II. 2. 5. Erotisme dan Pornografi
Erotisme didefenisikan sebagai: 1. Keadaan bangkitnya nafsu berahi; 2. Keinginan akan nafsu seks secara terus- menerus. Pada dasarnya erotisme didasari
oleh libido yang dalam perkembangannya selanjutnya teraktualisasi dalam keinginan seksual Hoed, 2011: 188.
Pornografi didefenisikan sebagai: 1. Penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; 2. Bahan
bacaan yang dengan sengaja dan semata- mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks Hoed, 2011: 189.
Pornografi sebagai materi yang disajikan di media tertentu yang dapat atau ditujukan untuk membangkitkan hasrat seksual khalayak atau mengeksploitasi
seks. Media tertentu tersebut yakni media cetak dan elektronik, secara audio atau visual. Lebih lanjut dijelaskan bahwa jika sesuatu yang membangkitkan hasrat
seksual tidak ditampilkan di media, maka hal tersebut tidak masuk dalam kategori pornografi. Keterkaitan antara erotisme dan pornografi, merujuk pada dasarnya
yaitu libido, nafsu, berahi, dan nafsu seksual. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa erotisme, libido merupakan dasar atau ilham untuk menggambarkan
sesuatu yang lebih luas misalnya, konsep cinta, perbedaan antarjenis, atau masalah yang timbul dalam tradisi interaksi sosial, sedangkan dalam pornografi
yang menonjol adalah penggambaran secara sengaja tingkah laku seksual dengan tujuan membangkitkan nafsu seksual Hoed, 2011: 189.
Erotisme adalah suatu bentuk estetika yang menjadikan dorongan seksual sebagai kajiannya. Dorongan seksual yang dimaksud adalah perasaan yang timbul
yang membuat orang siap beraktivitas seksual. Ini bukanlah sekadar menggambarkan keadaan terangsang atau antisipasi melayani rangsangan,
melainkan mencakup pula segala bentuk upaya atau bentuk representasi untuk membangkitkan perasaan- perasaan tersebut. Ekspresi dari erotisme diistilahkan
dengan erotika atau sesuatu yang dianggap erotik, yaitu suatu bentuk estetika yang menjadikan dorongan seksual sebagai kajiannya, yang dapat berupa mimik, gerak,
sikap tubuh, suara, kalimat, benda- benda, aroma, sentuhan, dan sebagainya; serta kombinasinya http:id.m.
wikipedia.orgwikiErotisisme . Disadari bahwa erotika
Universitas Sumatera Utara
dapat membangkitkan gairah seksual, fantasi birahi yang indah mengenai objek seks yang alami, sehat, dan menyenangkan.
Perdebatan tentang pornografi dan erotisme sering muncul ke permukaan, perdebatan muncul hanya untuk menentukan makna sesungguhnya dari pornografi
atau erotisme itu sendiri. Istilah „porno‟ selalu dikaitkan dengan objek- objek seks yang menjijikkan, tidak sehat dan merugikan individu. Sedangkan erotisme adalah
mengenai objek seks yang alami, sehat, dan menyenangkan. Pada kebanyakan orang, pornografi terkadang dianggap tidak mampu merangsang nafsu birahi,
karena lebih dianggap menjijikkan, sedangkan erotisme dianggap secara lembut dapat membangkitkan fantasi birahi yang indah dan membahagiakan.
Pornografi secara sengaja mengeksploitasi objek seks tubuh dan alat kelamin sehingga merangsang syahwat dan untuk mencari keuntungan,
sedangkan erotisme menampilkan seni sebagai bagian kreativitas atas objek seks sehingga dominasi seni menghilangkan syahwat. Defenisi ini pasti tidak
memuaskan banyak pihak karena begitu banyak benang merah yang harus ditarik dari sudut ke sudut lain, terutama juga karena siapa yang bisa menentukan
perbedaan antara pornografi dan erotisme. Masing- masing orang yang berada pada konteks budaya dan sosiologis ini memiliki kepentingan masing- masing
untuk membuat defenisi tentang pornografi dan erotisme sebagai bentuk dari eksistensi mereka Bungin, 2008: 344.
Pada saat karya patung Auguste Rodin Ketika Ciuman dipamerkan di Paris tahun 1898, seorang pengkritik mengatakan: “sebuah karya besar”. Namun karya
tersebut pada dasawarsa yang sama tidak jadi dipamerkan di Amerika yang pada saat itu memiliki adat yang ketat mengenai masalah seks. Lalu karya Rodin itu
disingkirkan ke dalam kamar tersendiri pada Pekan Pameran Dunia dan bagi siapa saja yang ingin melihatnya, harus memperoleh ijin khusus. Lain halnya pada
masyarakat suku Shavante di Brasilia Tengah yang hidup tanpa busana. Masyarakatnya bahkan orang lain menganggap itu sebagai suatu kewajaran
subkultural, karena nilai- nilai masyarakat itu tidak melihatnya sebagai suatu porno.
Dalam hal ini perlu dilihat konteksnya, di mana berbagai persoalannya, terutama yang bersumber dari konteks budaya dan sosiologis. Konteks budaya
Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan bagaimana kultur lokal mengakomodasikan masalah- masalah porno sebagai bagian dari kearifan lokal, termasuk bagaimana budaya
lokal memberi konstribusi terhadap sikap dan perilaku porno itu sendiri. Dalam konteks sosiologis, disini muncul persoalan kreativitas, persoalan seni, ekonomi
dan mata pencarian, perilaku dan sikap keagamaan, sampai dengan persoalan politik dan kekuasaan, serta hubungan antara warga negara dan negara termasuk
juga hubungan dengan Tuhan Bungin, 2008: 343. Erotisme dan pornografi terdapat batasan- batasan yang samar. Hal ini
terjadi karena dalam pornografi selalu ada erotisme, tetapi tidak semua yang erotis itu disebut pornografi.
II. 2. 6. Teks Erotisme