupun relatif kecil masih lebih besar dari pengaruh konsumsi pemerintah. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi menjadi negatip tetapi sangat kecil sehingga tidak signifikan.

Akibat dari peningkatan pajak air minum perpipaan adalah bahwa seluruh kelompok rumah tangga mengalami penurunan pendapatan. Kelompok rumah tangga berpendapatan tinggi mengalami penurunan lebih besar daripada rumah tangga miskin. Hal ini merupakan akibat dari besarnya konsumsi air minum rumah tangga berpendapatan tinggi relatif terhadap penduduk miskin. Walaupun kemudian secara keseluruhan perbedaan tersebut tidak berpengaruh terhadap rasio Gini yang relatif konstan. Selengkapnya, hal itu dapat dilihat pada Tabel 5.8.

Tabel. 5.8 Pengaruh Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan terhadap Indikator Ekonomi

Skenario Peningkatan Pajak 3.1 – 3.2 – 3.3 (Pra Subsidi)

50% Pertumbuhan Ekonomi

194.221 194.218 • Perubahan (Rp. M)

• PDRB (Rp. M)

- 3,3 - 7,0 • Pertumbuhan (%)

Total Investasi

• Jumlah (Rp. M)

59.126,3 59.125,1 • Perubahan (Rp. M)

- 1,0 - 2,2 • Pertumbuhan (%)

Penerimaan Pemerintah

• Jumlah (Rp. M)

13.991,7 13.992,0 • Perubahan (Rp. M)

Tabungan Total Tabungan

59.126,4 59.125,5 • Perubahan (Rp. M)

• Jumlah (Rp. M)

- 0,840 - 1,800 • Pertumbuhan (%)

Tabungan RT

5.538,5 5.538,4 • Perubahan (Rp. M)

• Jumlah (Rp. M)

- 0,1 - 0,2 • Pertumbuhan (%)

Tabungan Pemerintah

• Jumlah (Rp. M)

767,4 767,7 • Perubahan (Rp. M)

Output • Total

Jumlah (Rp. M)

Perubahan (Rp. M)

• Air Minum Perpipaan

• Jumlah (Rp. M)

472,72 472,71 • Perubahan (Rp. M)

• Air Minum Non Perpipaan

• Jumlah (Rp. M)

Perubahan (Rp. M)

Pertumbuhan (%)

- 0,0018 - 0,0038

Skenario Peningkatan Pajak 3.1 – 3.2 – 3.3 (Pra Subsidi)

Simulasi

Kondisi

50% Konsumsi Rumah Tangga

• Jumlah (Rp. M)

99.491,1 99.489,1 • Perubahan (Rp. M)

- 1,800 - 3,9 • Pertumbuhan (%)

• Air Minum Perpipaan

• Jumlah (Rp. M)

86,08 86,1 • Perubahan (Rp. M)

- 0,001 - 0,0030 • Pertumbuhan (%)

• Air Minum Non Perpipaan

36,115 36,114 • Perubahan (Rp. M)

• Jumlah (Rp. M)

- 0,0007 - 0,001 • Pertumbuhan (%)

Pendapatan Faktor • Modal Air Minum perpipaan

• Jumlah (Rp. M)

175,3 175,2 • Perubahan (Rp. M)

- 0,215 - 0,432 • Pertumbuhan (%)

• Modal Lainnya

• Jumlah (Rp. M)

128.732,7 128.730,6 • Perubahan (Rp. M)

-1,9 - 4,1 • Pertumbuhan (%)

Pendapatan Rumah Tangga Miskin

• Total pendapatan (Rp. M)

13.168,6 13.168,3 • Perubahan (Rp. M)

- 0,2 - 0,5 • Pangsa (%)

11,2583 11,2584 • Pendapatan/kapita (Rp.)

• Total pendapatan (Rp. M)

34.088,1 34.087,4 • Perubahan (Rp. M)

- 0,6 - 1,3 • Pangsa (%)

29,1431 29,1430 • Pendapatan/kapita (Rp.)

• Total pendapatan (Rp. M)

69.711,4 69.709,9 • Perubahan (Rp. M)

- 1,3 - 2,8 • Pangsa (%)

59,5986 59,5986 • Pendapatan/kapita (Rp.)

Distribusi Pendapatan

• Rasio Gini

- 0,00004 - 0,00008 Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

Sebagai catatan, pengaruh peningkatan pajak air minum perpipaan terhadap indikator ekonomi terlihat relatif kecil karena sumbangan sektor air minum terhadap PDRB DKI Jakarta sendiri relatif kecil, yaitu hanya berkisar pada angka 2 persen. Selain itu, cakupan layanan air minum perpipaan masih berada pada kisaran 50 persen dari total penduduk DKI Jakarta.

Skenario berikutnya adalah bahwa hasil pajak air minum didistribusikan kembali ke penduduk miskin. Pemberian subsidi tidak diwujudkan dalam bentuk tunai, tetapi dalam model didistribusikan melalui penambahan konsumsi air minum untuk masing- masing kelompok yang mendapat subsidi sesuai dengan pangsa konsumsinya.

Penduduk yang mendapat subsidi terdiri dari empat kelompok rumah tangga (RT) terbawah, yaitu (i) RT sangat miskin I (VEPOIHH), (ii) RT sangat miskin II (VEPOIIHH), (iii) RT miskin I (POORIHH), dan (iv) RT miskin II (POORIIHH). Dalam simulasi, penerima subsidi dibedakan berdasarkan jumlah kelompok penerima, yaitu sebagai berikut. Skenario I kelompok penerima terdiri dari hanya satu kelompok RT, yaitu RT sangat miskin I (VEPOIHH). Skenario II kelompok penerima terdiri dari seluruh kelompok RT yang dikategorikan miskin, yaitu empat kelompok RT terbawah.

Penyediaan subsidi bagi rumah tangga miskin dari hasil peningkatan pajak air minum perpipaan yang masing-masing sebesar 10 persen, 25 persen, dan 50 persen berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan yang sangat kecil, yaitu minimum –0,0001 persen (pajak 10%-subsidi bagi RT I) sampai –0,0008 persen (pajak 50%-subsidi bagi RT I-IV). Namun, tingkat pertumbuhan ini lebih baik dari kondisi awal ketika peningkatan pajak air minum perpipaan tidak disertai penyediaan subsidi.

Pendapatan per kapita RT miskin meningkat antara 0,001–0,004 persen sementara pendapatan per kapita RT menengah dan RT pendapatan tinggi menurun antara - 0,0001 persen sampai –0,001 persen sehingga pangsa pendapatan kelompok rumah tangga miskin meningkat walaupun dalam proporsi yang sangat kecil. Akibatnya, rasio Gini mengecil yang menunjukkan terjadinya perbaikan distribusi pendapatan walaupun proporsi perubahannya juga sangat kecil, yaitu antara –0,0003 persen (pajak 10%-subsidi RT I) sampai –0,002 persen (pajak 50%-subsidi RT I). Rasio Gini menjadi sedikit lebih

Tabel. 5.9

Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan

Skenario Penyediaan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

Simulasi

Peningkatan Pajak 3.1 3.2

Peningkatan Pajak 10%

Peningkatan Pajak

Penerima Subsidi

RT I RT I – IV Pertumbuhan Ekonomi

RT I

RT I-IV

RT I

RT I-IV

• PDRB (Rp. M)

194.224 194.224 194.223 • Perubahan (Rp. M)

• Pertumbuhan (%) - 0.0001

- 0,0004 - 0,0004 - 0,0008

Pendapatan per Kelompok RT Miskin

13.169,5 13.169,4 • Perubahan (Rp. M)

• Total pendapatan (Rp. M)

11,2586 11,2588 11,2588 • Pendapatan/kapita (Rp.)

34.088.5 34.088,3 • Perubahan (Rp. M)

• Total pendapatan (Rp. M)

- 0,170 - 0,200 - 0,354 • Pangsa (%)

29,1430 29,1429 29,1429 • Pendapatan/kapita (Rp.)

- 0,0005 - 0.0006 - 0,001

Tinggi

• Total pendapatan (Rp. M)

69.712,2 69.711,9 • Perubahan (Rp. M)

-0,38 - 0,45 - 0,77 • Pangsa (%)

59,5985 59,5983 59,5983 • Pendapatan/kapita (Rp.)

- 0,0006 - 0.0007 - 0,001

Distribusi Pendapatan

• Rasio Gini

- 0,0006 - 0,0016 - 0,001 • Rasio Pendapatan RT

0,18891 0,18891 0,18891 miskin/RT tinggi • Pertumbuhan (%)**

0,003 0,006 0,006 Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

Perubahan Pendapatan RT berdasar Penyediaan Subsidi Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

Pertumbuhan Ekonomi Skenario Subsidi dari

Rasio Gini

Skenario Subsidi dari

dari Peningkatan Pajak Air Minum

Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

(Skenario RT I dan RT I-IV)

Pajak 10% Pajak 25%

in i 0.597196

nR 0.003

RT Miskin (RT I)

ne

(% -0.0005

0.597194 G a ta p

uha b s io

RT Miskin (RTI-IV)

RT Menengah (RT I)

RT Menengah (RT I-IV)

RT Tinggi (RT I) -0.001

a 0.597188

rub e 0

RT Tinggi (RT I-IV)

Pajak 50% pertumbuhan ekonomi RT I RT I-IV RT I RT I-IV

Pajak 10%

Pajak 25% Pajak 25%

Walaupun dampaknya tidak signifikan tetapi penyediaan subsidi dari hasil peningkatan pajak air minum perpipaan bagi kelompok RT miskin mengakibatkan laju pertumbuhan yang lebih baik daripada ketika peningkatan pajak diterapkan tanpa alokasi subsidi. Hal ini menunjukkan bahwa manfaat dari subsidi lebih kecil daripada biaya peningkatan pajak yang harus ditanggung.

Secara umum, pemberian subsidi baik pada RT termiskin maupun seluruh RT miskin hanya berdampak signifikan terhadap pertumbuhan rasio pendapatan RT miskin terhadap RT berpendapatan tinggi jika investasi air minum perpipaan sebesar 50 persen. Hal ini menegaskan bahwa subsidi yang didistribusikan hanya bermanfaat bagi kelompok pendapatan rendah jika pajak yang diterapkan mencapai 50 persen.

Pemberian subsidi pada lebih banyak kelompok RT miskin (RT I-IV) daripada hanya RT termiskin (RT I) tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi maupun distribusi pendapatan.

5.3.4 Simulasi IV : Subsidi dari Dana Pemerintah Pusat

Berbeda dengan simulasi sebelumnya yang sumber dana berasal dari pajak, pada simulasi ini sumber dana berasal dari pemerintah pusat. Simulasi dilakukan dengan menyediakan dana subsidi yang setara dengan hasil pajak air minum perpipaan sebesar masing-masing Rp.0,149 miliar, Rp.0,37 miliar, dan Rp.0,74 miliar.

