Pengaruh Perilaku Ibu Terhadap Kejadian Bawah Garis Merah (Bgm) Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Sayur Matinggi Kabupaten Tapanuli Selatan

(1)

PENGARUH PERILAKU IBU TERHADAP KEJADIAN BAWAH GARIS MERAH (BGM) PADA ANAK BALITA DI WILAYAH

KERJA PUSKESMAS SAYUR MATINGGI KABUPATEN TAPANULI SELATAN

TESIS

Oleh

SYERA MAHYUNI HARAHAP 117032088/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

THE INFLUENCE OF MOTHER’S BEHAVIOR ON THE INCIDENT OF MALNUTRITION IN THE CHILDREN UNDER FIVE YEARS OLD

IN THE WORKING AREA OF PUSKESMAS SAYUR MATINGGI TAPANULI SELATAN DISTRICT

THESIS

By

SYERA MAHYUNI HARAHAP 117032088/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

PENGARUH PERILAKU IBU TERHADAP KEJADIAN BAWAH GARIS MERAH (BGM) PADA ANAK BALITA DI WILAYAH

KERJA PUSKESMAS SAYUR MATINGGI KABUPATEN TAPANULI SELATAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

SYERA MAHYUNI HARAHAP 117032088/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : PENGARUH PERILAKU IBU TERHADAP KEJADIAN BAWAH GARIS MERAH (BGM) PADA ANAK BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SAYUR MATINGGI

KABUPATEN TAPANULI SELATAN Nama Mahasiswa : Syera Mahyuni Harahap

Nomor Induk Mahasiswa : 117032088

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M) Ketua

(Ernawati Nasution, S.K.M, M.Kes) Anggota

Dekan

(Dr.Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah diuji

Pada Tanggal : 11 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M Anggota : 1. Ernawati Nasution, S.K.M, M.Kes

2. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si 3. drh. Rasmaliah, M.Kes


(6)

PERNYATAAN

PENGARUH PERILAKU IBU TERHADAP KEJADIAN BAWAH GARIS MERAH (BGM) PADA ANAK BALITA DI WILAYAH

KERJA PUSKESMAS SAYUR MATINGGI KABUPATEN TAPANULI SELATAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2014 Penulis

Syera Mahyuni Harahap 117032088/IKM


(7)

ABSTRAK

Gizi buruk adalah keadaan status gizi yang didasarkan pada indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) < -3 SD yang merupakan padanan istilah severely underweight. Puskesmas Sayur Mmatinggi terletak di Kecamatan Sayur Matinggi Kabupaten Tapanuli Selatan Sumatera Utara yang memiliki 19 Desa/Kelurahan terdapat 1063 balita yang terdaftar di pos penimbangan dan terdapat balita yang gizi buruk sebanyak 36 balita dari jumlah balita.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perilaku ibu terhadap kejadian bawah garis merah (BGM) pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sayur Matinggi Tahun 2013. Jenis penelitian adalah studi analitik dengan disain Cross Sectional. Populasi adalah semua ibu yang memiliki anak balita di wilayah kerja puskesmas Sayur Matinggi sebanyak 1063. Sampel berjumlah 100 orang dengan teknik simple random sampling. Analisis deskriptif dilakukan pada semua variabel, dan untuk menganalisis pengaruh perilaku ibu terhadap kejadian bawah garis merah (BGM) pada balita dilakukan dengan uji regresi logistik berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita yang tidak berat badannya dibawah garis merah (BGM) 64,0% dan balita dengan berat badan dibawah garis merah (BGM) 36,0%. Ada pengaruh pengetahuan (p=0,001), sikap (p=0,001), dan pola asuh (p=0,0001) terhadap kejadian bawah garis merah (BGM) pada balita. Variabel yang paling dominan adalah variabel pola asuh yaitu pada nilai koefisien regresi B= 2,471 dan Exp B sebesar 11,834, dimana ibu memiliki pola asuh kurang kemungkinan erat kaitannya mengalami berat badan dibawah garis merah (BGM) 12 kali lebih besar dibanding dengan ibu yang memiliki pola asuh baik.

Disarankan Puskesmas Sayur Matinggi perlu melakukan pendekatan dan pelatihan kepada bidan desa, kader dan ibu-ibu lurah, meningkatkan kegiatan promosi dan penyuluhan tentang pentingnya gizi pada balita sebagai pertumbuhan dan perkembangan, serta meningkatkan mutu dan fungsi para petugas kesehatan menjadi fasilitator dan motivator.


(8)

ABSTRACT

Malnutrition is a condition of nutritional status based on the index of Body Weight by Age (BW/A) < -3 SD which is the equivalent term of severely underweight. Puskesmas (Health Community Center) Sayur Matinggi is located in Sayur Matinggi Subdistrict, Tapanuli Selatan District, Sumatera Utara Province with 19 Desa/Kelurahan (rural/urban villages). There were 1063 children under five years old registered in the weighing post of this Puskesmas and 36 of them were suffering from malnutrition.

The purpose of this analytical study with cross-sectional design was to analyze the influence of mother’s behavior on the incident of malnutrition in the children under five years old in the working area of Puskesmas Sayur Matinggi in 2013. The population of this study was all of the 1063 mother’s have children under five years old living in the working area of Puskesmas Sayur Matinggi, and 100 of them were selected to be the samples for this study through simple random sampling technique. All variables were analyzed through descriptive analysis, and the influence of mother’s behavior on the incident of malnutrition in the children under five years old was analyzed through multiple logistic regression tests.

The result of this study showed that the children under five years old without malnutrition was 64.0% and with malnutrition was 36.0%. Knowledge (p = 0.017), attitude (p = 0.003), and pattern of care/parenting (p = 0.001) had influence on the incident of malnutrition in the children under five years old. The most dominant variable was pattern of care/parenting with the value of regression coefficient B = 2.695 and Exp B = 14,808 meaning that mother with poor pattern of care/parenting may cause the incident of malnutrition 15 times bigger than mother with good pattern of care/parenting.

The management of Puskesmas Sayur Matinggi is suggested to approach dan conduct training for rural midwives, cadres and the wives of lurahs (heads of rural village), to increase promotion activities and extensions on the importance of nutrient for the growth and development of children under five years old, and to improve the quality and function of health workers as facilitators and motivators.


(9)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohiim

Alhamdulillah, Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah serta Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini dengan judul “Pengaruh Perilaku Ibu terhadap Kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sayur Matinggi Kabupaten Tapanuli Selatan”.

Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kesehatan (M.Kes) pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Proses penulisan tesis dapat terwujud berkat dukungan, bimbingan, arahan dan bantuan moral maupun material dari banyak pihak. Untuk itu izinkan penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara


(10)

4. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M dan ibu Ernawati Nasution, S.K.M, M.Kes selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan perhatian, dukungan, pengertian, dan pengarahan sejak awal hingga terselesaikannya tesis ini.

5. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si., dan ibu drh. Rasmaliah, M.Kes selaku komisi penguji yang telah memberi masukan dan arahan sehingga dapat meningkatkan kesempurnaan tesis ini.

6. Seluruh Dosen, Staf/Pegawai Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang banyak membantu penulis dalam proses perkuliahan dan pencarian sumber pustaka dalam tesis ini.

7. Bapak Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Selatan dan bapak kepala Puskesmas Sayur Matinggi yang telah memberikan izin penelitian.

8. Khusus penghargaan dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada suami tercinta Ahmad Mudaya, S.Pd serta kedua orang tua tercinta ayahanda Drs.H. Hamjah harahap dan ibunda Hj. Megawani Hasibuan yang telah banyak memberikan bantuan, motivasi, dan do’a selama penulis menyelesaikan pendidikan Program Pasca Sarjana IKM-FKM USU.

9. Saudara-saudara tersayang Mizwar Ilfandi Harahap, Muhammad Rizha Sulaiman Harahap, Khoirunnisa Fadilah Harahap, dan Nurintan Muliani Harahap yang telah banyak memberikan motivasi dan do’a selama penulis menyelesaikan pendidikan Program Pasca Sarjana IKM-FKM USU.

10.Rekan-rekan mahasiswa di lingkungan Program Studi S2 IKM-FKM USU, khususnya Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi.


(11)

Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam tesis ini masih jauh dari sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak, semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Medan, Oktober 2014 Penulis

Syera Mahyuni Harahap 117032088/IKM


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Syera Mahyuni Harahap, dilahirkan di Kota Padangsidimpuan Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara, Kota Padangsidimpuan Sumatera Utara pada tanggal 11 Maret 1987, anak ke dua dari lima bersaudara dari pasangan Ayahanda Drs. H. Hamjah Harahap dan Ibunda Hj. Megawani Hasibuan. SPd

Pendidikan Formal penulis dimulai dari Sekolah Dasar di SD Negeri 142451 Pudun pada tahun 1993-1999, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di MTSs Darul Mursyid Sipirok Dolok Hole, Simanosor Julu pada tahun 1999-2002, Sekolah Menengah Atas di MAN 2 Model Padangsidimpuan pada tahun 2002 – 2005, dan melanjutkan pendidikan di Akademi Kebidanan Sentral Padangsidmpuan pada tahun 2005-2008 kemudian melanjutkan ke Pendidikan SI di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sumatera Utara ( STIKes- SU) pada tahun 2008-2010.

Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi AKKm/Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat di Universitas Sumatera Utara sejak tahun 2011-2014.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 10

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Hipotesis ... 11

1.5. Manfaat Penelitian ... 11

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1. Bawah Garis Merah pada Anak Balita ... 12

2.1.1. BGM ... 12

2.1.2. Klasifikasi Gizi Buruk ... 13

2.1.3. Kebutuhan Nutrisi Gizi pada Balita ... 14

2.1.4. Faktor Penyebab BGM ... 18

2.1.5. Penilaian Status Gizi ... 20

2.1.6. Dampak Gizi Dibawah Garis Merah pada Balita ... 22

2.2. Faktor-faktor-faktor yang Memengaruhi Kejadian Bawah Garis Merah pada Balita ... 24

2.2.1. Perilaku Ibu ... 24

2.3. Epidemiologi BGM ... 34

2.4. Landasan Teori ... 37

2.5. Kerangka Konsep ... 39

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 40

3.1. Jenis Penelitian ... 40

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 40

3.3. Populasi dan Sampel ... 40

3.3.1. Populasi ... 40

3.3.2. Sampel ... 40

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 42


(14)

3.6. Variable dan Defenisi Operasional ... 45

3.7. Aspek Pengukuran ... 47

3.7.1. Pengetahuan ... 47

3.7.2. Sikap ... 48

3.7.3. Pola Asuh ... 49

3.8. Metode Analisis Data ... 49

3.8.1. Analisis Univariat ... 49

3.8.2. Analisis Bivariat ... 49

3.8.3. Analisis Multivariat ... 50

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 51

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 51

4.2. Kejadian Bawah Garis Merah (BGM) ... 52

4.3. Karakteristik Responden (Umur, Pekerjaan, Pendidikan dan Pendapatan) ... 52

4.4. Pengetahuan ... 53

4.5. Sikap ... 55

4.6. Pola Asuh ... 57

4.7. Hubungan Karakteristik (Umur, Pendidikan, Pekerjaan dan Pendapatan) dengan Kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sayur Matinggi ... 59

4.8. Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sayur Matinggi ... 61

4.9. Hubungan Sikap dengan Kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sayur Matinggi ... 62

4.10. Hubungan Pola Asuh dengan Kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sayur Matinggi ... 63

4.11. Pengaruh Perilaku Ibu terhadap Kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sayur Matinggi Kabupaten Tapanuli Selatan ... 64

BAB 5. PEMBAHASAN ... 67

5.1. Pengaruh Pendapatan Ibu terhadap Kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sayur Matinggi ... 67

5.2. Pengaruh Pengetahuan Ibu terhadap Kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sayur Matinggi ... 68


(15)

5.3. Pengaruh Sikap Ibu terhadap Kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sayur

Matinggi ... 71

5.4. Pengaruh Pola Asuh Ibu terhadap Kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sayur Matinggi ... 72

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

6.1. Kesimpulan ... 75

6.2. Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77


(16)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1. Kebutuhan Zat Gizi Balita Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG)

Rata-rata Per Hari ... 18

2.2. Angka Kecukupan Energi (AKE) dan Protein (AKP) pada Anak ... 18

3.1. Hasil Uji Validitas Variabel Pengetahuan ... 43

3.2. Hasil Uji Validitas Variabel Sikap ... 44

3.3. Hasil Uji Validitas Variabel Pola Asuh ... 44

3.4. Variabel, Cara Ukur, Alat Ukur, Skala Ukur dan Kategori Penelitian ... 47

4.1. Distribusi Frekuensi Kejadian Bawah Garis Merah (BGM) di Wilayah Kerja Puskesmas Sayur Matinggi ... 52

4.2. Distribusi Karakteristik (Umur, Pendidikan, Pekerjaan dan Pendapatan) di Wilayah Kerja Puskesmas Sayur Matinggi ... 53

4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pengetahuan di Wilayah Kerja Puskesmas Sayur Matinggi ... 53

4.4. Distribusi Frekuensi Item Jawaban Pernyataan Pengetahuan di Wilayah Kerja Puskesmas Sayur Matinggi ... 54

4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Sikap di Wilayah Kerja Puskesmas Sayur Matinggi ... 55

4.6. Distribusi Frekuensi Item Jawaban Pernyataan Sikap di Wilayah Kerja Puskesmas Sayur Matinggi ... 56

4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pola Asuh di Wilayah Kerja Puskesmas Sayur Matinggi ... 57

4.8. Distribusi Frekuensi Item Jawaban Pernyataan Pola Asuh di Wilayah Kerja Puskesmas Sayur Matinggi ... 58


(17)

4.9. Hubungan Umur, Pendidikan, Pekerjaan dan Pendapatan dengan Kejadian BGM pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sayur Matinggi ... 61 4.10. Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian Bawah Garis Merah (BGM)

pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sayur Matinggi ... 62 4.11. Hubungan Sikap dengan Kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada

Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sayur Matinggi ... 63 4.12. Hubungan Pola Asuh dengan Kejadian Bawah Garis Merah (BGM)

pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sayur Matinggi ... 63 4.13. Hasil Analisis Multivariat Uji Regresi Logistik Ganda ... 64


(18)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1. Penyebab Masalah Gizi Menurut UNICEF, 1998 ... 20 2.2. Kerangka Teori Penelitian ... 38 2.3. Kerangka Konsep Penelitian ... 39


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Pernyataan Kesediaan Menjadi Responden ... 80

2. Kuesioner Penelitian ... 81

3. Master Data Penelitian ... 85

4. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 91

5. Analisis Bivariat ... 98

6. Analisis Multivariat ... 106

7. Surat Izin Penelitian ... 111


(20)

ABSTRAK

Gizi buruk adalah keadaan status gizi yang didasarkan pada indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) < -3 SD yang merupakan padanan istilah severely underweight. Puskesmas Sayur Mmatinggi terletak di Kecamatan Sayur Matinggi Kabupaten Tapanuli Selatan Sumatera Utara yang memiliki 19 Desa/Kelurahan terdapat 1063 balita yang terdaftar di pos penimbangan dan terdapat balita yang gizi buruk sebanyak 36 balita dari jumlah balita.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perilaku ibu terhadap kejadian bawah garis merah (BGM) pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sayur Matinggi Tahun 2013. Jenis penelitian adalah studi analitik dengan disain Cross Sectional. Populasi adalah semua ibu yang memiliki anak balita di wilayah kerja puskesmas Sayur Matinggi sebanyak 1063. Sampel berjumlah 100 orang dengan teknik simple random sampling. Analisis deskriptif dilakukan pada semua variabel, dan untuk menganalisis pengaruh perilaku ibu terhadap kejadian bawah garis merah (BGM) pada balita dilakukan dengan uji regresi logistik berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita yang tidak berat badannya dibawah garis merah (BGM) 64,0% dan balita dengan berat badan dibawah garis merah (BGM) 36,0%. Ada pengaruh pengetahuan (p=0,001), sikap (p=0,001), dan pola asuh (p=0,0001) terhadap kejadian bawah garis merah (BGM) pada balita. Variabel yang paling dominan adalah variabel pola asuh yaitu pada nilai koefisien regresi B= 2,471 dan Exp B sebesar 11,834, dimana ibu memiliki pola asuh kurang kemungkinan erat kaitannya mengalami berat badan dibawah garis merah (BGM) 12 kali lebih besar dibanding dengan ibu yang memiliki pola asuh baik.

Disarankan Puskesmas Sayur Matinggi perlu melakukan pendekatan dan pelatihan kepada bidan desa, kader dan ibu-ibu lurah, meningkatkan kegiatan promosi dan penyuluhan tentang pentingnya gizi pada balita sebagai pertumbuhan dan perkembangan, serta meningkatkan mutu dan fungsi para petugas kesehatan menjadi fasilitator dan motivator.


(21)

ABSTRACT

Malnutrition is a condition of nutritional status based on the index of Body Weight by Age (BW/A) < -3 SD which is the equivalent term of severely underweight. Puskesmas (Health Community Center) Sayur Matinggi is located in Sayur Matinggi Subdistrict, Tapanuli Selatan District, Sumatera Utara Province with 19 Desa/Kelurahan (rural/urban villages). There were 1063 children under five years old registered in the weighing post of this Puskesmas and 36 of them were suffering from malnutrition.

The purpose of this analytical study with cross-sectional design was to analyze the influence of mother’s behavior on the incident of malnutrition in the children under five years old in the working area of Puskesmas Sayur Matinggi in 2013. The population of this study was all of the 1063 mother’s have children under five years old living in the working area of Puskesmas Sayur Matinggi, and 100 of them were selected to be the samples for this study through simple random sampling technique. All variables were analyzed through descriptive analysis, and the influence of mother’s behavior on the incident of malnutrition in the children under five years old was analyzed through multiple logistic regression tests.

The result of this study showed that the children under five years old without malnutrition was 64.0% and with malnutrition was 36.0%. Knowledge (p = 0.017), attitude (p = 0.003), and pattern of care/parenting (p = 0.001) had influence on the incident of malnutrition in the children under five years old. The most dominant variable was pattern of care/parenting with the value of regression coefficient B = 2.695 and Exp B = 14,808 meaning that mother with poor pattern of care/parenting may cause the incident of malnutrition 15 times bigger than mother with good pattern of care/parenting.

The management of Puskesmas Sayur Matinggi is suggested to approach dan conduct training for rural midwives, cadres and the wives of lurahs (heads of rural village), to increase promotion activities and extensions on the importance of nutrient for the growth and development of children under five years old, and to improve the quality and function of health workers as facilitators and motivators.


(22)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam siklus hidup manusia gizi memegang peranan penting. Kekurangan gizi pada anak balita akan menimbulkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk mengetahui kekurangan gizi tersebut, dapat dilakukan penilaian status gizi yang juga merupakan salah satu tolak ukur pertumbuhan pada anak. Menurut Centers for Disease Control (CDC). Pada kelompok tersebut mengalami siklus pertumbuhan dan perkembangan yang membutuhkan zat-zat gizi yang lebih besar dari kelompok umur yang lain sehingga anak balita paling mudah menderita kelainan gizi. Kejadian gizi buruk seperti fenomena gunung es dimana kejadian Berat Badan dibawah Garis Merah (BGM) dapat menyebabkan kematian (Supariasa dkk, 2001).

Gizi buruk adalah keadaan status gizi yang didasarkan pada indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) < -3 SD yang merupakan padanan istilah severely underweight. Terdapat 3 jenis BGM yang sering dijumpai yaitu kwashiorkor, marasmus dan gabungan dari keduanya marasmiks-kwashiorkor. Pengertian kwashiorkor sendiri adalah suatu bentuk malnutrisi protein yang berat disebabkan oleh asupan karbohidrat yang normal atau tinggi dan asupan protein yang inadekuat. Kwashiorkor dapat dibedakan dengan marasmus yang disebabkan oleh asupan dengan kurang dalam kuantitas tetapi kualitas yang normal, sedangkan


(23)

marasmiks-kwashiorkor adalah gabungan dari marasmiks-kwashiorkor dengan marasmus yang disertai dengan odema. Gangguan gizi pada awal kehidupan akan mempengaruhi kualitas kehidupan berikutnya. Gizi kurang dan gizi buruk pada balita tidak hanya menimbulkan gangguan pertumbuhan fisik, tetapi juga mempengaruhi kecerdasan dan produktifitas dimasa dewasa (Supariasa dkk, 2001).

