Adapun lembaga jaminan tanah yang dikenal UUPA adalah hipotik dan credietverband, tetapi setelah terbentuknya Undang-Undang Hak Tanggungan
Nomor 4 Tahun 1996 ketentuan tersebut dicabut. Maka, hak tanggungan ditunjuk sebagai lembaga jaminan atas tanah pasal 51 jo pasal 57 UUPA.
56
B. Resiko Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli Tanah Dengan Hak
Membeli Kembali
Perkataan resiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian apabila ada suatu kejadian diluar kesalahan dari salah satu pihak yang menimpa suatu benda
yang dimaksud dalam perjanjian. Pengaturan resiko di dalam KUHPerdata diatur di dalam pasal 1237 yang
menetapkan bahwa dalam suatu perjanjian untuk memberikan suatu barang yang sudah tertentu, maka sejak lahirnya perjanjian barang tersebut sudah
menjadi tanggungan orang yang berhak menagih penyerahannya. Atau dengan kata lain, yang dimaksudkan oleh pasal tersebut ialah suatu perjanjian
yang meletakkan kewajiban hanya kepada satu pihak saja eenzijdige overeenkomst.
Jadi apabila seorang menjanjikan akan memberikan seekor kuda dan kuda itu sebelum diserahkan mati karena disambar petir, maka perjanjian
dianggap hapus atau batal demi hukum. Orang yang harus menyerahkan kuda tersebut sudah bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan barang, ia pun
56
Wawancara dengan Kaharuddin, SH., MKn., Kepala Seksi Sengketa Konflik dan Perkara Kantor Pertanahan Kota Sibolga, tanggal 30 Oktober 2007.
Universitas Sumatera Utara
tidak perlu memberikan sesuatu kerugian dan akhirnya yang menderita atau memikul beban kerugian tersebut adalah orang yang akan menerima kuda itu.
Akan tetapi, bilamana si berhutang lalai dalam melaksanakan kewajibannya untuk menyerahkan barang, maka sejak saat itu resiko berpindah
di atas pundaknya. Meskipun ia juga masih dapat dibebaskan dari pemikulan resiko itu sendiri, apabila ia dapat membuktikan bahwa barang tersebut juga
akan hapus seandainya sudah berada ditangannya si berpiutang sendiri. Menurut Prof. R.Subekti, S.H., resiko adalah kewajiban suatu pihak
untuk memikul kerugian sebagai akibat suatu peristiwa yang tidak terduga yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian. Peristiwa itu disebut dengan
“keadaan memaksaforce majeurovermacht”.
57
Agar dapat dikatakan tentang suatu keadaan memaksa overmacht atau force majeur yaitu apabila keadaan itu diluar kekuasaannya si berhutang dan
juga keadaan yang telah terjadi itu harus berupa suatu keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian dibuat. Jika si berhutang berhasil dalam
membuktikan adanya keadaan yang demikian itu, maka tuntutan si berpiutang akan ditolak oleh Hakim dan si berhutang terluput dari penghukuman, baik
yang berupa penghukuman untuk membayar penggantian kerugian.
58
Keadaan memaksa ada yang bersifat mutlak absolut, yaitu dalam hal sama sekali tidak mungkin lagi melaksanakan perjanjian, misalnya barangnya
sudah hapus karena bencana alam. Tetapi ada juga yang bersifat tidak mutlak
57
Prof. R.Subekti, S.H., 1982, Aneka Perjanjian, Cetakan VII, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.37.
58
Prof. R.Subekti, S.H., 2001, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan XVII, PT.Intermasa, hal.150.
Universitas Sumatera Utara
relatif, yaitu yang berupa suatu keadaan dimana perjanjian masih dapat juga dilaksanakan tetapi dengan pengorbanan-pengorbanan yang sangat berat dari
pihak si berhutang, misalnya harga barang yang masih harus didatangkan oleh si penjual menjadi membumbung sangat tinggi yang menyebabkan si berhutang
tidak dapat mengirimkan barangnya kepada si berpiutang. Selanjutnya mengenai siapa yang akan menanggung resiko dalam
perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali, di sini ditemui atau timbul suatu kesulitan untuk menentukan siapa yang akan menanggung atau memikul
resiko. Hal ini disebabkan karena tidak adanya peraturan atau ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai perihal resiko dalam perjanjian jual beli
dengan hak membeli kembali, karena perjanjian ini bersifat sepihak. Yaitu, pembeli memberikan hak atau kekuasaan kepada penjual untuk mengambil
barangnya yang telah diperjual belikan dengan secara sepihak dan dapat menuntut untuk membatalkan perjanjian.
Akan tetapi menurut ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1237, dapat dijadikan suatu pedoman untuk menentukan
siapa yang harus memikul perihal mengenai resiko dalam perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali. Karena ketentuan dalam pasal 1237 KUHPerdata
ini mempunyai kesamaan dengan ketentuan dalam perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali, yaitu bahwa dalam suatu perjanjian hanya meletakkan
kewajiban kepada satu pihak saja. Apabila terjadi suatu kejadian atau peristiwa yang mengakibatkan
musnahnya barang atau objek yang telah diperjanjikan dalam jangka waktu
Universitas Sumatera Utara
lima tahun diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali, maka resiko
berada pada pihak si penjual walaupun barang yang menjadi objek perjanjian itu telah diserahkan atau sudah berada di tangan si pembeli.
Hal ini disebabkan karena di dalam perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali, si pembeli selama dalam jangka waktu lima tahun belum
menjadi pemilik tetap. Lain halnya apabila si penjual tidak membeli kembali dalam jangka waktu yang telah diperjanjikan, yaitu dengan lewatnya jangka
waktu lima tahun. Hal ini berarti bahwa barang yang menjadi objek perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali tersebut secara otomatis akan menjadi
milik si pembeli, maka di sini resiko secara otomatis pula beralih kepada pihak si pembeli. Akan tetapi apabila belum melewati jangka waktunya,
maka resiko atas barang tersebut tetap berada di tangan si penjual semula debitur.
C. Perjanjian Jual Beli Tanah Dengan Hak Membeli Kembali Dan