Sebagaimana simulasi sebelumnya, pada simulasi ini dilakukan pembedaan terhadap penerima subsidi, yaitu kelompok RT miskin I dan kelompok RT miskin I sampai RT miskin IV.

Penyediaan subsidi bagi penduduk miskin dari dana pemerintah pusat hanya mengakibatkan peningkatan laju pertumbuhan ekonomi yang sangat kecil, yaitu sebesar minimum 0,0009 persen dan maksimum 0,0042 persen (subsidi bagi RT I) dan minimum 0,0007 persen sampai 0,0035 persen (subsidi bagi RT I-IV).

Penyediaan subsidi mengakibatkan laju pertumbuhan pendapatan kelompok RT miskin meningkat sebesar 0,002 sampai 0,01 persen. Sementara itu, laju pertumbuhan pendapatan kelompok RT menengah dan RT pendapatan tinggi hanya berkisar 0,0007 persen sampai 0,004 persen. Akibatnya, berbeda dengan pangsa pendapatan kelompok RT

Tabel. 5.10

Perubahan PDRB dan Pendapatan Rumah Tangga berdasar

Penyediaan Subsidi dari Pemerintah Pusat

Simulasi

Subsidi Rp. 0,74 M 4.1 4.2

Subsidi Rp. 0,149 M

Subsidi Rp. 0,37 M

Penerima Subsidi

RT I RT I – IV Pertumbuhan Ekonomi

RT I

RT I-IV

RT I

RT I-IV

• PDRB (Rp. M)

194.228 194.232,7 194.231,4 • Perubahan (Rp. M)

Pendapatan per Kelompok RT

Miskin

13.169,4 13.170,1 13.170,4 • Perubahan (Rp. M)

• Total pendapatan (Rp. M)

11,2585 11,2588 11,2588 • Pendapatan/kapita (Rp.)

• Total pendapatan (Rp. M)

34.089.3 34.090.1 34.089.8 • Perubahan (Rp. M)

29,1429 29,1428 29,1428 • Pendapatan/kapita (Rp.)

• Total pendapatan (Rp. M)

69.713,9 69.715,7 69.715,2 • Perubahan (Rp. M)

59,5985 59,5984 59,5983 • Pendapatan/kapita (Rp.)

Distribusi Pendapatan

0,597195 0,597190 0,597192 • Pertumbuhan (%)*

• Rasio Gini

- 0,0005 - 0,002 - 0,001 • Rasio Pendapatan RT

0,18891 0,18891 0,18891 miskin/RT tinggi • Pertumbuhan (%)**

0,003 0,005 0,005 Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal ** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

Gambar 5.13 Pertumbuhan Ekonomi

Gambar 5.11

Gambar 5.12

Rasio Gini

Pertumbuhan Pendapatan RT/Kapita berdasar Skenario Subsidi dariPemerintah Pusat

Skenario Subsidi dari Pemerintah Pusat

Skenario Subsidi dari Pemerintah Pusat

i in 0.597195

RT Miskin (RT I)

uha

RT Miskin (RT I-IV)

um 0.006

b Ra 0.59719

RT Menengah (RT I)

P e rt

RT Menengah (RT I-IV) 0.002

RT Tinggi (RT I) Rp. 0,149 M

Rp.0,37 M

Rp.0,74 M

aw al

Rp. 0,149 M

Rp.0,37 M

Rp.0,74 M

RT Tinggi (RT I-IV)

Subsidi

Subsidi

0 Rp. 0,149 M

Rp.0,37 M

Rp.0,74 M

Subsidi RT I Subsidi RT I-IV

RT I

RT I-IV RT I-IV

skenario. Hal ini terlihat dari meningkatnya rasio pangsa pendapatan RT berpendapatan terendah terhadap RT berpendapatan tertinggi.

Walaupun terlihat distribusi pendapatan menjadi lebih baik jika subsidi diberikan pada RT I daripada jika diberikan pada RT I-IV, tetapi perubahannya tidak signifikan. Selengkapnya, hal itu dapat dilihat pada Tabel 5.10, Gambar 5.11, Gambar 5.12 dan Gambar 5.13.

Secara umum, pemberian subsidi baik pada RT termiskin maupun seluruh RT miskin hanya berdampak signifikan terhadap pertumbuhan rasio pendapatan RT miskin terhadap RT berpendapatan tinggi jika subsidi pusat sebesar Rp.0,74 miliar.

Kondisi rasio Gini yang membaik dan pangsa pendapatan kelompok RT miskin yang meningkat dengan semakin besarnya subsidi menegaskan peran subsidi yang signifikan dalam mengurangi kesenjangan pendapatan.

5.3.5 Simulasi V : Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan dan Penyediaan Subsidi dari Pajak Air Minum Perpipaan

Simulasi V merupakan simulasi gabungan antara investasi air minum perpipaan dan subsidi. Simulasi dilakukan dengan memadankan kombinasi investasi air minum perpipaan sebesar 10 persen, 25 persen, dan 50 persen dengan subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan sebesar 10 persen, 25 persen, dan 50 persen. Sebagaimana simulasi sebelumnya, pada simulasi ini dilakukan pembedaan penerima subsidi, yaitu kelompok penerima pertama (RT I) dan kelompok penerima kedua (RT I–IV).

A. Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan (10 persen) dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

Peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 10 persen disertai subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan menghasilkan laju pertumbuhan ekonomi yang meningkat sebesar minimum 0,0468 persen (pajak 50%, subsidi bagi RT I) dan maksimum 0,0470 persen (pajak 10%, subsidi bagi RT I) dan 0,0463 persen (pajak 50%, subsidi bagi RT I-IV) sampai 0,0469 persen (pajak 10%, subsidi bagi RT I-IV). Peningkatan subsidi dari pajak air minum perpipaan, baik untuk RT I maupun RT I-IV, tidak mengakibatkan perubahan yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Tabel 5.11

Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 10 Persen dan Penyediaan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

Skenario

Peningkatan Pajak

Peningkatan Pajak 25%

Peningkatan Pajak 50%

Investasi Investasi

AM Perpi-

AM

Perpi-

AM Perpi-

AM Perpi- AM Perpi-

5.5 paan dan

paan dan

Subsidi

paan dan

paan dan

paan dan

paan dan 5.6

Subsidi Subsidi

RT I RT I-IV Pertumbuhan Ekonomi

RT I

RT I-IV

RT I

RT I-IV

194.315,4 194.314,6 • Perubahan (Rp. M)

• PDRB (Rp. M)

Pendapatan per Kelompok RT

Miskin

13.175,8 13.175,8 • Perubahan (Rp. M)

• Total pendapatan (Rp. M)

11,2587 11,2587 • Pendapatan/kapita (Rp.)

• Total pendapatan (Rp. M)

34.104,9 34.104,7 • Perubahan (Rp. M)

29,1426 29,1426 • Pendapatan/kapita (Rp.)

• Total pendapatan (Rp. M)

69.747,1 69.746,7 • Perubahan (Rp. M)

59,5987 59,5987 • Pendapatan/kapita (Rp.)

Distribusi Pendapatan

• Rasio Gini

- 0,001 - 0,0006 • Rasio Pendapatan RT

0,18891 0,18891 miskin/RT tinggi • Pertumbuhan (%)**

0,004 0,004 Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

Gamb ar 5.14 Gam bar 5.16 Pert umb uhan Eko no mi

Gamb ar 5.15

Skenar io Invest asi ( 10 %) d an Sub sid i d ari

Pertum buhan Pendapatan RT/Kapita berdasar Pening kat an Pajak A ir M inum Perp ip aan

R asio Gini

Skenario Invest asi ( 10 %) d an Sub sid i d ari

Pening kat an Pajak A ir M inum Perp ip aan

Skenario Investasi (10%) dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum

RT Miskin (RT I)

0.05 0.0466 RT Miskin (RT I-IV)

RT Menengah (RT I)

RT Menengah (RT I-

Pajak 10% Pajak 25%

RT Tinggi (RT I)

Pajak 25% Pajak 50%

RT Tinggi (RT I-IV)

Investasi dan Subsidi RT I Investasi dan Subsi di RTI-IV

RT I

RT I-IV

Walaupun pada awalnya pertumbuhan pendapatan per kapita rumah tangga miskin lebih kecil daripada rumah tangga pendapatan tinggi, tetapi dengan semakin meningkatnya pajak air minum, pertumbuhan pendapatan per kapita rumah tangga miskin cenderung meningkat lebih besar daripada rumah tangga menengah dan rumah tangga pendapatan tinggi. Akibatnya, pangsa pendapatan rumah tangga miskin semakin meningkat sehingga rasio Gini semakin membaik. Walaupun demikian, peningkatan pangsa pendapatan rumah tangga miskin tidak mengakibatkan perubahan yang berarti terhadap rasio Gini maupun rasio pendapatan rumah tangga miskin terhadap rumah tangga pendapatan tinggi.

Secara umum, peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 10 persen yang disertai penyediaan subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan sebesar 10 persen,

25 persen, dan 50 persen, baik bagi RT I maupun RT I-IV, hanya berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, peningkatan subsidi dari pajak air minum perpipaan tidak berdampak signifikan terhadap perubahan pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan.

B. Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan (25 persen) dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

Peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 25 persen disertai subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan mengakibatkan laju pertumbuhan ekonomi yang meningkat sebesar minimum 0,1107 persen (pajak 50%, subsidi bagi RT I) dan maksimum 0,1111 persen (pajak 10%, subsidi bagi RT I) dan 0,1103 persen (pajak 50%, subsidi bagi RT I-IV) sampai 0,1110 persen (pajak 10%, subsidi bagi RT I-IV). Peningkatan subsidi dari pajak air minum perpipaan, baik untuk RT I maupun RT I-IV, tidak mengakibatkan perubahan yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Selengkapnya, hal itu dapat dilihat pada Tabel 5.12.

Pertumbuhan pendapatan per kapita rumah tangga miskin meningkat dengan semakin meningkatnya pajak air minum, sementara pertumbuhan pendapatan per kapita rumah tangga pendapatan tinggi cenderung menurun. Sementara itu, pendapatan per kapita rumah tangga menengah cenderung tetap. Akibatnya, pangsa pendapatan rumah tangga miskin semakin meningkat sehingga rasio Gini semakin membaik. Walaupun demikian, peningkatan pangsa pendapatan rumah tangga miskin tidak mengakibatkan perubahan yang berarti terhadap rasio Gini maupun rasio pendapatan rumah tangga miskin terhadap

Tabel 5.12

Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 25 Persen dan Penyediaan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

Skenario

Peningkatan Pajak

Peningkatan Pajak 25%

Peningkatan Pajak

Investasi Investasi

5.10 AM perpi-

AM Perpi-

AM Perpi-

AM Perpi-

AM Perpi- AM Perpi-

5.11 paan dan

paan dan

paan dan

paan dan

paan dan paan dan

Subsidi Subsidi

RT I RT I-IV Pertumbuhan Ekonomi

RT I

RT I-IV

RT I

RT I-IV

194.439,7 194.438,8 • Perubahan (Rp. M)

• PDRB (Rp. M)

Pendapatan per Kelompok RT

Miskin

• Total pendapatan (Rp. M)

13.184,5 13.184,4 • Perubahan (Rp. M)

11,2586 11,2586 • Pendapatan/kapita (Rp.)

