Beberapa Catatan
6.3 Beberapa Catatan
6.3.1 Kelebihan dan Kekurangan Model CGE Model komputasi keseimbangan umum (computable general equilibrium, CGE) merupakan evolusi dari model input-output (input-output model) dan model
pemrograman linier (linear-programming model) 44 . Namun, berbeda dengan model input-output dan model pemrograman linier, model keseimbangan umum dapat
menampung hubungan yang tidak linier sehingga bisa mengatasi kekurangan model- model sebelumnya. Oleh karena itu, model ekuilibrium umum dapat secara lebih realistis dipergunakan untuk melakukan analisa suatu perekonomian dan dapat dipergunakan sebagai suatu alat eksperimen ketika variabel-variabel kebijakan secara eksogenus dapat dikuantifikasi (Bappenas, 2004).
Model CGE lebih unggul dari model ekonomi parsial. Model ekonomi parsial hanya mampu menganalisis sebuah kasus dalam konteks pasar parsial, sementara dalam
44 Model input-output (input-output model) dan model pemrograman linier (linear-programming model) sangat populer dan banyak dipergunakan antara kurun waktu tahun 1950 sampai dengan tahun 1970-
an.
dunia nyata gangguan yang dialami sebuah pasar berpeluang mempengaruhi keseimbangan pasar parsial lain dalam perekonomian. Interaksi antarpasar parsial ini yang lebih baik dijelaskan melalui model CGE. Selain itu, model ekonomi parsial berlandaskan ilmu ekonomi mikro, sementara model ekonomi makro terfokus pada analisis ekonomi agregat. Model CGE dapat berperan menjembatani keduanya. Selanjutnya, formulasi model CGE berpeluang disesuaikan dengan ketersediaan data pendukung (Hulu, 1997). Selain itu, kemampuan model CGE mengaitkan antara model mikro, yaitu investasi di bidang infrastruktur, dengan model makro menjadi salah satu daya tarik utama (Bappenas, 2004).
Terlepas dari semakin maraknya penerapan model CGE, masih disadari juga bahwa secara umum terdapat beberapa kekurangan dari model CGE, yaitu sebagai berikut.
(i) Simulasi CGE bersifat statis-komparatif. Persamaannya dan variabel yang digunakan merujuk pada suatu kondisi tertentu. Oleh karena itu, semua hasil simulasi harus diinterpretasikan sebagai ‘kondisi yang diperkirakan akan terjadi setelah suatu kebijakan diterapkan dibandingkan dengan kondisi tanpa kebijakan’. (ii) Terdapat kesulitan dalam menginterpretasikan hasil ketika disagregasi dilakukan terlalu rinci sehingga beberapa parameter harus diduga. (iii) Penerapan model tidak bermanfaat jika menyangkut fenomena ekonomi mikro yang tidak berhubungan dengan aspek ekonomi makro (iv) Model itu tidak dapat digunakan sebagai metode untuk peramalan (Soetjipto, 2004).
Selain itu, berbagai pihak juga menyampaikan kritikan terhadap model CGE. Devarajan (1994) mengemukakan bahwa kelemahan CGE diantaranya adalah hal-hal berikut. (i) Pendekatan CGE dianggap terlalu matematis sehingga menjadi rumit. (ii) Dalam model CGE terdapat banyak asumsi, bahkan termasuk asumsi yang tidak realistis. (iii) Model CGE membutuhkan data yang sangat banyak. (iv) Sebagian besar parameter diperoleh dengan tidak melalui metode ekonometrik, sementara belum terdapat kesepakatan diantara para ahli mengenai besaran numerik dari masing-masing Selain itu, berbagai pihak juga menyampaikan kritikan terhadap model CGE. Devarajan (1994) mengemukakan bahwa kelemahan CGE diantaranya adalah hal-hal berikut. (i) Pendekatan CGE dianggap terlalu matematis sehingga menjadi rumit. (ii) Dalam model CGE terdapat banyak asumsi, bahkan termasuk asumsi yang tidak realistis. (iii) Model CGE membutuhkan data yang sangat banyak. (iv) Sebagian besar parameter diperoleh dengan tidak melalui metode ekonometrik, sementara belum terdapat kesepakatan diantara para ahli mengenai besaran numerik dari masing-masing
Selain hal tersebut di atas, Iqbal (2001) juga menambahkan kritik terhadap model CGE sebagai berikut. (i) Kualitas data. Data yang dipergunakan sangat tergantung pada ketersediaan SAM yang hanya tersedia pada tahun tertentu saja. Kondisi ini mengakibatkan anomali yang terjadi di luar tahun tersebut tidak akan dapat terekam dalam model. Selain itu, proses memasukkan data kedalam matriks sering melalui proses ’perubahan’ agar konsistensi secara mikro terjadi yang langsung dapat mempengaruhi nilai parameter dalam model. (ii) Pemilihan parameter. Beberapa parameter ditentukan berdasar literatur empiris, lainnya secara arbitrasi, dan sisanya ditetapkan nilainya yang memungkinkan model untuk mereplikasi data. Pendekatan ini telah dikritik oleh Jorgesen (1984), Lau (1984), Jorgensen dkk. (1992), Dievert dan Lawrence (1994) dan Mckitrick (1998).
