Penelitian Dinamika Struktur Tegakan Hutan Tidak Seumur di Indonesia

18 KD sebelumnya Persamaan 6. Pendugaan parameter dilakukan untuk setiap persamaan masing-masing KD secara sendiri-sendiri, dengan metode ”ordinary least square ” OLS. 1 , , , i t i i t i i t y a y b y θ + − = + [6] Metode III: Seperti halnya Metode II, tetapi pendugaan parameter pada persamaan [6] untuk semua KD KD ke-2, ke-3 dan seterusnya dilakukan secara serentak menggunakan prosedur ”seemingly unrelated regression” SUR. Metode ini dilakukan untuk mengatasi kemungkinan adanya korelasi antara sisaan dalam sebuah persamaan dengan sisaan dalam persamaan lain yang berurutan, sehingga semua penduga parameter dalam semua persamaan diduga secara simultan dalam sekali operasi. Metode IV: Metode ini dikembangkan untuk mengatasi tidak saling bebasnya antar parameter dalam sebuah persamaan bahkan terhadap parameter persamaan lain dalam persamaan simultan dari model pertumbuhan hutan. Pendugaan parameter dilakukan secara rekursif, artinya sebuah penduga parameter yang dihasilkan dari persamaan terakhir persamaan [7] akan digunakan pada saat menduga parameter dalam persamaan sebelumnya persamaan [8], demikian seterusnya hingga persamaan pertama [persamaan [9]. , , 1 , 1 n t n n t n n t y m y b y θ + − − − = [7] 1, 1 1, 1 2 , 1 n t n n n t n n t y b m y b y θ − + − − − − − − − = [8] 1, 2 1 1, 1 2 1 1 1 n n t t i i i i i y b m y B y y θ β β β + = = − − − = + + ∑ ∑ [9]

2.8 Penelitian Dinamika Struktur Tegakan Hutan Tidak Seumur di Indonesia

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia yang berkaitan dengan topik metode pengaturan hasil hutan alam produksi bekas tebangan melalui proyeksi struktur tegakan horizontalnya, antara lain: 1. Penggunaan model matriks pertumbuhan Leslie dalam mempelajari dinamika tegakan hutan alam di Indonesia dipelopori oleh Agus Setyarso pada 1984 untuk melihat proyeksi struktur tegakan hutan alam sesudah penebangan di Pulau Laut Kalimantan Selatan yang dikelola dengan sistem TPI. Dalam penelitian ini proyeksi tegakan dilakukan dengan menggunakan nilai-nilai komponen dinamika struktur tegakan yang diperoleh dari PUP yang tersedia di areal tersebut dengan nilai yang tetap selama rentang waktu proyeksi yang dilakukan Setyarso 1991. Model 19 pertumbuhan dengan matriks transisi pada areal yang sama juga digunakan oleh Mendoza dan Setyarso 1986 untuk mengevaluasi alternatif skema penebangan. Proyeksi struktur tegakan dilakukan dengan menggunakan nilai rekrutmen yang tetap selama rentang waktu proyeksi sedangkan tambah tumbuh dan mortalitas merupakan nilai proporsi yang juga bernilai tetap selama rentang waktu proyeksi. 2. Suhendang 1994 juga menggunakan model matriks pertumbuhan Leslie untuk menyusun model dinamika tegakan hutan alam sesudah penebangan di HPH PT Siak Raya Timber Provinsi Riau. Dalam penelitian ini proyeksi tegakan dilakukan dengan menggunakan nilai poporsi rekrutmen, tambah tumbuh, dan mortalitas yang diperoleh dari PUP yang tersedia dengan nilai yang tetap selama rentang waktu proyeksi yang dilakukan. Proyeksi tegakan dilakukan hingga tegakan mencapai keadaan mendekati keadaan hutan primernya sebelum ditebang. Selanjutnya model dinamika tegakan yang diperoleh dipergunakan untuk menentukan preskripsi pengaturan hasil. Hasil dari kajian ini menghasilkan sebuah program kemasan yang disebut Metode pengaturaN Hasil berdasarkan Intensitas Penebangan Berimbang disingkat menjadi MNH-IPB, yaitu sebuah metode pengaturan hasil penentuan AAC menurut jumlah pohon berdasarkan intensitas tebangan optimum dan proporsional menurut jenis atau kelompok jenis dan kelas diameter Suhendang et al . 