0,119 0,118 Menengah • Total pendapatan (Rp. M)

34.127,2 34.127,0 • Perubahan (Rp. M)

29,1421 • 29,1421 Pendapatan/kapita (Rp.)

69.794,4 69.794,0 • Perubahan (Rp. M)

• Total pendapatan (Rp. M)

59,5993 59,5993 • Pendapatan/kapita (Rp.)

Distribusi Pendapatan

0,597197 0,597199 • Pertumbuhan (%)*

• Rasio Gini

0,0003 0,0002 • Rasio Pendapatan RT

0,18890 0,18890 miskin/RT tinggi • Pertumbuhan (%)**

0,002 0,002 Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal ** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

Gam bar 5.19 Per t umb uhan Eko no mi

Gamb ar 5.17

Gambar 5.18

Pertum buhan Pendapatan RT/Kapita berdasar Skenar io Invest asi ( 2 5%) d an Sub sid i d ar i

Rasio Gini

Skenario Investasi (25%) dan Subsidi dari Pening kat an Pajak A ir M inum Per p ip aan

Skenario Investasi (25%) dan Subsidi dari

Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

Peningkatan Pajak Air Minum

RT Miskin (RT I)

ini 0.597202

RT Miskin (RT I-IV)

RT Menengah (RT I)

RT Menengah (RT I-

Paj ak 10% Pajak 25%

Pajak 50%

RT Tinggi (RT I)

Pajak 25% Pajak 50% Investasi dan Subsidi RT I

Pajak 10%

RT Tinggi (RT I-IV)

Investasi dan Subsi di RTI-IV

RT I

RT I-IV RT I-IV

Secara umum, peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 25 persen yang disertai penyediaan subsidi dari pajak air minum perpipaan sebesar 10 persen, 25 persen dan 50 persen, baik bagi RT I maupun RT I-IV, hanya berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, peningkatan subsidi tidak memberi dampak yang berarti terhadap perubahan pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan.

Jika dibandingkan dengan simulasi sebelumnya ketika investasi air minum perpipaan yang sebesar 10 persen, ternyata hasilnya tidak berbeda kecuali bahwa laju pertumbuhan ekonomi relatif lebih besar sementara tidak terjadi perubahan distribusi pendapatan yang signifikan. Hal itu menunjukkan bahwa subsidi yang disediakan walaupun tidak mengakibatkan membaiknya distribusi pendapatan tetapi tetap dapat mempertahankan distribusi pendapatan awal.

C. Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan (50 persen) dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

Peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 50 persen disertai subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan menghasilkan laju pertumbuhan ekonomi yang meningkat sebesar minimum 0,2036 persen (pajak 50%, subsidi bagi RT I) dan maksimum 0,2041 persen (pajak 10%, subsidi bagi RT I), dan 0,2032 persen (pajak 50%, subsidi bagi RT I-IV) sampai 0,2040 persen (pajak 10%, subsidi bagi RT I-IV). Peningkatan subsidi dari pajak air minum perpipaan, baik untuk RT I maupun RT I-IV, tidak mengakibatkan perubahan yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Selengkapnya, hal itu dapat dilihat pada Tabel 5.13.

Ketika subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan sebesar 10 persen dan

25 persen, pangsa pendapatan RT miskin lebih rendah dari kondisi awal sehingga rasio pendapatan RT miskin terhadap RT pendapatan tinggi menjadi lebih rendah. Akibatnya, distribusi pendapatan menjadi semakin buruk secara signifikan. Walaupun pertumbuhan pendapatan per kapita RT miskin meningkat dengan semakin meningkatnya pajak air minum, sementara pertumbuhan pendapatan per kapita RT menengah dan RT pendapatan tinggi cenderung menurun, tetapi peningkatan subsidi sampai sebesar 50 persen hanya

Tabel 5.13

Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 50 Persen dan Penyediaan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

Skenario

Peningkatan Pajak

Peningkatan Pajak 25%

Peningkatan Pajak

Investasi Investasi

5.16 AM perpi-

AM Perpi-

AM Perpi-

AM Perpi-

AM Perpi- AM Perpi-

5.17 paan dan

paan dan

paan dan

paan dan

paan dan paan dan

Subsidi Subsidi

RT I RT I-IV Pertumbuhan Ekonomi

RT I

RT I-IV

RT I

RT I-IV

194.620,1 194.619,3 • Perubahan (Rp. M)

• PDRB (Rp. M)

Pendapatan per Kelompok RT

Miskin

13.197,0 13.196,9 • Perubahan (Rp. M)

• Total pendapatan (Rp. M)

11,2583 11,2583 • Pendapatan/kapita (Rp.)

• Total pendapatan (Rp. M)

34.159,6 34.159,4 • Perubahan (Rp. M)

29,1415 29,1415 • Pendapatan/kapita (Rp.)

• Total pendapatan (Rp. M)

69.863,1 69.862,7 • Perubahan (Rp. M)

59,6001 59,6001 • Pendapatan/kapita (Rp.)

Distribusi Pendapatan

• Rasio Gini

0,0008 0,0013 • Rasio Pendapatan RT

0,18890 0,18890 miskin/RT tinggi • Pertumbuhan (%)**

- 0,002 - 0,002 Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

Gam bar 5.21 Gam bar 5.22

Gamb ar 5.2 0

Pertum buhan Pendapatan RT/Kapita berdasar Skenario Invest asi ( 50 %) d an Sub sid i d ari

Pert umb uhan Eko no mi

Rasio Gini

Skenario Investasi (50%) dan Subsidi dari Skenario Investasi (50%) dan Subsidi dari

Pening kat an Pajak A ir M inum Perp ip aan

Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan Peningkatan Pajak Air Minum

RT Miskin (RT I) 0.2039

RT Miskin (RT I-IV)

RT Menengah (RT I) 0.2033

IV) Pajak 10%

RT Menengah (RT I-

RT Tinggi (RT I)

Investasi dan Subsidi RT I Investasi dan Subsi di RTI-IV RT Tinggi (RT I-IV)

RT I-IV RT I-IV

Secara umum, peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 50 persen yang disertai penyediaan subsidi, baik bagi RT I maupun RT I-IV, berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi maupun distribusi pendapatan. Akan tetapi, dampaknya terhadap distribusi pendapatan hanya signifikan jika subsidi dari pajak air minum perpipaan sebesar 10 persen dan 25 persen.

Jika dibandingkan dengan simulasi sebelumnya ketika investasi air minum perpipaan yang sebesar 10 persen dan 25 persen, ternyata hasilnya berbeda. Peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 50 persen yang disertai subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan sebesar 10 persen dan 25 persen mengakibatkan semakin memburuknya distribusi pendapatan. Hal itu menunjukkan bahwa subsidi yang disediakan tidak dapat mengimbangi pengaruh investasi air minum perpipaan.

5.3.6 Simulasi VI : Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan dan Penyediaan Subsidi dari Dana Pemerintah Pusat

Simulasi VI merupakan simulasi gabungan antara investasi air minum perpipaan dan subsidi. Subsidi dilakukan dengan memadankan kombinasi investasi air minum perpipaan sebesar 10 persen, 25 persen, 50 persen dengan subsidi dari dana pemerintah pusat yang setara dengan pajak air minum perpipaan 10 persen, 25 persen dan 50 persen, yaitu sebesar Rp.0,149 miliar, Rp.0,37 miliar, dan Rp.0,74 miliar. Sebagaimana simulasi sebelumnya, pada simulasi ini dilakukan pembedaan penerima subsidi, yaitu kelompok penerima tipe pertama (RT I) dan kelompok penerima tipe kedua (RT I-IV).

A. Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan (10 persen) dan Subsidi dari Pemerintah Pusat

Peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 10 persen disertai subsidi dari pemerintah pusat menghasilkan laju pertumbuhan ekonomi yang meningkat sebesar minimum 0,0493 persen dan maksimum 0,0522 persen (subsidi bagi RT I) dan minimum 0,0477 persen sampai maksimum 0,0504 persen (subsidi bagi RT I-IV). Peningkatan subsidi dari pemerintah pusat, baik untuk RT I maupun RT I-IV, tidak mengakibatkan perubahan yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Tabel 5.14

Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 10 Persen

dan Penyediaan Subsidi dari Pemerintah Pusat

Skenario

Dana Pusat

Dana Pusat

Dana Pusat

6.1 Rp. 0,149 M

Rp. 0,370 M

Rp. 0,74 M

Investasi Investasi

6.4 AM perpi-

AM Perpi-

AM Perpi-

AM Perpi-

AM Perpi- AM Perpi-

6.5 paan dan

paan dan

paan dan

paan dan

paan dan paan dan

Subsidi Subsidi

RT I RT I-IV Pertumbuhan Ekonomi

RT I

RT I-IV

RT I

RT I-IV

194.326,0 194.322,4 • Perubahan (Rp. M)

• PDRB (Rp. M)

Pendapatan per Kelompok RT

Miskin

• Total pendapatan (Rp. M)

13.176,6 13.176,3 • Perubahan (Rp. M)

11,2587 11,2587 • Pendapatan/kapita (Rp.)

34.106,8 34.106,2 • Perubahan (Rp. M)

• Total pendapatan (Rp. M)

29,1425 29,1425 • Pendapatan/kapita (Rp.)

• Total pendapatan (Rp. M)

69.751,2 69.749,8 • Perubahan (Rp. M)

59,5988 59,5988 • Pendapatan/kapita (Rp.)

Distribusi Pendapatan

0,597193 0,597194 • Pertumbuhan (%)*

• Rasio Gini

- 0,0009 - 0,0006 • Rasio Pendapatan RT

0,18891 0,18891 miskin/RT tinggi • Pertumbuhan (%)**

0,005 0,005 Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal ** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

Gambar 5.25 Pert umb uhan Eko no mi

Gamb ar 5.2 3

Gamb ar 5.2 4

Pertum buhan Pendapatan RT/Kapita berdasar Skenario Invest asi ( 10 %) d an Sub sid i d ari

R asio Gini

Skenario Invest asi ( 10 %) d an Sub sid i d ari

D ana Pemerint ah Pusat

D ana Pemer int ah Pusat

Skenario Investasi (10%) dan Subsidi dari Dana Pemerintah Pusat

RT Miskin (RT I)

RT Miskin (RT I-IV) 0.0495

RT Menengah (RT I) 0.0485

RT Menengah (RT I- 0.0475

IV) 0,149 M

RT Tinggi (RT I)

RT Tinggi (RT I-IV) Investasi dan Subsidi RT I

0,149 M

0,37 M 0,74 M

Investasi dan Subsi di RTI-IV

RT I

RT I-IV

Walaupun pada awalnya pertumbuhan pendapatan per kapita rumah tangga miskin relatif sama dengan rumah tangga pendapatan tinggi, tetapi dengan semakin meningkatnya pajak air minum, pertumbuhan pendapatan per kapita rumah tangga miskin cenderung

meningkat lebih besar daripada rumah tangga menengah dan rumah tangga pendapatan tinggi. Akibatnya, pangsa pendapatan rumah tangga miskin semakin meningkat sehingga rasio Gini semakin membaik. Walaupun demikian, peningkatan pangsa pendapatan rumah tangga miskin tidak mengakibatkan perubahan yang berarti terhadap rasio Gini dan rasio pendapatan rumah tangga miskin terhadap rumah tangga pendapatan tinggi.

