Munajat sebagai Syair Melayu

4.2 Munajat sebagai Syair Melayu

Munajat adalah termasuk ke dalam genre sastra Melayu. Genre sastra Melayu (termasuk Sumatera Utara) disebut syair ialah suatu bentuk puisi Melayu Munajat adalah termasuk ke dalam genre sastra Melayu. Genre sastra Melayu (termasuk Sumatera Utara) disebut syair ialah suatu bentuk puisi Melayu

Dari bentuk kata atau istilahnya jelas bahwa kata ini berasal dari bahasa Arab. Kamus al-Mabmudiyah (1934) karangan Syed Mahmud ibnu Almarhum Abdul Qadir al-Hindi memberikan makna kata syair sebagai "karangan empat baris yang sama sajak (s-j-?)nya pada akhir keempat-empat kalimat dan sama pertimbangan perkataannya" (Syed Mahmud 1934:159). Dari konteksnya kita fahami apa yang dimaksudkan dengan sajak (s-j-?) ialah persamaan bunyi di akhir tiap-tiap baris atau rawi. Tentu saja keterangan yang terdapat dalam Kamus Al- Mahmudiyah sangat ringkas, karena penyusun kamus ini menyadari bahwa semua orang Melayu pasti tahu apa itu syair (Siti Hawa Haji Salleh 2005:1).

Begitu pentingnya kedudukan syair ini dalam kebudayaan Islam atau Melayu. Maka Al-Qur’an pun memuat perbincangan tentang syair ini dalam beberapa ayat. Dalam Al-Qur’an Asy Syu’araa’ (26:224) dijelaskan bahwa para penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.

Art inya: Dan penyair-penyair it u diikut i oleh orang-orang yang sesat .

Kemudian dalam surat yang sama Al- Qur’an Asy Syu’araa’ (26:225), bahwa para penyair itu mengembara di tiap-tiap lembah.

Art inya: Tidakkah kamu m elihat bahw asanya m ereka m engembara di t iap- t iap lembah

Yang dimaksud dalam ayat ini ialah bahwa sebagian penyair-penyair itu suka mempermainkan kata-kata dan tidak mempunyai tujuan yang baik yang tertentu dan tidak punya pendirian.

Di ayat lain yaitu ayat 226, diterangkan bahwa penyair itu hanya suka mengatakan tetapi tidak melakukan apa yang dikatakannya. Selengkapnya firman Allah dalam Al-Qur’an Asy Syu’araa’(26: 226) adalah sebagai berikut.

Art inya: dan bahw asanya mereka suka mengat akan apa yang m ereka sendiri t idak mengerjakan(nya)?

Setelah memberikan peringatan bagi para penyair yang “menyimpang,” di ayat 227 Allah memuji dan memberikan jaminan kepada para penyair yang beriman dan beramal saleh, walau awalnya mereka menderita dan dizalimi. Selengkapnya Al-Qur’an surat Asy Syu’araa’(26: 227) sebagai berikut.

Art inya: Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal

saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat

kemenangan sesudah m enderit a kezaliman. Dan orang- orang yang

zalim it u kelak akan menget ahui ke t empat mana mereka akan

kembali.

Di dalam Al-Qur’an surah Yaasiin (36;69), sebagai pernyat aan bahw a Al-Qur’an it u bukan cipt aan Nabi M uham mad t et api adalah w ahyu Allah

melalui M alaikat Jibril, Allah berfirm an sebagai berikut

Art inya : Dan Kami t idak mengajarkan syair kepadanya (M uhammad) dan bersyair

it u t idaklah layak baginya. Al Qur.an it u t idak lain hanyalah pelajaran dan

kit ab yang memberi penerangan.

Ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi tentang penyair dan syair tersebut di atas, tampaknya adalah ingin meluruskan ide dan praktik terhadap sastra syair ini dalam rangka tauhid kepada Allah, bukan sebaliknya “bermain dengan kata-kata” untuk ingkar kepada Tuhan, dan memilih jalan syetan.

Dalam Dunia Melayu, lebih lanjut menurut Harun Mat Piah para pengkaji yang meneliti syair sepakat menyatakan bahwa kata syair berasal dari

bahasa Arab sy’r yang umumnya merujuk kepada pengertian puisi dalam apa-apa jua jenisnya seperti yang difahami dalam istilah Inggris poem atau poetry (Harun Mat Piah 1989:210). Sementara itu, dalam bahasa Arab kata sy’r melahirkan kata bahasa Arab sy’r yang umumnya merujuk kepada pengertian puisi dalam apa-apa jua jenisnya seperti yang difahami dalam istilah Inggris poem atau poetry (Harun Mat Piah 1989:210). Sementara itu, dalam bahasa Arab kata sy’r melahirkan kata

Dalam bentuk asalnya, syair tidak mungkin dikelirukan dengan seloka dan gurindam karena cara penulisannya. Syair yang pada mulanya ditulis dalam tulisan Jawi (Arab Melayu), ditulis berpasang-pasangan, yaitu dua kalimat (ayat) pada baris pertama dengan dipisahkan oleh suatu tanda hiasan atau bunga di tengah-tengahnya. Biasanya dua pasangan ayat (yaitu empat baris) mempunyai bunyi akhir sama, walaupun kadang-kadang ditemui sepasang ayat sahaja yang mempunyai rima akhir yang sama (Siti Hawa Haji Salleh 2005:4).

Kekeliruan terjadi ketika syair dalam tulisan Jawi diperturunkan ke dalam tulisan rumi (Romawi) dan mungkin karena keterbatasan ruang, empat baris syair berpasang-pasangan terpaksa diletakkan sebagai suatu rangkap yang terdiri dari empat baris. Baris-baris syair ini biasanya ditransliterasikan dalam

bentuk yang sangat berbeda dengan yang asalnya dalam tulisan jawi.

Gambar 4.1 Contoh Rangkap (Bait) Syair dalam Tulisan Jawi

Sumber: Siti Hawa Haji Salleh (2005:4)

Hijrat’l-Nabi ‘alaihi’l-salam, Seribu tiga ratus bilangan Islam, Bertambah empat bilangan malam, Buan Jumadi’l-awal sepuluh malam.

Hari Thalatha mula disurat, Syair dikarang fakir yang larat, Dari hai sangat kelurat, Disuratkan sedikit tamsil ibarat. Baris-baris membawa maksud atau amanat syair, semuanya membawa

maksud amanat yang berkaitan dan jika ditransliterasikan ke dalam tulisan Latin maksud amanat yang berkaitan dan jika ditransliterasikan ke dalam tulisan Latin

Za’ba dalam bukunya Ilmu Mengarang Melayu (1962 dan sebelumnya) menyatakan bahwa penulisan syair tidaklah terkungkung pada monorima saja. Beliau mengemukakan beberapa contoh yang memperlihatkan variasi yang berbeda, seperti syair dua baris serangkap berima a/b, a/b, a/b, dan seterusnya; syair tiga baris serangkap dengan rima a/a/b, a/a/b, dan seterusnya; syair empat baris serangkap berima a/a/a/b, c/c/c/d, dan seterusnya. Contoh dua baris serangkap berima a/b, a/b:

Dihitung banyak tidak terkira, Apabila dijumlahkan menjadi satu.

Melompat tak seperti kera, Hanya tak pandai memanjat pintu.

Menghidupi memelihara, Tetapi orang benci bercampur bersatu. (Za’ba 1962:236 dalam Harun Mat Piah 1989:232).

Contoh syair tiga baris serangkap berima a/a/b, a/a/b: Islam kita wei kejatuhan, Sebab karut masuk tembahan, Quran hadis terbulang-baling.

Hadis firman dapat ubahan, Maksud hakiki perpecahan, Punding bengkok kena perguling. (Za’ba 1962:235 dalam Harun Mat Piah 1989:232)

Contoh syair empat baris serangkap berima a/b/a/b. Kamilah raja tuan di sini, Harta pun kami yang punya, Orang yang duduk di bumi ini,

Mendengar kami gentar semuanya.

Bukalah pintu kami titahkan, Nabi Sulaiman empunya perintah, Jangan sekali kamu ingkarkan, Derhaka kamu jika dibantah. (Za’ba 1962:234 dalam Harun Mat Piah 1989:234)

Contoh syair empat baris serangkap berima a/a/a/b, c/c/c/d Wahai Ramadhan syahar berpangkat, Tuan kemana lenyap berangkat? Dukanya kami tidak bersukat, Hendak menurut tidak berdaya. Sekali setahun tuan bermegah,

Menjelang kami sebulan singgah, Kami bercengkerama belum semenggah, Tuan pun lenyap dari dunia. Syair empat baris serangkap berima a/a/a/b, c/c/c/d, e/e/e/f, dan diulang

semula: Kalau kita ditanya orang: Kemudi manusia apakah gerang? Berilah jawab dengannya terang: Akal, akal, akal, akal.

