URGENSI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU

6.5. URGENSI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU

Pada tahun 1973, Kota Batam ditetapkan sebagai area industri dengan Otorita Batam (saat ini bernama BP Batam) sebagai eksekutor pembangunan utama. Sejak saat tersebut, populasi Kota Batam telah meningkat dari 6.000 orang (1973) menjadi 1.035.280 orang (2015). Pertumbuhan yang tinggi tersebut mencerminkan rata-rata pertambahan jumlah penduduk di Kota Batam mencapai 401% per tahun. bahkan berdasarkan laporan tahunan Demographia World Urban Areas tahun 2015, pertumbuhan populasi Kota Batam masih merupakan yang tertinggi di dunia. Pertumbuhan populasi di Kota Batam disebabkan oleh tingkat urbanisasinya yang sangat tinggi. Tingkat urbanisasi sendiri dapat dijadikan indikator bahwa dalam kota tersebut tercipta lapangan pekerjaan sehingga menjadi magnet bagi para pencari kerja dari daerah lainnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pembangunan Kota Batam selama lima dekade tersebut berhasil menciptakan pusat perekonomian dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia. Keberhasilan pembangunan kota batam tersebut ditindaklanjuti dengan penetapan Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) sebagai FTZ pada tahun 2007 dan pembentukan BP Tanjungpinang, BP Bintan, dan BP Karimun. Tindak lanjut tersebut dicanangkan sebagai sarana untuk mengulang keberhasilan pembangunan Kota Batam dengan membentuk wilayah serupa di Kota Tanjungpinang, Kabupaten Bintan, dan Kabupaten Karimun.

Dilihat dari indikator perekonomian, tingginya kontribusi wilayah Free Trade Zone tersebut tercermin dalam sektor Industri Pengolahan yang berkontribusi 38,63% terhadap PDRB menurut lapangan usaha dan kontribusi Penanaman Modal Tetap Bruto yang mencapai 41,69% terhadap PDRB menurut pengeluaran Provinsi Kepulauan Riau tahun 2015. Dengan porsi yang sangat signifikan tersebut, industri dan investasi ibarat darah yang menghidupkan perekonomian di Provinsi Kepulauan Riau. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan FTZ BBK sebagai wilayah industri dan investasi baru dapat menjadi penentu keberhasilan kinerja perekonomian Provinsi Kepulauan Riau dalam beberapa dekade yang akan datang.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II

Sebagai negara berkembang yang memiliki banyak potensi namun kekurangan modal untuk mengembangkan perekonomiannya, Indonesia membutuhkan suntikan modal asing atau yang biasa dikenal dengan Foreign Direct Investment (FDI) atau Penanaman Modal Asing (PMA). Kondisi yang serupa juga dapat menggambarkan negara-negara berkembang lain, khususnya sebagian besar negara di wilayah Asia Tenggara sehingga terlepas dari kerjasama ekonomi, sosial, dan politik yang dinaungi organisasi Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), terdapat persaingan yang cukup ketat di antara negara-negara ASEAN. Dampak dari persaingan tersebut sangat dirasakan oleh Provinsi Kepulauan Riau seperti ketika iklim investasi di Provinsi Kepulauan Riau kurang kondusif, investor-investor berlarian memindahkan produksinya ke negara-negara di wilayah Asia Tenggara seperti Malaysia, Vietnam, dan Kamboja.

Tabel VI-7 Nilai Foreign Direct Investment (FDI) ke Negara-Negara ASEAN (Jutaan USD)

Brunei Darussalam

426,70 913,20 Sumber: ASEAN Secretariat

Terlepas dari persaingan tersebut, pengintegrasian ASEAN sebagai satu pasar dan peningkatan upah buruh di negara-negara maju telah meningkatkan daya tarik negara-negara ASEAN sebagai tempat penanaman modal. Indikator dari

Gambar VI-6 Perkembangan Proporsi FDI per Negara di ASEAN

fenomena tersebut dapat dilihat dari peningkatan Penanaman Modal Asing ke wilayah ASEAN yang terus meningkat dengan rata-rata 14,03% setiap tahunnya pada periode tahun 2011-2014. Peningkatan PMA yang tinggi tersebut layak dijadikan dasar optimisme

bahwa

perekonomian

negara-negara ASEAN akan terus bertumbuh pesat dalam beberapa dekade ke depan.