Secara umum, peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 10 persen yang disertai penyediaan subsidi dari pemerintah pusat sebesar Rp.0,149 miliar, Rp.0,37 miliar dan Rp.0,74 miliar, baik bagi RT I maupun RT I-IV, hanya berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, ketika subsidi sebesar Rp.0,74 miliar terjadi perubahan signifikan pada rasio pendapatan rumah tangga miskin terhadap rumah tangga pendapatan tinggi sehingga distribusi pendapatan semakin baik.

B. Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan (25 persen) dan Subsidi dari Pemerintah Pusat

Peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 25 persen disertai subsidi dari pemerintah pusat menghasilkan laju pertumbuhan ekonomi yang meningkat sebesar minimum 0,1134 persen dan maksimum 0,1163 persen (subsidi bagi RT I) dan minimum 0,1118 persen sampai maksimum 0,1144 persen (subsidi bagi RT I-IV). Peningkatan subsidi dari pemerintah pusat, baik untuk RT I maupun RT I-IV, tidak mengakibatkan perubahan yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Selengkapnya, hal itu dapat dilihat pada Tabel 5.15.

Pada saat subsidi mencapai Rp.0,37 miliar, pertumbuhan pendapatan per kapita RT miskin cenderung meningkat lebih besar daripada RT menengah, tetapi masih lebih rendah daripada RT pendapatan tinggi. Akan tetapi, setelah subsidi mencapai Rp.0,74 miliar, pertumbuhan pendapatan per kapita RT miskin telah melebihi pertumbuhan pendapatan per kapita RT menengah dan RT pendapatan tinggi. Akibatnya, pangsa pendapatan RT miskin semakin meningkat, dari kondisi yang lebih buruk menjadi lebih baik dari kondisi awal. Penambahan subsidi tersebut ternyata hanya mengakibatkan perubahan rasio Gini dan rasio pendapatan rumah tangga miskin terhadap rumah tangga

Tabel 5.15

Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 25 Persen

dan Penyediaan Subsidi dari Pemerintah Pusat

Skenario

Dana Pusat

Dana Pusat

Dana Pusat

6.7 Rp. 0,149 M

Rp. 0,370 M

Rp. 0,74 M

Investasi Investasi

6.10 AM perpi-

AM Perpi-

AM Perpi-

AM Perpi-

AM Perpi- AM Perpi-

6.11 paan dan

paan dan

paan dan

paan dan

paan dan paan dan

Subsidi Subsidi

RT I RT I-IV Pertumbuhan Ekonomi

RT I

RT I-IV

RT I

RT I-IV

194.450,5 194.446,8 • Perubahan (Rp. M)

• PDRB (Rp. M)

Pendapatan per Kelompok RT

Miskin

• Total pendapatan (Rp. M)

13.185,2 13.185,0 • Perubahan (Rp. M)

11,2585 11,2586 • Pendapatan/kapita (Rp.)

• Total pendapatan (Rp. M)

34.129,1 34.128,5 • Perubahan (Rp. M)

29,1421 29,1421 • Pendapatan/kapita (Rp.)

• Total pendapatan (Rp. M)

69.798,6 69.797,2 • Perubahan (Rp. M)

59,5994 59,5994 • Pendapatan/kapita (Rp.)

Distribusi Pendapatan

• Rasio Gini

- 0,0002 0,0001 • Rasio Pendapatan RT

0,1889 0,1889 miskin/RT tinggi • Pertumbuhan (%)**

0,001 0,001 Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal ** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

Gamb ar 5.2 6

Gambar 5.28 Pert umb uhan Eko no mi

Gamb ar 5.2 7

Pertum buhan Pendapatan RT per Kapita berdasar Skenario Invest asi ( 2 5%) d an Sub sid i d ari

R asio Gini

Skenar io Invest asi ( 2 5%) d an Sub sid i d ari Skenario Investasi (25%) dan Subsidi dari Dana

D ana Pemerint ah Pusat

D ana Pemer int ah Pusat

Pemerintah Pusat

RT Miskin (RT I)

RT Miskin (RT I-IV) 0.11375

RT Menengah (RT I) 0.11275

RT Menengah (RT I- IV)

0,149 M 0,37 M

RT Tinggi (RT I)

RT Tinggi (RT I-IV) Investasi dan Subsidi RT I

0,149 M

0,37 M 0,74 M

Investasi dan Subsidi RTI-IV

RT I

RT I-IV RT I-IV

Secara umum, peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 25 persen yang disertai penyediaan subsidi dari pemerintah pusat sebesar Rp.0,149 miliar, Rp.0,37 miliar dan Rp.0,74 miliar, baik bagi RT I maupun RT I-IV, hanya berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, peningkatan subsidi tidak memberi dampak yang berarti terhadap perubahan pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan.

Jika dibandingkan dengan simulasi sebelumnya ketika investasi air minum perpipaan yang sebesar 10 persen, ternyata hasilnya sedikit berbeda. Selain bahwa laju pertumbuhan ekonomi relatif lebih besar, pada simulasi ini tidak terjadi perubahan distribusi pendapatan yang signifikan. Hal itu menunjukkan bahwa subsidi yang disediakan walaupun tidak mengakibatkan membaiknya distribusi pendapatan tetapi tetap dapat mempertahankan distribusi pendapatan awal.

C. Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan (50 persen) dan Subsidi dari Pemerintah Pusat

Peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 50 persen disertai subsidi dari pemerintah pusat menghasilkan laju pertumbuhan ekonomi yang meningkat sebesar minimum 0,2065 persen dan maksimum 0,2094 persen (subsidi bagi RT I) dan minimum 0,2048 persen sampai maksimum 0,2075 persen (subsidi bagi RT I-IV). Peningkatan subsidi dari pemerntah pusat, baik untuk RT I maupun RT I-IV, tidak mengakibatkan perubahan yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Semakin besar subsidi dari pusat, pertumbuhan pendapatan per kapita rumah tangga miskin semakin meningkat. Pertumbuhan pendapatan per kapita rumah tangga miskin relatif lebih tinggi daripada pendapatan per kapita rumah tangga menengah tetapi masih lebih rendah daripada pendapatan per kapita rumah tangga pendapatan tinggi. Pertumbuhan pendapatan per kapita rumah tangga pendapatan tinggi cenderung tetap. Akibatnya, pangsa pendapatan rumah tangga miskin semakin meningkat dari kondisi lebih rendah dari kondisi awal menjadi kembali pada pangsa semula. Di pihak lain, pangsa pendapatan rumah tangga pendapatan tinggi menjadi lebih kecil. Peningkatan pangsa rumah tangga miskin tersebut ternyata tidak mengakibatkan perubahan rasio Gini yang

Tabel 5.16

Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 50 Persen

dan Penyediaan Subsidi dari Pemerintah Pusat

Skenario

Dana Pusat

Dana Pusat

Dana Pusat

6.13 Rp. 0,149 M

Rp. 0,370 M

Rp. 0,74 M

Investasi Investasi

6.16 AM perpi-

AM Perpi-

AM Perpi-

AM Perpi-

AM Perpi- AM Perpi-

6.17 paan dan

paan dan

paan dan

paan dan

paan dan paan dan

Subsidi Subsidi

RT I RT I-IV Pertumbuhan Ekonomi

RT I

RT I-IV

RT I

RT I-IV

194.631,3 194.627,6 • Perubahan (Rp. M)

• PDRB (Rp. M)

Pendapatan per Kelompok RT

Miskin

• Total pendapatan (Rp. M)

13.197,8 13.197,5 • Perubahan (Rp. M)

11,2583 11,2583 • Pendapatan/kapita (Rp.)

34.161,6 34.160,9 • Perubahan (Rp. M)

• Total pendapatan (Rp. M)

29,1414 29,1415 • Pendapatan/kapita (Rp.)

69.867,4 69.866,0 • Perubahan (Rp. M)

• Total pendapatan (Rp. M)

59,6002 59,6002 • Pendapatan/kapita (Rp.)

Distribusi Pendapatan

• Rasio Gini

0,0009 0,0012 • Rasio Pendapatan RT

0,1889 0,1889 miskin/RT tinggi • Pertumbuhan (%)**

- 0,002 - 0,002 Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal ** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

Gamb ar 5.2 9

Gambar 5.31 Pert umb uhan Eko no mi

Gamb ar 5.3 0

Pertum buhan Pendapatan RT/Kapita berdasar Skenario Invest asi ( 50 %) d an Sub sid i d ari

R asio Gini

Skenario Investasi (50%) dan Subsidi dari Dana D ana Pemerint ah Pusat

Skenar io Invest asi ( 50 %) d an Sub sid i d ari

D ana Pemer int ah Pusat

Pemerintah Pusat

0.2085 RT Miskin (RT I)

RT Miskin (RT I-IV) 0.2065

RT Menengah (RT I)

RT Menengah (RT I- 0.2045

IV) 0,149 M

0,37 M

0,74 M

RT Tinggi (RT I)

RT Tinggi (RT I-IV) Investasi dan Subsidi RT I

0,149 M

0,37 M 0,74 M

Investasi dan Subsi di RTI-IV

RT I

RT I-IV RT I-IV

Secara umum, peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 50 persen yang disertai penyediaan subsidi, baik bagi RT I maupun RT I-IV, berdampak signifikan ter- hadap pertumbuhan ekonomi maupun distribusi pendapatan. Akan tetapi, dampaknya ter- hadap distribusi pendapatan hanya signifikan jika subsidi dari pemerintah pusat sebesar Rp.0,149 miliar dan Rp.0,37 miliar sehingga distribusi pendapatan menjadi lebih buruk.

Jika dibandingkan dengan simulasi sebelumnya ketika investasi air minum perpipaan yang sebesar 10 persen dan 25 persen, ternyata hasilnya berbeda. Peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 50 persen yang disertai subsidi dari pemerintah pusat sebesar Rp.0,149 miliar dan Rp.0,37 miliar mengakibatkan semakin memburuknya distribusi pendapatan. Hal itu menunjukkan bahwa subsidi yang disediakan tidak dapat mengimbangi pengaruh investasi air minum perpipaan.

5.4 Rangkuman

Pada subbab ini akan dibahas rangkuman dari keseluruhan pembahasan dari bab ini berdasarkan beberapa fokus utama, yaitu pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan, dan kelompok penerima manfaat.

