Di Sumatera Utara, Kabupaten Langkat merupakan daerah produsen sapi potong yang memiliki tingkat populasi tertinggi yaitu sebesar 126.293 ekor. Kabupaten Simalungun dan
Deli Serdang menduduki peringkat ke 2 dan ke 3 yaitu sebesar 65.355 dan 44.268 ekor. Perkembangan populasi sapi potong di Kabupaten Langkat dapat dilihat pada grafik
dibawah ini:
Sumber: Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Utara, 2012 Dari uraian latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti Analisis Nilai
Tambah Usaha Ternak Sapi Potong Studi Kasus: Desa Ara Condong, Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu diteliti adalah :
1. Berapa besar nilai tambah yang diperoleh dari usaha pembibitan dan penggemukan
sapi potong berdasarkan perbandingan skala usaha di daerah penelitian?
2. Faktor – faktor apa yang mempengaruhi nilai tambah usaha pembibitan dan
penggemukan sapi potong di daerah penelitian?
20000 40000
60000 80000
100000 120000
140000
2005 2006
2007 2008
2009
Grafik 1.2. Perkembangan Populasi Sapi Potong Kabupaten Langkat, Simalungun dan Deli Serdang
Langkat Simalungun
Deli Serdang
Universitas Sumatera Utara
1.3.Tujuan Penelitian 1.
Untuk menganalisis besar nilai tambah yang diperoleh dari usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong berdasarkan perbandingan skala usaha di daerah penelitian.
2. Untuk menganalisis faktor – faktor apa yang mempengaruhi nilai tambah usaha
pembibitan dan penggemukan sapi potong di daerah penelitian.
1.4. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah: 1.
Sebagai bahan informasi bagi peternak dalam melakukan usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong.
2. Bagi pemerintah diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai
usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong, serta sebagai bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan dan keputusan yang menyangkut usaha ternak sapi potong.
3. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi pihak – pihak yang membutuhkan.
Universitas Sumatera Utara
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
. Tinjauan Pustaka
Tipologi usaha peternakan dibagi berdasarkan skala usaha dan kontribusinya terhadap pendapatan peternak, sehingga bisa diklasifikasikan ke dalam kelompok berikut:
1. Peternakan sebagai usaha sambilan untuk mencukupi kebutuhan sendiri dengan
tingkat pendapatan dari usahaternaknya kurang dari 30. 2.
Peternakan sebagai cabang usaha, peternak mengusahakan pertanian campuran mixed farming dengan ternak sebagai cabang usaha, dengan tingkat pendapatan dari
usahaternaknya 30-69,9 semi komersil atau usaha terpadu.
3. Peternakan sebagai usaha pokok, dimana peternak mengusahakan ternak sebagai usaha
pokok dan komoditi pertanian lainnya sebagai usaha sambilan, dengan tingkat pendapatan usahaternak 70-99,9.
4. Peternakan sebagai usaha industri, dimana komoditas ternak diusahakan secara khusus
specialized farming dengan tingkat pendapatan usahaternak 100 Saragih, 2000.
Usaha penggemukan sapi potong mendatangkan nilai tambah bagi para peternak karena harga penjualan sapi yang lebih mahal dibandingkan dengan harga penjualan sapi tanpa
melalui proses penggemukan. Jumlah keuntungan yang akan diperoleh dari penjualan sapi yang digemukkan tergantung pada pertambahan bobot badan yang dicapai dalam proses
penggemukan, lama penggemukan dan harga daging Siregar, 2011.
Pemberian pakan sapi potong terdiri dari hijauan dan konsentrat dengan perbandingan yang tergantung pada ketersediaan pakan hijauan dan konsentrat.apabila hijauan lebih
banyak maka hijauanlah yang lebih banyak diberikan. Sebaliknya, apabila pakan konsentrat mudah diperoleh, tersedia banyak dan harganya relatif murah maka pemberian
Universitas Sumatera Utara
konsentratlah yang diperbanyak. Namun, adapula peternak yang hanya memberikan hijauan saja tanpa adanya pemberian konsentrat ataupun pakan lainnya Siregar, 2011.