1995. 3. Indrawan 2000 mengkaji perkembangan suksesi tegakan hutan alam setelah penebangan dalam sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia dan membuat model simulasi perkembangan tegakannya. Dalam penelitian ini proyeksi tegakan dilakukan dengan menggunakan nilai-nilai rekrutmen, tambah tumbuh yang diduga berdasarkan data riap diameter, dan mortalitas dengan nilai yang tetap selama rentang waktu proyeksi. Dari ketiga komponen dinamika struktur tegakan tersebut, hanya data riap diameter yang digunakan untuk menghitung tambah tumbuh yang diperoleh dari PUP yang tersedia di Pulau Laut Kalimantan Selatan HPH PT Inhutani II, sedangkan untuk data rekrutmen, Indrawan 2000 mengutip Whitmore 1986 dan untuk data mortalitas, Indrawan 2000 mengutip Appanah et al. 1990 serta Elias et al. 1997. Model yang diperoleh selanjutnya digunakan dalam simulasi untuk mendapatkan rotasi tebang hutan bekas tebangan di HPH PT Inhutani II Kalimantan Selatan dan HPH PT Ratah Timber Co. Kalimantan Timur. Atas dasar kecukupan pohon inti sebelum ditebang yang bisa mencapai ukuran layak tebang, di HPH PT Inhutani II diperoleh rotasi tebang I 24 tahun dan rotasi 20 tebang II 37 tahun. Sedangkan di HPH PT Ratah Timber Co. diperoleh rotasi tebang I 30 tahun dan rotasi tebang II 43 tahun. 4. Ermayani 2000 mengkaji pertumbuhan tegakan hutan alam bekas tebangan di HPH PT Dwimajaya Utama, Kalimantan Tengah. Dalam penelitian ini pun proyeksi tegakan dilakukan dengan menggunakan nilai-nilai rekrutmen, tambah tumbuh yang diduga berdasarkan data riap diameter, dan mortalitas yang diperoleh dari PUP yang tersedia dengan nilai yang tetap selama rentang waktu proyeksi yang dilakukan. Proyeksi tegakan dilakukan untuk menentukan lamanya waktu yang diperlukan tegakan mencapai keadaan mendekati keadaan hutan primernya sebelum ditebang. 5. Aryanto 2001 melakukan simulasi pengaturan hasil hutan kayu secara adaptif pada hutan alam bekas tebangan di HPH PT Belayan River Timber, Kalimantan Timur. Dalam penelitian ini proyeksi tegakan dilakukan dengan menggunakan nilai-nilai rekrutmen, tambah tumbuh yang diduga berdasarkan data riap diameter, dan mortalitas yang diperoleh dari PUP yang tersedia dengan nilai yang tetap selama rentang waktu proyeksi yang dilakukan. Selanjutnya hasil proyeksi struktur tegakan horizontal divalidasi menggunakan data PUP dengan rentang waktu 5 tahun, dan diperoleh kesimpulan bahwa pada tingkat keyakinan 95 struktur tegakan berdasarkan model tidak menunjukkan perbedaan dengan keadaan aktualnya. Pengaturan hasil secara adaptif dalam penelitian ini berarti bahwa penebangan dilakukan tidak dengan rotasi tebang tertentu yang tetap, melainkan kapan saja sepanjang persediaan tegakan terpenuhi sesuai skenario pengaturan hasil dan harga di atas rata-rata. Untuk kasus di areal penelitian ini, secara ekologis dan finansial, pengaturan hasil secara adaptif dengan proyeksi tegakan selama 105 tahun memperlihatkan hasil yang lebih baik dibanding rotasi tebang yang tetap 20, 35, dan 50 tahun. 6. Taptajani 2002 juga melakukan simulasi pengaturan hasil hutan kayu secara adaptif pada hutan alam bekas tebangan di HPH PT Timberdana, Kalimantan Timur. Dalam penelitian ini proyeksi tegakan dilakukan dengan menggunakan nilai-nilai rekrutmen, tambah tumbuh yang diduga berdasarkan data riap diameter, dan mortalitas yang diperoleh dari PUP yang tersedia dengan nilai yang tetap selama rentang waktu proyeksi yang dilakukan. Selanjutnya hasil proyeksi struktur tegakan horizontal divalidasi menggunakan data PUP dengan rentang waktu 4 tahun dan diperoleh kesimpulan bahwa pada tingkat keyakinan 95 struktur tegakan berdasarkan model tidak menunjukkan perbedaan dengan keadaan aktualnya. Untuk 21 kasus di areal penelitian ini, secara ekologis dan finansial, pengaturan hasil secara adaptif dengan proyeksi tegakan selama 105 tahun juga memperlihatkan hasil yang lebih baik dibanding rotasi tebang yang tetap 20, 35, dan 50 tahun. 7. Rusolono et al. 1997 menggunakan model matriks untuk menyusun model pertumbuhan dan dinamika tegakan hutan alam bekas tebangan di Pulau Laut Kalimantan Selatan. Dalam penelitian ini proyeksi tegakan dilakukan dengan menggunakan nilai proporsi tambah tumbuh dan mortalitas yang diperoleh dari PUP yang tersedia dengan nilai yang tetap selama rentang waktu proyeksi yang dilakukan. Sedangkan rekrutmen disusun sebagai fungsi dari luas bidang dasar dan kerapatan pohon setelah penebangan, yang menghasilkan koefisien determinasi 64,5-76,3. Karena menggunakan komponen tambah tumbuh dan mortalitas yang nilainya tetap selama rentang waktu proyeksi tegakan, Rusolono et al. 1997 menyarankan agar penggunaan model dinamika tegakan yang diperoleh dalam penelitian ini untuk memproyeksikan tegakan sebaiknya dilakukan dalam rentang waktu tidak lebih dari 20 tahun, lebih dari itu akan menghasilkan struktur tegakan horizontal yang tidak rasional. 8. Krisnawati 2001 membuat simulasi pengaturan hasil hutan alam bekas tebangan dengan pendekatan dinamika struktur tegakan di HPH PT Sarmiento Parakantja Timber, Kalimantan Tengah. Dalam penelitian ini proyeksi tegakan dilakukan dengan menggunakan nilai-nilai rekrutmen, tambah tumbuh dan mortalitas berdasarkan data yang diperoleh dari PUP yang tersedia dan disusun sebagai fungsi dari luas bidang dasar, kerapatan atau diameter pohon. Model rekrutmen yang disusun sebagai fungsi dari kerapatan pohon dan luas bidang dasar menghasilkan koefisien determinasi 45,5-65,6. Model tambah tumbuh yang disusun sebagai fungsi dari luas bidang dasar dan diameter pohon menghasilkan koefisien determinasi 20,1-37,6. Model mortalitas yang disusun sebagai fungsi dari kerapatan pohon, luas bidang dasar, dan diameter pohon menghasilkan koefisien determinasi 11,8-29,3. Hasil proyeksi struktur tegakan horizontal divalidasi menggunakan data PUP dengan rentang waktu proyeksi 6 tahun, dan diperoleh kesimpulan bahwa pada tingkat keyakinan 99 struktur tegakan berdasarkan model tidak menunjukkan perbedaan dengan keadaan aktualnya. Model dinamika tegakan yang diperoleh digunakan untuk melakukan proyeksi tegakan untuk menentukan lamanya waktu yang diperlukan tegakan mencapai keadaan mendekati keadaan hutan primernya. Selanjutnya juga dilakukan simulasi pengaturan hasil dengan sistem penebangan batas diameter pohon yang boleh ditebang dan ketersediaan 22 pohon inti mengacu ke aturan TPTI. Simulasi pengaturan hasil dilakukan dengan berbagai kombinasi rotasi tebang dan intensitas tebangan. 9. Labetubun et al. 2005 juga membuat simulasi pengaturan hasil hutan alam bekas tebangan melalui pendekatan model dinamika struktur tegakan di HPH PT Telagabakti Persada Pulau Obi Provinsi Maluku Utara. Dalam penelitian ini proyeksi tegakan dilakukan dengan menggunakan nilai-nilai rekrutmen, tambah tumbuh dan mortalitas berdasarkan data yang diperoleh dari PUP yang tersedia dan disusun sebagai fungsi dari luas bidang dasar atau diameter pohon. Model rekrutmen yang disusun sebagai fungsi dari luas bidang dasar tegakan menghasilkan koefisien determinasi 17,9-42,7. Model tambah tumbuh yang disusun sebagai fungsi dari luas bidang dasar dan diameter pohon menghasilkan koefisien determinasi 10,7-14,6. Model mortalitas yang disusun sebagai fungsi dari diameter pohon menghasilkan koefisien determinasi 12,4-29,6. Hasil proyeksi struktur tegakan horizontal divalidasi menggunakan data PUP dengan rentang waktu proyeksi 4 tahun, dan diperoleh kesimpulan bahwa pada tingkat keyakinan 95 struktur tegakan berdasarkan model tidak menunjukkan perbedaan dengan keadaan aktualnya. Model dinamika tegakan yang diperoleh digunakan untuk melakukan simulasi proyeksi tegakan untuk menentukan rotasi tebang dengan berbagai intensitas penebangan yang dicoba. Selanjutnya ditentukan kombinasi rotasi tebang dan intensitas penebangan optimal dengan memperhatikan keanekaragaman pohon dan kriteria finansial land expectation value LEV, net present valueNPV, dan benefit cost ratio BCR. 10. Sumarna et al. 2002 mengembangkan metode pengaturan hasil untuk hutan alam bekas tebangan di Indonesia dengan menggunakan rumus: JPT = 135 x L x Vest x fp x fe [10] di mana: JPT = Jatah produksi tahunan m³thn L = luas areal tebangan ha fp = faktor pengaman fe = faktor eksploitasi Vest = proyeksi potensi tegakan pada akhir masa rotasi tebang m³ha Potensi tegakan, Vest, ditentukan berdasarkan data hasil inventarisasi hutan terakhir pada areal tebangan kemudian diproyeksikan dengan menggunakan salah satu dari dua pendekatan berikut, yaitu: 1 menggunakan data riap volume rata-rata tegakan; 2 menggunakan model DST. Riap volume rata-rata tegakan dan model DST diperoleh dari data PUP. 23 11. Wahjono dan Krisnawati 2002 menyusun model DST untuk pendugaan hasil di hutan alam rawa bekas tebangan di areal HPH PT Putraduta Indah Wood, Jambi. Model DST dibangun menggunakan data PUP hasil 6 kali pengukuran ulang dan mengikuti model eksponensial negatif, yaitu: Ndi t = k e −fDi, N0di,t , di mana: Ndi t = jumlah pohon pada KD ke-i waktu t; Di = KD pohon ke-i; N0di = jumlah pohon pada KD ke-i pada waktu t = 0 awal pengukuran; t = tahun pengukuran; k = konstanta yang menunjukkan kerapatan tegakan pada KD rendah; e = konstanta yang merupakan bilangan natural; dan fDi,N0di,t = suatu persamaan yang akan mempengaruhi laju penurunan jumlah pohon pada setiap kenaikan KD. Model yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk menduga struktur tegakan dan volume tegakan pada rentang waktu proyeksi 10 tahun. 