Sumber: ASEAN Secretariat (diolah)

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau

Bagi negara Indonesia sendiri, peningkatan PMA ke ASEAN tersebut disertai munculnya tantangan baru yang berasal dari persaingan antar negara ASEAN dalam menarik PMA. Dilihat dari sisi rata-rata pertumbuhan PMA ke Indonesia, pada periode yang sama hanya sebesar 5,26%, jauh di bawah rata-rata regional ASEAN. Dilihat dari perkembangan proporsi PMA per negara dari seluruh PMA yang masuk ke regional ASEAN, Indonesia mencatatkan penurunan proporsi dari 20,08% menjadi 16,36% di saat beberapa negara lainnya mencatatkan kenaikan. Bahkan, peningkatan proporsi negara Thailand yang memiliki karakteristik serupa dengan Indonesia meningkat lebih dari dua kali lipat pada periode yang sama.

Dikaitkan dengan perekonomian Provinsi Kepulauan Riau yang mengandalkan investasi dalam pertumbuhannya, tantangan tersebut, sebagaimana telah dibahas pula pada faktor ancaman Provinsi Kepulauan Riau di Sub Bab 5.2 merupakan fenomena yang harus mendapatkan perhatian khusus. Salah satu imbas dari persaingan tersebut dapat dilihat di Kawasan Industri Lobam di Bintan. Pada puncaknya, Kawasan Industri Lobam memiliki lebih dari 40 perusahaan yang memperkerjakan lebih dari 16.000 pekerja. Jumlah tersebut menurun menjadi kurang dari 10 perusahaan yang memperkerjakan sekitar 7.000 buruh di tahun 2012 karena banyaknya investor yang hengkang sebagaimana dilansir media Haluan Kepri dan Batam Today. Sampai dengan tahun 2015 tidak ada tanda-tanda perbaikan atau investor-investor baru yang menanamkan modal di Kawasan Industri Lobam, sehingga sudah sewajarnya pemerintah segera mengambil tindakan untuk membalikkan pola negatif tersebut. Apabila terjadi keterlambatan dalam pengambilan tindakan, maka potensi besar sebagai jalur perdagangan internasional dan pusat industri yang dimilik Provinsi Kepulauan Riau khususnya di FTZ BBK akan direbut oleh negara-negara kompetitor. Ditambah dengan fakta bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau Asean Economic Community (AEC) akan segera diberlakukan, kecepatan dalam bertindak sangat krusial bagi Provinsi Kepulauan Riau dalam menentukan apakah wilayahnya akan menjadi penyumbang ekspor yang sangat signifikan bagi Indonesia atau malah menjadi pintu masuk banjirnya barang-barang impor dari negara-negara di wilayah Asia Tenggara.

Pada umumnya, magnet investasi suatu daerah ditentukan oleh ketersediaan infrastruktur, buruh yang kompetitif, perizinan yang mudah dan insentif fiskal. Pada kasus Provinsi Kepulauan Riau, penyebab penurunan performa dalam menarik investor adalah tingkat upah yang sudah relatif tinggi dan pelayanan perizinan belum optimal sebagai imbas dari adanya dualisme otoritas antara Pemkot Batam dan BP Batam (untuk wilayah FTZ Batam). Untuk mengembalikan magnet investasi Provinsi

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II

Kepulauan Riau, pemerintah harus membenahi kedua masalah tersebut dan/atau memperbaiki elemen-elemen lainnya yang juga dapat mempengaruhi daya saing.

Tabel VI-8 Perkembangan Alokasi Belanja Infrastruktur Pemerintah Pusat (dalam jutaan rupiah)

Perubahan No.

Pagu

Jenis Pembangunan

1 Gedung dan Bangunan

2 Jalan dan Jembatan

3 Bandar Udara

6 Peralatan dan Mesin

Sumber: Monev PA DJPBN (diolah)

Dari sisi infrastruktur, Pemerintah Pusat berada pada jalur yang tepat untuk meningkatkan daya saing Provinsi Kepulauan Riau dengan peningkatan alokasi belanja infrastruktur dengan rata-rata kenaikan 39,39% pada periode tahun 2011-2015. Adapun belanja tersebut diprioritaskan pada pembangunan infrastruktur bandara dan pelabuhan sebagaimana tercermin dari kenaikan alokasinya yang paling signifikan di tahun 2015 dibandingkan dengan jenis infrastruktur lainnya. Prioritas tersebut sangat sesuai dengan Provinsi Kepulauan Riau yang bercirikan kepulauan sehingga interkonektivitas antar pulau akan semakin membaik dan daya tarik investasi di mata investor juga akan turut meningkat.

