Mitos tidak dibentuk melalui penyelidikan, tetapi melalui anggapan berdasarkan observasi kasar yang digeneralisasikan. Oleh karenanya lebih banyak
hidup dalam masyarakat. Sikap kita terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri kita. Mitos ini menyebabkan kita mempunyai prasangka tertentu
terhadap sesuatu hal yang dinyatakan dalam mitos. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan
tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain mitos adalah juga
suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda Sobur, 2004: 71.
II. 2. 4. 3. Lima Kode yang Ditinjau Roland Barthes
a. Kode Hermeneutika
Kode hermeneutika atau kode teka- teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode
teka- teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-
teki dan penyelesaiannya di dalam cerita Sobur, 2004: 65. Kode hermeneutika adalah kode yang mengandung unit- unit tanda yang
secara bersama- sama berfungsi untuk mengartikulasikan dengan berbagai macam cara dialektik pertanyaan, respon, yang di dalam prosesnya jawaban atau
kesimpulan cerita ditangguhkan, sehingga menimbulkan semacam enigma Piliang, 2012: 162. Sebagai contoh di dalam novel, pembaca dibawa dari satu
pertanyaan ke pertanyaan lain misalnya “siapakah sang pembunuh?” dan
kesimpulan akan terlihat pada akhir cerita.
b. Kode Proaretik
Kode proaretik atau kode tindakan lakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya antara lain semua teks yang
bersifat naratif. Secara teoretis Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi, dari terbukanya pintu sampai petualangan yang romantis. Pada praktiknya, ia
menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa
Universitas Sumatera Utara
karena kita dapat memahaminya. Pada kebanyakan fiksi, kita selalu mengharap lakuan di “isi” sampai lakuan utama menjadi perlengkapan utama suatu teks
Sobur, 2004: 65. Kode proaretik adalah kode yang mengatur alur satu cerita atau narasi. Ia
disebut juga kode aksi. Setiap aksi dalam satu cerita dapat dipilih lagi menjadi sub- bagiannya yang secara berurutan, dan urutan- urutan ini hanya dapat dilihat
dalam proses membaca satu aksi dalam konteks totalitasnya. Aksi tertentu berdasarkan logika tertentu memampukan seorang pembaca memperkirakan aksi
sebelum dan aksi berikutnya. Kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari suatu tindakan secara rasional Piliang, 2012: 162.
c. Kode Simbolik
Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas
bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau
pembedaan, baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Dalam suatu teks
verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah- istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam
sistem simbol Barthes Sobur, 2004: 65. Kode simbolik adalah kode yang mengatur kawasan anti- tesis dari tanda-
tanda, dimana satu ungkapan atau tanda meleburkan dirinya ke dalam berbagai substitusi, keanekaragaman penanda dan referensi, sehingga menggiring kita dari
satu kemungkinan makna ke kemungkinan lainnya dalam interdeterminasi. Kode simbolik adalah kode yang juga mengatur aspek tak sadar dari tanda, dan dengan
demikian merupakan kawasan dari psikoanalisis Piliang, 2012: 162.
d. Kode Gnomik
Kode gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda- benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya.
Menurut Barthes, realisme tradisional didefenisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal- hal kecil yang telah
Universitas Sumatera Utara
dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu. Tujuan analisis Barthes ini bukan hanya untuk membangun suatu sistem klasifikasi unsur- unsur narasi yang
sangat formal, namun lebih banyak untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian yang paling meyakinkan, atau teka- teki yang paling
menarik, merupakan produk buatan, dan bukan tiruan dari yang nyata Sobur, 2004: 65.
Kode gnomik adalah kode yang mengatur dan membentuk suara- suara kolektif dan anonim dari pertandaan, yang berasal dari pengalaman manusia dan
tradisi yang beraneka ragam. Unit- unit ini dibentuk oleh beraneka ragam pengetahuan dan kebijaksanaan yang bersifat kolektif Piliang, 2012: 162.
e. Kode Semik
Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam
proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi
kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada
suatu nama tertentu Sobur, 2004: 65. Kode semik adalah kode yang berada pada kawasan penanda, yakni
penanda khusus yang memiliki konotasi, atau penanda yang materialistisnya sendiri, tanpa rantai pertandaan pada tingkat ideologis, sudah menawarkan makna
konotasi. Memanfaatkan isyarat, petunjuk, kilasan makna yang ditimbulkan oelh penanda- penanda tertentu. Sebagai contoh, makna konotatif yang terdapat pada
nama, misalnya Tukiyem. Di dalam komunitas bahasa Jawa, akhiran yem pada nama seseorang, sudah langsung menampilkan konotasi, tidak saja konotasi
feminimitas, akan tetapi juga asal geografis dari nama, yaitu ndeso Piliang, 2012: 162.
Universitas Sumatera Utara
II. 2. 5. Erotisme dan Pornografi