11 akan ditebang. Sehubungan dengan itu maka diperlukan metode untuk
memproyeksikan keadaan tegakan pada saat akan ditebang berdasarkan informasi keadaan tegakan hutan saat ini, yaitu pada saat JPT dihitung Suhendang et al. 1995.
2.3 Pengaturan Hasil Berdasarkan Jumlah Pohon
Sistem silvikultur TPITPTI telah digunakan pada areal hutan alam primer. Selanjutnya oleh karena adanya beberapa kelemahan mendasar seperti telah diuraikan di
muka dan telah berubahnya kondisi sebagian besar areal hutan alam produksi dari yang semula sebagai hutan primer menjadi hutan bekas tebangan, maka perlu dirumuskan
kembali sistem silvikultur yang cocok untuk pengelolaan hutan alam produksi pada rotasi tebang yang kedua, ketiga, dan seterusnya.
Pengaturan hasil dengan dasar perhitungan potensi tegakan berdasarkan volume kurang mampu menerangkan gambaran keadaan tegakan sisa yang diperlukan sebagai
persediaan dan pembinaan tegakan untuk rotasi tebang berikutnya. Penentuan etat berdasarkan volume hanya cukup berarti untuk memberikan gambaran ketersediaan
bahan baku kayu bulat, namun kurang tepat bila dijadikan sebagai alat kendali kelestarian hutan alam produksi Suhendang 2005. Oleh karena itulah maka
pengaturan hasil hutan alam akan lebih tepat apabila ditentukan berdasarkan jumlah pohon dari pada volume kayu.
Jumlah pohon dalam tegakan dapat dievaluasi melalui pengamatan terhadap dinamika struktur tegakan horizontalnya. Informasi tentang struktur tegakan ini dapat
memenuhi keperluan untuk pertimbangan ekonomi maupun ekologi dalam pengelolaan hutan. Untuk pertimbangan faktor ekonomi, struktur tegakan dapat menunjukan potensi
tegakan pohon masak tebang minimal yang harus tersedia agar pengelolaan hutan layak dilakukan. Sedangkan untuk pertimbangan ekologi, ST dapat menggambarkan
kemampuan regenerasi dari tegakan tersebut Suhendang 1994. Walaupun demikian disadari bahwa melalui ST ini informasi yang lebih detail tentang jenis pohon untuk
informasi keragaman jenis dan ukuran diameter setiap pohonnya tidak dapat diperoleh. Keputusan Menteri Kehutanan No. 8171Kpts-II2002 tentang kriteria potensi
hutan alam pada hutan alam produksi yang dapat diberikan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu IUPHHK pada hutan alam, mengatur bahwa hutan produksi yang dianggap
masih produktif adalah areal hutan produksi dengan penutupan vegetasi berupa hutan alam sekunder atau primer dengan kriteria teknis menggunakan jumlah pohon per kelas
diameter sebagai acuan Tabel 2. Kriteria tersebut digunakan pula dalam Keputusan
12 Menteri Kehutanan No. 88Kpts-II2003 tentang kriteria potensi hutan alam pada hutan
produksi yang dapat dilakukan pemanfaatan hutan secara lestari. Dalam kedua aturan tersebut jumlah pohon berdasarkan kelas diameternya menjadi kunci pokok sebagai
kriteria dalam menentukan produktif tidaknya sebuah areal hutan alam produksi. Tabel 2 Jumlah pohon komersil minimal pada hutan alam produktif tanah kering
Jumlah pohon komersil minimal yang sehat per ha per regional
No. Klas
diameter cm
I II
III IV
V VI
Keterangan regional
1 10 – 19
108 108
108 108
108 108
2 20 – 49
39 39
39 39
39 39
3 50
16 15
15 14
17 14
I. Sumatera II. Kalimantan
III. Sulawesi ; IV. NTB V. Maluku ; VI. Papua
Sumber : 1. SK Menteri Kehutanan No. 8171Kpts-II2002 2. SK Menteri Kehutanan No. 88Kpts-II2003
Untuk hutan alam di Indonesia, Suhendang 1994 mengkaji penggunaan metode pengaturan hasil berdasarkan jumlah pohon yang merupakan modifikasi dari Metode
Brandis. Pada metode Brandis, Jatah Produksi Tahunan JPT berdasarkan jumlah pohon diperoleh dari hutan tidak seumur yang homogen dan belum mengalami penataan
hutan. Sedangkan dalam kajian Suhendang 1994, JPT berdasarkan jumlah pohon diperoleh dari hutan tidak seumur yang heterogen namun telah mengalami penataan
hutan. Metode ini berlandaskan kepada beberapa sifat tegakan persediaan, yaitu: 1 jumlah pohon yang ada pada setiap kelas diameter, 2 waktu yang diperlukan oleh
pohon-pohon pada kelas diameter tertentu untuk mencapai kelas diameter berikutnya hingga kelas diameter pohon yang dapat ditebang, dan 3 besarnya pengurangan
jumlah pohon dalam setiap kelas diameter karena mati sebelum mencapai kelas diameter pohon yang dapat ditebang.
2.4 Pengelompokan Jenis Pohon