Terdapat sekitar 54% balita didasari oleh keadaan gizi yang buruk WHO (World Health Organization) 2008, di Indonesia menurut Depertemen Kesehatan (2007) pada tahun 2006 terdapat sekitar 27,5% (5 juta balita gizi kurang dan gizi buruk), dimana 3,5 juta anak balita atau sekitar (19,19 %) dalam tingkat gizi kurang dan 1,5 juta anak balita gizi buruk (8,3 %).

Prevalensi balita gizi buruk merupakan indikator Millenium Development Goals (MDGs) yang harus dicapai disuatu daerah (kabupaten/kota) pada tahun 2015, yaitu terjadinya penurunan prevalensi balita gizi buruk menjadi 3,6 persen atau kekurangan gizi pada anak balita menjadi 15,5 persen (Bappenas, 2010). Pencapaian target MDGs belum maksimal dan belum merata di setiap provinsi. Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2010, secara nasional prevalensi balita gizi buruk sebesar 4,9 persen dan kekurangan gizi 17,9 persen. Provinsi Jawa Timur termasuk daerah dengan balita gizi buruk masih tergolong tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan prevalensi gizi buruk sebesar 4,8 persen. (Bappenas, 2010).

Sejak tahun 2009 sampai dengan 2011, pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar lebih dari Rp.528.379.595 untuk program perbaikan gizi masyarakat. Departemen Kesehatan antara lain memanfaatkan anggaran tersebut


(24)

untuk membiayai berbagai program intervensi untuk mencegah dan mananggulangi insiden gizi buruk dan gizi kurang. Data Depertemen Kesehatan menyebutkan kasus gizi buruk dan gizi kurang pada BALITA tahun 2004 (Pemantauan Status Gizi 2004) masing-masing 8.00 % dan 20,47 % dari seluruh populasi BALITA. Sementara tahun 2005 (Survei Sosial Ekonomi Nasional/ SUSENAS 2005) jumlah kasus gizi buruk dan gizi kurang berturut-turut 8,8 % dan 19,20 %. Tahun 2006, selama periode Januari-Oktober, jumlah total kasus gizi buruk yang ditangani petugas kesehatan sebanyak 20.580 kasus dan 186 diantaranya menyebabkan kematian. Seminar Hari Gizi Nasional Tahun 2007, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, menyebutkan bahwa sekitar 5.543.944 BALITA dari 19.799.874 BALITA yang ada di seluruh Indonesia menghadapi masalah gizi buruk dan gizi kurang (Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2011).

Dalam 3 tahun terakhir, upaya yang dilakukan pemerintah melalui Departemen Kesehatan untuk mengurangi angka balita gizi kurang dan gizi buruk belum terpenuhi karena sampai sekarangpun masalah gizi buruk di Indonesia masih tinggi hal ini dapat dilihat dari data Depkes yaitu jumlah kasus balita gizi kurang dan gizi buruk pada tahun 2009, sebanyak 5,1 juta jiwa. Pada tahun 2011, jumlah anak balita bergizi kurang dan buruk turun menjadi 4,28 juta anak, dan 944.246 orang di antaranya berisiko gizi buruk. Pada tahun 2007, jumlah anak balita bergizi kurang dan buruk turun lagi jadi 4,13 juta anak, dan 755.397 orang di antaranya tergolong risiko gizi buruk. Secara kuantitas masih banyak balita kurang gizi yang belum tersentuh seperti yang terlihat pada data diatas. Sementara secara kualitas, tingkat


(25)

kehidupan dan kesehatan bayi masih rendah dan rentan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Demikian halnya dengan status gizi buruk pada anak balita di Sumatera Utara pada tahun 2006 yang tergolong sangat tinggi yaitu sebesar 12,35% dan gizi kurang 18,59%. Gizi kurang pada anak akan menghambat pertumbuhan dan kurangnya zat tenaga dan kurang protein (zat pembangun) sehingga perlu diperhatikan menu yang seimbang khususnya pada anak-anak (Adisasmito W., 2011).

Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti empiris menunjukkan bahwa hal ini sangat ditentukan oleh status gizi yang baik. Status gizi yang baik ditentukan oleh jumlah asupan pangan yang dikonsumsi. Masalah gizi kurang dan buruk dipengaruhi langsung oleh faktor konsumsi pangan dan penyakit infeksi. Secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola asuh, ketersediaan pangan, faktor sosial ekonomi, budaya dan politik.

Apabila gizi kurang dan gizi buruk terus terjadi dapat menjadi faktor penghambat dalam pembangunan nasional. Secara perlahan kekurangan gizi akan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, bayi, dan balita, serta rendahnya umur harapan hidup. Selain itu, dampak kekurangan gizi terlihat juga pada rendahnya partisipasi sekolah, rendahnya pendidikan, serta lambatnya pertumbuhan ekonomi. (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2011).


(26)

Penyebab gizi buruk dapat dilihat dari berbagai faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya kasus gizi buruk. Menurut UNICEF ada dua penyebab langsung terjadinya gizi buruk, yaitu (1) Kurangnya asupan gizi dari makanan. Hal ini disebabkan terbatasnya jumlah makanan yang di konsumsi atau makanan yang tidak memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi yaitu kemiskinan. (2) Akibat terjadinya penyakit yang mengakibatkan infeksi. Hal ini disebabkan oleh rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga tidak bisa menyerap zat-zat makanan secara baik. Faktor lain yang mengakibatkan terjadinya kasus gizi buruk yaitu (1) Faktor ketidaktersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau oleh masyarakat; (2) Perilaku dan budaya dalam pengolahan pangan dan pengasuhan asuh anak; (3) Pengolalaan yang buruk dan perawatan kesehatan yang tidak memadai (UNICEF, 2007).

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ada 3 faktor penyebab gizi buruk pada anak dan balita, yaitu: (1) Keluarga miskin; (2) Ketidaktahuan orang tua atas pemberian gizi yang baik bagi anak; (3) Faktor penyakit bawaan pada anak, seperti: jantung, TBC, HIV/AIDS, saluran pernapasan dan diare (IDAI, 2010).

Kesehatan dan gizi merupakan faktor yang sangat penting untuk menjaga kualitas hidup yang optimal. Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Kondisi status gizi baik dapat dicapai bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang akan digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan terjadinya pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja untuk mencapai tingkat kesehatan optimal. Sedangkan status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami


(27)

kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi. Pada kondisi ini dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit yaitu, penyakit infeksi pada gizi kurang (Depkes RI, 2010).

Ditinjau dari sudut masalah kesehatan dan gizi, maka balita termasuk dalam kelompok masyarakat rentan gizi, yaitu kelompok masyarakat yang paling mudah menderita kelainan gizi, sedangkan pada saat ini mereka sedang mengalami proses pertumbuhan yang relatif pesat (Andarwati (2011).

Balita merupakan salah satu kelompok yang rawan gizi selain ibu hamil, ibu menyusui dan lanjut usia. Pada masa ini pertumbuhan sangat cepat diantaranya pertumbuhan fisik dan perkembangan psikomotorik, mental dan sosial (Depkes, 2000). Anak usia bawah 5 tahun (Balita) mempunyai risiko yang tinggi dan harus mendapatkan perhatian yang lebih. Semakin tinggi faktor risiko yang berlaku terhadap anak tersebut maka akan semakin besar kemungkinan anak menderita Kurang Energi Protein (KEP) (Moehji, 2003).

Kurangnya pengetahuan gizi dan kesehatan orang tua, khususnya ibu merupakan salah satu penyebab kekurangan gizi pada balita. Di pedesaan makanan banyak dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi dan kebudayaan. Terdapat pantangan makan pada balita misalnya anak tidak diberikan ikan karena bias menyebabkan cacingan, kacang-kacangan tidak diberikan karena dapat menyebabkan sakit perut dan kembung (Balawati, 2010).

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mousa dkk (2011), menunjukkan hasil bahwa intervensi pendidikan kesehatan dan gizi pada orang tua atau keluarga


(28)

yang mempunyai anak balita akan merubah perilaku dari keluarga itu terutama dalam hal pengasuhan dan pemberian makan pada anak sehingga akan meningkatkan status gizi anak balita di keluarga itu. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Widarti (2010) di wilayah Tabanan, Bali. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa konseling gizi kepada ibu berpengaruh terhadap konsumsi gizi dan status gizi anak balitanya.

Pemberian makanan tambahan terlalu dini dalam asuh makan dapat menimbulkan gangguan pada pencernaan seperti diare, muntah, dan sulit buang air besar. Sebaliknya, pemberian makanan yang terlalu lambat mengakibatkan bayi mengalami kesulitan belajar mengunyah, tidak menyukai makanan padat, dan bayi kekurangan gizi. Anak yang memiliki status gizi kurang/gizi buruk disebabkan oleh MP-ASI/makanan yang kurang baik, jenis maupun kualitasnya. Kekurangan tersebut dipengaruhi oleh rendahnya pendapatan keluarga, pengetahuan ibu/keluarga tentang gizi, serta kebiasaan/anggapan yang dipercayai oleh ibu ( Mery Susanty (2011).

Menurut kerangka yang disusun oleh WHO, terjadinya kekurangan gizi dalam hal ini kurang gizi dan gizi buruk lebih dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni, penyakit infeksi dan asupan makanan yang secara langsung berpengaruh terhadap kejadian gizi buruk.

Pada penelitian yang telah dilakukan Dewi (2012) diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara penyakit infeksi dengan kejadian gizi buruk. Selain itu diperoleh hasil pula bahwa penyakit penyerta merupakan faktor risiko kejadian gizi buruk. Penyakit infeksi yang paling banyak dialami oleh balita


(29)

kelompok gizi buruk adalah diare kronik dan ISPA. Sekitar 10% diare kronik dan 10% ISPA. Hal ini dapat terjadi gizi buruk pada balita yang mengalami diare karena balita akan mengalami asupan makanan dan banyak nutrisi yang terbuang serta kekurangan cairan. Selain itu, balita dengan ISPA yaitu salah satu penyakit infeksi yang sering dialami oleh balita, dapat menyebabkan menurunnya nafsu makan sehingga asupan zat gizi ke dalam tubuh anak menjadi berkurang.

