PERSAMAAN DIFERENSIAL MASALAH NILAI AWAL DALAM PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA

2. Penyelesaian Persamaan Diferensial Definisi 2.1.4 Penyelesaian persamaan diferensial tingkat ke- � pada interval � ≤ � ≤ adalah suatu fungsi yang mempunyai semua turunan yang diperlukan, yang jika menggantikan �, � ′ , � ′′ , … , � � menjadikan persamaan diferensial itu suatu identitas. Contoh 2.1.7 Tunjukkan bahwa fungsi � = 2 + � −� adalah penyelesaian dari persamaan diferensial � ′ + � − 2 = 0. Penyelesaian: Diketahui � = 2 + � −� , maka diperoleh � ′ = −� −� . Kemudian substitusikan kedua fungsi tersebut ke dalam persamaan diferensial sehingga diperoleh −� −� + 2 + � −� − 2 = 0 Ruas kiri dari persamaan tersebut bernilai 0 sama dengan ruas kanan, maka fungsi � = 2 + � −� merupakan penyelesaian dari persamaan diferensial � ′ + � − 2 = 0. Contoh 2.1.8 Tentukan penyelesaian dari persamaan diferensial berikut ini � ′ = 3 � � 2 +5 Penyelesaian: Penyelesaian persamaan tersebut disajikan oleh � � = 3 � � 2 +5 � = 3 � � 2 +5 � � = 3 � � 2 + 5 − 1 2 � Misalkan = � 2 + 5, maka = 2 � � atau 2 = � �, sehingga � = 3 1 2 + . Karena = � 2 + 5, maka penyelesaian dari persamaan diferensial tersebut adalah � = 3 � 2 + 5 1 2 + = 3 � 2 + 5 + Persamaan diferensial mempunyai tak hingga banyak penyelesaian. Misalnya pada Contoh 2.1.8 penyelesaiannya berbentuk � = 3 � 2 + 5 + , dimana adalah kontanta real. Penyelesaian itu disebut keluarga penyelesaian. Pemberian nama untuk keluarga penyelesaian adalah berdasarkan banyaknya parameter yang termuat dalam penyelesaian, dalam kasus di atas maka � = 3 � 2 + 5 + disebut keluarga berparameter-satu. Definisi 2.1.5 Suatu keluarga berparameter- � dari penyelesaian persamaan diferensial tingkat ke- � disebut penyelesaian umum dari persamaan diferensial, jika semua penyelesaian persamaan diferensial dapat diperoleh dari keluarga berparameter- �. Definisi 2.1.6 Suatu penyelesaian persamaan diferensial tingkat ke- � yang diperoleh dari penyelesaian umum dengan menentukan nilai � parameter disebut penyelesaian khusus. Contoh 2.1.9 Penyelesaian umum dari � ′′ + 9 � = 0 adalah keluarga berparameter-dua � = 1 cos 3 � + 2 sin 3 �. Jika diambil 1 = 2 dan 2 = 1, maka penyelesaian khusus dari persamaan diferensial tersebut adalah � = 2 cos 3� + sin 3�. 3. Masalah Nilai Awal Penyelesaian umum dari persamaan diferensial tingkat ke- � memuat � konstanta sembarang. Sedangkan, penyelesaian khusus dari suatu persamaan diferensial diperoleh dari penyelesaian umum dengan memasukkan syarat bantu pada fungsi penyelesaian umum tersebut. Ada dua macam cara penentuan syarat bantu untuk memperoleh penyelesaian khusus dari suatu persamaan diferensial seperti dijelaskan dalam definisi berikut ini. Definisi 2.1.7 1 Jika syarat bantu pada persamaan diferensial yang diketahui berhubungan dengan sebuah nilai �, syarat itu disebut syarat awal. Persamaan diferensial dengan syarat awalnya disebut masalah nilai awal. 2 Jika syarat bantu pada persamaan diferensial yang diketahui berhubungan dengan dua atau lebih nilai �, syarat itu disebut syarat batas atau nilai batas. Persamaan diferensial dengan syarat batasnya disebut masalah nilai batas. Contoh 2.1.10 a. � ′ + � = 3, � 0 = 1 merupakan masalah nilai awal. b. � ′′ − � ′ + � = � 3 , � 0 = 2, �′ 1 = −1, merupakan masalah nilai batas. Contoh 2.1.11 Penyelesaian umum dari persamaan diferensial � ′ + � = 1 adalah keluarga berparameter-satu � = 1 + � −� . Diberikan syarat bantu � 0 = 0, tentukan penyelesaian khusus dari persamaan diferensial tersebut. Penyelesaian: Diketahui � 0 = 0, maka diperoleh 0 = 1 + � = −1 Jadi penyelesaian khusus dari persamaan diferensial tersebut adalah � = 1 − � −� . Contoh 2.1.12 Selesaikan masalah nilai awal berikut ini � ′ � = �� 2 � � � 0 = 2 Penyelesaian: Penyelesaian persamaan diferensial tersebut disajikan oleh � � = �� 2 � � � −2 � = �� � � Ruas kiri dari persamaan di atas mudah untuk diintegralkan langsung. Sedangkan untuk ruas kanan digunakan pengintegralan parsial dengan dimisalkan = � dan = � � � sehingga = � dan = � � , maka � −2 � = �� � � −� −1 = �� � − � � � −� −1 = �� � − � � + � = −1 �� � −� � + Diketahui bahwa � 0 = 2, sehingga = 1 2 . Jadi penyelesaian dari masalah nilai awal tersebut adalah � = −2 2 �� � −2� � +1 Berikut ini diberikan definisi mengenai syarat Lipschitz yang akan digunakan dalam pembuktian teorema eksistensi dan ketunggalan. Definisi 2.1.8 Fungsi ��, � dikatakan memenuhi syarat Lipschitz terhadap variabel � pada himpunan ⊂ � 2 jika ada konstanta 0 dengan � �, � 1 − ��, � 2 ≤ � 1 − � 2 Apabila �, � 1 dan �, � 2 di . disebut konstanta Lipschitz untuk �. Contoh 2.1.13 Tunjukkan bahwa � �, � = 1 − 2� � memenuhi syarat Lipschitz pada interval = �, � |1 ≤ � ≤ 2, −2 ≤ � ≤ 5 . Penyelesaian: Untuk sembarang titik �, � 1 dan �, � 2 di , maka � �, � 1 − ��, � 2 = 1 − 2� � 1 − 1 − 2� � 2 = 1 − 2� � 1 − � 2 = 1 − 2� � 1 − � 2 ≤ 5 � 1 − � 2 Maka � memenuhi syarat Lipschitz pada terhadap variabel �. Sedangkan, konstanta Lipschitznya adalah 5. 4. Teorema Eksistensi dan Ketunggalan Bentuk umum dari masalah nilai awal adalah sebagai berikut � ′ = ��, �, � � = � 2.1 Andaikan masalah nilai awal tersebut mempunyai titik awal � , � pada titik 0, 0, maka � ′ = ��, �, � 0 = 0 2.2 Secara umum, jika titik awalnya tidak berada pada titik 0, 0 , maka dapat ditranslasi agar titik � , � berada pada titik 0, 0. Berikut ini akan disajikan pembuktian dari teorema eksistensi dan ketunggalan, dimana masalah nilai awal yang memenuhi syarat yang disebutkan dalam teorema nanti akan mempunyai penyelesaian dan penyelesaian tersebut adalah tunggal. Teorema 2.1.1 Jika � dan �� �� kontinu pada bidang �: � ≤ �, � ≤ , maka ada suatu interval � ≤ ℎ ≤ � dimana ada penyelesaian tunggal � = �� dari masalah nilai awal 2.2. Bukti: Andaikan ada � = ��, yaitu fungsi yang terdiferensial dan memenuhi masalah nilai awal. Oleh karena itu, � = �� merupakan fungsi kontinu dan karena � kontinu, maka �[�, � � ] merupakan fungsi yang kontinu pada �. Jadi dengan mengintegralkan � ′ = ��, � dari � = 0 sampai ke sembarang nilai �, diperoleh � � = �[ , � ] � 2.3 yang disebut persamaan integral. Ketika � = 0, maka � 0 = 0, yang memenuhi syarat awal. Andaikan ada fungsi kontinu � = �� yang memenuhi persamaan integral 2.3, maka fungsi ini juga memenuhi masalah nilai awal 2.2. Karena fungsi yang diintegralkan pada persamaan 2.3 kontinu, maka berdasarkan teorema dasar kalkulus diperoleh bahwa � terdiferensial dan � ′ � = �[�, ��]. Oleh karena itu, masalah nilai awal 2.2 ekuivalen dengan persamaan integral 2.3, sehingga penyelesaian yang memenuhi persamaan integral juga memenuhi masalah nilai awal. Penyelesaian dari persamaan integral tersebut tidak dapat dihitung secara eksplisit, maka digunakan metode iterasi Picard untuk mencari hampirannya. Metode tersebut dimulai dengan menentukan syarat awal � 0 = 0. Kemudian � 1 diperoleh dengan mensubstitusikan � untuk � pada ruas kanan persamaan 2.3, sehingga diperoleh � 1 � = �[ , � ] � � 1 0 = 0 � 2 diperoleh dari � 1 � 2 � = �[ , � 1 ] � � 2 0 = 0 dan secara umum, � �+1 � = �[ , � � ] � � �+1 0 = 0 Jadi setiap anggota barisan � � = � , � 1 , � 2 , … , � � , … memenuhi syarat awal. Jika pada suatu tahap, misalnya � = �, � �+1 � = � � � , maka � �+1 � = �[ , � � ] � � �+1 � = � � � � � � = �[ , � � ] � sehingga � � merupakan penyelesaian dari persamaan integral 2.3. Jadi � � juga merupakan penyelesaian dari masalah nilai awal 2.2 karena masalah nilai awal dan persamaan integral tersebut adalah ekuivalen. Pembuktian bahwa persamaan integral tersebut mempunyai penyelesaian dan tunggal akan dilakukan dalam beberapa langkah: 2.4 a. Pertama, akan dibuktikan bahwa semua anggota barisan � � ada. Dari teo- rema tersebut diketahui bahwa � dan �� �� kontinu hanya pada bidang �: � ≤ �, � ≤ . Anggota dari barisan � � tidak dapat dihitung secara eksplisit dan jika pada suatu tahap, misal � = � grafik dari � = � � � memuat titik yang berada di luar bidang �, maka perhitungan untuk � �+1 � tidak dapat dilakukan karena memuat perhitungan � �, � pada titik yang tidak diketahui kontinuitasnya. Oleh karena itu, diperlukan batasan untuk � agar semua anggota barisan tersebut terde- finisi. Karena � kontinu di dalam �, maka � terbatas dalam � dan ada bilangan positif � sedemikian sehingga � �, � ≤ � untuk setiap �, � di �. Karena � �, � � � sama dengan � ′ �+1 � , maka nilai maksimum gradien dari grafik per- samaan � = � �+1 � adalah �. Karena grafik tersebut memuat titik 0,0 , maka grafik ini terletak pada daerah arsiran Gambar 2.1.1. Akhirnya diperoleh batasan untuk �, yaitu � ≤ ℎ dimana ℎ = min�, � . Oleh karena itu, dengan adanya batasan untuk �, maka semua anggota barisan � � terdefinisi. Gambar 2.1.1 � � kiri, � � kanan b. Kedua, akan dibuktikan bahwa barisan � � konvergen. Misalkan �, � �−1 � dan �, � � � adalah dua titik sembarang di dalam �. Dengan meng- x x x x x x x x gunakan teorema nilai rata-rata pada � dan menganggap ��, � sebagai fungsi dari �, maka diperoleh � �, � �−1 � − � �, � � � = �� �� �, � � � �−1 � − � � � 2.5 dimana � � berada di antara � �−1 � dan � � �. Karena �� �� kontinu di dalam �, maka terbatas di dalam �, sehingga ada bilangan positif sedemikian sehingga �� �� �, � ≤ untuk setiap �, � di dalam � 2.6 Dari 2.5 dan 2.6 berlaku bahwa untuk setiap pasang titik �, � �−1 � dan �, � � � di dalam �, fungsi � memenuhi syarat � �, � �−1 � − � �, � � � ≤ � �−1 � − � � � 2.7 Suatu fungsi � yang terdefinisi di dalam suatu himpunan � dan memenuhi syarat 2.7 untuk suatu konstanta positif dan setiap pasang titik �, � �−1 � dan �, � � � di dalam � disebut kontinu Lipschitz dalam � di � dengan konstanta Lipschitz . Selanjutnya akan dibuktikan bahwa � � �, untuk � = 0, 1, 2, … ada di dalam � ≤ ℎ dan kontinu pada interval ini serta memenuhi ketaksamaan � � � ≤ untuk � ≤ ℎ, � = 0, 1, 2, … 2.8 Pembuktian ini adalah untuk menunjukkan bahwa barisan 2.4 benar terdefinisi. Dibuktikan dengan induksi: Untuk � = 0, � � = 0 kontinu dalam � ≤ ℎ karena fungsi konstan kontinu dimana-mana. Jadi � � = 0 ≤ , sehingga 2.8 benar untuk � = 0. Misalkan � � � kontinu dalam � ≤ ℎ dan bahwa 2.8 berlaku untuk � = �, ma- ka � �, � � � kontinu dalam � pada interval � ≤ ℎ. Karena untuk � = � + 1, � �+1 � terdefinisi oleh 2.4, maka kontinu pada interval � ≤ ℎ karena integral dari fungsi kontinu akan kontinu juga dan diperoleh � �+1 � = � , � � � ≤ � , � � � ≤ � � ≤ � � ≤ �ℎ. Dipilih ℎ = � , maka diperoleh � �+1 � ≤ � � = Terbukti bahwa 2.8 berlaku untuk semua �. Berikutnya akan dibuktikan pula dengan induksi bahwa untuk � ≤ ℎ ketaksa- maan berikut ini berlaku untuk � = 0, 1, 2, … � � � − � �−1 � ≤ � � −1 � � � ≤ � � −1 ℎ � � 2.9 Untuk � = 1 � 1 � − � � = � , � � ≤ � � = � � ≤ �ℎ Jadi 2.9 benar untuk � = 1. Misalkan 2.9 benar untuk � = , yaitu dimisalkan untuk � ≤ ℎ � � − � −1 � ≤ � −1 � ≤ � −1 ℎ 2.10 Untuk � = + 1 Berdasarkan 2.4 dan 2.7, maka � +1 � − � � = � , � � − � , � −1 � ≤ � , � − � , � −1 � ≤ � − � −1 � Berdasarkan 2.10, maka diperoleh � +1 � − � � ≤ � � = � � +1 +1 ≤ � ℎ +1 +1 Jadi 2.9 benar untuk � = + 1, sehingga ketaksamaan tersebut berlaku untuk semua �. Langkah selanjutnya dalam pembuktian ini yaitu menunjukkan bahwa barisan � � � konvergen seragam ke suatu limit fungsi pada interval � ≤ ℎ. Barisan � � � dapat dinyatakan sebagai jumlahan dari deret berikut � � � − � �−1 � ∞ �=1 2.11 Jadi deret 2.11 dan barisan � � � mempunyai sifat-sifat kekonvergenan yang sama. Berdasarkan 2.9, maka deret 2.11 dipengaruhi oleh deret dengan suku- suku konstanta � � −1 ℎ � � ∞ �=1 Deret terakhir ini adalah konvergen dan dapat dinyatakan dalam bentuk yang lebih sederhana � � −1 ℎ � � ∞ �=1 = � ℎ � � ∞ �=1 = � � ℎ − 1. Menurut uji − � Weierstrass, deret 2.11 konvergen mutlak dan seragam pada interval � ≤ ℎ. Oleh karena itu, barisan � � � konvergen seragam pada interval � ≤ ℎ. Jadi dengan menyatakan limit fungsi dengan ��, maka diperoleh � � = lim �→∞ � � � 2.12 c. Ketiga, akan dibuktikan bahwa � � memenuhi persamaan integral, sehingga merupakan penyelesaian dari masalah nilai awal 2.2. Berdasarkan 2.4, maka � � memenuhi syarat awal � � 0 = 0, � = 0, 1, 2, … Diambil limit dari kedua ruasnya, maka untuk � → ∞ diperoleh � 0 = 0. � � kontinu pada interval � ≤ ℎ karena � � merupakan limit seragam dari fungsi kontinu � � � di dalam interval � ≤ ℎ untuk � = 0, 1, 2, …. Berdasarkan 2.8, dengan mengambil limit dari kedua ruasnya juga bila � → ∞, maka untuk � ≤ ℎ �� ≤ Jadi fungsi ��, � � benar terdefinisi dan kontinu pada interval � ≤ ℎ, sehing- ga � , � � ada. Berdasarkan 2.7, untuk � ≤ ℎ diperoleh � �, � � � − � �, �� ≤ � � � − �� Karena barisan � � � konvergen seragam ke � � pada interval � ≤ ℎ, maka barisan � �, � � � juga konvergen seragam ke � �, �� dan akibatnya lim �→∞ � , � � � = � , � � 2.13 Diambil limit pada kedua ruas dari 2.4 bila � → ∞ dan berdasarkan 2.12 dan 2.13, diperoleh � � = � , � � 2.14 Jadi terbukti bahwa �� memenuhi persamaan integral dan berarti merupakan penyelesaian dari masalah nilai awal 2.2. d. Terakhir, akan dibuktikan bahwa � � merupakan penyelesaian tunggal dari masalah nilai awal 2.2. Misalkan ada penyelesaian lain dari masalah nilai awal 2.2, yaitu ��, maka � ′ � − � ′ � = � �, � � − � �, �� 2.15 Karena kedua penyelesaian tersebut memenuhi syarat awal, maka � 0 = 0 = � 0 , sehingga dengan mengintegralkan kedua ruas 2.15 dari 0 sampai �, dipe- roleh �� − � � = � , � − � , � � 2.16 Kemudian berdasarkan 2.7 maka diperoleh �� − � � ≤ � − � � 2.17 Misalkan � = � − � � 2.18 dimana 0 = 0 2.19 � 0 untuk � 0. 2.20 Berdasarkan 2.17 dan 2.18 maka diperoleh ′ � ≤ � atau ′ � − � ≤ 0 2.21 Kalikan kedua ruas pertidaksamaan 2.21 dengan faktor pengintegralan � − � , maka diperoleh � − � ′ � − � ≤ 0 � − � ′ � − � − � � ≤ 0 � − � � ′ ≤ 0 Integralkan kedua ruas 2.22 dari 0 sampai � dan berdasarkan 2.19, maka dipe- roleh � − � � ≤ 0 untuk � 0 Karena � − � tidak pernah bernilai kurang dari atau sama dengan nol, maka � ≤ 0 untuk � 0, sehingga berdasarkan 2.20, diperoleh bahwa ≤ � ≤ 0 atau � ≡ 0 2.23 Jadi berdasarkan 2.18 dan 2.23 dapat diambil kesimpulan bahwa � � = � � , sehingga terbukti bahwa � � merupakan penyelesaian tunggal dari masalah nilai awal 2.2. 2.22 Persamaan diferensial pada masalah nilai awal yang diberikan dalam contoh-contoh sebelumnya dapat diselesaikan secara analitik dengan menggunakan metode pengintegralan langsung. Namun, masih ada beberapa metode analitik lain yang juga dapat digunakan untuk menyelesaikan persamaan diferensial tersebut, antara lain yaitu Metode Faktor Integral, Metode Substitusi, Metode Bernoulli. Akan tetapi masih tetap ada persamaan diferensial yang rumit jika diselesaikan secara analitik. Oleh karena itu, dibutuhkan metode numerik untuk menentukan penyelesaian hampiran pendekatan untuk persamaan diferensial tersebut.

B. PERSAMAAN BEDA DENGAN KOEFISIEN KONSTAN

Pembahasan mengenai metode numerik untuk menyelesaikan masalah nilai awal tidak lepas dari penggunaan persamaan beda. Oleh karena itu, dalam subbab ini akan dibahas mengenai persamaan beda linear dengan koefisien konstan li- near constant-coefficient difference equations . Persamaan beda adalah relasi an- tara � + 1 suku berturut-turut dari barisan � , � 1 , … , � � , …, yang mana bentuk umumnya adalah � � � �+� + � �−1 � �+�−1 + ⋯ + � � � = � � 2.24 dimana � � , � �−1 , … , � merupakan koefisien dan � � adalah barisan bilangan. Diberikan � 0, atur koefisien-koefisien dan barisan � � sehingga diperoleh rumus untuk suku ke- � dari barisan yang memenuhi 2.24. Penyelesaian umum untuk 2.24 disusun dari penjumlahan antara fungsi pelengkap complementary function , yaitu penyelesaian umum dari persamaan beda homogen dan penyele- saian khusus particular solution , yaitu suatu penyelesaian dari persamaan beda yang diberikan. Konstanta-konstanta sembarang pada penyelesaian umum dapat ditentukan dengan memasukkan nilai � yang sesuai dari nilai-nilai awal yang di- ketahui, yaitu � = � untuk = 0, 1, … , � − 1. 1. Persamaan Orde Pertama Diberikan masalah koefisien konstan orde pertama � �+1 = �� � + , � = 0, 1, … 2.25 Kemudian untuk � = 0, 1, 2 diperoleh � 1 = �� + � 2 = �� 1 + = � �� + + = � 2 � + � + 1 � 3 = �� 2 + = � � 2 � + � + 1 + = � 3 � + � 2 + � + 1 dan jika dilanjutkan akan diperoleh suatu suku dalam barisan � � , meskipun suku ke- � yang sesungguhnya mungkin tidak dapat ditemukan. Pertama, akan dicari fungsi pelengkap untuk 2.25. Diberikan persamaan homogen � �+1 = �� � , dimana � 1 = �� , � 2 = �� 1 = � 2 � dan dengan induksi diperoleh suku ke- � barisan tersebut, yaitu � � = � � � , untuk suatu nilai � . Di- ambil � = , yaitu sembarang konstanta, maka diperoleh fungsi pelengkap � � = � � . Selanjutnya akan dicari penyelesaian khusus dari 2.25, yaitu dalam bentuk barisan konstanta � � = �. Substitusikan � � = � �+1 = � ke dalam 2.25, sehing- ga � �+1 = �� � + � − �� = 1 − � � = � = 1−� Maka, � � = 1−� , � ≠ 1 Jumlahan dari fungsi pelengkap dan penyelesaian khusus menghasilkan � � = � � + 1−� , � ≠ 1 2.26 yang merupakan penyelesaian umum dari 2.25 ketika � ≠ 1. Sedangkan, ketika � = 1, maka � �+1 − � � = dan dengan syarat deret teleskop diperoleh � � = � � − � �−1 + � �−1 − � �−2 + ⋯ + � 1 − � + � = + + ⋯ + + � = � + � Sehingga penyelesaian umum dari persamaan tersebut adalah � � = + � dimana adalah sembarang konstanta. Jadi penyelesaian umum dari 2.25 adalah � � = � � + 1−� � ≠ 1 + � � = 1 2.27 Setelah diperoleh penyelesaian umum dari 2.25, maka dapat dicari juga penyelesaian umum dari persamaan beda berikut � �+1 = �� � + � � , � = 0, 1, … 2.28 Substitusikan � � = � � � ke dalam 2.28, maka diperoleh � �+1 �+1 = �� � � + � � �+1 = �� � � � �+1 + � � � � +1 = � � � + � Jadi � memenuhi �+1 = � � � + � 2.29 dimana bentuknya sama seperti 2.25. kemudian dengan membandingkan penye- lesaian umum dari 2.25, maka dapat ditunjukkan bahwa 2.29 mempunyai pe- nyelesaian umum � = � � � + � 1 − � � � � ≠ 1 + � � � � = 1 Karena � � = � � � , maka � � � � = � � = � � � + � 1 − � � � � � � = � � � + � 1 − � � � � = � � � � � � + � � � 1 − � � = � � + � � −1 1 − � � = � � + �−� � � � = + � � � � � � = + � � � � = � � + � � � � = � � + �� �−1 Jadi penyelesaian umum dari 2.28 adalah � � = � � + �−� � � � ≠ � � � + �� �−1 � = � 2.30 2. Persamaan Orde Kedua Diberikan persamaan homogen � �+2 + �� �+1 + � � = 0 2.31 Persamaan tersebut akan mempunyai penyelesaian dalam bentuk � � = � , di- mana adalah sembarang kontanta. Maka, �+2 + � �+1 + � = 0 � 2 + � + = 0 Karena � ≠ 0, maka 2 + � + = 0 2.32