Pemberian konsentrat dalam penggemukan sapi potong pada usaha peternakan rakyat yakni hanya terdiri dari satu jenis dan paling banyak dua jenis bahan pakan saja. Misalnya,
konsentrat itu hanya berupa dedak padi saja atau ampas tahu, atau hasil ikutan industri pertanian lainnya Siregar, 2011.
Berdasarkan umur sapi bakalan dalam usaha pembibitan sapi potong dimulai dari umur 0– 8 bulan. Pemberian pakan ternak disesuaikan dengan umur, berat badan dan produksinya.
Umumnya pada masa pertumbuhan dan produksi membutuhkan protein dan energi lebih banyak dibanding masa lainnya. Sapi yang sedang berproduksi disediakan pakan
berdasarkan berat badan, produksi susu dan kandungan lemak susu. Pada anak sapi, kolostrum atau susu induk diberikan mulai umur dua hari sampai dengan 3,5 bulan.
Sedangkan hijauan diberikan sejak umur dua minggu dengan cara sedikit demi sedikit ditambah Sujarwo, 2012.
Berdasarkan umur sapi yang akan digemukkan, lama penggemukan dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1 untuk sapi bakalan dengan umur kurang dari 1 tahun, lama penggemukan
berkisar antara 8 - 9 bulan, 2 untuk sapi bakalan umur 1 −2 tahun, lama penggemukan 6 - 7
bulan, dan 3 untuk sapi bakalan umur 2 - 2,50 tahun, lama penggemukan 4 - 6 bulan Sugeng, 2006.
Universitas Sumatera Utara
Di daerah penelitian, peternak sudah memulai penjualan pedet setelah masa pra sapih atau sudah dapat dilepas dari indukan yaitu rata – rata pada umur 6 bulan.
Sedangkan untuk usaha pembibitan sapi potong dipilih bibit sapi dengan umur 1 - 2 tahun, dimana pada
umur tersebut sapi sudah siap untuk dikawinkan dan menghasilkan pedet atau anakan setelah menjalani masa kehamilan sekitar ± 9 bulan. Kemudian, hasil panen dari usaha
pembibitan sapi potong yang berupa pedet atau anakan sapi dapat dijual mulai umur 6 bulan
Fikar dan Ruhyadi, 2010.
Dalam hal pemilihan bibit dengan cara seleksi dan penyingkiran sapi – sapi yang kurang baik dari kelompok sapi yang dipelihara perlu dilakukan. Laju pertumbuhan sapi seperti
apapun kerap kali tidak dihiraukan, dan yang terpenting bagi peternak ialah kelompok sapi yang dipelihara itu tetap bisa berkembang biak Sugeng 2000. Lebih lanjut Dinas
Peternakan 1983 menyatakan, salah satu faktor keberhasilan beternak adalah keterampilan memilih bibit ternak.
Nilai tambah adalah produk dikurangi dengan nilai bahan baku dan bahan penunjang yang dipergunakan dalam proses produksi. Dengan kata lain, nilai tambah merupakan sejumlah
nilai jasa return terhadap faktor produksi modal tetap, tenaga kerja, keterampilan dan manajemen Suryana, 1990.
Nilai tambah dapat dilihat dari dua sisi yaitu nilai tambah untuk pengolahan dan nilai tambah untuk pemasaran. Nilai tambah untuk pengolahan dipengaruhi oleh faktor teknis
yang meliputi kapasitas produksi, jumlah bahan baku, dan tenaga kerja, serta faktor pasar yang meliputi harga output, harga bahan baku, upah tenaga kerja dan harga bahan baku
Universitas Sumatera Utara
lain selain bahan bakar dan tenaga kerja. Besarnya nilai tambah suatu hasil pertanian karena proses pengolahan adalah merupakan pengurangan biaya bahan baku dan input
lainnya terhadap nilai produk yang dihasilkan, tidak termasuk tenaga kerja. Bisa dikatakan bahwa nilai tambah merupakan gambaran imbalan bagi tenaga kerja, modal dan
manajemen Sudiyono dalam Budhisatyarini, 2008.
