12 Menteri Kehutanan No. 88Kpts-II2003 tentang kriteria potensi hutan alam pada hutan
produksi yang dapat dilakukan pemanfaatan hutan secara lestari. Dalam kedua aturan tersebut jumlah pohon berdasarkan kelas diameternya menjadi kunci pokok sebagai
kriteria dalam menentukan produktif tidaknya sebuah areal hutan alam produksi. Tabel 2 Jumlah pohon komersil minimal pada hutan alam produktif tanah kering
Jumlah pohon komersil minimal yang sehat per ha per regional
No. Klas
diameter cm
I II
III IV
V VI
Keterangan regional
1 10 – 19
108 108
108 108
108 108
2 20 – 49
39 39
39 39
39 39
3 50
16 15
15 14
17 14
I. Sumatera II. Kalimantan
III. Sulawesi ; IV. NTB V. Maluku ; VI. Papua
Sumber : 1. SK Menteri Kehutanan No. 8171Kpts-II2002 2. SK Menteri Kehutanan No. 88Kpts-II2003
Untuk hutan alam di Indonesia, Suhendang 1994 mengkaji penggunaan metode pengaturan hasil berdasarkan jumlah pohon yang merupakan modifikasi dari Metode
Brandis. Pada metode Brandis, Jatah Produksi Tahunan JPT berdasarkan jumlah pohon diperoleh dari hutan tidak seumur yang homogen dan belum mengalami penataan
hutan. Sedangkan dalam kajian Suhendang 1994, JPT berdasarkan jumlah pohon diperoleh dari hutan tidak seumur yang heterogen namun telah mengalami penataan
hutan. Metode ini berlandaskan kepada beberapa sifat tegakan persediaan, yaitu: 1 jumlah pohon yang ada pada setiap kelas diameter, 2 waktu yang diperlukan oleh
pohon-pohon pada kelas diameter tertentu untuk mencapai kelas diameter berikutnya hingga kelas diameter pohon yang dapat ditebang, dan 3 besarnya pengurangan
jumlah pohon dalam setiap kelas diameter karena mati sebelum mencapai kelas diameter pohon yang dapat ditebang.
2.4 Pengelompokan Jenis Pohon
Oleh karena jenis-jenis pohon memiliki karakteristik pertumbuhan yang khas, maka beberapa cara pengelompokan jenis pohon telah coba dilakukan. Menurut
Phillips et al. 2002, beberapa cara pengelompokan jenis pohon yang pernah digunakan dalam beberapa penelitian terdahulu diantaranya : 1 berdasarkan klasifikasi taksonomi
2 berdasarkan status komersil tidaknya jenis kayu, 3 berdasarkan atribut fungsional seperti tahan naungan atau tinggi potensial, 4 berdasarkan karakteristik pertumbuhan
pohon riap danatau rekrutmen. Pengelompokan berdasarkan status komersil yang dikombinasikan dengan
informasi taksonomi seperti yang pernah digunakan Rombouts 1998 dalam Phillips
13 Gardingen 1999 menghasilkan 19 kelompok jenis pohon, dan masih dirasakan kurang
cocok untuk memodelkan pertumbuhan karena beragamnya karakteristik pertumbuhan pohon-pohon di hutan tropik dan pengertian status komersil pohon bisa beragam
tergantung lokasi daerah, perusahaan dan bisa berubah dari tahun ke tahun. Pengelompokan jenis pohon yang dilakukan Ong Kleine 1995 dalam Phillips
Gardingen 1999 dan dikembangkan untuk model DIPSIM di Sabah, Malaysia, menghasilkan lebih banyak lagi yaitu 22 kelompok jenis pohon. Phillips Gardingen
1999 serta Phillips et al. 2002 dalam pengelompokan jenis pohon di Kalimantan Timur berdasarkan karakteristik ekologis dan kecepatan pertumbuhan pohon
menghasilkan 10 kelompok jenis pohon yang kemudian disederhanakan lagi menjadi 8 kelompok jenis pohon Lampiran 4.
Terlalu banyaknya kelompok jenis dalam kajian dinamika struktur tegakan, dapat menyulitkan evaluasi atau interpretasi parameter model tiap kelompok jenis, selain itu
akan sulit untuk mendapatkan ikhtisar dari gambaran umum tentang keadaan hutan Phillips et al. 2002. Pengelompokan jenis yang terlalu spesifik dapat menyebabkan
lebih besar kemungkinan tidak diperolehnya pengamatan tidak ada pohon pada kelas diameter tertentu, sehingga tidak semua jenis memiliki data yang cukup untuk
dilakukan pemodelan Vanclay 1995. Nilai ekonomi dan keragaman tegakan hutan tropis sangat ditentukan selain oleh
sebaran diameter pohonnya juga komposisi jenisnya. Atas dasar pertimbangan ekonomi, pohon-pohon hutan tropis di Asia Tenggara secara umum dapat dikelompokan
atas: kelompok dipterokarpa dan non dipterokarpa. Kelompok jenis dipterokarpa secara umum dianggap sebagai jenis yang lebih berharga Ingram Buongiorno 1996.
Korsgaard 2002 menyatakan bahwa di Malaysia, semua jenis dipterokarpa dianggap sebagai jenis komersil. Berdasarkan pengamatan beberapa PUP pada beberapa
IUPHHK di Kalimantan, Wulandari 2010 menyimpulkan bahwa secara umum kelompok jenis dipterokarpa memiliki pertumbuhan yang relatif lebih cepat dibanding
kelompok jenis non dipterokarpa, yaitu berdasarkan contoh 7 IUPHHK di Kalimantan diperoleh riap diameter masing-masing 0,55 cm dan 0,43 cm.
Mengikuti pengelompokan jenis seperti yang dilakukan Ingram Buongiorno 1996, dalam penelitian ini tegakan dikelompokan menjadi 2 kelompok jenis pohon,
yaitu: kelompok dipterokarpa dan non dipterokarpa. Selain oleh Ingram Buongiorno 1996, pengelompokan jenis menjadi kelompok dipterokarpa dan non dipterokarpa,
pernah juga dilakukan oleh Mendoza et al. 2000 dalam kajian pertumbuhan tegakan hutan bekas tebangan di Kalimantan Selatan serta Favrichon Kim 1998 dalam
14 Krisnawati 2001 yang mengkaji pertumbuhan tegakan hutan bekas tebangan di Berau,
Kalimantan Timur.
2.5 Kelas Diameter Pohon