14 Krisnawati 2001 yang mengkaji pertumbuhan tegakan hutan bekas tebangan di Berau,
Kalimantan Timur.
2.5 Kelas Diameter Pohon
Diameter pohon adalah dimensi pohon yang hampir selalu diukur dalam setiap kegiatan inventarisasi hutan. Diameter setinggi dada dbh secara umum memiliki
hubungan yang erat dengan berbagai dimensi pohon lainnya, seperti tinggi, volume, biomassa, serta pertumbuhan pohon.
Untuk memudahkan analisis, dalam penelitian ini diameter pohon dikelompokan ke dalam kelas-kelas dengan lebar kelas 5 cm, dengan anggapan bahwa dalam rentang
waktu 3 tahun riap diameter pohon-pohonnya secara umum kurang dari 5 cm. Menurut Suhendang 1994 ketelitian dugaan proyeksi ST akan sangat tergantung kepada lebar
kelas yang dibuat, semakin kecil lebar kelas maka ketelitian yang dihasilkan semakin tinggi. Namun lebar kelas yang terlalu sempit dapat beresiko diperolehnya KD tertentu
yang tanpa pengamatan, atau tambah tumbuh yang melewati KD terendah di atasnya.
Hal ini seringkali bisa diatasi dengan cara membuat KD yang lebih lebar Alder 1995. 2.6 Struktur Tegakan Hutan Alam Bekas Tebangan
Struktur tegakan atau sebaran diameter per KD dalam penelitian ini dinyatakan oleh model ST yang disusun menggunakan fungsi eksponensial negatif dengan
persamaan sebagai berikut:
N = N
o
e
-kD
[1]
Keterangan : N = banyaknya pohon per hektar yang berdiameter D cm;
N
o
= intersep koefisien elevasi dari persamaan yang disusun; k = tetapan yang menunjukkan laju penurunan jumlah pohon pada setiap kenaikan diameter
pohon.
Model ST dengan fungsi eksponensial negatif cukup sederhana namun berdasarkan beberapa kajian, cukup baik dalam menjelaskan hubungan diameter pohon
dengan jumlah pohon ha
-1
. Untuk jenis-jenis hutan alam di Indonesia, model tersebut pernah digunakan oleh Suhendang 1994 untuk menggambarkan ST dengan
menggunakan 27 PUP di Provinsi Riau, pada kondisi hutan primer dan beberapa tahun setelah penebangan 3, 5, 6, 8, 10, 12, dan 16 tahun setelah penebangan. Model di atas
dapat diterima oleh semua PUP dengan koefisien determinasi R² berkisar antara 73- 89. Sedangkan Krisnawati 2001 menggunakan fungsi eksponensial negatif untuk
15 menggambarkan ST di Provinsi Kalimantan Tengah dengan terlebih dahulu
mengelompokkan jenis pohon menjadi: kelompok jenis dipterokarpa, non-dipterokarpa, non-komersil dan semua jenis pada kondisi hutan primer dan beberapa tahun setelah
penebangan 1, 2, 6, dan 8 tahun setelah penebangan. Hasilnya model tersebut dapat diterima oleh semua tegakan dengan R² berkisar antara 87-99. Wahjono dan
Krisnawati 2002 juga menggunakan fungsi eksponensial negatif untuk menyusun model dinamika ST hutan alam rawa bekas tebangan di Provinsi Jambi.
Berdasarkan sebaran nilai N
o
dan k yang diperoleh pada setiap unit contoh tegakan, secara hipotetis ST dapat dikelompokan menjadi 9 tipe ST dengan kriteria
pengelompokan seperti yang disajikan pada Tabel 3 Suhendang 1994. Tabel 3 Kriteria pengelompokan tegakan berdasarkan nilai N
o
dan k
Keterangan : k
[1]
= k
minimum
+ a N
o[1]
= N
o minimum
+ b k
[2]
= k
minimum
+ 2a N
o[2]
= N
o minimum
+ 2b a = k
maksimum
– k
minimum
3 b
= N
o maksimum
– N
o minimum
3
2.7 Dinamika Struktur Tegakan Hutan Tidak Seumur