PERSAMAAN BEDA DENGAN KOEFISIEN KONSTAN

� � = � � � � � � + � � � 1 − � � = � � + � � −1 1 − � � = � � + �−� � � � = + � � � � � � = + � � � � = � � + � � � � = � � + �� �−1 Jadi penyelesaian umum dari 2.28 adalah � � = � � + �−� � � � ≠ � � � + �� �−1 � = � 2.30 2. Persamaan Orde Kedua Diberikan persamaan homogen � �+2 + �� �+1 + � � = 0 2.31 Persamaan tersebut akan mempunyai penyelesaian dalam bentuk � � = � , di- mana adalah sembarang kontanta. Maka, �+2 + � �+1 + � = 0 � 2 + � + = 0 Karena � ≠ 0, maka 2 + � + = 0 2.32 yang disebut persamaan tambahan auxiliary equation . Andaikan bahwa persa- maan tersebut mempunyai akar-akar dan , maka − − = 2 − + + Sehingga � = − + dan = Jadi persamaan tak homogen berikut � �+2 + �� �+1 + � � = � � 2.33 dapat ditulis menjadi � �+2 − + � �+1 + � � = � � atau � �+2 − � �+1 − � �+1 − � � = � � Didefinisikan � = � �+1 − � � , maka �+1 − � = � � Jadi 2.33 dapat dinyatakan dengan sistem persamaan orde satu dari persamaan beda dengan koefisien konstan berikut i � �+1 − � � = � ii �+1 − � = � � Ketika � � ≡ 0, yaitu untuk kasus homogen, ii pada 2.34 menjadi �+1 − � = 0 yang mempunyai penyelesaian umum � = � � , dimana � adalah sembarang konstanta. Jadi i pada 2.34 menjadi � �+1 − � � = � � 2.35 2.34 dimana bentuknya sama seperti 2.28, sehingga berdasarkan 2.30 diperoleh penyelesaian umum dari 2.34, yaitu � � = � + � − � ≠ � + �� �−1 = 2.36 dimana dan � adalah sembarang konstanta. Persamaan tak homogen 2.33 yang akan dijelaskan yaitu untuk kasus dimana � � ≡ � untuk semua �, sehingga ii pada 2.34 menjadi �+1 − � = � dan mempunyai penyelesaian umum � = � � + � 1 − ≠ 1 � + �� = 1 Substitusikan kedua penyelesaian tersebut ke i pada 2.34 sehingga diperoleh � �+1 − � � = � � + � 1 − untuk ≠ 1 dan � �+1 − � � = � + �� untuk = 1 Penyelesaian umum dari kedua persamaan tersebut adalah � � = � + � + � 1− 1− ≠ 1, ≠ 1, ≠ + � � + � 1− 2 = ≠ 1 � + + � 1 − � ≠ = 1 � + � + � 1 − � ≠ = 1 + � + 1 2 �� 2 = = 1 3. Persamaan Orde Tinggi Bentuk umum dari pesamaan beda dengan koefisien konstan homogen ada- lah � � � �+� + � �−1 � �+�−1 + ⋯ + � � � = 0 2.37 Penyelesaian umum dari 2.37 adalah dalam bentuk � � = � Sehingga untuk menentukan penyelesaian tersebut dibutuhkan , yaitu akar dari persamaan tambahan � � � + � �−1 �−1 + ⋯ + � = 0 2.38 Andaikan bahwa setiap akar dari 2.38 mempunyai multiplisitas , maka kontribusi untuk fungsi pelengkap adalah � � dimana � adalah polinomial dalam � berderajat − 1 memuat semba- rang koefisien. Sebagai contoh, ketika = 1, polinomial � berderajat 0, yai- tu � = . Ketika = 2, polinomial � berderajat 1 dan bentuk umumnya adalah � = + �.

C. DERET TAYLOR DAN ORDE PENGHAMPIRAN

Kegunaan dari Deret Taylor adalah untuk menghampiri suatu fungsi dengan bentuk polinom yang disebut fungsi hampiran. Perhitungan dengan menggunakan fungsi yang sesungguhnya akan menghasilkan penyelesaian sejati, sedangkan dengan fungsi hampiran akan menghasilkan penyelesaian hampiran, sehingga terdapat galat sebesar selisih antara penyelesaian sejati dan hampiran. Besar galat yang dihasilkan akan bergantung pada seberapa teliti polinom menghampiri fungsi yang sesungguhnya. 1. Deret Taylor Definisi 2.3.1 Andaikan � dan semua turunannya � ′ , � ′′ , � ′′′ , … kontinu di dalam interval [�, ]. Misalkan � ∈ [�, ], maka untuk nilai-nilai � di sekitar � dan � ∈ [�, ], �� dapat diperluas ke dalam Deret Taylor � � = � � + �−� 1 � ′ � + �−� 2 2 � ′′ � + ⋯ + �−� � � + ⋯ 2.39 Persamaan 2.39 merupakan penjumlahan dari suku-suku yang disebut deret. Jika dimisalkan � − � = ℎ, maka � � juga dapat ditulis menjadi � � + ℎ = � � + ℎ 1 � ′ � + ℎ 2 2 � ′′ � + ⋯ + ℎ � � + ⋯ 2.40 Deret Taylor panjangnya tak berhingga sehingga untuk alasan praktis deret tersebut dipotong sampai suku orde tertentu. Deret Taylor yang dipotong sampai suku orde ke- � dinyatakan dengan � � = � � + �−� 1 � ′ � + �−� 2 2 � ′′ � + ⋯ + �−� � � � � � + � � � dimana � � � = �−� � +1 �+1 � �+1 adalah suku sisa galat, dengan � �. 2. Orde Penghampiran Salah satu cara untuk menyatakan tingkat ketelitian suatu hampiran adalah dengan menggunakan orde penghampiran yang dinyatakan dengan -besar big- Oh . Misalkan fungsi �ℎ dihampiri dengan fungsi ℎ. Jika � ℎ − ℎ ≤ � ℎ � , dimana � 0 adalah konstanta real, maka dapat dikatakan bahwa ℎ menghampiri � ℎ dengan orde penghampiran ℎ � dan ditulis � ℎ = ℎ + ℎ � ℎ � juga dapat diartikan sebagai orde galat dari fungsi hampiran. Nilai ℎ adalah kurang dari 1, maka semakin tinggi nilai � akan semakin kecil galat yang dihasilkan sehingga hampiran fungsinya semakin teliti. Misalnya, metode yang berorde ℎ 2 akan lebih teliti dibandingkan metode dengan orde ℎ. Definisi 2.3.2 Andaikan � dan semua turunannya � ′ , � ′′ , � ′′′ , … kontinu di dalam interval [�, ]. Misalkan � �+1 = � � + ℎ, � = 0, 1, 2, … adalah titik-titik selebar ℎ, hampiran untuk �� �+1 dengan menggunakan deret Taylor di sekitar � � adalah � � �+1 = � � � + ℎ 1 � ′ � � + ℎ 2 2 � ′′ � � + ⋯ + ℎ � � � � � � + � � � �+1 2.41 dimana � � � �+1 = ℎ �+1 �+1 � �+1 , � � � �+1 , maka orde penghampiran untuk fungsi tersebut adalah ℎ �+1 = � � � �+1 . Persamaan 2.41 juga dapat ditulis menjadi � � �+1 = ℎ � � � � � � � �=0 + ℎ �+1 . 2.42 Persamaan 2.42 menyatakan bahwa jika fungsi �� dihampiri dengan deret Taylor derajat �, maka suku sisanya cukup dinyatakan dengan lambang ℎ �+1 . Suku sisa ℎ �+1 , yaitu suku yang dimulai dengan perpangkatan ℎ �+1 .

D. METODE SATU LANGKAH

Masalah nilai awal yang telah dijelaskan pada contoh-contoh dalam subbab sebelumnya dapat diselesaikan secara analitik sehingga penyelesaiannya disebut penyelesaian sejati. Jika metode analitik tidak bisa lagi diterapkan, maka penyelesaian masalah nilai awal dapat dicari dengan menggunakan metode numerik. Penyelesaian yang dihasilkan oleh metode numerik adalah berupa hampiran pendekatan terhadap penyelesaian sejati sehingga terdapat selisih antara keduanya. Selisih tersebut disebut galat total. Ada beberapa metode numerik yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah nilai awal, diantaranya yaitu metode Euler dan metode Deret Taylor. Kedua metode tersebut merupakan metode satu langkah dimana untuk menghitung pendekatan pada titik tertentu digunakan data pada satu titik sebelumnya. 1. Metode Euler Metode Euler merupakan metode yang paling sederhana untuk menyelesaikan masalah nilai awal dalam bentuk � ′ � = � �, � � , � � � � = � yang mempunyai penyelesaian tunggal pada interval � ∈ [� , � � ]. 2.43 Langkah awal dari penyusunan metode Euler yaitu dengan membagi interval � , � � ke dalam subinterval yang sama besar. Sehingga dapat dihitung pendekatan terhadap penyelesaian sejati dari masalah nilai awal pada titik � � = � + �ℎ untuk � = 0, 1, 2, … , dimana ℎ merupakan ukuran langkah. Metode Euler diturunkan dari deret Taylor pada �� + ℎ yang dipotong sampai suku orde dua � � + ℎ = � � + ℎ� ′ � + � 1 � 2.44 Kemudian substitusikan � ′ � = ��, �� ke dalam deret Taylor 2.44 sehingga diperoleh � � + ℎ = � � + ℎ� �, � � + � 1 � 2.45 Ketika � = � � , maka persamaan 2.45 menjadi � � �+1 = � � � + ℎ� � � , � � � + � 1 � � , � = 0, 1, 2, … , − 1 Suku � 1 � � dapat dibuat sangat kecil dengan mengambil ukuran langkah ℎ yang cukup kecil, sehingga diperoleh bentuk umum dari metode Euler � �+1 = � � + ℎ� � , untuk � = 0, 1, 2, … , − 1 2.46 dimana � � = �� � , � � , � �+1 merupakan pendekatan terhadap � � �+1 , � � merupakan pendekatan terhadap � � � , dan � � merupakan pendekatan terhadap � � � , � � � . Selanjutnya, karena metode Euler disusun dari deret Taylor yang dipotong sampai suku orde dua, maka metode tersebut mempunyai galat pemotongan, yaitu � 1 � � = � � �+1 − � � � − ℎ� � � , � � � .