Kalau kita lagi ditanya: Haluan manusia apa ditanya? Berilah jawab yang sempurna: Hati, hati, hati, hati.

Kalau kita ditanya pula: Perahu manusia nayatakan sila, Terangkan dengan berhati rela: Ilmu yang sihat, ilmu yang sihat.

(Za’ba 1962:107-8 dalam Harun Mat Piah 1989:237)

Meskipun menggunakan pendekatan yang berbeda, seperti A. Teeuw yang menggunakan pendekatan ekstensif (emik) dan Syed Naquib al-Attas yang Meskipun menggunakan pendekatan yang berbeda, seperti A. Teeuw yang menggunakan pendekatan ekstensif (emik) dan Syed Naquib al-Attas yang

Pertamanya, apakah syair itu merupakan bentuk puisi Melayu- Indonesia yang asli (purba), ertinya telah ada sebelum kedatangan Islam atau, keduanya, benarkah syair dikarang dandicipta oleh Hamzah Fansuri dan hanya dikenali dan berkembang selepas Hamzah Fansuri (m. 1630 Masihi)

Harun Mat Piah mengemukakan empat kesimpulan berasaskan kepada berbagai-bagai pendapat dan polemik yang timbul berhubung dengan syair yang dikemukakan oleh para sarjana. Tanpa mengulangi satu per satu penghujahan yang dikemukakan oleh para sarjana dan mengulangi lagi asal-usul syair dan lain- lain yang berkaitan dengannya, kita lihat keempat simpulan mengenai syair yang dikemukakan oleh Harun Mat Piah (1989:209-210). (1) Bahwa istilah syair berasal dari bahasa Arab; dan penggunaannya dalam

bahasa Melayu hanya sebagai istilah teknik. (2) Bahwa syair Melayu itu, walau ada kaitannya dengan puisi Arab, tetapi tidak berasal dari syair Arab dan Persia, atau sebagai penyesuaian dari mana-mana genre puisi Arab atau Persia. Dengan perkataan lain, syair adalah cipataan asli masyarakat Melayu.

(3) Ada kemungkinan syair itu berasal dari puisi Melayu Malaysia-Indonesia asli. (4) Bahwa syair Melayu dicipta dan dimulakan penyebarannya oleh Hamzah

Fansuri dan beracuankan puisi Arab-Persia.

Pengkaji lainnya yaitu Mohd. Yusof Md. Nor dan Abdul Rahman Kaeh (1985:vii) mengemukakan empat kesimpulan juga, namun sedikit berbeda dengan kesimpulan yang dikemukakan oleh Harun Mat Piah, yaitu: (1) Karena kata syair datangnya dari Arab-Persia, maka syair dianggap datang

dari luar. (2) Meskipun kata syair ada kaitannya dengan bahasa Arab-Persia, tetapi bentuk syair ialah ciptaan orang Melayu di Nusantara ini. (3) Syair sudah ada sejak abad kelima belas di Melaka. (4) Syair dikarang oleh Hamzah Fansuri dan berkembang selepasnya.

