Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Sosial-Budaya

P e n d i d i k a n P a n c a s i l a 145 ingindi kubur di tempat kuburan rakyat biasa, yang nasibnya saya perjoangkan seumur hidup saya” Sri-Edi Swasono, 1995. Pembangunan ekonomi nasional harus juga berarti pembangunan sistem ekonomi yang kita anggap paling cocok bagi bangsa Indonesia. Dalam penyusunan sistem ekonomi nasional yang tangguh untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, sudah semestinya Pancasila sebagai landasan filosofisnya. Itulah yang disebut Sistem Ekonomi Pancasila. Sistem Ekonomi Pancasila bukanlah sistem ekonomi yang liberal-kapitalistik, dan juga bukan sistem ekonomi yang etatitik atau serba negara. Meskipun demikian sistem pasar tetap mewarnai kehidupan perekonomian Mubyarto, 1997. Perekonomian nasional dan Kesejahteraan Sosial, sebagaimana yang ditegaskan dan tercantum dalam dalam UUD 1945 BAB XIV, pasal 33, harus dilaksanakan dan dipegang teguh secara konsisten, yaitu : 1 Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, 2 Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, 3 Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, 4 Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

5. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Sosial-Budaya

Dalam istilah Inggris, “budaya” adalah “culture”, berasal dari kata Latin “colere” yang berarti “mengolah, mengerjakan” terutama mengolah tanah atau bertani. Ini berarti, budaya merupakan aktivitas manusia, bukan aktivitas makhluk yang lain dan menjadi ciri manusia. Hanya manusia yang berbudaya dan membudaya . Menurut Ki Hadjar Dewantara, “Kultur atau kebudayaan itu sifatnya bermacam-macam, 146 P e n d i d i k a n P a n c a s i l a akan tetapi oleh karena semuanya adalah buah adab, maka semua kebudayaan atau kultur selalu bersifat : tertib, indah, berfaedah, luhur, memberi rasa damai, senang, bahagia, dan sebagainya. Sifat- sifat itu terdapat dan terlihat di dalam perikehidupan manusia-manusia yang beradab …” Ki Hadjar Dewantara, 1967. Budaya selamanya berari sosio-budaya, sehingga perubahannya juga selalu berupa perubahan sosio-budaya Driyarkara,1980. Dalam kehidupan sosial-budaya era globalisasi menuntut para warga untuk mampu mempertahankan integritas masyarakatnya masing-masing melalui : 1 pengembangan kehidupan yang bermakna to develop a meaning life dan 2 kemampuan untuk memuliakan kehidupan itu sendiri ability to ennoble life. Bila dalam suatu masyarakat, kebanyakan anggotanya tidak memiliki kedua kemampuan ini, maka dalam era globalisasi ini masyarakat tadi akan terjerumus ke dalam kehidupan kemasyarakatan yang serba datar, dangkal dan mekanistik. Maka, akan timbul pendangkalan, yang selanjutnya akan melahirkan kecenderungan depersonalisasi dan dehumanisasi Mochtar Buchori, 2001.Oleh karena itu dalam membangun kita jangan senantiasa gandrung untuk menjadi “orang lain” dan lupa menjadi “diri sendiri”, sebagai pribadi, sebagai manusia yang bermartabat. Ada beberapa aspek yang terkandung di dalam pengertian martabat manusia Sastrapratedja 2001. Pertama, martabat manusia dignity of man diletakkan pada kewdudukannya sebagai suibjek atau pribadi, yang mampu menetukan pilihan, menentukan tindakannya dan dirinya sendiri self-determination. Kedua, martabat manusia terletak pula dalam sosialitasnya. Sosialitas manusia dewasa ini semakin luas radiusnya yang secara spasial semakin bersifat mondial, mengatasi batasan-batasan geografis, dan secara temporal kesadaran sosial mengatasi batasan masa kini. Tentu saja hal ini membawa imperatif etis baru. Aspek ketiga dari martabat manusia ialah keutuhannya. P e n d i d i k a n P a n c a s i l a 147 Manusia merupan totalitas. Manusia sebagai totalitas menentang segala bentuk reduksionisme. Melalui pendekatan inklusif, artinya yang bersifat non- diskrimunatif, Pancasila memberikan suatu kerangka di dalam mana semua kelompok di dalam masyarakat dapat hidup bersama, bekerja bersama di dalam suatu dilog karya yang terus-menerus guna membangun suatu masa depan bersama. Pancasila sendiri tidak merumuskan masa depan itu. Pancasila membiarkan masa depan itu terbuka untuk ditentukan dan dibangun secara bersama-sama oleh semua anggota masyarakat Indonesia. Dalam arti ini, Pancasila mempertahankan baik kesatuan maupun kemajemukan Indonesia secara dinamis. Dan inilah sumbangan Pancasila yang amat berharga Eka Darmaputera,1992. Masyarakat Indonesia yang memiliki kemajemukan budaya multikultural, meniscayakan pentingnya pendidikan multikultural. Tujuan pendidikan multikultural adalah : 1. Pembentukan sebuah sikap menghormati dan menghargai nilai keragaman budaya, 2. Promosi kepercayaan pada nilai instrinsik tiap-tiap pribadi dan perhatian yang tak kunjung hilang terhadap kesejahteraan masyarakat yang lebih luas, 3. Pengembangan kompetensi multikultural untuk berfungsi secara efektif dalam setting yang bervariasi secara kultural, 4. Fasilitasi keadilan pendidikan tanpa memperhatikan etnis, ras, gender, usia, atau kekhususan lain Young Pai, 1990.

6. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Ketahanan Nasional