12. Program kemasan berbasis komputer yang mensimulasikan pertumbuhan dan pengaturan hasil hutan alam bekas tebangan di Indonesia, di antaranya: a. Dipterocarp Forest Growth Simulation Model, disingkat DIPSIM, yang merupakan hasil dari sebuah kerjasama bertajuk Promotion of Sustainable Forest Management Systems SFMP in East Kalimantan, kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan Jerman Deutsche Gesellschaft fur Technische Zussamenarbeit , GTZ, sehingga untuk versi ini disebut juga DIPSIM-Kaltim. DIPSIM-Kaltim terdiri atas model yang dapat digunakan untuk memperkirakan potensi tegakan dan riap volume tegakan berdasarkan riap diameter pohon, perubahan kualitas pohon, mortalitas dan rekrutmen serta model simulasi penebangan berdasarkan sistem TPTI atau skema pengaturan hasil yield scheduling yang sifatnya ”uji coba” Kleine Hinrich 1999; Kleine Hinrich 2002. Aplikasi DIPSIM-Kaltim merupakan model growth and yield untuk hutan tropis yang mempertimbangkan fungsi-fungsi pertumbuhan riap diameter, rekrutmen, mortalitas dan penebangan, menggunakan data hasil inventarisasi dan informasi rencana penebangan Hinrich Solichin 2000. Fungsi riap diameter berdasarkan kelompok jenis, rekrutmen dan mortalitas dalam model dibangun berdasarkan data PUP di areal HPH PT ITCI dan PT Inhutani I–Berau, Kalimantan Timur. Riap diameter serta mortalitas merupakan fungsi dari luas bidang dasar, diameter dan lamanya waktu setelah ditebang, sedangkan rekrutmen merupakan fungsi dari luas bidang dasar Kleine Hinrich 1999. Parthama 2002 menyatakan bahwa DIPSIM dibuat untuk tujuan penentuan AAC, DIPSIM semula dikembangkan dan diterapkan untuk hutan tropis yang didominasi dipterokarpa di Sabah, Malaysia. AAC dalam 24 DIPSIM adalah tingkat pemanenan pada tahun tertentu yang tidak mengakibatkan penurunan potensi tegakan melainkan sebaliknya memberi peluang bagi tegakan tersebut untuk tumbuh ke tingkat potensi yang diharapkan. DIPSIM mendapatkan nilai AAC melalui proses trial and error menggunakan berbagai intensitas penebangan. Keputusan apakah suatu tegakan ditebang atau tidak didasarkan pada pertimbangan ekonomis economical benchmark dan batasan-batasan menejerial serta pembandingan dengan kondisi tegakan optimal, sehingga luas areal penebangan tiap tahun adalah output, bukan input. b. Sustainable and Yield Management for Tropical Forests, disingkat SYMFOR, yang merupakan hasil dari sebuah kerjasama bertajuk Indonesian Tropical Forestry Management Project ITFM kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan Inggeris Forestry Research Programme of the UK Department for International Development , DFID-FRP. SYMFOR terdiri atas dua jenis model, yaitu : 1 model untuk proses pertumbuhan hutan secara alami berdasarkan pertumbuhan pohon, mortalitas dan rekrutmen, berdasarkan data PUP; 2 model untuk keperluan strategi pengelolaan hutan. Dengan SYMFOR seorang menejer, pengambil kebijakan atau silvikulturis dapat mengembangkan pilihan-pilihan sistem silvikultur dengan menggunakan model yang sesuai dengan kondisi alamiah hutannya Phillips et al. 2000. SYMFOR dapat digunakan untuk tujuan pengelolaan hutan, penelitian kehutanan, serta monitoring dan evaluasi pengelolaan hutan lestari, dengan menggunakan data serial PUP. Program ini tidak khusus dibuat untuk menentukan AAC, melainkan untuk mempelajari dampak ekonomis dan ekologis dari suatu perlakuan, termasuk intensitas penebangan, sehingga AAC yang tepat, ialah yang memberikan hasil ekonomis terbaik namun tidak mengorbankan kelestarian. SYMFOR menuntut ketersediaan data PUP Parthama 2002. c. Yield Simulation System YSS adalah sebuah program kemasan hasil kerjasama Pemerintah Indonesia dengan Uni Eropa dalam proyek Berau Forest Management Project BFMP. YSS terdiri atas beberapa modul program untuk memproses data PUP. Model dalam modul dapat digunakan untuk menduga kondisi tegakan di masa yang akan datang dengan teknik simulasi menggunakan matriks transisi. Menurut Parthama 2002, serupa dengan perangkat lunak sebelumnya YSS juga bekerja secara trial and error dan luasan penebangan tiap tahun adalah output, bukan input. Perbedaan penting dengan yang lainnya ialah pengurangan luas areal hutan secara eksplisit di-inputkan ke dalam model. 25 d. Methods of Yield Regulation with Limited Information MYRLIN dikembangkan oleh Oxford Forestry Institute yang merupakan bagian dari DFID-FRP, Inggris, melalui proyek dengan nama: “Humid and semi-humid tropical forest yield regulation with minimal data” . Program kemasan ini dibuat dengan berdasarkan latar belakang keterbatasan informasi yang dipunyai oleh negara-negara tropis termasuk Indonesia. MYRLIN diperkenalkan penggunaannya dalam sebuah workshop di Oxford University Computer Service teaching laboratory pada September 2001 yang diikuti oleh peserta dari negara tropika: Guyana, Brazil, Costa Rica, Ecuador, Argentina, Ghana, Cameroon, Uganda, Malaysia dan Indonesia. Salah satu rekomendasi dari workshop adalah dilakukannya Pilot Studi di negara-negara peserta. Untuk Indonesia model simulasi ini telah di implementasikan pada HPH PT. Intracawood, Provinsi Kalimantan Timur. MYRLIN merupakan sebuah model simulasi yang digunakan untuk memprediksi kondisi tegakan di masa yang akan datang, dengan menggunakan data yang diperoleh dari hasil inventarisasi, informasi dasar yang dapat diperoleh antara lain mengenai kondisi hutan, tingkat equilibrium tegakan hutan dan berbagai pilihan tingkat pemanenan SCKPFP 2002. Menurut Parthama 2002, MYRLIN diharapkan bisa menjadi sebuah perangkat Pan-Tropical, artinya dapat digunakan di daerah tropis mulai dari Brazil hingga Mali di Afrika. Hal itu bisa dicapai apabila library data PUP semakin lengkap mencakup berbagai daerah tropis di dunia. Menurut Vanclay 2002, anggapan yang mendasari penggunaan MYRLIN dalam memproyeksikan tegakan adalah asumsi bahwa pola riap diameter untuk jenis- jenis hutan tropis secara umum mirip dari suatu daerah dengan daerah lainnya. Uraian hasil-hasil penelitian terdahulu di atas, dirangkum dalam Tabel 4. Secara umum dapat disimpulkan bahwa hasil-hasil penelitian tentang DST di Indonesia: 1. Semuanya bersifat lokal lingkup sebuah areal IUPHHK atau HPH 2. Komponen DST ditentukan sebagai nilai mutlak, proporsi atau merupakan fungsi dari peubah tegakan saja 3. Komponen DST bersifat konstan selama masa proyeksi tegakan 4. Tidak ada validasi terhadap hasil proyeksi ST dalam jangka panjang, untuk mengetahui apakah bisa mencapai keadaan tunak steady state ?. Sesuai ketersediaan data, beberapa penelitian melakukan validasi pada rentang waktu proyeksi 6 tahun atau kurang. 26 Tabel 4 Ringkasan hasil-hasil penelitian tentang dinamika struktur tegakan di Indonesia Rekrutmen Up growth Mortalitas Rentang Waktu Komponen DST Validasi Intensitas Penebangan Rotasi Batas Dbh Ditebang Batas Dbh Ph Inti 1 Setyarso 1991 P. Laut Kalsel nilai mutlak proporsi proporsi 10-70 th statis Tidak ada - - - - - - - - - - - - 2 Mendoza Setyarso 1986 P. Laut Kalsel nilai mutlak proporsi proporsi 35 45 th statis Tidak ada Tertentu kombinasi 35 45 th 40 50 cm 20 35 cm 3 Suhendang 1994; Suhendang et al . 1995 MNH-IPB PT Siak Raya Timber Riau proporsi proporsi proporsi Tidak ditentukan statis Tidak ada Fleksibel faktor pengaman : 1-0 Fleksibel 50 cm 20 cm 4 Indrawan 2000 P. Laut Kalsel PT Ratah Timber, Kaltim proporsi dari riap Dbh proporsi 100 tahun statis Tidak ada 100 Fleksibel 50 cm 20 cm 5 Ermayani 2000 PT Dwimajaya Utama, Kalteng nilai mutlak dari riap Dbh proporsi 35 th statis Tidak ada Tidak ditentukan Fleksibel 60 cm 20 cm 6 Aryanto 2001 PT Belayan River Timber, Kalteng proporsi dari riap Dbh proporsi 105 tahun statis Tahun ke-5 80 ; adaptif 40 20,35,50 th adaptif 50 cm 20 cm 7 Taptajani 2002 PT Timberdana, Kaltim proporsi dari riap Dbh proporsi 105 tahun statis Tahun ke-5 80 ; adaptif 40 20,35,50 th adaptif 50 cm 20 cm 8 Rusolono et al . 1997 P. Laut Kalsel fB;N proporsi proporsi 20 th statis Tidak ada - - - - - - - - - - - - 9 Krisnawati 2001 PT Sarpatim, Kalteng fB;N fB;N fB;N;D 70 tahun statis Tahun ke-6 0.4-2.4 10 cm up Fleksibel 50 cm 20 cm 10 Labetubun et al . 2005 PT Telagabakti Persada, Maluku Utara fB fD;B fD Tidak ditentukan statis Tahun ke-4 Tertentu kombinasi Fleksibel 30, 40, 50, 60 cm 20 cm 11 Wahjono Krisnawati 2002 PT Putraduta Indah Wood, Jambi - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 12 SFMP 1999DIPSIM PT ITCI dan PT Inhutani I, Kaltim fB Riap D = fB;D;t al fB;D;t al Tidak ditentukan dinamis Tidak ada Fleksibel Fleksibel Fleksibel Fleksibel 13 ITFM 1996 SYMFOR PT Inhutani I, Kaltim STREK Plot fB Riap D = fB;D;t al fB;D;t al Tidak ditentukan dinamis Tidak ada Fleksibel Fleksibel Fleksibel Fleksibel 14 BFMP 1999YSS PT Inhutani I, Kaltim STREK Plot fB Riap D = fB;D;t al fB;D;t al Tidak ditentukan dinamis Tidak ada Fleksibel Fleksibel Fleksibel Fleksibel 15 Oxford Forestry Institute 2001 MYRLIN Pan-Tropical nilai mutlak dari riap Dbh proporsi 150 th statis Tidak ada 30-80 35 th 50 atau 60 cm 20 Keterangan : B = Luas bidang dasar t al = tahun setelah penebangan N = Jumlah pohon L = Peubah-peubah lingkungan D = Dbh = Diameter setinggi dada T = Peubah-peubah tegakan Simulasi Pengaturan Hasil model : Ndi t = k e −fDi, N0di,t No. Kompn Dinamk Struk Tegkn DST Proyeksi Struktur Tegakan PenelitiProgram Kemasan Lokasi

III. METODE PENELITIAN