2.1.2. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dijadikan rujukan mengenai usaha pembibitan sapi potong dan penggemukan sapi bakalan adalah penelitian yang dilakukan oleh Riszqina, dkk 2011
dengan judul Analisis Pendapatan Peternak Sapi Potong Dan Sapi Bakalan Karapan Di Pulau Sapudi Kabupaten Sumenep. Dimana, hasil penelitian menyatakan bahwa rata-rata
penerimaan per bulan peternak usaha pembibitan sapi potong lebih kecil dibanding peternak usaha penggemukan sapi potong. Penerimaan rata-rata per bulan peternak dengan
usaha pembibitan berskala 2-3 ekor lebih kecil dibandingkan dengan penerimaan peternak yang berskala 4-6 ekor. Rata - rata keuntungan per bulan peternak sapi dengan usaha
penggemukan yang berskala 4 - 6 ekor lebih besar dibanding yang berskala 2 - 3 ekor, tetapi peternak dengan usaha pembibitan sapi potong berskala 4 - 5 ekor mendapat
kerugian lebih kecil dibandingkan yang berskala 2 - 3 ekor.
Penelitian lain yang dijadikan rujukan adalah penelitian yang dilakukan oleh Putria 2008 dengan judul Analisis Kelayakan Usaha Pengembangan Pembibitan Breeding Sapi
Potong Pada PT Lembu Jantan Perkas LJP, Serang, Propinsi Banten. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa pembibitan bertujuan peningkatkan mutu genetik dan nilai ekonomis
Universitas Sumatera Utara
sapi potong serta menghasilkan bibit sapi yang memiliki kualitas unggul. Saat ini masih sedikit yang mengusahakan pembibitan sapi potong di Indonesia. Selama ini pihak swasta
lebih tertarik menanamkan modalnya pada usaha penggemukkan dari pada usaha pembibitan. Hal ini disebabkan antara lain usaha penggemukkan memiliki resiko yang
lebih kecil, perputaran modal lebih cepat, dan waktu pengembalian modal payback period lebih singkat dibanding usaha pembibitan, dimana breeding sapi potong baru dapat
dijual setelah anak sapi yang baru lahir berumur tiga bulan. Hal ini berbeda dengan usaha penggemukkan dimana sapi potong dapat dijual setelah mengalami penggemukkan selama
tiga bulan. Para investor beranggapan bahwa dalam usaha breeding dibutuhkan lahan secara ekstensif dengan modal yang besar, padahal usaha pembibitan dapat dilakukan
dengan memanfaatkan lahan sebaik mungkin dengan sistem semi intensif serta manajemen pakan yang baik yaitu memanfaatkan hasil produk sampingan pertanian by product
sebagai bahan baku pakan yang bernutrisi.
2.2. Landasan Teori 2.2.1. Nilai Tambah
Nilai tambah value added adalah pertambahan nilai suatu komoditas karena mengalami proses pengolahan, pengangkutan ataupun penyimpanan dalam suatu produksi. Dalam
proses pengolahan, nilai tambah dapat didefinisikan sebagai selisih antara nilai produk dengan nilai biaya bahan baku dan input lainnya, tidak termasuk tenaga kerja. Sedangkan
marjin adalah selisih antara nilai produk dengan harga bahan bakunya saja. Dalam marjin ini tercakup komponen faktor produksi yang digunakan yaitu tenaga kerja, input lainnya
dan balas jasa pengusaha pengolahan Hayami et al., 1987.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Hayami et al. 1987, ada dua cara untuk menghitung nilai tambah yaitu nilai tambah untuk pengolahan dan nilai tambah untuk pemasaran. Faktor-faktor yang
memperngaruhi nilai tambah untuk pengolahan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu faktor teknis dan faktor pasar. Faktor teknis yang berpengaruh adalah kapasitas produksi,
jumlah bahan baku yang digunakan dan tenaga kerja. Sedangkan faktor pasar yang berpengaruh adalah harga output, upah tenaga kerja, harga bahan baku, dan nilai input lain.
Perhitungan nilai tambah yang diperoleh dari proses pengolahan suatu produk dapat menggunakan Metode Hayami. Kelebihan dari analisis nilai tambah dengan menggunakan
Metode Hayami adalah pertama, dapat diketahui besarnya nilai tambah, nilai output, dan produktivitas, kedua, dapat diketahui besarnya balas jasa terhadap pemilik-pemilik faktor
produksi, serta ketiga, prinsip nilai tambah menurtu Hayami dapat diterapkan untul subsistem lain diluar pengolahan, misalnya untuk kegiatan pemasaran Suprapto, 2006.
2.3. Kerangka Pemikiran