Bergman (1990) menanggapi kritik ini dengan menyatakan bahwa metode CGE seharusnya dipandang sebagai pelengkap pendekatan analitis. Terdapat dua hal yang mendasari pernyataan Bergman, yaitu sebagai berikut. (i) Pendekatan analitis mengalami kesulitan ketika masalah yang dihadapinya sangat kompleks. (ii) Pendekatan analitis mengalami kesulitan ketika besaran pengaruh eksogen menjadi perhatian utama, seperti penerapan kebijakan berdampak luas (Soetjipto, 2004).
6.3.2 Kelemahan Model CGE Air Minum DKI Jakarta
Disadari bahwa sebuah model dibangun dengan berusaha untuk mendekati kondisi sebenarnya. Namun, pada beberapa kondisi keinginan tersebut sulit terpenuhi karena kondisi itu akan menjadikan sebuah model itu sangat rumit. Untuk itu, digunakan beberapa asumsi atau pembatasan tertentu untuk menyederhanakan model. Model yang dibangun untuk studi ini juga menggunakan pembatasan untuk memudahkan penyusunan model.
Terdapat beberapa catatan penting mengenai model CGE pada penelitian ini yang perlu disampaikan sehubungan dengan hasil simulasi di atas. Pertama, data yang digunakan adalah data tahun 2000, sementara studi dilaksanakan pada tahun 2005 Terdapat beberapa catatan penting mengenai model CGE pada penelitian ini yang perlu disampaikan sehubungan dengan hasil simulasi di atas. Pertama, data yang digunakan adalah data tahun 2000, sementara studi dilaksanakan pada tahun 2005
memerlukan kecermatan khusus, terutama terkait dengan definisi kerja/operasional 45 yang jelas sehingga proses pendetailan data berlangsung secara benar. Keempat,
penghitungan distribusi pendapatan tidak dapat dilakukan dalam model secara langsung tetapi harus dilakukan di luar model. Hal ini cukup menyulitkan jika jumlah simulasi cukup banyak. Akibat lainnya, penghitungan distribusi pendapatan terpaksa hanya dibatasi menggunakan Rasio Gini yang relatif lebih sederhana. Kelima, model ini bersifat komparatif statik sehingga hanya dapat menggambarkan kondisi pada saat tertentu saja. Keenam, penyediaan subsidi mengabaikan terjadinya kebocoran dalam proses penyediaannya. Proses penyediaan air minum tidak akan dapat dibatasi hanya pada kelompok tertentu saja sebagaimana dilakukan pada simulasi dalam model ini. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kebocoran, yaitu (i) kesulitan mengenali secara tepat rumah tangga penerima, (ii) kebutuhan air minum adalah kebutuhan dasar manusia sementara keterbatasan akses juga dialami oleh kelompok selain rumah tangga miskin. Akibatnya, kelompok penerima manfaat juga akan mencakup kelompok selain rumah tangga miskin. Ketujuh. tidak terekamnya keberadaan rumah tangga miskin yang berlokasi di perumahan liar dikarenakan data SNSE yang tersedia tidak mengakomodasinya.
Terlepas dari beberapa kendala yang ada, model ini terbukti cukup mampu men-jelaskan kondisi air minum DKI Jakarta. Model ini juga dapat digunakan untuk berbagai simulasi lain dengan beberapa penyesuaian minor. Model ini akan semakin
45 Misal pengelompokan air minum nonperpipaan yang sebenarnya berasal dari sumber air minum perpipaan.
bermanfaat jika bersifat dinamis sehingga perubahan kebijakan dapat dianalisis lebih tajam.