Kehidupan sastra Keadaan budaya dan kemajuan sastra pada masa Kerajaan Majapahit a. Kehidupan kebudayaan

Perkembangan Kebudayaan Masa Hindu-Buddha .... 79 c Kitab Arjunawiwaha karangan Mpu Tantular menceritakan kisah Raja Arjunasasrabahu dan Patih Sumantri melawan raksasa Rahwana. d Kitab Kutaramanawa, ditulis oleh Gajah Mada. Kitab hukum ini disusun berdasarkan kitab hukum yang lebih tua, yakni Kutarasastra dan kitab hukum Manawasastra, yang kemudian disesuaikan dengan hukum adat pada masa itu. e Kitab Kunjarakarna, tidak diketahui nama pengarangnya. f Kitab Parthayajna, tidak diketahui pengarangnya. 2 Zaman Majapahit akhir Karya sastra zaman Majapahit akhir ditulis dengan bahasa Jawa dalam bentuk tembang kidung dan gancaran prosa. Karya-karya sastra pada zaman ini adalah kitab Pararaton yang berisi tentang riwayat raja-raja Majapahit, kitab Sundayana berisi tentang Peristiwa Bubat, kitab Sorandaka menceritakan tentang Pemberontakan Sora di Lumajang, kitab Ranggalawe tentang Pemberontakan Ranggalawe dari Tuban, kitab Panji Wijayakrama berisi tentang riwayat Raden Wijaya, kitab Usana Jawa menceritakan tentang penaklukkan Bali oleh Gajah Mada, kitab Usana Bali mengisahkan tentang kekacauan Bali akibat keganasan Maya Danawa, kitab Pamancangah, kitab Panggelaran, kitab Calon Arang, kitab Korawasrama, Carita Parahyangan, Babhuksah, Tantri Kamandaka, dan Pancatantra. Berikut karya-karya sastra yang terpenting. a Kitab Pararaton menceritakan riwayat raja-raja Singasari dan Majapahit. Karena kitab ini terlalu banyak mengandung mitos, kebenaran isinya sekarang sering kali diabaikan. Sampai sekarang, pengarang kitab ini belum diketahui sehingga dianggap anonim. Kitab ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berisi riwayat Ken Arok dari lahir sampai menjadi raja, sedangkan bagian kedua berisi kisah sejarah Kerajaan Majapahit mulai dari Raden Wijaya, Jayanegara, pemberontakan Ronggolawe dan Sora, Perang Bubat, dan daftar nama raja-raja sesudah Hayam Wuruk. b Kitab Sundayana menceritakan Peristiwa Bubat. Penulisnya tidak dikenal. Kitab ini menceritakan tentang Perang Bubat antara Majapahit dan Pajajaran di Lapangan Bubat, Majapahit. Perang tersebut terjadi sewaktu Raja Pajajaran Sri Baduga Maharaja datang ke Majapahit untuk mengantarkan putrinya Dyah Pitaloka yang dipersunting Hayam Wuruk. Namun, setelah rombongan menginap di Bubat, Hayam Wuruk yang semula berniat mengambil Dyah Pitaloka sebagai permaisuri mengubah rencananya. Akibat pengaruh Gajah Mada, Hayam Wuruk hanya akan menjadikan Dyah Pitaloka sebagai selir. Hal ini mengundang kemarahaan Sri Baduga Maharaja dan terjadilah Perang Bubat. Sumber: Indonesia Indah, Aksara Gambar 3.7 Kitab Walandit, telah menggunakan aksara dan bahasa Jawa Kuno, ditemukan di Tengger, Jawa Timur 80 Cakrawala Sejarah SMAMA Kelas XI Bahasa c Kitab Tantu Panggelaran tidak diketahui pengarangnya. Kitab ini menceritakan Batara Guru menugasi para dewa untuk mengisi Pulau Jawa dengan penduduk. Namun, pulau itu guncang sehingga para dewa kemudian memindahkan Gunung Mahameru di India ke Jawa. Dalam proses pemindahannya, beberapa bagian tercecer sepanjang Pulau Jawa sehingga menjadi deretan gunung. Akibatnya Gunung Mahameru diletakkan di ujung timur Pulau Jawa dengan nama Semeru, kemudian Dewa Wisnu menjadi raja pertama di pulau itu. d Kitab Sorandaka menceritakan Pemberontakan Sora kepada Raja Jayanegara karena tersinggung atas sikap raja yang akan mengambil istrinya. e Kitab Ranggalawe menceritakan Pemberontakan Ranggalawe terhadap Raja Majapahit pada masa Raden Wijaya karena menginginkan jabatan sebagai patih di Majapahit. f Kitab Calon Arang menceritakan seorang janda bernama Calon Arang dari desa Girah yang mempunyai anak bernama Ratna Manggali. Ratna Manggali sangat cantik, tetapi belum ada seorang pemuda pun yang melamarnya menjadi istri. Hal ini membuat gusar Calon Arang. Dengan ilmu hitamnya, ia menyebarkan tenung ke seluruh negeri Airlangga. Raja Airlangga kemudian meminta Bharada untuk mengatasi hal ini dengan mengawinkan muridnya, Mpu Bahula dengan Ratna Manggali. Mpu Bahula berhasil menemukan buku sakti Calon Arang dan meng- ambilnya. Akibatnya dalam pertarungan selanjutnya, Calon Arang dikalahkan. g Kitab Panjiwijayakrama menguraikan riwayat Raden Wijaya sampai menjadi raja. h Kitab Usana Jawa berisi penaklukan Pulau Bali oleh Gajah Mada dan Arya Damar, pemindahan Kerajaan Majapahit ke Gelgel, dan penumpasan Raja Raksasa Maya Denawa. i Kitab Usana Bali berisi tentang kekacauan di Pulau Bali akibat keganasan Maya Denawa yang akhirnya dibunuh oleh dewa. j Kitab Pamancangah menceritakan para dewa agung, nenek moyang raja Kerajaan Gelgel di Bali. k Kitab Carita Parahyangan berbahasa Sunda, ditulis akhir abad ke-16, berisi kisah raja-raja Sunda sejak zaman Mataram. Kitab ini menyebut-nyebut Sanjaya, raja Mataram pertama yang merupakan anak Raja Sanna, raja Kerajaan Galuh. Sewaktu terjadi pemberontakan oleh Rahyang Purbasora, Raja Sanna beserta keluarga dibuang ke kaki Gunung Merapi. Akhirnya, Sanjaya berhasil mengalahkan Rahyang Purbasora dan mengangkat dirinya sebagai raja. Kitab ini juga menceritakan kisah Perang Bubat.

5. Keadaan budaya dan kemajuan sastra pada masa Kerajaan Bali a. Kehidupan kebudayaan

Ketika Kerajaan Bali diperintah oleh Raja Anak Wungsu, kemajuan kesenian dapat dibedakan menjadi kelompok seni keraton dan seni rakyat. Pertunjukan kesenian rakyat biasanya dilakukan berkeliling untuk menghibur rakyat. Namun, ada kalanya pula kesenian keraton ditujukan bagi masyarakat pedesaan. Hal ini dimuat dalam Perkembangan Kebudayaan Masa Hindu-Buddha .... 81 Inskripsi Dalam kepercayaan Hindu-Majapahit, dikenal adanya Sang Hyang Wenang. Sang Hyang Wenang adalah dewa tertinggi dalam kepercayaan Hindu-Majapahit yang kedudukannya lebih tinggi dari Dewa Syiwa prasasti Julah yang berangka tahun 987 M yang menyebutkan adanya rombongan seni batik i Haji untuk raja maupun ambaran keliling yang datang ke desa Julah. Sangat sulit untuk mengetahui berapa jumlah pemain, namun mereka mendapat upah untuk kemampuan seni. Istilahnya patulak. Patulak untuk Agending i Haji yang datang ke desa Julah sebesar satu masaka mata uang saat itu, sedangkan untuk Agending Ambaran sebesar dua kupang. Jenis-jenis kesenian yang berkembang pada masa itu, antara lain, 1 patapukan seni topeng, 4 pamukul penabuh gemelan, 2 perwayang permainan wayang, 5 abanwal permainan badut, dan 3 bhangin peniup suling, 6 abonjing seni musik angklung. Kehidupan masyarakat di Bali dan kebudayaannya sangat lekat terpengaruh oleh agama Hindu. Agama Hindu yang berkembang di Bali ini sudah bercampur dengan unsur budaya asli. Salah satu contoh yang paling nyata dapat dilihat adalah bahwa dewa tertinggi dalam agama Hindu-Buddha bukanlah Syiwa, melainkan Sang Hyang Widhi yang sama kedudukannya dengan Sang Hyang Wenang di Jawa. Sebagai tempat suci, dahulu digunakan candi. Tetapi, sejak berdirinya Kerajaan Gelgel dan Klungkung, penggunaan candi sebagai tempat suci dihapus. Sebagai pengganti fungsi candi dibuatkan kuil berupa kompleks bangunan yang sering disebut pura. Pada waktu upacara, dewa atau roh yang dipuja diturunkan dari surga dan ditempatkan pada kuil untuk diberi sesaji sebagai penghormatan. Upacara itu, misalnya diadakan pada hari Kuningan hari turunnya dewa dan pahlawan, pada hari Galungan menjelang Tahra dan Saka, dan hari Saraswati pelindung kesusastraan. Pura dalam lingkungan kerajaan disebut Pura Dalem, bentuknya seperti candi Bentar dan dimaksudkan sebagai kuil kema- tian. Adapun untuk keluarga raja di- buatkan pura khusus yang disebut Sanggah atau Merajan. Di Bali, dewa tidak dipatungkan. Patung-patung di Bali hanya berfungsi sebagai hiasan. Adanya patung dewa di Bali diyakini sebagai bukti adanya pengaruh Jawa. Di dalam kuil dibuatkan tempat tertentu yang disediakan untuk tempat turunnya dewa atau roh nenek moyang yang telah menjalani prosesi ngaben. Ngaben adalah budaya pembakaran mayat atau tulang surga. Pembakaran mayat adalah suatu kebiasaan di India yang diadaptasi di Bali. Roh yang telah menjalai upacara ngaben dianggap telah suci. Ida Sang Hyang Widhi sebagai dewa tertinggi tidak dibuatkan pura khusus, namun pada setiap kuil dibuatkan bangunan suci untuknya berbentuk Padmasana atau meru beratap dua.