Menyadur Cerpen ke dal am Bentuk Drama Satu Babak
A. Menyadur Cerpen ke dal am Bentuk Drama Satu Babak
les.wordpress.com fi
zulfaisalputera. Tuj uan Pem bel aj ar an
Pada subbab ini, Anda akan menyadur cerpen ke dalam bentuk drama satu babak.
Setelah mempelajari subbab ini, Anda diharapkan dapat menceritakan secara lisan narasi yang berasal dari cerita pendek atau novel yang pernah dibaca
Gambar: Menyadur cerpen dalam bentuk drama.
Pada pelajaran yang lalu Anda sudah belajar menulis drama berdasarkan cerpen dan novel. Pada pelajaran ini Anda juga akan menulis/menyadur cerpen ke dalam bentuk drama satu babak. Apakah Anda masih ingat? Pemahaman Anda terhadap materi tersebut akan sangat membantu pada pelajaran kali ini. Sekarang bacalah cerpen di bawah ini!
Malin Kundang 2000
Cerpen Irwansyah Budiar Putra
Malam. Angin puting - beliung menyiutkan nyali, “Bisa.” Halilintar menggelegar membuat badan menggigil. “Menjadi anjing.” Ombak besar bergulung-gulung bunyinya mendirikan “Menjadi apa saja.” bulu roma. Pohon kelapa meliuk-liuk bagaikan sapu “Menjadi apa saja?” lidi. Rumah-rumah bilik miring nyaris terbawa “Ya.” terbang. Orang-orang terus berdoa, “Semoga kiamat “Termasuk menjadi orang kaya?” bukan hari ini.”
Sang Ibu tersenyum, “Kutukan itu selalu tidak Pagi angin bertiup sepoi-sepoi. Langit cerah, biru mengenakan, anakku.”
bersih. Air laut tenang. Ombak kecil menjilat bibir pantai. Pohon-pohon kelapa bergerak mengikuti irama “Mengapa orang tua tega mengutuk anaknya?” burung. Para nelayan bersiul memandang desanya. Ini “Karena si anak terlalu membuat sakit hati.” bukan surga tapi jelas hari kiamat belum tiba.
“Berarti peribahasa ‘kasih ibu – bapak sepanjang “Lihat! Batu itu sudah tak ada,” seorang menunjuk.
jalan, kasih anak sepanjang penggalan’ adalah “Batu apa?”
salah?”
“Batu Malin Kundang!”
“Tentu tidak.”
“Ke mana hilangnya?” “Lalu kenapa si anak dikutuk?’ “Segerombolan orang kota pasti telah
“Kelak kalau kamu sudah dewasa pasti akan membawanya!”
mengerti,” sang ibu menuntun anaknya bermain- main di pinggir pantai.
“Ya, tentu saja! Batu itu tidak mungkin pergi Sore. Orang-orang masih berkumpul di pantai.
sendiri.” Mereka masih berkumpul di pantai. Mereka masih
“Tetapi mungkin saja.” sibuk membicarakan batu yang hilang itu. Saat sang
“Tidak mungkin.” ibu berjalan menuju kerumunan seorang lelaki muda
“Mungkin kalau punya kaki.”
menghampirinya.
Penduduk Pantai Air Manis tak henti-hentinya “Tidak mengajak si kecil, Bu?” membicarakan batu yang selama ini mereka yakini “Dia sedang tidur.” sebagai Malin Kundang, anak durhaka yang dikutuk “Ibu menyayanginya?” ibunya. Hingga kini tak ada seorang pun yang tahu “Sangat menyayanginya.” apakah riwayat Malin Kundang hanya dongeng belaka “Jadi, jangan pernah ibu mengutuknya.” atau pernah benar-benar terjadi. Tetapi, masyarakat
Si perempuan mengerenyitkan dahi, “Anak tentu sangat mempercayainya, bahkan menjadi bahan
bukan orang kampung ini.”
bacaan di sekolah-sekolah. Sejak kecil setiap anak pun
“Saya dilahirkan di sini.”
selalu diingatkan untuk tidak melawan orang tuanya, kelak akan dikutuk menjadi seperti Malin Kundang. “Tetapi, saya tidak pernah melihat anak. Anak pergi “ya”
merantau?”
“Selalu menjadi batu?”
“Ya.”
“Tidak.”
“Ke mana?”
“Lantas menjadi apa?” “Ke sebuah negeri yang kaya.” “Lalu?”
“Terserah orang tua mengutuknya menjadi apa.” “Menjadi monyet ... bisa?”
“Aku menjadi orang kaya raya. Hartaku sebanyak “Tentu.”
pasir di pantai.”
“Menjadi kura-kura?”
“Sungguh?”
Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA/MA Kelas XI Program Bahasa
“Ya, tetapi kemudian ibuku mengutukku.” memilih menggelar konferensi pers supaya tidak ada “Bagaimana anak tahu?”
yang diistimewakan.