Beberapa dampak buruk gizi buruk adalah: (1) rendahnya produktivitas kerja; (2) kehilangan kesempatan sekolah; dan (3) kehilangan sumberdaya karena biaya kesehatan yang tinggi. Agar individu tidak kekurangan gizi maka akses setiap individu terhadap pangan harus dijamin. Akses pangan setiap individu ini sangat tergantung pada ketersediaan pangan dan kemampuan untuk mengaksesnya secara kontinyu. Kemampuan mengakses ini dipengaruhi oleh daya beli, yang berkaitan dengan tingkat pendapatan dan kemiskinan seseorang. Upaya-upaya untuk menjamin kecukupan pangan dan gizi serta kesempatan pendidikan tersebut akan mendukung komitmen pencapaian Millenium Development Goals (MDGs), terutama pada sasaran-sasaran: (1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua; (3) menurunkan angka kematian anak; dan (4) meningkatkan kesehatan ibu pada tahun 2015.

Berdasarkan hasil pemantauan status gizi balita kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2007, ditemukan balita dengan gizi kurang sebanyak 174 atau 48,60% dari total balita Bawah Garis Merah (BGM) yang berjumlah 358 balita, dan sebanyak 184 balita gizi buruk atau sekitar 51,39% dari total balita BGM. Pada tahun 2009 balita


(30)

dengan gizi kurang menurun menjadi 172 orang atau 46,36% dari balita BGM yang berjumlah 371 balita, dan balita gizi buruk mengalami peningkatan menjadi sebanyak 199 balita atau sekitar 53,64% dari balita BGM. Sementara itu, pada tahun 2010 balita dengan gizi kurang meningkat menjadi 365 orang atau 81,84% dari balita BGM yang berjumlah 446 balita, dan balita gizi buruk mengalami penurunan menjadi hanya sebanyak 81 balita atau sekitar 18,16% dari balita BGM, (Profil Kesehatan Kabupaten Tapanuli Selatan 2013).

Dari hasil survei awal, didapatkan bahwa wilayah kerja Puskesmas Sayur Mmatinggi terletak di Kecamatan Sayur Matinggi Kabupaten Tapanuli Selatan Sumatera Utara yang memiliki 19 Desa / Kelurahan. Pada tahun 2013, data yang diperoleh dari Puskesmas Sayur Matinggi yang mewakili untuk seluruh wilayah Kecamatan Sayur Matinggi terdapat 1063 balita yang terdaftar di pos penimbangan. Dan terdapat balita yang dibawah garis merah (BGM) sebanyak 36 balita dari jumlah balita.

Dari 10 ibu yang mempunyai balita 7 diantaranya memiliki pendidikan yang rendah dan menyebabkan kurangnya informasi ibu mengenai pendidikan gizi, menyebabkan pengetahuan ibu rendah mengenai gizi. Sikap ibu disini maksudnya persepsi ibu terhadap penanganan gizi buruk, pandangan terhadap manfaat dan pelayanan yang diberikan puskesmas maupun posyandu. Sebagian besar ibu malas untuk datang walaupun hanya sekedar untuk menimbang balita mereka ke posyandu yang hanya satu bulan sekali. Pola asuh balita di wilayah tersebut para ibu balita cenderung kurang memperhatikan para balita mereka seperti kurangnya para ibu


(31)

merawat, menjaga, memberi makan, hygen balita, dan memperhatikan balita agar senantiasa terjaga dan terawat bahkan ibu membawa anak balita ke sawah dan ladang tanpa memperhatikan balitanya dengan alasan tidak ada yang menjaga apabila ditinggal dirumah.

Dari survei yang terdata dari Puskesmas Sayur Matinggi tersebut penelitian ini diharapkan mampu mengungkapkan pengaruh perilaku ibu terhadap kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Sayur Matinggi Kabupaten Tapanuli Selatan Khususnya.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang diatas dapat ditarik permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh perilaku ibu terhadap kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Sayur Matinggi.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perilaku Ibu terhadap kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sayur Matinggi.

1.3.2. Tujuan Khusus

a) Untuk megetahui pengaruh karakteristik ibu berdasarkan umur, pendidikan, pekerjaan, paritas dan pendapatan terhadap kejadian Bawah Garis Merah (BGM)


(32)

pada anak balita di wilayah kerja puskesmas Sayur Matinggi kabupaten Tapanuli Selatan.

b) Untuk mengetahui pengaruh perilaku ibu (pengetahuan, sikap dan pola asuh) terhadap kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada anak balita di wilayah kerja puskesmas Sayur Matinggi kabupaten Tapanuli Selatan.

1.4. Hipotesis

a) Ada pengaruh karakteristik ibu berdasarkan umur, pendidikan, pekerjaan, paritas dan pendapatan terhadap kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada anak balita di wilayah kerja puskesmas Sayur Matinggi kabupaten Tapanuli Selatan.

b) Ada pengaruh perilaku ibu (pengetahuan, sikap dan pola asuh) terhadap kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada anak balita di wilayah kerja puskesmas Sayur Matinggi kabupaten Tapanuli Selatan.

1.5. Manfaat Penelitian

a) Sebagai bahan masukan dan informasi bagi masyarakat khususnya ibu yang mempunyai anak balita terhadap pencegahan kejadian Bawah Garis Merah (BGM).

b) Sebagai bahan masukan bagi Instansi di puskesmas dan dinas kesehatan untuk menyusun kebijakan upaya pencegahan kejadian Bawah Garis Merah (BGM).


(33)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bawah Garis Merah pada Anak Balita 2.1.1. BGM

Gizi di bawah garis merah adalah keadaan kurang gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama. Tanda-tanda klinis dari gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan marasmus, kwashiorkor atau marasmic-kwashiorkor (WHO, 2005).

Gizi buruk adalah keadaan kekurangan energi dan protein tingkat berat akibat kurang mengkonsumsi makanan yang bergizi dan atau menderita sakit dalam waktu lama. Itu ditandai dengan status gizi sangat kurus (menurut BB terhadap TB) dan atau hasil pemeriksaan klinis menunjukkan gejala marasmus, kwashiorkor atau marasmik kwashiorkor (Supriasa, 2001).

Gizi merupakan suatu proses organisme menggunakan makan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan energi. Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel-variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture, (Supriasa, 2002).


(34)

2.1.2. Klasifikasi Gizi Buruk

Bila dilihat berdasarkan gejala klinisnya gizi buruk dapat dibagi menjadi 3 yaitu sebagai berikut:

1. Marasmus

Marasmus merupakan salah satu bentuk gizi buruk yang paling sering ditemukan pada balita. Hal ini merupakan hasil akhir dari tingkat keparahan gizi buruk. Gejala marasmus antara lain anak tampak kurus, rambut tipis dan jarang,kulit keriput yang disebabkan karena lemak di bawah kulit berkurang, muka seperti orang tua (berkerut), balita cengeng dan rewel meskipun setelah makan, bokong baggy pant, dan iga gambang.

2. Kwashiorkor

Kwashiorkor adalah suatu bentuk malnutrisi protein yang berat disebabkan oleh asupan karbohidrat yang normal atau tinggi dan asupan protein yang adekuat. Hal ini seperti marasmus, kwashiorkor juga merupakan hasil akhir dari tingkat keparahan gizi buruk. Tanda khas kwashiorkor antara lain pertumbuhan terganggu, perubahan mental,pada sebagian besar penderita ditemukan oedema baik ringan maupun berat, gejala gastrointestinal,rambut kepala mudah dicabut,kulit penderita biasanya kering dengan menunjukkan garis-garis kulit yang lebih mendalam dan lebar,sering ditemukan hiperpigmentasi dan persikan kulit,pembesaran hati,anemia ringan,pada biopsi hati ditemukan perlemakan.


(35)

3. Marasmiks-Kwashiorkor

Marasmic-kwashiorkor gejala klinisnya merupakan campuran dari beberapa gejala klinis antara kwashiorkor dan marasmus dengan Berat Badan (BB) menurut umur (U) < 60% baku median WHO-NCHS yang disertai oedema yang tidak mencolok.

Bentuk kelainan digolongkan menjadi 4 macam yaitu :

a. Undernutrition, yaitu kekurangan komsumsi pangan secara relatif dan absolute dalam bentuk tertentu.

b. Spesifik depesiensi yaitu kekurangan zat gizi tertentu.

c. Overnutrition yaitu kelebihan konsumsi zat gizi dalam priode tertentu. d. Imbalance, ketidak seimbangan karena disporsi zat gizi tertentu

(Supriasa dkk, 2002)

2.1.3. Kebutuhan Nutrisi Gizi pada Balita

Bila ditinjau dari segi umur, maka anak balita yang sedang tumbuh kembang adalah golongan yang awan terhadap kekurangan energi dan protein, kerawanan pada anak - anak disebabkan oleh hal-hal di sebagai berikut, (Kardjati, dkk, 1985):

a. Kemampuan saluran pencernaan anak yang tidak sesuai dengan jumlah volume makanan yang mempunyai kandungan gizi yang dibutuhkan anak.

b. Kebutuhan gizi anak per satuan berat badan lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa, karena disamping untuk pemeliharaan juga diperlukan untuk pertumbuhan.


(36)

c. Segera anak dapat bergerak sendiri, tanpa bantuan orang lain, dia akan mengikuti pergerakan disekitarnya sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya penularan penyakit.

d. Meskipun mempunyai nilai tertentu dalam keluarga, akan tetapi dalam hal penyajian makanan, anggota keluarga yang mempunyai nilai produktif akan mendapatkan pilihan yang terbaik, baru selebihnya yang diberikan pada anggota keluarga yang lain. Masa anak dibawah lima tahun (anak balita, umur 12 - 59 bulan). Pada masa ini, kecepatan pertumbuhan mulai menurun dan terdapat kemajuan dalam perkembangan motorik (gerak kasar dan gerak halus) serta fungsi ekskresi.