Sementara Siti Hawa Salleh menambahkan bahwa selain simpulan seperti di atas ada sebuah lagi aspek yang berkaitan dengan eksistensi syair di dunia Melayu. Menurutnya, kegiatan keagamaan dalam tradisi merayakan Maulidur Rasul (Maulid Nabi) memperkenalkan dan merapatkan masyarakat Melayu dengan puisi barzanji. Mungkin pada mulanya puisi didendangkan dalam bahasa Arab asalnya dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu sambil memberi perhatian kepada rima akhir setiap baris. Akhirnya para penyair Melayu sendiri mencipta puisi-puisi dengan berpandukan penulisan puisi barzanji. Contoh-contoh yang dipetik dari buku barzanji memperlihatkan bahwa bentuk penciptaan puisi itu ialah bentuk syair seperti yang wujud sekarang. Kegiatan menyanyikan puisi barzanji dalam majlis Maulidur Rasul (maulid Nabi) setiap tahun pasti meninggalkan kesan terhadap selera puisi masyarakat Melayu. Dengan itu, tentulah sedikit sebanyak lagu barzanji ini memainkan peranan dalam menyebarkan penciptaan puisi jenis ini yang akhirya bernamakan syair. Selain Sementara Siti Hawa Salleh menambahkan bahwa selain simpulan seperti di atas ada sebuah lagi aspek yang berkaitan dengan eksistensi syair di dunia Melayu. Menurutnya, kegiatan keagamaan dalam tradisi merayakan Maulidur Rasul (Maulid Nabi) memperkenalkan dan merapatkan masyarakat Melayu dengan puisi barzanji. Mungkin pada mulanya puisi didendangkan dalam bahasa Arab asalnya dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu sambil memberi perhatian kepada rima akhir setiap baris. Akhirnya para penyair Melayu sendiri mencipta puisi-puisi dengan berpandukan penulisan puisi barzanji. Contoh-contoh yang dipetik dari buku barzanji memperlihatkan bahwa bentuk penciptaan puisi itu ialah bentuk syair seperti yang wujud sekarang. Kegiatan menyanyikan puisi barzanji dalam majlis Maulidur Rasul (maulid Nabi) setiap tahun pasti meninggalkan kesan terhadap selera puisi masyarakat Melayu. Dengan itu, tentulah sedikit sebanyak lagu barzanji ini memainkan peranan dalam menyebarkan penciptaan puisi jenis ini yang akhirya bernamakan syair. Selain

Dengan wujudnya berbagai-bagai jenis syair dalam kesusastraan Melayu, ternyata bahwa puisi jenis ini amat disukai oleh masyarakat Melayu zaman silam. Syair menyediakan satu lagi cara untuk menyampaikan cerita selain bentuk prosa. Walaupun pantun berkait berdaya menyampaikan sesuatu kisah yang panjang, menuruti penceritaannya dapat memberikan tekanan kepada pembaca atau pendengar karena struktur pantun berkait yang terpaksa mengulang sebut maksud dalam rangkap awal sebelum mengungkapkan informasi dalam rangkap yang berikutnya. Oleh itu, pantun berkait tidak digunakan secara meluas untuk menyampaikan cerita yang panjang-panjang seperti yang dapat dilakukan oleh syair (Siti Hawa Salleh 2005:23).

Dalam Dunia Melayu hampir setiap genre kesusastraan Melayu tradisional mempunyai versinya dalam bentuk syair, selain dalam bentuk prosa hingga terdapat satu kumpulan karya yang besar tercipta dalam bentuk syair. Dengan demikian, dalam perbendaharaan kesusastraan Melayu terdapat syair agama, syair sejarah, syair hikayat, syair nasehat, dan lain-lain. Syair juga muncul dalam karya prosa tradisional, baik untuk selingan maupun penghias bahasa dan juga dapat sebagai penyampai alternatif. Kepopularannya dikekalkan melalui iramanya yang tersendiri hingga syair termasuk ke dalam kumpulan dendangan Dalam Dunia Melayu hampir setiap genre kesusastraan Melayu tradisional mempunyai versinya dalam bentuk syair, selain dalam bentuk prosa hingga terdapat satu kumpulan karya yang besar tercipta dalam bentuk syair. Dengan demikian, dalam perbendaharaan kesusastraan Melayu terdapat syair agama, syair sejarah, syair hikayat, syair nasehat, dan lain-lain. Syair juga muncul dalam karya prosa tradisional, baik untuk selingan maupun penghias bahasa dan juga dapat sebagai penyampai alternatif. Kepopularannya dikekalkan melalui iramanya yang tersendiri hingga syair termasuk ke dalam kumpulan dendangan

Gambar 4.2 Contoh Rangkap (Bait) Syair dalam Kitab Barzanji

13 Sebenarnya syair ini tidak boleh dikategorikan sebagai irama asli atau kalau di Sumatera Utara disebut irama senandung, yang temponya lambat yaitu sekitar 60 ketukan asas per minitnya.

Ditulis dalam birama atau sukatan 4/4. Dalam satu siklus (pusingan) memerlukan delapan ketukan asas. Dengan onomatopeik bunyi 4 ketukan awal diisi oleh suara tak, dan empat berikutnya dang, dang , tung, tung, dang, dang dan tung. Dengan nota lengkap sebagai berikut:

. Pada bahagian melodi selang (interlude) digunakan rentak inang atau mak inang dalam 4/4 dan bahagian isi meter bebas bukan rentak ata irama asli.