“Karena aku menderita.” “Benar Anda lelaki yang pernah menjadi batu?” tanya
“Doa orang tua untuk anaknya memang selalu para wartawan yang mengerubungi Malin Kundang. didengarkan Tuhan.”
“Ya.”
“Mendoakan atau mengutuk?”
“Apa buktinya?”
“Si perempuan meringis, “Apa yang terjadi pada “Lihatlah, batu yang selama ini diyakini sebagai anak?”
tubuhku sudah tidak ada.”
“Seluruh harta yang kukumpulkan bertahun-tahun “Bisa saja segerombolan orang telah mengangkatnya, hancur berkeping-keping dihantam ombak. Betapa ‘kan? Mungkin anak buah Anda.” teganya ibuku.”
“Buktikan saja.”
“Mungkin Anak telah membuat beliau sakit hati.” “Mungkin juga kaki tangan orang kaya dari kota yang berniat menjuial batu itu kepada kolektor barang
“Tetapi, bagaimana dengan peribahasa ‘kasih ibu
seni.”
– bapak sepanjang jalan, kasih anak sepanjang
“Buktikan kalau bisa.”
penggalan’?” “Baiklah, lalu tahun berapakah Anda menjadi
“Tak ada yang salah dengan peribahasa itu, Nak.”
batu?”
“Jika peribahasa itu benar, tentu ibuku tidak “Saat itu kami tidak mengenal tahun.” mengutukku, ‘kan?”
“Bagaimana kejadiannya hingga Anda menjadi “Sulit menjelaskannya, Nak.”
batu?”
“Aku akan menuntut ibuku.” “Seperti cerita yang dikenal di masyarakat.” “Kenapa?” “Termasuk yang ditulis di buku-buku cerita?” “Karena telah membuatku menderita.”
“Ya.”
“Apa kutukan kutukan yang diberikan beliau untuk “Bagaimana Anda tahu ada benda yang bernama
anak?”
buku cerita?”
“Menjadikan aku batu.” “Selama ini aku tidak mati. Aku hidup, aku bernapas,
aku bisa melihat meski tubuhku menjadi batu dan tanpa PAGI. Masyarakat Pantai Air Manis dikejutkan makan-minum. Itulah, kalian terlalu meremehkan
tentang berita Malin Kundang yang kembali benda-benda mati dan tidak menghargai .” menjadi manusia. Berita pun langsung menyebar
“Jadi, Anda juga tahu kalau kisah hidup Anda pernah dari mulut ke mulut. Seorang kaya di kampung
difilmkan?”
itu, bahkan mengirimkan faks ke redaksi media
“Tentu.”
cetak dan elektronik. Karuan saja para wartawan “Jadi benar Anda anak Durhaka?”
dari seluruh penjuru Indonesia, bahkan luar negeri,
“Jika itu dianggap durhaka.”
berdatangan ke pantai di selatan kota Padang itu.
“Anda menolak sebutan itu?”
Mereka berebutan mewawancarai Malin Kundang.
“Tentu saja.”
Sebuah stasiun swasta Amerika, malah menawarinya
“Kenapa?”
uang 10 juta bila ia bersedia menjadi bintang tamu acara talk show andalan mereka. Tetapi Malin “Puluhan tahun merantau, siang-malam bekerja keras Kundang menolak, “Saya tidak percaya orang tanpa pernah melihat wajah ibuku, telah membuatku bule. Mereka selalu berbohong dan munafik.” Dia lupa pada banyak hal. Jadi, begitu melihat perempuan
itu, aku yakin bahwa dia bukan ibuku.”
Bab 9 Apresiasi
“Ohhh....” tidak ada yang mencari kabar. Hanya ibu Anda “Seingatku, ibuku adalah perempuan muda yang yang selalu mendoakan keselamatan Anda, juga berbadan kuat. Bukan nenek-nenek.”
selalu bertanya pada setiap nakhoda yang kapalnya “Bukankah umur manusia bertambah?”
bersandar di pulau ini. Tetapi, kabar tentang Anak “Ya, tentu.”
tidak juga ada.” “Lalu.”
“Jadi ibu Anda yang ketika Anda kecil adalah “Ibu Anda hanya tahu Anda anak durhaka.”
perempuan muda, setelah Anda dewasa tidak mungkin “Tetapi, seharusnya dia tidak mengutukku.”
tetap menjadi muda, ‘kan?” “Tetapi aku lupa wajah ibuku.”
“Ya, ya, ya, lalu apa yang akan Anda lakukan?’ “Tentu aku akan menuntut ibuku.”
“Keterlaluan sekali Anda. Padahal ibu Anda saja tidak lupa wajah Anda.”
“Tapi dia sudah meninggal, ratusan tahun yang lalu.”
“Maklumlah puluhan tahun aku tidak melihat
“Ya, tentu saja.”
wajahnya.” “Ibu Anda meninggal tidak lama setelah Anda
“Berarti Anda memang anaknya ‘kan? Kalau bukan
menjadi batu.”
tidak mungkin itu menjadi kenyataan. Iya, ‘kan?”
“Lalu?”
“Ya....” “Jadi Anda tidak perlu menuntutnya ‘kan?”
“Dan luka di kening itu yang juga dimiliki Malin “Aku akan menuntutnya di hadapan Tuhan.” Kundang ketika kecil jatuh membentur panci kayu.” “Kapan itu?’ “Bagaimana Anda tahu?”
“Setelah aku mati, di akhirat tentu saja.” “Aku membaca buku tentang legenda Anda.”
“Ibu Anda sudah ada di surga.” “Ya ... ya.”
“Karena mengutuk anaknya seseorang masuk “Lalu untuk apa setelah kaya raya Anda datang ke surga?” pulau ini.”
Para wartawan tidak menjawab. Mereka hanya “Aku hanya ingin mengunjungi tanah kelahiranku.” saling pandang dan kasak-kusuk, seperti biasanya. “Bukan untuk mengunjungi ibu Anda?”
Ini benar-benar di luar dugaan semua orang. “Jika ia masih hidup, tentu aku akan bertemu ibuku, “Apa jadinya kalau ia menuntut ibunya?” ‘kan?”
“Iya, ya...?” “Lalu apa kata Tuhan nantinya?”
“Tapi begitu Anda melihatnya, kenapa Anda tidak mengakuinya?”
“Lagipula siapa sih yang menghidupkan dia kembali?’
“Sudah kukatakan, maklumlah, puluhan tahun aku “Barangkali saja penyihir.” tidak melihat ibuku. Wajar saja jika tidak ingat lagi “Ngaco!” wajahnya.”
“Tetapi tak apalah.”
“Ya. Ya, terselahlah.” “Ya, memang tak apa, karena malah menguntungkan
“Saat itu seharusnya dia tidak segera mengutukku.” kita jadi dapat berita bagus untuk diliput. Ya “Maksudnya?”
‘kan?’
“Seharusnya dia tahu, puluhan tahun merantau, siang “Ya, ya.” malam bekerja keras tanpa pernah melihat wajahnya, Akan tetapi, Malin Kundang sudah melenggang wajar saja jika aku lupa.”
pergi dan tinggal di Pulau Pisang Kecil yang “Nyatanya tidak ada yang tahu tentang Anda letaknya tidak jauh dari Pantai Air Manis, bersama
diperantauan. Tidak ada yang mengirim kabar, dan monyet-monyet penghuninya. Setiap hari, lima
Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA/MA Kelas XI Program Bahasa Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA/MA Kelas XI Program Bahasa
menyenangkanku. Aku akan kembali menjadi Malam. Angin puting - beliung menyiutkan nyali. orang kaya.” Begitu jawabnya setiap kali ada yang Halilintar menggelegar membuat badan menggigil. bertanya untuk apa dia membuat kapal. Selama dua Ombak besar bergulung-gulung. Bunyinya mendirikan bulan dia bekerja hanya berhenti untuk makan dan bulu roma. Pohon kelapa meliuk-liuk bagaikan sapu buang air besar, untuk membuat sebuah kapal layar lidi. Rumah-rumah bilik miring nyaris terbawa yang bertingkat-tingkat. Beguitu selesai kapal itu terbang. Orang-orang terus berdoa, “Semoga kiamat dicat putih, lambangnya diberi tulisan Raja Mudo. bukan hari ini.” Layarnya terkembang, seluruh bagiannya dihiasi
bendera kecil warna-warni dan umbul-umbul. Pagi Angin bertiup sepoi-sepoi. Langit cerah, biru bersih. Air laut tenang. Ombak kecil menjilati bibir
Selesai shalat Jum’at di suatu hari di awal tahun pantai. Pohon-pohon kelapa bergerak mengikuti irama
2000. bersama sepuluh orang lelaki berbadan gempal burung. Para nelayan bersiul memandang desanya. Ini
yang membantunya membuat kapal, Malin Kundang bukan surga tapi jelas hari kiamat belum tiba.
berlayar meninggalkan Pantai air manis. Orang- orang melepas keberangkatannya dengan perasaan Liu seorang bocah lelaki menemukan pecahan kapal suka cita, ada juga yang menangis tersedu-sedu, takut dan mayat Malin Kundang di Pantai Air Manis.
Lat i han 1
1. Setelah mendengarkan cerpen “Malin tema, (b) alur, (c) penokohan, (d) latar, (e) gaya Kundang 2000” yang dibacakan oleh teman
penceritaan, dan (f) amanat! anda, ceritakanlah unsur intrinsik cerpen itu,
2. Ungkapkanlah hal-hal yang menarik atau terutama aspek yang bertalian dengan (a)
mengesankan dari cerpen tersebut di depan kelas!