Setelah lahir terutama pada 3 tahun pertama kehidupan, pertumbuhan dan perkembangan sel-sel otak masih berlangsung dan terjadi pertumbuhan serabut - serabut syaraf dan cabang - cabangnya, sehingga terbentuk jaringan syaraf dan otak yang kompleks. Jumlah dan pengaturan hubungan-hubungan antar sel syaraf ini sangat mempengaruhi segala kinerja otak, mulai dari kemampuan belajar berjalan, mengenal huruf, sehingga bersosialisasi.

Pada masa balita, perkembangan kemampuan bicara dan bahasa, kreatifitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan berikutnya. Perkembangan moral serta dasar-dasar kepribadian anak juga dibentuk pada masa ini, sehingga setiap kelainan/ penyimpangan sekecil apapun apabila tidak dideteksi apalagi tidak ditangani dengan


(37)

baik, akan mengurangi kualitas sumber daya manusia dikemudian hari, (Depkes RI, 2006).

Anak kelompok balita di Indonesia menunjukkan prevalensi paling tinggi untuk penyakit kurang kalori protein dan defesiensi vitamin A serta anemia defesiensin Fe. Kelompok umur sulit dijangkau oleh berbagai upaya kegiatan pebaikan gizi dan kesehatan lainnya, karena tidak dapat datang sendiri ke tempat berkumpul yang telah ditentukan tanpa diantar, padahal yang mengantar sedang semua, (Seadiaoetama, 2000). Adapun kebutuhan nutrisi pada anak balita sebagai berikut :

1. Asupan Kalori, Anak-anak usia balita membutuhkan kalori yang cukup banyak disebabkan bergeraknya cukup aktif pula. Mereka membutuhkan setidaknya 1500 kalori setiap harinya. Dan balita bisa mendapatkan kalori yang dibutuhkan pada makanan-makanan yang mengandung protein, lemak dan gula.

2. Pasokan Lemak

Roti, santan, mentega merupakan makanan yang mengandung lemak dan baik diberikan pada anak balita sebab lemak sendiri mampu membentuk Selubung Mielin yang terdapat pada saraf otak.

3. Kebutuhan Protein

Asupan gizi yang baik bagi balita juga terdapat pada makanan yang mengandung protein. Karena protein sendiri bermanfaat sebagai prekursor untuk neurotransmitter demi perkembangan otak yang baik nantinya. Protein bisa


(38)

didapatkan pada makanan-makanan seperti ikan, susu, telur 2 butir, daging 2 ons dan sebagainya.

4. Zat besi

Usia balita merupakan usia yang cenderung kekurangan zat besi sehingga balita harus diberikan asupan makanan yang mengandung zat besi. Makanan atau minuman yang mengandung vitamin C seperti jeruk merupakan salah satu makanan yang mengandung gizi yang bermanfaat untuk penyerapan zat besi. 5. Karbohidrat

Dalam kehidupan sehari-hari manusia membutuhkan karbohidrat sebagai energi utama serta bermanfaat untuk perkembangan otak saat belajar dikarnakan karbohidrat di otak berupa Sialic Acid. Begitu juga dengan balita, mereka juga membutuhkan gizi tersebut yang bisa diperoleh pada makanan seperti roti, nasi kentang dan lainnya.

6. Kalsium

Balita juga membutuhkan asupan kalsium secara teratur sebagai pertumbuhan tulang dan gigi balita. Salah satu pemberi kalsium terbaik adalah susu yang diminum secara teratur.

7. Vitamin

Vitamin merupakan nutrisi yang juga dibutuhkan, tidak hanya balita, namun untuk semua umur membutuhkannya. Banyak manfaat yang bisa didapat dari vitamin seperti misalnya vitamin A sebagai perkembangan kulit sehat, vitamin C


(39)

yang berfungsi sebagai penyerapan zat besi. Vitamin E yang berperan untuk mencegah kerusakan struktur sel membrane dan antioksidan.

Dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.1. Kebutuhan Zat Gizi Balita Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) Rata-rata Per Hari

Golongan Umur Berat Badan (Kg) Tinggi Badan (Cm) Energi (Kkal) Protein (g) Vitamin A (RE) Besi/Fe (Mg)

0-6 bulan 5.5 60 560 12 350 3

7-12 bulan 8.5 71 800 15 350 5

1-3 tahun 12 90 1250 23 350 8

4-6 tahun 18 110 1750 32 460 9

Sumber: Solihin Pudjiadi, 2003 : 30.

Tabel 2.2. Angka Kecukupan Energi (AKE) dan Protein (AKP) pada Anak

No. Umur Energi (kkal) Protein (gr)

1 0-6 bulan 550 10

2 7-11 bulan 650 16

3 1-3 tahun 1000 25

4 4-6 tahun 1550 39

Sumber : Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VII, Jakarta, 2004 2.1.4. Faktor Penyebab BGM

BGM dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Namun, secara langsung dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu : anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang, anak tidak mendapat asuhan gizi yang memadai dan anak mungkin menderita penyakit infeksi. Ketiga penyebab langsung tersebut diuraikan sebagai berikut :


(40)

1. Anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang

Bayi dan balita tidak mendapat makanan yang bergizi. Makanan alamiah terbaik bagi bayi yaitu Air Susu Ibu, dan sesudah usia 6 bulan anak tidak mendapat Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat, baik jumlah dan kualitasnya. MPASI yang baik tidak hanya cukup mengandung energi dan protein, tetapi juga mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B serta vitamin dan mineral lainnya. MP-ASI yang tepat dan baik dapat disiapkan sendiri di rumah. Pada keluarga dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah, seringkali seorang anak harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi balita karena ketidaktahuan.

2. Anak tidak mendapat asuhan gizi yang memadai

Suatu studi “positive deviance” mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan balita di suatu desa miskin hanya sebagian kecil yang BGM, padahal orang tua mereka semuanya petani miskin. Dari studi ini diketahui pola pengasuhan anak berpengaruh pada timbulnya BGM. Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan, mengerti soal pentingnya ASI, manfaat posyandu dan kebersihan, meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat. Unsur pendidikan perempuan berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak. Sebaliknya sebagian anak yang BGM ternyata diasuh oleh nenek atau pengasuh yang juga miskin dan tidak berpendidikan.


(41)

3. Anak menderita penyakit infeksi

Terjadi hubungan timbal balik antara kejadian infeksi penyakit dan BGM. Anak yang menderita BGM akan mengalami penurunan daya tahan, sehingga anak rentan terhadap penyakit infeksi. Di sisi lain, anak yang menderita sakit infeksi akan cenderung menderita gizi buruk.

Gambar 2.1. Penyebab Masalah Gizi Menurut UNICEF, 1998 2.1.5. Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi secara langsung menurut Supariasa (2001) dapat dilakukan dengan empat cara:

1. Secara Klinis

Penilaian Status Gizi secara klinis sangat penting sebagai langkah pertama untuk mengetahui keadaan gizi penduduk. Karena hasil penilaian dapat memberikan

Penyebab Langsung

Asupan Gizi Infeksi Penyakit

Perilaku/ Asuhan Ibu dan

Penyebab tidak Langsung Pelayanan

Kesehatan Ketersediaan

Pangan Tingkat Rumah

Kemiskinan, Pendidikan Rendah, Ketersediaan

Masalah Utama

Krisis Politik

Masalah Dasar Status Gizi


(42)

gambaran masalah gizi yang nyata. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral.

2. Secara Biokimia

Penilaian status gizi secara biokimia adalah pemeriksaan specimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain : darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Salah satu ukuran yang sangat sederhana dan sering digunakan adalah pemeriksaan haemoglobin sebagai indeks dari anemia.

3. Secara Biofisik

Penilaian status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk melihat tanda dan gejala kurnag gizi. Pemeriksaan dengan memperhatikan rambut, mata, lidah, tegangan otot dan bagian tubuh lainnya.

4. Antropometri

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat Gizi,

Pengukuran antropometrik : pada metode ini dilakukan beberapa macam pengukuran antara lain pengukuran tinggi badan,berat badan, dan lingkar lengan atas. Beberapa pengukuran tersebut, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas sesuai


(43)

dengan usia yang paling sering dilakukan dalam survei gizi. Di dalam ilmu gizi, status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur BB atau TB sesuai dengan umur secara sendiri-sendiri, tetapi juga dalam bentuk indikator yang dapat merupakan kombinasi dari ketiganya.

Berdasarkan Berat Badan menurut Umur diperoleh kategori : Tergolong gizi buruk jika hasil ukur lebih kecil dari -3 SD. Gizi kurang jika hasil ukur -3 SD sampai dengan < -2 SD. Gizi baik jika hasil ukur -2 SD sampai dengan 2 SD. Gizi lebih jika hasil ukur > 2 SD. Berdasarkan pengukuran Tinggi Badan (24 bulan-60 bulan) atau Panjang badan (0 bulan-24 bulan) menurut Umur diperoleh kategori : Sangat pendek jika hasil ukur lebih kecil dari -3 SD. Pendek jika hasil ukur – 3 SD sampai dengan < -2 SD. Normal jika hasil ukur -2 SD sampai dengan 2 SD. Tinggi jika hasil ukur > 2 SD. Berdasarkan pengukuran Berat Badan menurut Tinggi badan atau Panjang Badan: Sangat kurus jika hasil ukur lebih kecil dari -3 SD. Kurus jika hasil ukur -3 SD sampai dengan < -2 SD. Normal jika hasil ukur -2 SD sampai dengan 2 SD. Gemuk jika hasil ukur > 2 SD. Balita dengan gizi buruk akan diperoleh hasil BB/TB sangat kurus, sedangkan balita dengan gizi baik akan diperoleh hasil normal

2.1.6. Dampak Gizi Dibawah Garis Merah pada Balita

Keadaan gizi kurang pada anak-anak mempunyai dampak pada kelambatan pertumbuhan dan perkembangannya yang sulit disembuhkan. Oleh karena itu anak yang bergizi kurang tersebut kemampuannya untuk belajar dan bekerja serta bersikap akan lebih terbatas dibandingkan dengan anak yang normal (Santoso, 2003). Dampak


(44)

yang mungkin muncul dalam pembangunan bangsa di masa depan karena masalah gizi antara lain :

1. Kekurangan gizi adalah penyebab utama kematian bayi dan anak-anak. Hal ini berarti berkurangnya kuantitas sumber daya manusia di masa depan. Kekurangan gizi berakibat meningkatnya angka kesakitan dan menurunnya produktivitas kerja manusia. Hal ini berarti akan menambah beban pemerintah untuk meningkatkan fasilitas kesehatan.

