Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari

Pembangunan berkelanjutan adalah konsep pembangunan yang ingin menyelaraskan antara aktivitas ekonomi dan ketersediaan sumberdaya alam natural resources. Konsep pembangunan seperti ini tidak hanya memperhatikan kepentingan generasi kini, tetapi juga generasi yang akan datang Yakin 1993. Sumberdaya harus dialokasikan secara efisien yang dinamis dynamic efficient allocations . Pendekatan ini dianggap konsisten dengan konsep keberlanjutan karena keuntungan bisa dibagi secara adil antar generasi. Konsep keberlanjutan lebih menekankan aspek keadilan fairness antar generasi daripada efisiensi alokasi Tietenberg 1992. Efisiensi sumberdaya adalah bagaimana menciptakan penggunaan sumberdaya terbaik untuk memaksimalkan kesejahteraan masyarakat community well-being. Melalui pendekatan lingkungan, konsep efisiensi menghendaki adanya langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mengurangi atau mengatasi dampak lingkungan dan meyakinkan bahwa nilai barang dan jasa yang disediakan dengan biaya terendah. Selanjutnya ada usaha yang terus-menerus untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap konsekuensi dan perubahan baru terhadap output dan input. Untuk mencapai hal ini perlu adanya kompromi trade- off antar kepentingan ekonomi dan lingkungan Yakin 1993. Salah satu wilayah yang memungkinkan untuk dapat dikembangkan sebagai Daerah Tujuan Wisata di Kawasan Timur Indonesia DTW-KTI, khususnya wisata bahari adalah Pulau Morotai, Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara.