5.4.1 Pertumbuhan Ekonomi

A. Investasi Air Minum

Investasi air minum perpipaan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang berkisar antara 0,047 persen (investasi 10 persen) sampai 0,203 persen (investasi 50 persen). Pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan oleh investasi air minum nonperpipaan relatif kecil sekali, berkisar antara 0,0003 persen (investasi 10 persen) sampai 0,0008 persen (investasi 50 persen). Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.17.

Hasil simulasi ini menegaskan bahwa investasi air minum perpipaan mendorong pertumbuhan ekonomi. Di pihak lain, dampak investasi air minum nonperpipaan relatif tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Tabel 5.17 Rekapitulasi Pertumbuhan Ekonomi

Simulasi Peningkatan Investasi Air Minum

Peningkatan investasi Investasi Air

Perpipaan pertumbuhan ekonomi

Peningkatan investasi Investasi Air

10 persen

tidak mengakibatkan per- Minum Non

tumbuhan ekonomi yang Perpipaan

0,0008 Peningkatan investasi air minum perpipaan

berdampak pada meningkatnya pertumbuhan

Kesimpulan

ekonomi. Di pihak lain, peningkatan investasi air minum nonperpipaan tidak berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi.

Sumber: Tabel 5.6 dan Tabel 5.7. Keterangan: pertumbuhan ekonomi dianggap signifikan jika proporsi > ⏐0,01%⏐

Perbedaan dampak terhadap

Gambar 5.32 Gambar 5.34 Gambar 5.34

pertumbuhan ekonomi antara investasi

Dampak Investasi Air Minum Dampak Investasi Air Minum terhadap Pertumbuhan Ekonomi terhadap Pertumbuhan Ekonomi

air minum perpipaan dan nonperpipaan

dipengaruhi oleh bentuk investasi

% i( m i( m

0.2 0.2 diantara keduanya. Pertama, investasi air

no

k o no o k 0.15 0.15 minum perpipaan dilakukan dalam

nE nE

ha ha 0.1 0.1 jumlah besar dan masif sementara air

bu bu

um um 0.05 rt 0.05 minum nonperpipaan dalam bentuk

e P e rt P

0 0 investasi yang relatif kecil dan tersebar.

peningkatan investasi peningkatan investasi

Kedua, sebagian terbesar sumber air minum nonperpipaan adalah dari air

perpipaan perpipaan non perpipaan non perpipaan

minum perpipaan yang berupa penjualan kembali air minum perpipaan. Hanya sedikit yang merupakan investasi murni air minum nonperpipaan.

Secara teoritis, pengaruh investasi terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan melalui persamaan berikut. Penjelasan ini dimulai dengan pemahaman bahwa terdapat empat faktor pertumbuhan, yaitu (i) sumber daya manusia, (ii) sumber daya alam, (iii) pembentukan modal, dan (iv) teknologi. Hubungan ini kemudian diformulasikan dalam bentuk fungsi produksi agregat (aggregate production function/APF):

Q = A F (K, L, R) dengan

Q = output; K = jasa produktif modal; L = input tenaga kerja; R = input sumber daya alam; A = tingkat teknologi dalam ekonomi; F = fungsi produksi.

Sementara itu, untuk mengetahui besarnya tingkat pertumbuhan dilakukan penghitungan proporsi perubahan besar output pada periode berjalan terhadap periode

sebelumnya. Perhitungan output menggunakan pendekatan pengeluaran 44 yang dijabarkan

pada persamaan berikut. Y = C + I + G (perekonomian tertutup)

Y = C + I + G + Nx (perekonomian terbuka) dengan Y = output, C = konsumsi; I = investasi; G = pengeluaran pemerintah;

Nx = ekspor bersih (selisih ekspor dengan impor). Berdasarkan persamaan di atas, output dipengaruhi oleh konsumsi rumah tangga (C), investasi yang dilakukan (I), investasi pemerintah dalam bentuk pengeluaran pemerintah (G), serta ekspor netto (Nx). Jika input modal, tenaga kerja atau sumber daya meningkat, output pun akan meningkat.

Keterkaitan antara kinerja perekonomian dan infrastruktur telah memicu debat berkepanjangan diantara ahli ekonomi infrastruktur dan ekonomi pembangunan. Bukti empiris belum dapat menunjukkan secara jelas keterkaitan antara infrastruktur dan perekonomian. Bank Dunia dalam laporan tahunannya World Development Report Tahun 1994 menyatakan bahwa belum terdapat konsensus mengenai besaran pasti dari pengaruh infrastruktur pada pertumbuhan ekonomi. Namun, sebagian besar studi menyimpulkan peran investasi infrastruktur pada pertumbuhan ekonomi sangat mendasar, signifikan dan bahkan lebih daripada investasi modal lainnya.

Terlepas dari perdebatan di atas, sebagian ahli ekonomi berpendapat bahwa layanan infrastruktur yang memadai merupakan kebutuhan dasar untuk pertumbuhan dan produktivitas. Hal ini dipertegas oleh sejumlah studi yang menyatakan bahwa ketersediaan akses ke layanan infrastruktur memegang peran kunci dalam membantu mengurangi kesenjangan pendapatan.

Selain itu, Barro (1995) menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi jangka panjang tergantung pada langkah pemerintah, seperti penyediaan infrastruktur, pemanfaatan pajak, pengelolaan penegakan hukum, perlindungan hak intelektual, regulasi perdagangan internasional, dan pengaturan pasar keuangan.

Sementara itu, studi lain dari Bank Dunia di 63 negara berkembang menunjukkan bahwa penambahan 1 persen stok infrastruktur berkorelasi dengan pertumbuhan 1 persen PDB. Hasil studi ini banyak dikritik karena sebagian ahli menganggap infrastruktur bukan penyebab pertumbuhan, melainkan hanya sebatas fasilitasi saja. Sebenarnya, dampak ekonomi yang langsung dari investasi infrastruktur adalah berupa tersedianya kesempatan kerja, meningkatnya daya beli tenaga kerja, dan meningkatnya kebutuhan bahan dan alat (Pusat Studi Transportasi dan Logistik, Universitas Gajah Mada, 2003)

Literatur empiris terakhir, sebagian besar menggunakan data panel antarnegara, telah menegaskan kontribusi output yang signifikan dari infrastruktur. Hasil sejenis dilaporkan diantaranya oleh Canning (1999) yang menggunakan data panel dari sejumlah negara, serta oleh Demetriades dan Mamuneas (2000) yang menggunakan data OECD (Calderon, 2001)

Stephen Yeaple dan Stephen S. Golub (2002) melalui hasil pengamatan di 19 negara termasuk Indonesia dengan menggunakan data dalam kurun waktu 1979-1997 menyimpulkan bahwa penambahan kapasitas pelayanan infrastruktur sebesar 1 persen akan meningkatkan nilai produktifitas faktor total (TFP) sebesar 0,12. Di pihak lain, Estache dkk (2002) berdasar hasil penelitian empiris di Bolivia, Kolumbia, Mexico dan Venezuela menunjukkan bahwa penambahan stok infrastruktur sebesar 10 persen menghasilkan peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 1,5 persen.

Beberapa kajian lainnya menyangkut pengaruh investasi infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi diantaranya adalah sebagai berikut. (i) Mainardi (2002) dengan menggunakan ekonometrika dan model neural network menyimpulkan bahwa kondisi Beberapa kajian lainnya menyangkut pengaruh investasi infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi diantaranya adalah sebagai berikut. (i) Mainardi (2002) dengan menggunakan ekonometrika dan model neural network menyimpulkan bahwa kondisi

Di Indonesia, kajian yang secara khusus tentang pengaruh investasi infrastruktur terhadap perekonomian dilakukan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Bappenas. Kajian Menko Perekonomian secara umum menunjukkan bahwa investasi infrastruktur berdampak positip pada pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional. Investasi yang diberikan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pemerataan, mengurangi inflasi, tetapi berdampak negatip terhadap lingkungan (Menko Ekuin, 2003). Kajian Bappenas secara umum menunjukkan bahwa penambahan kapasitas pelayanan infrastruktur memberikan dampak positif terhadap perkembangan sektor lainnya dan perekonomian nasional. Dampak terhadap pertumbuhan ekonomi semakin besar dengan semakin besarnya penambahan kapasitas infrastruktur (Bappenas, 2004).

Investasi air minum akan meningkatkan faktor produksi berupa modal, yang kemudian meningkatkan output domestik. Peningkatan output domestik akan mempengaruhi konsumsi rumah tangga melalui penurunan harga dan peningkatan penerimaan faktor. Penurunan harga akan mendorong peningkatan konsumsi rumah tangga sehingga berdampak pada meningkatnya PDRB. Di sisi lain, peningkatan penerimaan faktor akan meningkatkan pendapatan rumah tangga, yang kemudian mendorong peningkatan konsumsi rumah tangga. Besaran pengaruh pendapatan rumah tangga terhadap konsumsi rumah tangga sangat tergantung pada marginal propensity to

41 consume (mpc) 45 . Semakin besar mpc, semakin besar konsumsi rumah tangga, yang ber-

41 Fungsi konsumsi adalah C = a + mpc x Y. Dengan catatan bahwa C = konsumsi, a = konsumsi autonomous (besar konsumsi ketika pendapatan nol, dan nilainya selalu positip), mpc = marginal propensity to consume, dan Y = pendapatan yang dapat dibelanjakan. Berdasarkan fungsi konsumsi, mpc merupakan ukuran kecenderungan melakukan konsumsi. Ketika pendapatan meningkat, konsumsi akan meningkat yang besarnya tidak sebesar peningkatan pendapatan, tetapi tergantung pada besarnya mpc Selain itu, dikenal marginal propensity to save (mps) yang merupakan ukuran kecenderungan menabung. Secara matematis, mpc + mps = 1.

arti semakin besar pertumbuhan ekonomi. Alur pengaruh investasi air minum terhadap pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan dapat dilihat pada Gambar 5.33.

Gambar 5.33 Keterkaitan Investasi Air Minum

dengan Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan (Simulasi I dan II)

Rumah tangga

Rumah tangga

Investasi Air Minum

Keterangan:

Alur pengaruh investasi air minum perpipaan Alur pengaruh investasi air minum nonperpipaan

B. Subsidi

Subsidi air minum yang dialokasikan berasal dari dua sumber berbeda, yaitu (i) peningkatan pajak air minum perpipaan dan (ii) dana pemerintah pusat. Secara umum, subsidi dari sumber peningkatan pajak air minum perpipaan memberi dampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi, sementara subsidi dari dana pemerintah pusat mengakibatkan meningkatnya pertumbuhan ekonomi.