2. Kekurangan gizi berakibat menurunnya tingkat kecerdasan anak - anak. Akibatnya diduga tidak dapat diperbaiki bila terjadi kekurangan gizi semasa anak dikandung sampai umur kira-kira tiga tahun. Menurunnya kualitas manusia usia muda ini, berarti hilangnya sebagian besar potensi cerdik pandai yang sangat dibutuhkan bagi pembangunan bangsa.

3. Kekurangan gizi berakibat menurunnya daya tahan manusia untuk bekerja, yang berarti menurunnya prestasi dan produktivitas kerja manusia. Kekurangan gizi pada umumya adalah menurunnya tingkat kesehatan masyarakat. Masalah gizi masyarakat pada dasarnya adalah masalah konsumsi makanan rakyat. Karena itulah program peningkatan gizi memerlukan pendekatan dan penggarapan diberbagai disiplin, baik teknis kesehatan, teknis produksi, sosial budaya dan lain sebagainya (Suhardjo, 2003).


(45)

2.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kejadian Bawah Garis Merah pada Balita

2.2.1. Perilaku Ibu

Dari aspek biologis perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkuatan (Notoatmojo,2010) , Segala kegiatan yang dilakukan makhluk hidup dalam kehidupan sehari-hari untuk mempertahankan kehidupan sehari-hari disebut dengan perilaku.

Menurut Skiner (1938), seorang ahli psikologi yang dikutip dalam buku Notoatmodjo (2010), merumuskan bahwa perliku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulasi (rangsangan dari luar). Dengan demikian perilaku manusia terjadi melalui proses : Stimulus Organisme Respon, sehingga teori Skinner ini disebut teori ‘SOR”

Berdasarkan pembagian domain oleh Bloom, dan untuk kepentingan pendidikan praktis, dikembangkan menjadi tingkat ranah perilaku sebagi berikut (Notoatmodjo,2010)

1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan sebagainya).

2. Sikap (Attitiude)

Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan.


(46)

3. Tindakan atau Praktik (Practice)

Seperti telah disebutkan diatas bahwa sikap adalah kecenderungan untuk bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana. 2.2.1.1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba, sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo,2010).

Menurut WHO pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. Selanjutnya menurut Poejawijatna (1991), orang yang tahu disebut mempunyai pengetahuan. Jadi pengetahuan adalah hasil dari tahu. Dengan demikian pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo,2010).

Penelitian Rogers (1983), mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi tahapan pengetahuan dalam diri orang tersebut terjadi adalah sebagai berikut :

a. Knowledge (Pengetahuan), yakni orang tersebut mengetahui dan memahami akan adanya perubahan baru.

b. Persuasion (Kepercayaan), yakni orang mulai percaya dan membentuk sikap terhadap perubahan tersebut .


(47)

c. Decision (Keputusan), yakni orang mulai membuat suatu pilihan untuk mengadopsi atau menolak perubahan tersebut

d. Implementation (Pelaksanaan), orang mulai menerapkan perubahan tersebut dalam dirinya.

e. Comfirmation (Penegasan), orang tersebut mencari penegasan kembali terhadap perubahan yang telah diterapkan, dan boleh merubah keputusannnya apabila perubahan tersebut berlawanan dengan hal yang diinginkannya.

Namun demikian dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut. Apabila penerima perubahan perilku baru atau adopsi perilku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan , kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Bloom (1908), pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan :

a. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk keadaan pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)

sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima, oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan, menyatakan, dan sebagainya.


(48)

b. Memahami (Cmprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat meninterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan , menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya

c. Aplikasi (Aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

d. Analisis (Analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek kedaalam komponen- komponen, tetapi masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokan dan sebagainya.

e. Sintesis (Syntesis)

Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletekkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah kemampuan menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan dapat meringkas, dapat menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.


(49)

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakantentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas (Notoatmodjo, 2003)

Pengetahuan menjadai landasan penting untuk menentukan suatu tindakan, pengetahuan, sikap dan perilaku akan kesehatan merupakan faktor yang menentukan dalam mengambil keputusan. Orang yang berpengatahuan di dalam kehidapan sehari-hari (Notoatmodjo, 2003).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya suatu tindakan seseorang (overt behavior) dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Notoatmodjo (2003), ada beberapa faktor yang memepengaruhi pengetahuan yaitu :

a. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan didalam dan diluar sekolah dan berlangsung seuur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseoarang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi maka seseornag akan cenderung untuk mendapatkan informasi baik dari orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula penegetahuan yang didapat tentang kesehatan. Pengetahuan sangat erat kaitan dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan pendidikan


(50)

tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula penegtahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seseorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi dapat diperoleh pada pendidikan nonformal. Pengetahuan seeorang tentang suatu objek juga mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negative. Kedua aspek inilah yang yang akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap obyek tertentu

b. Informasi

Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun nonformal dapat memberikan pengaru jangka pendek shingga menghasilkan perubahan pengetahuan. Majunya teknologi akan tersedia bermacam –macam yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain – lain mempengaruhi besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan – pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut.

c. Sosial budaya dan ekonomi d. Lingkungan

e. Pengalaman f. Usia


(51)

2.2.1.2. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu (Notoatmodjo, 2007).

Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni (Notoatmodjo, 2007) 1. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan, bahwa orang (subjek) mau dan memerhatikan stimulus yang diberikan (objek .

2. Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertnayaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas pekerjaan itu benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut.

3. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4. Bertanggung jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihya denga segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.


(52)

2.2.1.3. Pola Asuh

Secara harfiah, Bahasa Indonesia, pola adalah motif, penggambaran, model, cara.Sementara pengasuhan berasal dari kata asuh berarti menjaga, memelihara dan mindidik.Jadi dari harfiah Bahasa Indonesia, praktek pengasuhan anak adalah cara yang diterapkan oleh ibu untuk mendidik anak-anak agar tidak mudah mengalami sakit dengan kondisi badan yang sehat

Pengasuhan anak adalah aktivitas yang berhubungan dengan pemenuhan pangan, pemeliharan fisik dan perhatian terhadap anak.

Pengasuh anak meliputi aktivitas peraatan terkait gizi/persiapan makanan dan menyusui, pencegahan dan pengobatan penyakit, memandikan anak, membersihkan rumah.

Berdasarkan pengertian tersebut “Pengasuhan’’ pada dasarnya adalah suatu praktek yang dijalankan oleh orang yang lebih dewasa terhadap anak yang dihubungkan dengan pemenuhan kebutuhan pangan atau tempat tinggal yang layak, higiene perorangan, sanitasi lingkungan, sandang, kesegaran jasmani (Soetjiningsih, 1995).

Pola pengasuhan merupakan salah satu kejadian pendukung untuk mencapai status yang baik bagi anak. Pola pengasuhan merupakan kejadian pendukung anmun secara tidak langsung. Dengan pola pengasuhan yang baik, maka perkembangan anak juga akan baik. Ahli psikologi perkembangan, dewasa ini menilai secara kritis pentingnya pengasuhan anak oleh orang tuanya. Proses pengasuhan ini erat hubungannya dengan kelekata antara anak dan orang tua dimana proses tersebut


(53)

melahirkan ikatan emosional secara timbal balik antara bayi atau anak dengan pengasuh (orang tua) (Milis. I, 2004 di dalam Silfiya dkk, 2005).

Berdasarkan pengertian tersebut “ Pengasuhan “ pada dasarnya adalah suatu praktek yang dijalankan oleh orang yang lebih dewasa terhadap anak yang dihubungkan dengan penemuan kebutuhan pangan atau tempat tinggal yang layak, hygiene perorangan, sanitasi lingkungan, sandang, kesegaran jasmani, (Soetjiningsih, 1995).

Menurut Eagle 1995 pola pengasuhan adalah aktivitas terhadap anak terkait makanan, aktivitas mandi mereka menderita infeksi Eagle, (1995). Pola pengasuhan menurut Zeitlin (2000) adalah praktek dirumah tangga yang diwujudkan dengan tersedianya pangan dan perawatan kesehatan serta sumber lainnya untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak.

Pola makan di suatu daerah berubah-ubah sesuai dengan perubahan faktor atau kondisi setempat yang dapat dibagi dalam dua kelompok. Pertama adalah faktor yang berhubungan dengan persediaan atau pengadaan pangan dalam kelompok ini termasuk faktor geografi, iklim, kesuburan tanah yang dapat mempengaruhi jenis tanaman dan jumlah produksinya di suatu daerah, bahan pangan yang erat kaitannya dengan tinggi rendahnya persediaan disuatu daerah (Almatsier, 2001).

Pola makan adalah jumlah makanan dan jenis serta banyaknya bahan makanan dalam pola pangan, disuatu Negara atau daerah tertentu, biasanya berkembang dari daerah setempat atau dari pangan yang telah ditanam ditempat tersebut untuk jangka waktu yang panjang (Suhadjo, 2003).


(54)

Segala yang terkaitan dengan pengaturan makanan (pola makan dan pengaturan jenis makanan beserta kandungan gizi suatu zat makanan) bertujuan untuk mmenuhi keseimbangan zat dalam tubuh kita untuk mencapai kehidupan yang optimal (Kusumah, 2007).

Kesehatan Lingkungan juga berperan penting terhadap status gizi balita, ruang lingkup kesehatan lingkungan antara lain meliputi perumahan, pembuangan tinja, penyediaan air bersih dan pembuangan sampah dan sebagainya. Keadaan perumahan mempunyai hubungan yang erat dengan status kesehatan penghuninya. Air bersih merupakan faktor utama untuk menentukan bagi proses kehidupan dan kesehatan (Sukarni), karena bibit penyakit tertentu dapat ditularkan oleh air terkontaminasi

Higiene atau biasa disebut dengan kebersihan, adalah upaya untuk memelihara hidup sehat yang meliputi kebersihan pribadi, kehidupan bermasyarakat, dan kebersihan kerja. Sanitasi lingkungan adalah usaha pengendalian diri dari faktor lingkungan yang dapat menimbulkan hal yang merugikan perkembangan fisik, kesehatan dan menurun daya tahan tubuh manusia. Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan.

Salah satu kelompok masyarakat yang rentan terhadap penurunan status gizi adalah anak usia 2-5 tahun, karena pada usia ini anak sudah tidak mendapatkan ASI sedangkan makanan yang dikonsumsi belum mencukupi kebutuhan gizi yang semakin meningkat. Status gizi secara tidak langsung berkaitan dengan faktor sosial ekonomi dan higiene sanitasi serta berkaitan langsung dengan tingkat konsumsi dan infeksi.


(55)

Penelitian Ma’rifat (2012) terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi batita indikator BB/U dengan pemanfaatan pelayanan penimbangan, penyuluhan dan pemberian makanan tambahan. Sementara untuk status gizi batita indikator TB/U hubungan yang signifikan hanya terjadi dengan pemanfaatan pelayanan penimbangan dan suplementasi gizi. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi batita indikator BB/TB adalah jumlah anggota keluarga dan pemanfaatan pelayanan kesehatan, sedangkan terhadap status gizi batita indikator BB/U dan TB/U adalah lama pendidikan ibu, pemanfaatan pelayanan kesehatan dan penyakit infeksi.

Aspek kunci dalam pola asuhan adalah : a. Perawatan dan perlindungan bagi bayi b. Praktek menyusui dan pemberian MP-ASI c. Pengasuhan psiki-sosial

d. Kebersihan diri dan sanitasi lingkungan

e. Praktek kesehatan dirumah dan pola pencarian pelayanan kesehatan.

2.3. Epidemiologi BGM

Konsep dasar kejadian BGM menurut segitiga epidemilogi, Segitiga epidemiologi merupakan konsep dasar epidemiologi yang memberi gambaran tentang hubungan antara tiga faktor yang berperan dalam terjadinya penyakit dan masalah kesehatan lainnya. Segitiga epidemiologi menggambarkan interaksi antara Host (penjamu), Agent (penyebab) dan Environment (lingkungan). Suatu penyakit dapat timbul di masyarakat apabila terjadi ketidakseimbangan antara Host, Agent dan


(56)

Environment. Hal ini dikarenakan perubahan pada salah satu faktor atau komponen akan mengubah keseimbangan secara keseluruhan. Hubungan ketiga komponen digambarkan dengan tuas dalam timbangan, dimana environment sebagai penumpunya.

Konsep penyebab dan proses terjadinya penyakit dalam epidemiologi berkembang dari rantai sebab akibat ke suatu proses kejadian penyakit yakni proses interaksi antara manusia (pejamu) dengan berbagai sifatnya (biologis, Fisiologis, Psikologis, Sosiologis dan antropologis) dengan penyebab (agent) serta dengan lingkungan (Enviroment) (Nur nasry noor, 2000).

Pada kasus balita yang mengalami BGM, penyakit dapat timbul dikarenakan tidak seimbangnya host, agent, dan environmentnya.

a. Host (Pejamu)

Host atau pejamu ialah keadaan manusia dimana dapat menjadi faktor risiko untuk terjadinya suatu penyakit. Faktor ini di sebabkan oleh faktor intrinsik. :

1. Umur. Bayi dan balita merupakan golongan rawan terhadap penyakit gizi buruk. Selain karena daya tahan tubuhnya yang masih rendah, faktor organ pencernaan yang belum berfungsi sempurna juga turut mempengaruhi.

2. Status kesehatan. Status gizi yang kurang menyebabkan mudahnya menderita BGM.

3. Keadaan imunitas dan respons imunitas. Adanya alergi atau intolerant terhadap protein tertentu terutama protein susu mempengaruhi intake protein dalam tubuh. Sehingga menyebabkan kurangnya protein apabila tidak dicari penggantinya


(57)

4. Tingkat Pendidikan. BGM juga dipengaruhi akibat rendahnya pengetahuan ibu mengenai keseimbangan nutrisi pada anak dan kurangnya pemahaman akan makanan peralihan dari ASI ke makanan pengganti ASI.

b. Agent (Penyebab)

Pada dasarnya, tidak ada satu pun penyakit yang dapat timbul hanya disebabkan oleh satu faktor tunggal semata. Umumnya kejadian penyakit disebabkan oleh berbagai unsur yang secara bersama-sama mendorong terjadinya penyakit, namun demikian, secara dasar, unsur penyebab penyakit dapat dibagi dalam dua bagian utama yakni :

1. Penyebab Kausal Primer, dan 2. Penyebab Kausal Sekunder

Penyebab kausal primer pada penderita BGM ialah rendahnya asupan makanan yang mengandung protein. Padahal zat ini sangat dibutuhkan oleh anak untuk tumbuh dan berkembang. Meskipun intake makanan mengandung kalori yang cukup, namun tidak semua makanan mengandung protein/asam amino yang mencukupi kebutuhan dalam tubuh.

Sedangkan penyebab kausal sekunder lebih kepada lingkungan pasien itu sendiri seperti ketersediaan bahan pangan di daerah tempat tinggalnya yang memadai atau tidak.

c. Environment (Lingkungan)

Unsur lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam menentukan terjadinya sifat karakteristik individu sebagai pejamu dan ikut memegang peranan dalam proses kejadian BGM.


(58)

- Lingkungan Fisik, daerah dimana ketersediaan dan ketahanan pangannya rendah akan menjadi daerah endemik penyebaran BGM. Lingkungan fisik ada yang terjadi secara alamiah tetapi dapat juga mucul akibat ulah manusia sendiri (Nur Nasri Noor, 2000).

- Lingkungan Sosial, semua bentuk kehidupan sosial budaya, ekonomi, politik, sistem organisasi. Serta instusi/peraturan yang berlaku bagi setiap individu yang membentuk masyarakat tersebut. Faktor hidup di tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, keadaan sosial dan politik tidak stabil, ataupun adanya pantangan untuk menggunakan makanan tertentu dan sudah berlansung turun temurun dapat menjadi hal yang menyebabkan terjadinya BGM. Selain itu tingkat pendapatan yang rendah sehingga mengakibatkan daya beli barang yang rendah juga turut andil mengakibatkan BGM.

Dari keseluruhan unsur di atas, dimana hubungan interaksi antara satu dengan yang lainnya akan menentukan proses dan arah dari proses kejadian penyakit, baik pada perorangan, maupun dalam masyarakat. Dengan demikian Terjadinya suatu penyakit tidak hanya di tentukan oleh unsur penyebab semata, tetapi yang utama adalah bagaimana rantai penyebab dan hubungan sebab akibat di pengaruhi oleh berbagai faktor maupun unsur lainnya.

2.4. Landasan Teori

Landasan teori dalam penelitian ini dirangkum berdasarkan tinjauan teori yang ada, khususnya mengenai hubungan satu factor risiko dengan risiko yang lain yang dapat mempengaruhi terjadinya BGM.


(59)

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian BGM adalah karakteristik ibu yang meliputi (umur, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan), faktor penyebab tidak langsung yaitu perilaku ibu yang meliputi (Pengetahuan, sikap dan pola asuh) pelayanan kesehatan, dan ketersediaan pangan, dan faktor penyebab langsung yaitu penyakit infeksi dan asupan gizi. Kerangka teori terjadinya BGM pada anak balita dapat dilihat pada gambar 2.2 sebagai berikut :

Gambar 2.2. Kerangka Teori Penelitian Sumber : Rogers (1983),UNICEF (1998)

Masalah dasar Krisis Politik

Masalah utama -Kemiskinan

-Pendidikan Rendah, -Ketersediaan Pangan

Kejadian Bawah Garis Merah

Karakteristik ibu - Umur

- Pendidikan - Pekerjaan - Pendapatan Penyebab langsung

- Asupan Gizi - Infeksi Penyakit Penyebab tidak langsung - Ketersediaan Pangan - Pelayanan Kesehatan Perilaku

- Pengetahuan - Sikap - Pola Asuh


(60)

2.5. Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori maka peneliti merumuskan kerangka konsep penelitian dan tidak semua variabel yang tercantum pada kerangka teori dilakukan pengukuran, peneliti hanya memilih beberapa faktor yang fisibel (dapat dilakukan peneliti) untuk diteliti sebagai variabel penelitian.

Variabel terikat (variabel dependen) dalam penelitian ini adalah kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada anak balita sedangkan variabel bebas (variabel independen) adalah karakteristik ibu (umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan) dan perilaku ibu (pengetahuan, sikap dan pola asuh). Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka teori, maka yang menjadi kerangka konsep penelitian dalam penelitian ini sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian Perilaku Ibu :

- Pengetahuan - Sikap - Pola Asuh

Kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada Anak

Balita Karakteristik Ibu:

- Umur - Pendidikan - Pekerjaan - Pendapatan


(61)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah studi analitik dengan disain Cross Sectional.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Sayur Matinggi, Pemilihan lokasi didasarkan pada pertimbangan bahwa, ditemukannya berat badan balita yang dibawah Garis Merah (BGM) di Wilayah kerja Puskesmas Sayur Matinggi.

Waktu yang digunakan dalam melaksanakan penelitian ini mulai September 2013 sampai Agustus 2014.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1. Populasi

Populasi adalah seluruh ibu yang mempunyai anak balita di wilayah kerja Puskesmas Sayur Matinggi sebanyak 1063 orang.