Gambar VI-7 Sebaran Alokasi Belanja Infrastruktur di Provinsi Kepulauan Riau Taun 2015

Kab. Natuna Rp. 113,67 miliar (6,61%)

Kab. Kep. Anambas Rp.223,53 miliar (13,01%)

Kota Batam Rp.804,21 miliar (46,79%)

Kab. Karimun Rp.91,89 miliar (5,35%)

Kab. Bintan Rp.34,67 miliar (2,02%)

Kota Tanjungpinang

Kab. Lingga

Rp. 208,04 miliar (12,10%)

Rp.242,75 miliar (14,12%)

Sumber: Monev PA DJPBN (diolah)

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau

Berdasarkan lokasinya, pembangunan infrastruktur di tahun 2015 masih terkonsentrasi di Batam dengan porsi yang mencapai 46,79%. Dikaitkan dengan indeks fisik infrastruktur di sub bab 5.2., hal tersebut menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur masih terkonsentrasi di FTZ Batam yang kualitas infrastrukturnya sudah dapat bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya. Sementara itu, wilayah FTZ Tanjungpinang, Bintan, dan Karimun yang masih harus mengejar ketertinggalan kualitas infrastruktur belum mendapatkan perhatian yang maksimal dari pihak pemerintah. Dalam konteks kesejahteraan regional Provinsi Kepulauan Riau, hal tersebut dapat menghambat terbentuknya wilayah investasi kompetitif baru yang akan menarik lebih banyak FDI dan meningkatkan pemerataan pembangunan.

Di sisi lain, kenaikan

Gambar VI-8 Perkembangan Alokasi vs Realisasi

alokasi yang signifikan tersebut

Belanja Infrastruktur (dalam miliaran rupiah)

tidak sejalan dengan persentase realisasi belanja infrastruktur yang cenderung menurun. Realisasi yang tidak optimal dapat menjadi hambatan dalam mencapai visi wilayah Provinsi Kepri yang

Sumber: Monev PA DJPBN (diolah)

business-friendly. Hal tersebut disebabkan oleh permasalahan-permasalahan yang terjadi saat eksekusi. Adapun identifikasi permasalahan dan rekomendasi pemecahannya adalah sebagai berikut:

Tabel VI-9 Permasalahan dan Rekomendasi Belanja Infrastruktur

Permasalahan Rekomendasi

1. Peningkatan koordinasi antara pihak komprehensif akan fesibilitas suatu

Dokumen yang terkait

Kajian Karakteristik Fisik, Kimia dan Mikrobiologis Edible Film dari Tiga Jenis Pati (Kimpul, Ubi Jalar Putih dan Singkong) dengan Penambahan Filtrat Kunyit (Curcuma longa Linn.) Sebagai Penghambat Bakteri Salmonella.

16 119 21

Pemanfaatan Media Peta Untuk Meningkatkan Motivasi Dan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Ips Dengan Pokok Bahasan Mengenal Peta Provinsi (Ptk Pada Siswa Kelas Iv Mis Al-Husna Kota Tangerang)

1 36 118

Kajian administrasi, farmasetik dan klinis resep pasien rawat jalan di Rumkital Dr. Mintohardjo pada bulan Januari 2015

19 169 0

Strategi Komunikasi Bigreds Regional Bandung Melalui Kegiatan "Off Season" Dalam Mempererat Solidaritas Antar Pendukung Liverpool Football Club Di Kota Bandung

1 29 135

Prosedur Verifikasi Internal Surat Pertanggung Jawaban (SPJ) Pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat

2 110 1

Sistem Informasi Pengolahan Data Pinjaman Pada Koperasi Serba Usaha Bersama di Ciroyom Provinsi Jawa Barat

4 39 117

Kajian Visualisasi Motif Batik priangan Berdasarkan Estetika Sunda Pada kelom Geulis Sagitria Tasikmalaya

10 104 59

Kajian pemilihan warna dan kualitas karya pada ilustrasi manual penyandang buta warna total : (studi kasus : ilustrasi manual berwarna karya Rukmnunal Hakim)

1 36 86

Prosedur pengelolaan Anggaran Belanja Langsung Pada Dinas tenaga kerja Dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat

1 7 58

Sistem informasi cuti tahunan pegawai berbasis website di Divisi Regional III PT.Telkom Jl.Supratman No.66 Bandung : laporan hasil praktek kerja lapangan

2 28 106