Penyediaan subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan menyebabkan pertumbuhan ekonomi negatip yang berkisar minimal –0,0001 persen (pajak 10 persen dan RT I) sampai maksimal –0,0008 persen (pajak 50 persen dan RT I-IV). Sementara itu, subsidi dari pemerintah pusat mendorong pertumbuhan ekonomi walaupun dalam proporsi Penyediaan subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan menyebabkan pertumbuhan ekonomi negatip yang berkisar minimal –0,0001 persen (pajak 10 persen dan RT I) sampai maksimal –0,0008 persen (pajak 50 persen dan RT I-IV). Sementara itu, subsidi dari pemerintah pusat mendorong pertumbuhan ekonomi walaupun dalam proporsi

Tabel 5.18 Rekapitulasi Pertumbuhan Ekonomi

Simulasi Subsidi

Subsidi dari Subsidi (10%)

- 0,0002 % Pembedaan kelompok Pajak Air

penerima tidak Subsidi (25%)

Minum berdampak pada laju Perpipaan

Subsidi (50%)

- 0,0008 % pertumbuhan ekonomi

Dampak subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan terhadap

Kesimpulan

pertumbuhan ekonomi tidak signifikan. Subsidi dari

Subsidi (Rp.0.149 M)

0,0007 % Pembedaan kelompok penerima tidak

Pemerintah Subsidi (Rp.0.37 M)

berdampak pada laju Pusat Subsidi (Rp.0.74 M)

0,0035 % pertumbuhan ekonomi Walaupun penyediaan subsidi dari pemerintah pusat terlihat

Kesimpulan

menghasilkan laju pertumbuhan ekonomi tetapi besarnya tidak signifikan sehingga praktis penyediaan subsidi tidak berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Sumber: Tabel 5.9 dan Tabel 5.10 Keterangan: pertumbuhan ekonomi dianggap signifikan jika proporsi > ⏐0,01%⏐

Gam bar 5.34 Dam pak Subsidi

Pada tahap awal ketika pajak air

terhadap Pertum buhan Ekonom i

minum perpipaan ditingkatkan, pertum-

buhan ekonomi dan distribusi pendapatan

dipengaruhi melalui dua saluran, yaitu (a)

Pusat Rp. 0,149 M

jalur konsumsi rumah tangga dan (b) jalur

um

rt k onom

Pajak 25%

P e E 0.001

Pusat Rp. 0,37 M

konsumsi pemerintah. Pada dasarnya, pe-

RT I-IV

Pusat Rp. 0,74 M

ningkatan pajak dapat mengakibatkan per- tumbuhan ekonomi meningkat/menurun dan distribusi pendapatan membaik/memburuk,

Penerima

bergantung pada besaran pengaruh dari jalur konsumsi rumah tangga atau jalur kon- sumsi pemerintah.

Gambar 5.35

Keterkaitan Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan dengan Distribusi Pendapatan dan Pertumbuhan Ekonomi

Peningkatan pajak akan meningkatkan penerimaan pemerintah, yang kemudian menjadi tabungan pemerintah. Tabungan pemerintah akan dialokasikan untuk anggaran pemerintah berupa konsumsi pemerintah dan transfer rumah tangga (subsidi). Transfer ke rumah tangga akan meningkatkan pendapatan rumah tangga yang berdampak pada membaiknya pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan. Sementara itu,

meningkatnya konsumsi pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi.

Di pihak lain, pada saat suatu komoditas dikenai pajak (pajak komoditi), harga komoditas tersebut meningkat (Po Æ P 1 ) sehingga penawaran menjadi berkurang (Qo Æ Q 1 ). Selanjutnya, hal ini akan berpengaruh pada menurunnya output (Yo ÆY 1 ). Jika air minum perpipaan dikenai pajak, harga air minum perpipaan menjadi lebih tinggi sehingga penawaran berkurang. Selanjutnya, berdampak pada berkurangnya output yang dihasilkan dari air minum perpipaan.

Selanjutnya, penerimaan faktor menurun sehingga pendapatan rumah tangga juga menurun yang berakibat pada konsumsi rumah tangga yang juga menurun. Penurunan konsumsi rumah tangga mengakibatkan pertumbuhan ekonomi menurun.

Dampak dari peningkatan pajak air minum terhadap perekonomian khususnya pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan dapat dilihat pada gambar 5.35. Sementara itu, pada tahap berikutnya, jika hasil pajak air minum perpipaan dialokasikan seluruhnya sebagai subsidi bagi rumah tangga miskin, peningkatan pajak tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui jalur konsumsi rumah tangga. Di pihak lain, distribusi pendapatan dipengaruhi langsung oleh peningkatan pendapatan rumah tangga. Pada dasarnya, peningkatan pajak dapat mengakibatkan pertumbuhan ekonomi meningkat/menurun dan distribusi pendapatan membaik/memburuk yang bergantung pada besaran pengaruh dari jalur konsumsi rumah tangga.

Berbeda pada kondisi awal, jika hasil pajak dialokasikan untuk RT miskin, konsumsi pemerintah dianggap tetap. Akibatnya, peningkatan pajak akan meningkatkan transfer ke rumah tangga yang berdampak meningkatkan pendapatan rumah tangga dan memperbaiki distribusi pendapatan. Selanjutnya, peningkatan pendapatan rumah tangga mendorong meningkatnya konsumsi rumah tangga yang berujung pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, sebagaimana pada kondisi awal, peningkatan tarif pajak mengakibatkan meningkatnya harga produsen. Akibatnya, output menurun, kemudian penerimaan faktor menurun sehingga pendapatan rumah tangga menurun. Akibatnya, konsumsi rumah tangga menurun. Penurunan konsumsi rumah tangga mengakibatkan pertumbuhan ekonomi menurun.

Pada proses transfer atau subsidi, dana yang diterima oleh rumah tangga meningkatkan pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income). Selanjutnya, meningkatnya pendapatan ini kemudian akan meningkatkan konsumsi sehingga permintaan agregat juga meningkat. Pada akhirnya, hal itu akan meningkatkan output. Jika subsidi berasal dari peningkatan pajak, terdapat kemungkinan bahwa peningkatan output sebagai akibat pemberian subsidi tidak dapat menutupi pengurangan output dari peningkatan pajak komoditas. Hal ini yang terjadi jika subsidi yang berasal dari hasil peningkatan pajak air minum perpipaan terlihat memberikan pertumbuhan ekonomi Pada proses transfer atau subsidi, dana yang diterima oleh rumah tangga meningkatkan pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income). Selanjutnya, meningkatnya pendapatan ini kemudian akan meningkatkan konsumsi sehingga permintaan agregat juga meningkat. Pada akhirnya, hal itu akan meningkatkan output. Jika subsidi berasal dari peningkatan pajak, terdapat kemungkinan bahwa peningkatan output sebagai akibat pemberian subsidi tidak dapat menutupi pengurangan output dari peningkatan pajak komoditas. Hal ini yang terjadi jika subsidi yang berasal dari hasil peningkatan pajak air minum perpipaan terlihat memberikan pertumbuhan ekonomi

Gambar 5.36 Keterkaitan Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

yang Dialokasikan untuk Subsidi terhadap Distribusi Pendapatan dan Pertumbuhan Ekonomi (Simulasi III)

Gambar 5. 37 Keterkaitan Peningkatan Transfer Dana Pusat

yang Dialokasikan untuk Subsidi terhadap Pertumbuhan Ekonomi serta Distribusi Pendapatan (Simulasi IV)

Dana Pusat

RT miskin

Penyediaan subsidi, baik dari peningkatan pajak air minum perpipaan maupun pemerintah pusat, bagi RT termiskin maupun seluruh kelompok RT miskin tidak mempunyai dampak yang berbeda terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.18 dan Tabel 5.19.

C. Investasi Air Minum Perpipaan dan Subsidi

Pada skenario investasi air minum perpipaan dan subsidi, dilakukan dua simulasi, yaitu (i) investasi air minum perpipaan disertai subsidi dari pajak air minum perpipaan dan (ii) investasi air minum perpipaan disertai subsidi dari pemerintah pusat.

Gambar 5. 38 Keterkaitan Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan dan Subsidi

terhadap Pertumbuhan Ekonomi serta Distribusi Pendapatan (Simulasi V– VI)

Tarif Output

Penerima

Pendapatan

Pajak domestik

-an faktor

Untuk RT miskin

Investasi

Air Minum

Penerimaan pajak Transfer

Dana Pusat

Keterangan: Alur pengaruh investasi air minum perpipaan

Alur pengaruh subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan Alur pengaruh subsidi dari pemerintah pusat

Berdasarkan hasil simulasi gabungan terlihat bahwa (i) semakin besar peningkatan investasi air minum perpipaan, dengan mengabaikan sumber subsidi, semakin besar laju pertumbuhan ekonomi, (b) investasi air minum perpipaan yang disertai subsidi pemerintah Berdasarkan hasil simulasi gabungan terlihat bahwa (i) semakin besar peningkatan investasi air minum perpipaan, dengan mengabaikan sumber subsidi, semakin besar laju pertumbuhan ekonomi, (b) investasi air minum perpipaan yang disertai subsidi pemerintah

Keterkaitan antara peningkatan investasi air minum perpaipaan yang disertai subsidi, baik dari sumber peningkatan pajak air minum perpipaan maupun pemerntah pusat, terhadap pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan dapat dilihat pada Gambar 5.38.

Tabel 5.19

Rekapitulasi Pertumbuhan Ekonomi Simulasi Investasi Air Minum Perpipaan dan

Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum

Peningkatan Investasi air minum

investasi air perpipaan minum perpipaan Investasi dan subsidi

10 persen dan

(10%) Pembedaan kelompok subsidi dari

peningkatan Investasi dan subsidi penerima tidak

berdampak pada laju pajak air minum

pertumbuhan perpipaan

Investasi dan subsidi

Peningkatan Investasi air minum

investasi air perpipaan minum perpipaan Investasi dan subsidi

25 persen dan

(10%) Pembedaan kelompok subsidi dari Investasi dan subsidi

penerima tidak peningkatan

berdampak pada laju pajak air minum

perpipaan Investasi dan subsidi pertumbuhan

(50%) ekonomi. Peningkatan

Investasi Air Minum

investasi air Perpipaan minum perpipaan Investasi dan subsidi

50 persen dan

(10%) Pembedaan kelompok subsidi dari Investasi dan subsidi

penerima tidak peningkatan

berdampak pada laju pajak air minum

Investasi dan subsidi pertumbuhan perpipaan

(50%) ekonomi. Peningkatan investasi air minum perpipaan mendorong meningkatnya

pertumbuhan ekonomi, tetapi peningkatan subsidi tidak berdampak pada laju pertumbuhan ekonomi.

Sumber: Tabel 5.11, Tabel 5.12 dan Tabel 5.13 Keterangan: pertumbuhan ekonomi dianggap signifikan jika proporsi > ⏐0,01%⏐

Gambar 5.41 terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Gambar 5.39

Gambar 5.40 Dampak Investasi 10% dan Subsidi dari Pajak Air Minum Dampak Investasi 25% dan Subsidi dari Pajak Air Minum

terhadap Pertumbuhan Ekonomi

terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Dampak Investasi 50% dan Subsidi dari Pajak Air Minum

RT I-IV

RT I-IV

RT I-IV

Investasi Investasi- Investasi- Investasi-

Investasi Investasi- Investasi- Investasi- subsidi

0.1098 Investasi Investasi- Investasi- Investasi-

Subsidi

subsidi Subsidi subsidi subsidi

subsidi

subsidi

Subsidi

Skenario

Skenario

Skenario

Tabel 5.20 Rekapitulasi Pertumbuhan Ekonomi

Simulasi Investasi Air Minum Perpipaan dan

Subsidi dari Pemerintah Pusat

Peningkatan Investasi air minum perpipaan

investasi air Investasi dan subsidi minum

(Rp.0,149 miliar) Pembedaan kelompok perpipaan 10

Investasi dan subsidi penerima tidak persen dan

berdampak pada laju subsidi dari

(Rp.0,37 miliar) pertumbuhan pemerintah

ekonomi. pusat

Investasi dan subsidi

(Rp.0,74 miliar) Peningkatan

Investasi air minum perpipaan

investasi air Investasi dan subsidi minum

(Rp.0,149 miliar) Pembedaan kelompok perpipaan 25

persen dan Investasi dan subsidi penerima tidak

subsidi dari (Rp.0,37 miliar) berdampak pada laju

pertumbuhan pemerintah

Investasi dan subsidi (Rp.0,74 pusat

ekonomi. Peningkatan

Investasi air minum perpipaan

investasi air Investasi dan subsidi minum

(Rp.0,149 miliar) Pembedaan kelompok perpipaan 50

penerima tidak persen dan

Investasi dan subsidi

(Rp.0,37 miliar) berdampak pada laju subsidi dari

pertumbuhan pemerintah

Investasi dan subsidi pusat

ekonomi. Peningkatan investasi air minum perpipaan mendorong meningkatnya pertumbuhan

(Rp.0,74 miliar)

ekonomi, tetapi peningkatan subsidi tidak berdampak pada laju pertumbuhan ekonomi. Sumber: Tabel 5.14, Tabel 5.15 dan Tabel 5.16 Keterangan: pertumbuhan ekonomi dianggap signifikan jika proporsi > ⏐0,01%⏐

Gambar 5.44 Dampak Investasi 10% dan Subsidi dari Pusat terhadap

Gambar 5.42

Gambar 5.43

Dampak Investasi 25% dan Subsidi dari Pusat terhadap

Dampak Investasi 50% dan Subsidi dari Pusat terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan Ekonomi

m i 0.0525

RT I-IV 0.0465

RT I-IV

P e 0.0475

RT I-IV

Investasi Investasi- Investasi- Investasi-

Investasi Investasi- Investasi- Investasi- subsidi

Investasi Investasi- Investasi- Investasi-

subsidi subsidi Subsidi 10%

subsidi Subsidi

subsidi

subsidi

Subsidi

Skenario

Skenario

Skenario

5.4.2 Distribusi Pendapatan

A. Investasi Air Minum

Investasi air minum perpipaan berdampak pada penurunan pangsa pendapatan kelompok RT miskin dari kondisi awal, tetapi tidak berdampak terhadap perubahan rasio Gini. Akan tetapi, jika investasi air minum perpipaan sebesar 25 persen dan 50 persen, rasio pendapatan RT miskin terhadap RT pendapatan tinggi mengalami penurunan signifikan masing-masing sebesar -0,01 persen.

Tabel 5.21 Rekapitulasi Distribusi Pendapatan

Simulasi Peningkatan Investasi Air Minum

Rasio Gini

RT Miskin/RT

Tinggi (%)

Peningkatan Peningkatan investasi hanya Investasi Air

berdampak pada menurunnya

Minum rasio pendapatan RT miskin/ Perpipaan

50 persen

RT tinggi pada saat investasi

25 persen dan 50 persen. Peningkatan

00 Peningkatan investasi tidak Investasi Air

10 persen

mempengaruhi rasio Minum Non

00 pendapatan RT miskin/RT Perpipaan

25 persen

50 persen

00 tinggi dan rasio Gini. Peningkatan investasi air minum perpipaan mengakibatkan

memburuknya distribusi pendapatan pada saat peningkatan

Kesimpulan

investasi 25 persen dan 50 persen. Berbeda dengan peningkatan investasi air minum nonperpipaan yang tidak mengakibatkan perubahan distribusi pendapatan.

Sumber: Tabel 5.6 dan Tabel 5.7 Keterangan: perubahan distribusi pendapatan dianggap signifikan jika proporsi ≥ ⏐0,01%⏐

Gambar 5.45

Dampak Investasi Air Minum terhadap Distribusi

Walaupun rasio Gini relatif tetap, tetapi

Pendapatan

dengan terjadinya penurunan pada rasio penda-

patan RT miskin terhadap RT pendapatan tinggi

yang cukup signifikan, menunjukkan membu-

s io 0.597205

ruknya distribusi pendapatan.

Sebagian terbesar RT miskin di DKI

Jakarta yang tidak memperoleh air minum

perpipaan non perpipaan

perpipaan

non perpipaan non perpipaan

Pelayanan air minum bagi penduduk miskin menjadi hanya sebatas penyediaan hidran umum dalam jumlah terbatas. Hidran umum yang terbatas menyulitkan penduduk untuk mendapatkan air karena harus antri, dan lokasi yang jauh dari rumah. Kondisi ini yang mendorong maraknya praktek penjualan air ke rumah-rumah oleh penyedia air skala kecil dengan harga yang 15 sampai 20 kali lebih mahal. Pada kenyataannya, hal ini tidak banyak membantu menurunkan biaya yang harus ditanggung oleh penduduk miskin.

Peningkatan investasi air minum pada akhirnya hanya akan meningkatkan cakupan pelayanan, yang berarti meningkatkan produksi air minum perpipaan, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi. Ketika kemudian penduduk miskin tidak terjangkau oleh investasi ini, sebagian besar pendapatan penduduk miskin tetap terpakai untuk kebutuhan air minum. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi tidak berdampak pada peningkatan pangsa pendapatan RT miskin, bahkan sebaliknya.

Ketika dilakukan peningkatan investasi air minum nonperpipaan, perubahan rasio Gini dan pangsa pendapatan RT miskin tersebut mendekati nol. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.21 dan Gambar 5.43.

Perubahan pangsa pendapatan RT miskin dan rasio Gini yang kecil sekali (mendekati nol) menyebabkan hipotesa kedua tidak terpenuhi, yaitu bahwa investasi air minum nonperpipaan mengakibatkan kesenjangan pendapatan. Kecilnya perubahan Perubahan pangsa pendapatan RT miskin dan rasio Gini yang kecil sekali (mendekati nol) menyebabkan hipotesa kedua tidak terpenuhi, yaitu bahwa investasi air minum nonperpipaan mengakibatkan kesenjangan pendapatan. Kecilnya perubahan

Jika sumber air minum nonperpipaan adalah (a) dan (b), pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income) meningkat sehingga rasio Gini membaik. Hal itu berbeda jika sumber adalah (c) dan (d). Hal yang terjadi adalah sebaliknya. Data pangsa masing-masing sumber air minum nonperpipaan ini tidak tersedia sehingga berdasarkan pada hasil simulasi tersebut, diperkirakan sumber air minum nonperpipaan berbentuk (a) dan (b) dalam jumlah yang relatif berimbang dengan (c) dan (d) sehingga penambahan investasi air minum nonperpipaan tidak secara signifikan mendorong peningkatan kesenjangan.

Dengan mengacu pada literatur, masih terdapat ketidaksepakatan tentang pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kesenjangan. Literatur empiris terkini seperti oleh Deininger dan Squire (1996), Chen dan Ravallion (1997), Easterly (1999) dan Dollar dan Kraay (2002) seluruhnya menyatakan pertumbuhan tidak mempunyai dampak pada kesenjangan. (World Bank Poverty Net). Hal ini berbeda dengan yang dikemukakan oleh Kutnetz melalui teorinya bahwa pertumbuhan akan berujung pada pengurangan kesenjangan.

Sementara itu, dalam literatur empiris yang terkait khusus dengan investasi air minum sebagaimana dikemukakan oleh Brenneman dan Kerf (2002), Galiani, Gertler dan Schargrodsky (2002), ditunjukkan bahwa akses air minum dan sanitasi berperan dalam mengurangi tingkat kesenjangan, melalui dampaknya pada modal manusia khususnya penduduk miskin (Calderon, 2004). Di pihak lain, studi Calderon (2004) menunjukkan bahwa pembangunan jaringan air minum mempunyai dampak negatif dan signifikan pada kesenjangan pendapatan.

B. Subsidi

Secara umum, penyediaan subsidi baik dari peningkatan pajak air minum perpipaan maupun pemerintah pusat hanya berdampak signifikan pada rasio pendapatan RT miskin terhadap RT pendapatan tinggi pada saat subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan maupun pemerintah pusat masing-masing sebesar 50 persen, yang menunjukkan membaiknya distribusi pendapatan. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.22.

Tabel 5.22

Rekapitulasi Dampak Subsidi terhadap Distribusi Pendapatan

Perubahan Rasio

Skenario Simulasi

Pendapatan RT

Perubahan Rasio

Kesimpulan

Miskin/RT Tinggi

RT I-IV

RT I

RT I-IV

Subsidi Subsidi dari

0 0 Pembedaan kelompok (10%)

Peningkatan penerima tidak berdampak Subsidi

signifikan pada perubahan Pajak Air

Minum (25%) rasio Gini dan rasio Perpipaan

Subsidi pendapatan RT miskin/RT

(50%) tinggi. Peningkatan subsidi dari pajak air minum perpipaan

hanya berdampak signifikan terhadap membaiknya distribusi pendapatan pada saat peningkatan subsidi sebesar 50 persen Subsidi

0 0 Pembedaan kelompok (10%)

Subsidi dari penerima tidak berdampak Subsidi

signifikan pada perubahan pemerintah

rasio Gini dan rasio Subsidi

pendapatan RT miskin/RT

(50%) tinggi. Peningkatan subsidi dari pajak air minum perpipaan

hanya berdampak signifikan terhadap membaiknya distribusi pendapatan pada saat peningkatan subsidi sebesar 50 persen Sumber: Tabel 5.9 dan Tabel 5.10 . Keterangan: perubahan distribusi pendapatan dianggap signifikan jika proporsi ≥ ⏐0,01%⏐

Kesimpulan

Gambar 5.46 Gambar 5.47 Dampak Subsidi dari Pajak Air Minum Perpipaan

Dampak Subsidi dari Pemerintah Pusat terhadap Distribusi Pendapatan

terhadap Distribusi Pendapatan

11.2581 e G 11.2581 e nda a s

nda

iski R

s a 0.59719 P R

RT I RT I-IV

RT I dan RT I-IV

RT I

RT I-IV

RT I dan RT I-IV

C. Investasi Air Minum Perpipaan dan Subsidi

Pada skenario investasi air minum perpipaan dan subsidi, dilakukan dua simulasi, yaitu (a) investasi air minum perpipaan disertai subsidi dari pajak air minum perpipaan dan (b) investasi air minum perpipaan disertai subsidi dari pemerintah pusat.

Berdasarkan hasil simulasi gabungan terlihat bahwa (a) peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 50 persen yang disertai subsidi dari peningkatan air minum perpipaan sebesar 10 persen dan 25 persen berdampak pada memburuknya distribusi pendapatan, (b) peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 10 persen yang disertai subsidi dari pemerintah pusat sebesar Rp.0,74 miliar berdampak pada mem- baiknya distribusi pendapatan, (c) peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 50 persen yang disertai subsidi dari pemerintah pusat sebesar Rp.0,149 miliar dan Rp.0,37 miliar berdampak pada memburuknya distribusi pendapatan, (d) pembedaan kelompok penerima subsidi, baik dari peningkatan pajak air minum perpipaan maupun pemerintah pusat, tidak berdampak pada distribusi pendapatan Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.23 dan Tabel 5.24.

Dari simulasi penyediaan subsidi, terlihat bahwa pada kondisi tertentu subsidi memberi dampak signifikan pada perbaikan distribusi pendapatan Walaupun demikian, penyediaan subsidi oleh ekonom neoklasik dianggap bukan merupakan pilihan terbaik, dalam arti intervensi pemerintah seharusnya seminimal mungkin. Hal ini pun masih Dari simulasi penyediaan subsidi, terlihat bahwa pada kondisi tertentu subsidi memberi dampak signifikan pada perbaikan distribusi pendapatan Walaupun demikian, penyediaan subsidi oleh ekonom neoklasik dianggap bukan merupakan pilihan terbaik, dalam arti intervensi pemerintah seharusnya seminimal mungkin. Hal ini pun masih

Tabel 5.23

Rekapitulasi Distribusi Pendapatan

Simulasi Investasi Air Minum Perpipaan dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum

Perubahan Rasio

Pendapatan RT

Perubahan Rasio

Gini (%) Kesimpulan Skenario

Miskin/RT Tinggi

RT I-IV

RT I

RT I-IV

Peningkatan Investasi air minum

investasi Air perpipaan minum perpipaan Investasi dan subsidi

0 0 10 persen dan

subsidi dari Investasi dan subsidi

Pemberian pajak air minum Investasi dan subsidi perpipaan

- 0,001 subsidi pada (50%)

kelompok RT I Peningkatan

Investasi air minum dan kelompok

perpipaan minum perpipaan Investasi dan subsidi

RT I-IV investasi air

memberi

(10%) dampak yang subsidi dari

0,001 25 persen dan

relatif sama Investasi dan subsidi

0,001 pada peningkatan

(25%) pajak air minum

perubahan Investasi dan subsidi

pendapatan RT Peningkatan

Investasi air minum miskin/RT

perpipaan tinggi dan investasi air

minum perpipaan Investasi dan subsidi rasio Gini.

0,002 50 persen dan

subsidi dari Investasi dan subsidi

pajak air minum Investasi dan subsidi perpipaan

Peningkatan investasi air minum perpipaan cenderung mengakibatkan memburuknya distribusi pendapatan dengan dampak signifikan pada saat investasi air minum perpipaan sebesar 50 persen dan subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan sebesar 10 persen dan 25 persen. Peningkatan subsidi memberi dampak signifikan pada

Kesimpulan

perbaikan distribusi pendapatan pada saat peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 50 persen, yang merubah distribusi pendapatan yang buruk menjadi kembali seperti kondisi awal.

Gambar 5.49 Gambar 5.50

Gambar 5.48

Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (10%) dan

Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (50%) dan Subsidi dari Pajak Air Minum Perpipaan terhadap

Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (25%) dan

Subsidi dari Pajak Air Minum Perpipaan Subsidi dari Pajak Air Minum Perpipaan

Distribusi Pendapatan

terhadap Distribusi Pendapatan terhadap Distribusi Pendapatan

in i 0.597205

n a P a iski

asi R 0.597195

P nda e M iski

Investasi Investasi

Investasi

RT I RT I-IV RT I dan RT I-IV

RT I

RT I-IV

RT I dan RT I-IV

RT I

RT I-IV RT I dan RT I-IV

Tabel 5.24 Rekapitulasi Distribusi Pendapatan Simulasi Investasi Air Minum Perpipaan dan Subsidi dari Pemerintah Pusat

Perubahan Rasio Kesimpulan Skenario

Perubahan Rasio

Simulasi

Pendapatan RT

Gini (%)

Miskin/RT Tinggi (%)

RT I

RT I-IV

RT I

RT I-IV

Investasi air minum

Peningkatan perpipaan investasi Air

Investasi dan subsidi minum perpipaan (Rp.0,149 M)

0 0 10 persen dan

Pemberian Investasi dan subsidi

subsidi dari

0 0 subsidi pada (Rp.0,37 M)

pemerintah pusat kelompok RT I Investasi dan subsidi

- 0,001 dan kelompok (Rp.0,74 M)

RT I-IV Investasi air minum

memberi

Peningkatan perpipaan dampak yang investasi air

Investasi dan subsidi relatif sama

0,001 minum perpipaan (Rp.0,149 M)

pada 25 persen dan

perubahan Investasi dan subsidi

subsidi dari

0,001 rasio (Rp.0,37 M)

pemerintah pusat pendapatan RT Investasi dan subsidi

0 0 miskin/RT (Rp.0,74 M)

tinggi dan Investasi air minum

rasio Gini.

perpipaan Peningkatan

investasi air Investasi dan subsidi

0,002 minum perpipaan (Rp.0,149 M) 50 persen dan

0,002 subsidi dari

Investasi dan subsidi

(Rp.0,37 M) pemerintah pusat Investasi dan subsidi

(Rp.0,74 M)

0,001 Peningkatan investasi air minum perpipaan cenderung mengakibatkan memburuknya

distribusi pendapatan dengan dampak signifikan pada saat investasi air minum perpipaan sebesar 50 persen dan subsidi dari pemerintah pusat sebesar Rp.0,149 miliar dan Rp.0,37 miliar. Peningkatan subsidi memberi dampak signifikan pada perbaikan

Kesimpulan

distribusi pendapatan pada saat peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 10 persen. Selain itu, pada saat peningkatan investasi sebesar 50 persen, yang merubah distribusi pendapatan yang buruk menjadi kembali seperti kondisi awal.

Gambar 5.51

Gambar 5.53 Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (10%) dan

Gambar 5.52

Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (50%) dan

Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (25%) dan

Subsidi dari Pemerintah Pusat terhadap

Subsidi dari Pemerintah Pusat terhadap Distribusi Pendapatan

Subsidi dari Pemerintah Pusat terhadap

Distribusi Pendapatan

Distribusi Pendapatan

M iski

pa M iski

RT I RT I-IV RT I dan RT I-IV

RT I

RT I-IV

RT I dan RT I-IV

RT I

RT I-IV RT I dan RT I-IV

Pada kondisi DKI Jakarta, dengan proporsi pelanggan air minum perpipaan yang jauh lebih dominan adalah RT menengah dan RT pendapatan tinggi, sementara RT miskin relatif sangat bergantung pada air minum nonperpipaan, kebijakan pemberian subsidi silang melalui pengaturan tarif air minum menjadi kurang efektif. Subsidi terhadap harga air minum dinikmati bukan oleh RT miskin.

5.4.3 Kelompok Penerima Manfaat

Secara umum, peningkatan investasi, baik air minum perpipaan maupun air minum nonperpipaan, yang disertai penyediaan subsidi, baik dari peningkatan pajak air minum perpipaan maupun pemerintah pusat, bagi kelompok RT termiskin maupun seluruh kelompok RT miskin, tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan pada perubahan laju pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan.

5.4.4 Pertumbuhan Pro-poor

Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa kriteria pertumbuhan pro-poor dalam studi ini adalah (i) pertumbuhan ekonomi positip, (ii) peningkatan rasio pendapatan RT miskin terhadap RT pendapatan tinggi, dan (iii) membaiknya rasio Gini.

Gambar 5.54 Pertumbuhan Pro-poor

Simulasi Investasi Air Minum Perpipaan dan Subsidi

Subsidi Investasi Air

Peningkatan Subsidi dari Subsidi

Peningkatan ke RT I

ke RT I-IV

Minum

Pajak Air Minum

Perpipaan

Perpipaan/ Dana Pusat

Rp.0.74 M

Keterangan: simulasi dengan pertumbuhan pro-poor

Secara umum, pertumbuhan pro-poor terjadi jika investasi air minum perpipaan dan subsidi dialokasikan secara bersamaan. Semakin besar investasi air minum perpipaan, semakin besar subsidi yang dibutuhkan agar terjadi pertumbuhan pro-poor. Pertumbuhan pro-poor terjadi hanya jika investasi air minum meningkat 10 persen disertai subsidi pemerintah pusat sebesar Rp.0,74 miliar.

Tabel 5.25 Rekapitulasi Pertumbuhan Pro-poor

Rasio Gini

Pangsa Penda- patan/Kapita

Simulasi Investasi

++ 0 Investasi Air Minum

0 0 0 Investasi Air Minum

Simulasi Subsidi

10 persen

Subsidi dari Pajak Air

25 persen

Minum Perpipaan

50 persen

Rp. 0,149 M

Subsidi dari Pemerintah

Rp. 0,37 M

Pusat

Rp. 0,74 M

0 -+

Simulasi Investasi Air Minum Perpipaan dan Subsidi

Subsidi dari Pajak 10% ++ 0 Subsidi dari Pajak 25%

+- +-

Investasi Air Minum

Subsidi dari Pajak 50%

Perpipaan 10%

Subsidi dari Pusat Rp. 0,149 M ++ 0 Subsidi dari Pusat Rp. 0,37 M

Subsidi dari Pusat Rp. 0,74 M

+ Subsidi dari Pajak 10%

++ 0 Subsidi dari Pajak 25%

++ 0 Subsidi dari Pajak 50%

+ -/+

Investasi Air Minum Perpipaan 25%

Subsidi dari Pusat Rp. 0,149 M ++ - Subsidi dari Pusat Rp. 0,37 M

++ 0 Subsidi dari Pusat Rp. 0,74 M

+ -/+

Subsidi dari Pusat 10%

Subsidi dari Pusat 25%

Subsidi dari Pusat 50% ++ 0 Investasi Air Minum

Perpipaan 50% Subsidi dari Pusat Rp. 0,149 M

Subsidi dari Pusat Rp. 0,37 M

Subsidi dari Pusat Rp. 0,74 M ++ 0 Keterangan: + : meningkat, - : menurun, 0 : tidak signifikan, -/+ : menurun untuk RT I/meningkat untuk RT I-IV

pertumbuhan pro-poor

Sumber : Diolah dari Hasil Simulasi

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI