Pengelolaan Sumberdaya PPK Penilaian Ekonomi Wisata Bahari di Pulau Morotai, Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara

tersebut berlaku di kawasan pesisir wisata Pulau Morotai.

2.5. Pengelolaan Sumberdaya PPK

Menurut Adrianto 2006, bahwa dalam perspektif ekosistem wilayah pesisir, wilayah PPK dapat dibagi menjadi beberapa sub-wilayah sub-zone, yaitu, 1 wilayah perairan lepas pantai coastal offshore zone; 2 wilayah pantai beach zone; 3 wilayah daratan rendah pesisir coastal lowland zone; 4 wilayah pesisir pedalaman inland zone. Dalam konteks keterpaduan, pendekatan berbasis keberlanjutan sistem wilayah pesisir di PPK menjadi sebuah syarat mutlak. Oleh karena itu rencana pengelolaan pesisir dan PPK, harus dapat dilakukan secara terpadu dengan rencana pengelolaan pembangunan di daratan, karena bila pengelolaan daerah aliran sungai DAS tidak diintegrasikan, maka sudah tentu akan berpengaruh besar dalam keberhasilannya. Model keterpaduan antara sub-wilayah pesisir dalam pengelolaan PPK berkelanjutan, dapat dilihat pada Gambar 4 berikut: Dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terintegrasi ada tiga hal mendasar, 1 proses dinamis, bahwa pengelolaan wilayah pesisir terpadu harus bersifat fleksibel dan mampu mengakomodir kondisi wilayah pesisir yang dinamis; 2 strategi yang terintegrasi, merupakan suatu rencana program yang mencakup keseluruhan program kerja instansi sektoral yang terlibat; dan 3 Social welfare Processes Interactions Activities Identified MANAGEMENT Economic MONITORIN THE BEACH ZONE THE OFFSHORE ZONE IMPLEMENTATION Environmental integrity THE ISLAND ZONE THE LOW-LAND ZONE Gambar 4 Kerangka Berkelanjutan Pengelolaan Wilayan Pesisir dan PPK, Adrianto 2004 pengalokasian lingkungan , sosial budaya dan berbagai pemanfaatan secara berkelanjutan, merujuk pada keseimbangan pengalokasian sumberdaya dan manusia yang ada di wilayah pesisir. Serta dalam perencanaan pengelolaan terintegrasi sesungguhnya mengandung dua hal, yaitu, 1 secara vertikal, meliputi integrasi kebijakan operasional dan perencanaan mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupatenkota, provinsi sampai nasional maupun regional yang berbatasan dengan negara lain; 2 secara horisontal, harus mampu mengintegrasikan perencanaan dari sektor pertanian dan konservasi yang berada di DAS hulu, dan sektor perikanan baik budidaya tambak udang dan ikan maupun perikanan tangkap, pariwisata alam dan bahari, perhubungan laut, industri maritim, pertambangan lepas pantai, konservasi laut, serta pengembangan kota Pratikto et al, 2005. Kebijakan pemerintah membentuk DKP merupakan suatu keputusan ekonomi politik dari proses perubahan yang mendasar ditingkat kebijakan nasional. Tetapi, keputusan politik tersebut tidak hanya sampai pada pembentukan departemen tersebut, melainkan harus ada sebuah visi bersama pada semua level institusi negara yang dituangkan dalam bentuk kebijakan kelautan ocean policy. Ocean Policy adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh policy makers dalam mendayagunakan sumberdaya kelautan secara bijaksana untuk kepentingan publik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat social well being. Implikasi ekonominya adalah bahwa bidang kelautan akhirnya menjadi arus utama dalam kebijakan pembangunan ekonomi nasional oceanomics. Visi Ocean Policy dan Oceanomics adalah sangat vital bagi negara kepulauan dalam menjaga kesatuan wilayah, politik, dan ekonomi. Ini perlu diwujudkan oleh semua komponen bangsa untuk menjawab problem struktural bangsa, kemiskinan, keterbelakangan, dan ketergantungan terhadap negara maju, yakni bertambahnya jumlah utang yang dibebankan kepada rakyat serta berbagai kebutuhan lain yang diimpor, maupun penyediaan lapangan kerja bagi seluruh bangsa Indonesia di tanah tumpah darahnya sendiri Kusumastanto 2003. Dengan demikian dalam menentukan rencana pengelolaan wilayah pesisir dan PPK harus dilakukan berbagai kajian mendalam tentang dukungan ekosistem wilayah dan perkembangan perekonomiannya.

2.6. Pengembangan Wisata Bahari Berkelanjutan