Sistem Silvikultur TPTI TINJAUAN PUSTAKA

9

2.2 Sistem Silvikultur TPTI

Hutan alam hujan tropis merupakan hutan yang heterogen, tidak seumur dan dengan komposisi jenis pohon yang tinggi. Indrawan 2000 mengemukakan bahwa jenis pohon berdiameter setinggi dada 20 cm ke atas di areal HPH PT Ratah Timber Co. Kalimantan Timur mencapai 79 jenis per ha pada areal hutan primer, dan 36-90 jenis pohon per ha pada areal HABT. Sedangkan Bertault dan Kadir 1998 yang dikutip Phillips et al. 2002 melaporkan bahwa pada sebuah plot seluas 1 ha hutan dipterokarpa campuran di Asia Tenggara dapat meliputi 80-200 jenis pohon yang berbeda dengan diameter 10 cm ke atas. Dari segi jumlah pohon, Sutisna 1997 menyatakan bahwa jumlah pohon berdiameter 10 cm ke atas pada hutan klimaks di Indonesia umumnya berkisar antara 400-600 pohon per ha. Sedangkan Elias 1997 melaporkan bahwa di Kalimatan Timur jumlah pohon berdiameter 10 cm ke atas sebelum penebangan bisa mencapai 746 pohon per ha. Pada hutan alam tidak seumur dengan komposisi jenis yang tinggi seperti itu, sistem silvikultur yang cocok adalah sistem tebang pilih dengan batas diameter tertentu yang dapat ditebang dan sejumlah pohon inti tertentu yang harus tersedia setelah penebangan Suhendang 2002. Pada periode 1972-1989, berdasarkan SK Direktur Jenderal Kehutanan No. 35KptsDDI1972 tgl 13 Maret 1972, pengelolaan hutan alam di Indonesia menggunakan sistem silvikultur Tebang Pilih Indonesia TPI. Selanjutnya diubah menjadi Tebang Pilih Tanam Indonesia TPTI berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 485KptsII1989 tgl 18 September 1989 dan SK Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 564KptsIV-BPHH1989 tertanggal 30 Nopember 1989, yang kemudian disempurnakan dengan keluarnya SK Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 151KptsIV-BPHH1993 tertanggal 19 Oktober 1993 tentang Pedoman TPTI. Beberapa butir pokok yang melandasi sistem silvikultur TPITPTI pada hutan alam daratan tanah kering adalah: 1. Batas diameter terkecil pohon jenis komersil yang boleh ditebang adalah 50 cm untuk Hutan Produksi TetapHP dan 60 cm untuk Hutan Produksi Terbatas HPT. 2. Jumlah pohon inti dalam tegakan tinggal, yaitu pohon jenis komersil dengan diameter 20-49 cm sedikitnya 25 pohon per ha. 3. Riap diameter pohon diasumsikan 1 cm per tahun. 4. Rotasi tebang ditetapkan 35 tahun. 5. Metode pengaturan hasil ditentukan berdasarkan volume dan luas, dengan rumus Suhendang et al. 1995: 10 a. Periode 20 tahun pertama: Etat volume : JPT = 80 x V35 m³thn Etat luas = L35 hathn di mana: JPT = jatah produksi tahunan; V = total volume pohon jenis komersial dari seluruh areal kerja produktif m³; L = luas areal produktif ha b. Periode tahun ke-21 sampai dengan 35: Etat volume: JPT = 80 x Vp35 −20 m³thn Etat luas = Lp35 −20 hathn di mana: Vp = total volume pohon jenis komersial dari hutan primer yang tersisa dalam seluruh areal kerja produktif m³; Lp = luas areal hutan primer yang tersisa dalam seluruh areal kerja produktif ha. Menurut Suhendang et al. 1995, sejak awal berlakunya sistem silvikultur TPITPTI memiliki beberapa kelemahan yang mendasar, yaitu: 1. Asumsi bahwa riap diameter sebesar 1 cm per tahun untuk semua jenis pohon, semua kelas diameter, semua tipe hutan, dan semua kondisi hutan adalah tidak benar. Data berdasarkan pengukuran PUP menunjukkan bahwa riap diameter bervariasi menurut jenis atau kelompok jenis pohon, dan tempat tumbuh. 2. Penentuan rotasi tebang yang sama 35 tahun untuk semua tipe dan kondisi hutan adalah tidak benar. Rotasi tebang seharusnya ditentukan berdasarkan riap diameter pohon. 3. Penggunaan metode pengaturan hasil berdasarkan volume tegakan tanpa informasi tentang riap diameter pohon atau riap volume tegakan yang benar, akan mengarah kepada kesimpulan yang keliru. Situasi pengelolaan hutan alam produksi saat ini sudah amat berbeda dengan situasi saat-saat awal pengelolaan hutan alam dimulai pada awal tahun 1970-an, karena sebagian areal hutan alam yang semula merupakan hutan primer sekarang telah berubah menjadi hutan bekas tebangan Parthama 2002. Pada saat dimulainya periode pengusahaan hutan untuk rotasi yang kedua, tegakan hutan yang terdapat dalam satu kesatuan pengusahaan hutan akan terdiri atas tegakan-tegakan yang memiliki jangka waktu setelah penebangan bervariasi antara 0-35 tahun. Untuk menentukan besarnya JPT baik berdasarkan volume ataupun jumlah pohon diperlukan perkiraan mengenai besarnya volume atau jumlah pohon yang boleh dipanen pada saat setiap tegakan itu 11 akan ditebang. Sehubungan dengan itu maka diperlukan metode untuk memproyeksikan keadaan tegakan pada saat akan ditebang berdasarkan informasi keadaan tegakan hutan saat ini, yaitu pada saat JPT dihitung Suhendang et al. 1995.

2.3 Pengaturan Hasil Berdasarkan Jumlah Pohon