mana seorang untuk jaminan pelaksanaan suatu perjanjian diwajibkan melakukan sesuatu manakala perjanjian itu tidak dipenuhi.
29
Maksud dari ancaman hukuman itu adalah : untuk memastikan agar perjanjian itu benar-benar dipenuhi dan untuk menetapkan jumlah ganti rugi
tertentu apabila terjadi wanprestasi, serta untuk menghindari pertengkaran tentang hal itu.
30
Janji ancaman hukuman bersifat accesoir, karena teragantung pada perjanjian pokoknya.
D. Subjek dan Sifat Perjanjian
Yang dimaksud dengan subjek perjanjian adalah tentang siapa-siapa yang tersangkut dalam suatu perjanjian. Suatu perikatan hukum yang dilahirkan dari
suatu perjanjian mempunyai dua sudut yakni: sudut-sudut kewajiban yang dipikul oleh satu pihak dan sudut hak-hak atau manfaat yang diperoleh lain
pihak, yaitu hak-hak untuk menuntut dilaksanakan sesuatu yang disanggupi dalam suatu perjanjian.
31
Subjek perjanjian yang berupa seorang manusia, harus memenuhi syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah
dewasa dan sehat pikirannya. Perbedaan tentang hal ini antara Hukum Adat dan Hukum Perdata adalah mengenai umur seseorang yang ia mulai dapat
dianggap dewasa.
29
Prof. R.Subekti, S.H., op.cit. hal.11
30
Prof. DR. Mariam Darus, S.H., op.cit. hal.74.
31
Prof. DR. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., op.cit. hal.13
Universitas Sumatera Utara
Hukum Adat tidak menentukan umur tertentu, tetapi hanya memakai pengertian “akilbalik”, dan biasanya orang dianggap akilbalik apabila ia
sudah berusia sekitar 16 dan 18 tahun atau sudah kawin. Hukum Perdata menganggap seorang sudah dewasa apabila sudah berusia 21 tahun atau
sudah kawin lebih dulu. Menurut Prof. DR. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., dalam hal ini oleh
karena pada waktu sekarang bagi orang-orang Indonesia asli atau sudah kadang-kadang dan bagi orang-orang warganegara Indonesia lainnya selalu
terpakai umur 21 tahun atau yang sudah kawin untuk batas kedewasaan, dan juga guna untuk kepastian hukum tentunya.
32
Objek perjanjian pada umumnya adalah setiap benda yang dikenai perjanjian itu sendiri. Kalau demikian intisari atau hakihat perjanjian tiada lain
daripada prestasi. Tentang objek atau prestasi perjanjian harus dapat ditentukan adalah suatu yang logis dan praktis.
Pasal 1320 KUHPerdata angka 3 dan angka 4 menentukan bahwa syarat perjanjian itu ialah adanya objek tertentu dan suatu sebab yang halal.
Atau sekurang-kurangnya objek itu mempunyai jenis tertentu seperti yang dirumuskan di dalam pasal 1333 KUHPerdata.
33
Objek atau prestasi perjanjian yang diikat oleh kedua belah pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan juga kesusilaan
adalah batal demi hukum.
32
Ibid. hal.166.
33
Lihat pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Universitas Sumatera Utara
Sifat hukum perjanjian adalah :
34
1. sifat perseorangan dalam Burgerlijk Wetboek.
Bahwa dengan suatu perjanjian tercipta hubungan hukum antara dua orang, adalah hal yang sama dalam Hukum Adat dan Hukum B.W. Persamaan ini
terus ada apabila perjanjian tidak mengenai suatu benda. Perbedaan antara Hukum Adat dan Hukum B.W. akan tampak apabila
perjanjian itu menciptakan hak atas suatu benda. Apabila dengan suatu perjanjian tercipta suatu hak atas benda, yang teratur dalam B.W. khususnya Buku II, selaku
hak yang dinamakan hak kebendaan zakerlijk recht, maka haruslah berlaku peraturan khusus dari B.W. yang mengatur hal itu dengan menciptakan pengertian
perbendaan dari hak itu. Sifat perbendaan itu berarti bahwa hak atas benda itu berlaku bagi siapapun juga.
Sebaliknya, apabila dengan suatu perjanjian tidak tercipta hak yang sedemikian itu, maka hak atas benda yang diperoleh dengan perjanjian itu
dinamakan tidak bersifat perbendaan atau disebut sifat perseorangan. Dengan tiadanya sifat perbendaan ini, maka atas suatu benda hanya berlaku bagi
orang-orang yang menjadi pihak-pihak dalam perjanjian itu. Contoh dari perjanjian yang memiliki sifat perseorangan, apabila kita
tinjau perjanjian sewa-menyewa tanah. Dengan perjanjian sewa-menyewa tercipta juga suatu hak, yaitu hak sewa. Tetapi hak sewa ini, oleh karena berdasar atas
perjanjian belaka dan tidak masuk hak-hak yang diatur dalam B.W. buku II selaku
34
Prof. DR. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., op.cit. hal.161.
Universitas Sumatera Utara
hak perbendaan, maka hak sewa itu dinamakan tetap bersifat perseorangan tidak bersifat perbendaan.
Hak sewa menurut B.W. yang tetap dinamakan bersifat perseorangan, pada hakekatnya hanya berlaku bagi pihak yang menyewa terhadap pihak yang
menyewakan. Apabila hak sewa diganggu oleh pihak ketiga, sipenyewa hanya dapat memberitahukannya kepada pihak yang menyewakan dan kemudian pihak
yang menyewakan inilah yang menegor pihak ketiga. Tetapi dalam B.W. si penyewa toh dapat langsung menuntut si pengganggu atau pihak ketiga tadi.
Hal ini seperti yang terdapat dalam pasal 1556 KUHPerdata yang memperbolehkan si penyewa menuntut langsung si penggangu.
2. sifat “consensueel” dan “reeel”
Perjanjian dalam Hukum B.W. pada umumnya bersifat “consensueel” dan dalam Hukum Adat bersifat “re-eel” nyata. Artinya adalah: dari pasal 1338
ayat 1 KUHPerdata, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini dianggap terjadi
dengan adanya persetujuan atau kesepakatan belaka consensus dari kedua belah pihak.
Menurut Hukum Adat semua perjanjian adalah “reeele overeenkomsten” artinya adalah bahwa semua perjanjian itu disamping membutuhkan suatu
perizinan kedua belah pihak, masih perlu juga suatu hal yang nyata dan dapat dilihat.
Universitas Sumatera Utara
BAB III PERJANJIAN JUAL BELI DENGAN HAK MEMBELI KEMBALI