3.3.2. Sampel

Sampel adalah ibu yang mempunyai anak balita (umur 12-59 bulan) dan bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Sayur Matinggi. Besar sampel dihitung


(62)

dengan menggunakan rumus besar sampel untuk uji hipotesis proporsi populasi tunggal sebagai berikut : (Vincent, 2003)

� = N Z² P(1−P) N G²+ Z² P (1−P) Keterangan:

N = Jumlah populasi n = Jumlah sampel

Z = Tingkat keandalan 95 % (1.96) P = Proporsi populasi

G = galat pendugaan

Dengan perhitungan sebagai berikut : �= 1063(1,96)

20,5(10,5)

1063 (0,1)2+ (1,96)2 (0,5) (10,5)

� =1020,9

10,2 = 100

Berdasarkan perhitungan di atas besar sampel adalah 100 orang. Untuk mengambil sampel di 19 desa yang ada di wilayah kerja Puskesmas Sayur Matinggi dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling), dengan teknik undian. Langkah-langkah pengambilan sampel dalam penelitian adalah sebagai berikut : 1. Menyiapkan daftar subjek yaitu daftar nama ibu yang mempunyai balita yang

didadapatkan dari puskesmas

2. Memberi nomor urut subjek anggota populasi, penomoran dilakukan sesuai alphabet nama.


(63)

3. Menyiapkan potongan kertas

4. Menulis nama dan nomor dari masing-masing anggota populasi.

5. Randomisasi dengan mengocok undian, proses ini dilakukan sampai didapatkan besar sampel yang diinginkan

3.4. Metode Pengumpulan Data

Ada dua jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu : a. Data primer

Data primer dalam penelitian ini data yang diperoleh langsung dari responden melalui wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (kuesioner) penelitian yang telah dipersiapkan serta melakukan pengukuran antropometri, dan sebelumnya responden diberi penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian. b. Data sekunder

Data sekunder diperoleh dari catatan Puskesmas Sayur Matinggi. Dan dokumen lain yang dianggap relevan dengan penelitian.

3.5. Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji Validitas dan reliabilitas kuesioner sebagai instrument pengumpul data dilakukan sebelum penelitian dilaksanakan. Validitas merupakan sejauh mana alat ukur mengukur apa yang memang sesungguhnya hendak diukur, dan reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana pengukuran pada situasi yang berbeda memberikan hasil yang sama (Streiner dan Norman 2000:Gerstman,1998 dalam Murti, 2003). Uji validitas memakai korelasi Person Product Moment (r), dengan


(64)

ketentuan, jika r hitung > r tabel, maka dinyatakan valid atau sebaliknya. Untuk uji reliabilitas menggunakan Cronbah’s Alpha, dengan menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur menunjukkan ketepatan dan dapat dipercaya dengan ketentuan jika nilai r

Alpha . r tabel maka dinyatakan reliable. (Riyanto, 2011)

Tabel 3.1. Hasil Uji Validitas Variabel Pengetahuan

Tahap Pertama Tahap Kedua

Sub Variabel

Nilai

Corrected Item-Total

Keterangan Sub

Variabel

Nilai

Corrected Item-Total

Keterangan

P1 0,555 Valid P1 0,530 Valid

P2 0,532 Valid P2 0,551 Valid

P3 0,630 Valid P3 0,640 Valid

P4 0,641 Valid P4 0,623 Valid

P5 0,641 Valid P5 0,623 Valid

P6 0,686 Valid P6 0,469 Valid

P7 0,485 Valid P7 0,692 Valid

P8 0,684 Valid P8 0,499 Valid

P9 0,522 Valid P9 0,675 Valid

P10 0,646 Valid P10 0,675 Valid

P11 0,126 Tidak Valid P11 0,640 Valid

P12 0,630 Valid P12 0,527 Valid

P13 0,551 Valid P13 0,678 Valid

P14 0,651 Valid P14 0,675 Valid

P15 0,646 Valid P15 0,675 Valid

P16 0,686 Valid P16 0,640 Valid

P17 0,630 Valid P17 0,529 Valid

P18 0,532 Valid P18 0,569 Valid

P19 0,524 Valid

P20 0,355 Tidak Valid

Cronbach alpha 0,913 Reliabel Cronbach alpha 0,922 Reliabel

Pada Tabel 3.1 di atas diperoleh bahwa dari seluruh variabel pengetahuan dilakukan dalam dua tahap. Pada tahap pertama ditemukan variabel P11 dan P20 nilai

Corrected item-Total correlation lebih kecil dari nilai tabel (rtabel = 0,361), artinya sub-variabel P11 dan P20 dikeluarkan. Selanjutnya dilakukan uji validasi tahap kedua,


(1)

Chi-Square Tests Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 10.929a 1 .001

Continuity Correctionb 9.593 1 .002

Likelihood Ratio 11.322 1 .001

Fisher's Exact Test .002 .001

Linear-by-Linear

Association 10.820 1 .001

N of Valid Casesb 100

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 16,92. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for P_asuh (Baik /

Kurang) 4.385 1.775 10.832

For cohort B_ BGM = Tidak 1.648 1.212 2.242

For cohort B_ BGM = Ya .376 .197 .716


(2)

Lampiran 6. Analisis Multivariat Logistic Regression

Case Processing Summary

Unweighted Casesa N Percent

Selected Cases Included in Analysis 100 100.0

Missing Cases 0 .0

Total 100 100.0

Unselected Cases 0 .0

Total 100 100.0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding

Original Value Internal Value

Tidak 0

Ya 1

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 49.830 5 .000

Block 49.830 5 .000

Model 49.830 5 .000

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square

1 80.854a .392 .538

a. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than ,001.


(3)

Classification Tablea

Observed

Predicted

B_ BGM Percentage Correct Tidak Ya

Step 1 B_ BGM Tidak 56 8 87.5

Ya 11 25 69.4

Overall Percentage 81.0

a. The cut value is ,500

Variables in The Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95,0% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 1a umurk -1.097 .591 3.443 1 .064 .334 .105 1.064

pendapatan 1.843 .617 8.931 1 .003 6.313 1.885 21.137

pengetahuan 2.978 .776 14.735 1 .000 19.652 4.295 89.913

sikap 2.403 .695 11.943 1 .001 11.053 2.829 43.182

P_asuh 2.900 .758 14.646 1 .000 18.170 4.115 80.226

Constant -6.066 1.303 21.674 1 .000 .002

a. Variable(s) entered on step 1: umurk, pendapatan, pengetahuan, sikap, P_asuh.

Block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b

Observed

Predicted B_ BGM

Percentage Correct Tidak Ya

Step 0 B_ BGM Tidak 64 0 100.0

Ya 36 0 .0

Overall Percentage 64.0

a. Constant is included in the model. b. The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)


(4)

Variables Not in The Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables umurk 1.375 1 .241

pendapatan 6.008 1 .014

pengetahuan 5.689 1 .017

sikap 9.042 1 .003

P_asuh 10.929 1 .001

Overall Statistics 36.137 5 .000

Logistic Regression

Case Processing Summary

Unweighted Casesa N Percent

Selected Cases Included in Analysis 100 100.0

Missing Cases 0 .0

Total 100 100.0

Unselected Cases 0 .0

Total 100 100.0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding

Original Value Internal Value

Tidak 0

Ya 1

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 46.164 4 .000

Block 46.164 4 .000

Model 46.164 4 .000

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square

1 84.520a .370 .507

a. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than ,001.


(5)

Classification Tablea

Observed

Predicted B_ BGM

Percentage Correct Tidak Ya

Step 1 B_ BGM Tidak 53 11 82.8

Ya 9 27 75.0

Overall Percentage 80.0

a. The cut value is ,500

Variables in The Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95,0% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 1a pendapatan 1.718 .594 8.368 1 .004 5.575 1.740 17.860

pengetahuan 2.661 .723 13.550 1 .000 14.311 3.470 59.022

sikap 2.452 .689 12.651 1 .000 11.611 3.007 44.839

P_asuh 2.695 .713 14.271 1 .000 14.808 3.658 59.952

Constant -6.259 1.276 24.063 1 .000 .002

a. Variable(s) entered on step 1: pendapatan, pengetahuan, sikap, P_asuh.

Block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b

Observed

Predicted

B_ BGM Percentage Correct Tidak Ya

Step 0 B_ BGM Tidak 64 0 100.0

Ya 36 0 .0

Overall Percentage 64.0

a. Constant is included in the model. b. The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)


(6)

Variables Not in The Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables pendapatan 6.008 1 .014

pengetahuan 5.689 1 .017

sikap 9.042 1 .003

P_asuh 10.929 1 .001


Dokumen yang terkait

Pengaruh Perilaku Ibu Balita Dan Dukungan Keluarga Terhadap Pemanfaatan Pelayanan Imunisasi Dasar Di Wilayah Kerja Puskesmas Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2013

1 50 168

Perspektif Gender Terhadap Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Pantai Cermin Kabupaten Langkat

3 55 133

Gambaran Epidemiologi Balita Bawah Garis Merah (BGM) Di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen Propinsi Nanggoe Aceh Darussalam Tahun 2003

3 24 83

Pengetahuan Ibu Hamil tentang Gizi Semasa Kehamilan di Wilayah Kerja Puskesmas Tukka Kabupaten Tapanuli

2 42 74

Pengaruh Sosial Budaya dan Ekonomi Keluarga terhadap Pola Makan Balita Bawah Garis Merah (BGM) di Kecamatan Montasik Kabupaten Aceh Besar

2 38 125

Gambaran Pola Asuh Dan Sosial Ekonomi Keluarga Balita Bawah Garis Merah (BGM) Di Puskesmas Buhit Dan Puskesmas Harian Di Kabupaten Samosir Tahun 2009

3 59 120

HUBUNGAN KEAKTIFAN IBU DALAM POSYANDU DENGAN PENURUNAN JUMLAH BALITA BAWAH GARIS MERAH (BGM) DI DESA SUKO JEMBER KECAMATAN JELBUK KABUPATEN JEMBER

3 16 132

HUBUNGAN KEAKTIFAN IBU DALAM POSYANDU DENGAN PENURUNAN JUMLAH BALITA BAWAH GARIS MERAH (BGM) DI DESA SUKO JEMBER KECAMATAN JELBUK KABUPATEN JEMBER

2 22 19

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PENATALAKSANAAN DIARE DENGAN KEJADIAN DIARE PADA ANAK BALITA DI WILAYAH KERJA Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Penatalaksanaan Diare dengan Kejadian Diare Pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pucangsawit surakarta.

0 2 12

TINGKAT PENDIDIKAN IBU, PERSEPSI JARAK RUMAH DAN MOTIVASI IBU SEBAGAI FAKTOR RESIKO KETIDAK AKTIFAN BALITA BAWAH GARIS MERAH (BGM) DI POSYANDU WILAYAH PUSKESMAS LOSARI KECAMATAN AMPELGADING KABUPATEN PEMALANG SKRIPSI - Repository Universitas Muhammadiyah

0 0 19