2.7. Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari

Menurut Kusumastanto 2003, bahwa subsektor pariwisata bahari merupakan sektor yang memiliki masa depan yang menjanjikan untuk menunjang pembangunan kelautan. Dari sisi efisiensi, sektor ini merupakan sektor paling efisien dalam bidang kelautan yang ditunjukkan dengan nilai ICOR sebesar 3,10. Dengan demikian wajar jika pengembangan pariwisata bahari menjadi prioritas. Obyek-obyek utama yang menjadi potensi pariwisata bahari adalah wisata pantai seaside tourism, wisata alam pantai, wisata budaya cultural tourism, wisata pesiar cruise tourism, wisata alam ecotourism, dan wisata olahraga sport tourism , wisata bisnis bisnis tourism. Selanjutnya dikatakan bahwa, fokus utama dalam kebijakan pengembangan wisata bahari terutama diarahkan untuk, 1 meningkatkan ketersediaan sarana publik yang menciptakan pelayanan dan kenyamanan hakiki bagi wisatawan mancanegara maupun domestik yang akan memanfaatkan sumber daya wisata bahari; 2 meningkatkan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia yang berkiprah dalam mengelola wisata bahari; 3 mengembangkan sistem pendataan dan informasi yang lengkap dengan memanfaatkan teknologi yang modern, sehingga memudahkan wisatawan mendapatkan informasi dan akses cepat, mudah serta murah. Pengembangan sistem pendataan dan informasi ini sekaligus melayani dan mendukung kegiatan promosi dan investasi di bidang wisata bahari; 4 mengembangkan aktifitas ekonomi non-pariwisata yang memiliki keterkaitan dengan kegiatan wisata bahari, misalnya industri kerajinan, perikanan, restoran semisal sea food, dan jasa angkutan laut; 5 meningkatkan jaminan dan sistem keamanan bagi wisatawan yang memanfaatkan potensi wisata bahari; 6 menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi kalangan investor untuk mengembangkan wisata bahari, seperti insentif maupun desinsentif; dan 7 mengembangkan model pengelolaan wisata bahari yang mampu menjaga kelestarian ekosistem laut dan budaya masyarakat lokal. Perencanaan terpadu dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih sektor dalam perencanaan pembangunan dalam kaitannya dengan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Perencanaan terpadu biasanya dimaksudkan sebagai suatu upaya secara terprogram untuk mencapai tujuan yang dapat mengharmoniskan dan mengoptimalkan antara kepentingan untuk memelihara lingkungan, keterlibatan masyarakat, dan pembangunan ekonomi. Seringkali keterpaduan juga diartikan sebagai koordinasi antara tahapan pembangunan di wilayah pesisir dan lautan yang meliputi, pengumpulan dan analisis data, perencanaan, implementasi, dan kegiatan konstruksi Sorensen dan McCreary 1990. Dalam UU nomor 17 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional RPJPN 2005-2025, pembangunan kepariwisataan ditujukan untuk mendorong kegiatan ekonomi dan meningkatkan citra indonesia; meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal; serta memberikan perluasan kesempatan kerja. Pengembangan kepariwisataan dilakukan dengan memanfaatkan keragaman pesona keindahan alam dan potensi nasional sebagai wilayah wisata bahari terluas di dunia secara arif dan berkelanjutan, serta mendorong kegiatan ekonomi yang terkait dengan pengembangan budaya bangsa. Dengan mengacu pada arahan RPJPN tersebut, maka sasaran pembangunan kepariwisataan di tahun 2008 akan dilakukan secara bersama, adalah meningkatnya jumlah wisatawan mancanegara ke Indonesia menjadi 7 juta orang dengan penerimaan devisa sebesar USD 6,7 miliar; dan meningkatnya jumlah perjalanan wisatawan nusantara menjadi 223 juta perjalanan Nirwandar 2008. Selanjutnya dikatakan bahwa, sasaran-sasaran pembangunan kepariwisataan tahun 2008 tersebut akan dilakukan bersama melalui pelaksanaan kegiatan-kegiatan prioritas sebagai berikut, 1 penyelenggaraan “Visit Indonesia Year 2008”; 2 pemasangan iklan pariwisata di media cetak, elektronik, dan billboard; 3 dukungan promosi dan pemasangan iklan bagi 10 destinasi pariwisata unggulan; 4 pendukungan kegiatan MICE; 5 pelaksanaan kampanye nasional sadar wisata; 6 fasilitasi pengembangan di 10 destinasi pariwisata unggulan; 7 dukungan pengembangan pariwisata bagi 23 Provinsi; 8 peningkatan kualitas SDM penyelenggara pariwisata di daerah unggulan; serta 9 peningkatan daya saing SDM melalui diklat pariwisata. III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI Pulau Morotai merupakan salah satu kawasan PPK yang potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari. Selain memiliki nilai sejarah yang tinggi, kawasan ini juga memiliki kekayaan biota laut yang beraneka ragam. Namun sejauh ini belum termanfaatkan secara optimal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat disekitarnya. Agar pengelolaan wisata ini dapat memberikan kontribusi pada pembangunan berkelanjutan, maka harus dikelola secara ekonomi serta bertanggungjawab dalam aspek ekologi dan budaya. Jika pariwisata bahari ini bisa memberikan kontribusi pada pembangunan berkelanjutan, maka dibutuhkan perencanaan dan pengelolaan yang baik. Pembangunan wisata bahari di Pulau Morotai perlu mempertimbangkan kemampuan atau daya dukung kawasan tersebut untuk menampung wisatawan. Menurut Wolters 1991 dalam Wardani 2007, daya dukung ekowisata tergolong spesifik serta lebih berhubungan dengan daya dukung lingkungan dan sosial terhadap kegiatan wisata dan pengembangannya. Daya dukung wisata bahari diartikan sebagai tingkat atau jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditampung oleh infrastruktur obyek wisata bahari. Jika daya tampung tersebut dilampaui maka akan terjadi kemerosotan sumberdaya, akibatnya kepuasan pengunjung tidak terpenuhi, sehingga memberikan dampak merugikan bagi ekonomi dan budaya masyarakat. Terumbu karang di kawasan Pulau Morotai merupakan salah satu potensi wisata bawah laut yang memiliki nilai estetika yang tinggi. Dari hasil penelitian White dan Cruz-Trinidad 1989 dalam Wardani 2007, menyatakan bahwa di Philipina diperkirakan 1 km 2 terumbu karang sehat dapat menghasilkan keuntungan tahunan dari sektor wisata sebesar USD 2.000 sampai USD 20.000 per tahun. Dasar pengembangan PPK secara terpadu dan berkelanjutan, harus mempertimbangkan kriteria ekologi, kriteria ekonomi, kriteria sosial. Untuk memudahkan dalam melakukan penelitian, maka dilakukan rumusan pendekatan studi, sebagai berikut. Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan adalah dengan daya dukung kawasan, nilai ekonomi dengan menggunakan TCM, dan CVM, serta simulasi kebijakan pengembangan daerah tujuan wisata Pulau Morotai, Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara. Kegiatan pembangunan dalam pengelolaan wilayah pesisir untuk wisata, akan tetap berkelanjutan jika memenuhi tiga persyaratan daya dukung lingkungan yang ada. Pertama, bahwa kegiatan wisata harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik ekologis sesuatu persyaratan yang dibutuhkan untuk kegiatan ini. Kedua, jumlah limbah dari kegiatan wisata yang dibuang ke lingkungan pesisir hendaknya tidak melebihi kapasitas asimilasi, yaitu kemampuan sistem lingkungan untuk menerima limbah tanpa terjadi indikasi pencemaran lingkungan atau bahaya kesehatan manusia. Ketiga, bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat pulih renewable resource hendaknya tidak melebihi kamampuan pulih sumberdaya tersebut dalam kurun waktu tertentu, Dahuri 1998. Nilai Ekonomi Wisata Bahari Kebijakan Pengembangan Kawasan Wisata Bahari Pulau Morotai Pembangunan Wisata PPK yang Berkelanjutan Kawasan Pulau Morotai Potensi Wisata Bahari Pulau Morotai Gambar 6. Kerangka Pendekatan Studi. Daya Dukung Wisata Bahari IV. METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian