Syarat-Syarat Sah Perjanjian Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian Secara Umum

“Perjanjian hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksudkan oleh buku III KUHP Perdata” 20 20 Ibid, hal. 25 Pendapat ini pada dasarnya cukup beralasan apabila dihubungkan dengan pengaturan dalam undang-undang. Di sini disebutkan bahwa hukum perjanjian adalah bagian dari hukum perikatan, sedangkan hukum perikatan adalah bagian dari hukum kakayaan. Sehingga hubungan yang timbul di antara para pihak yang melakukan perjanjian adalah huum yang terjadi dalam lapangan huum kekayaan. Dalam hal ini banyak sarjana beranggapan bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber utama perikatan sehingga apa yang diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata berarti sebagai perjanjian yang menimbulkan perikatan atau sering disebut dengan perjanjian obligator, yaitu perjanjian antar para pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain.

2. Syarat-Syarat Sah Perjanjian

Dalam kaiatannya sebagai hukum yang berfungsi melengkapi saja, ketentuan-ketentuan perjanjian yang terdapat di dalam KUHP Perdata akan dikesampingkan apabila dalam suatu perjanjian para pihak telah membuat pengaturannya sendiri. Pasal 1338 Ayat 1 KUH Perdata menegaskan : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Universitas Sumatera Utara Akan tetapi hal tersebut harus terlebih dahulu memenuhi ketentuan seperti yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang menegaskan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian, maka diperlukan 4 empat syarat, yaitu : a. Sepakat mereka yang mengikat diri b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian c. Suatu hal tertentu d. Suatu sebab yang halal Perjanjian dapat dikatakan sah jika telah memenuhi semua ketentuan yang telah diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut. Pernyataan sepakat mereka yang mengikat diri dan kecakapan untuk membuat suatu perjanjian digolongkan ke dalam syarat subjektif atau syarat mengenai orang yang melakukan perjanjian, sedangkan tentang suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal digolongkan ke dalam syarat objektif atau benda yang dijadikan objek perjanjian. Hal-hal tersebut merupakan unsur-unsur penting dalam mengadakan perjanjian. a. Kata sepakat mereka yang mengikatkan diri Pengertian “kata sepakat” secara harfiah adalah persetujuan dari pihak- pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Sehingga secara langsung dapat juga berarti bahwa persetujuan itu sendiri lahir karena para pihak merasa dapat menarik manfaatnya atau memperoleh nilai tambah. Pengertian dari sisi yuridisnya adalah kebebasan dari para pihak untuk memberikan persetujuan. Secara mendalam dapat dikatakan walaupun secara formal telah dapat dibuktikan bahwa perjajian tersebut dibuat dengan terlebih Universitas Sumatera Utara dahulu adanya kata sepakat. Akan tetapi apabila dalam pelaksanaan suatu perjanjian berdasarkan gugatan salah satu pihak yang ada dalam perjanjian tersebut ataupun pihak lain yang merasa berkepentingan dengan adanya perjanjian tersebut, ternyata setelah diadakan penelitian dapat diketahui bahwa kata sepakat itu lahir karena adanya penipuan atau adanya berbagai cara yang terselubung maupun merupakan hasil dari bentuk kekerasan atau paksaan, yang direkayasa sehingga tidak berbentuk nyata. Dengan kata lain, jika hanya dilihat secara formal, hal tersebut tidak akan kelihatan. Dengan adanya alasan ini, hakim dapat membatalkan suatu perjanjian, karena pada hakekatnya dalam perjanjian tersebut tidak ada unsur sepakat dari perjanjian yang diadakan. Apabila dalam perjanjian tidak ada kata sepakat, berarti ada pihak yang dirugikan serta tidak memenuhi salah satu syarat subjektif dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan dilakukan kata sepakat mengadakan perjanjian, berarti kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak, di mana harus dipertemukan kemauan yang dikehendaki terhadap hal-hal pokok dari perjanjian tersebut. Apa yang dikehendaki pihak yang satu juga dikehendaki pihak yang lain. Dapat dikatakan bahwa perjanjian lahir pada saat tercapainya kata sepakat para pihak sehingga perjanjian itu sudah sah dan mempuyai kekuatan yang mengikat. Akan tetapi ada pengecualian oleh undang-undang yang menentukan formalitas terentu terhadap beberapa perjanjian, misalnya perjanjian penghibahan, peralihan hak atas tanah yang harus dilakukan melalui PPAT ataupun notaris. Demikian juga halnya apabila ternyata dalam perjanjian yang dibuat ternyata terdapat suatu kekhilafan, walaupun perjanjian tersebut telah dibuat dan Universitas Sumatera Utara secara formal kelihatan sempurna, perjanjian itu masih dapat dibatalkan oleh hakim sebagai suatu perjanjian yang tidak sempurna yang tidak mengandung unsur kata sepakat. Dalam hal ini A. Qirom S. Meilala berpendapat bahwa, “Kata sepakat mungkin pula diberikan karena penipuan, paksaan atau kekerasan. Dalam keadaan ini pun mungkin diadakan pembatalan oleh pengadilan atau tuntutan dari orang- orang yang berkepentingan”. 21 21 . A. Qirom S. Meliala, 1985. Op. Cit. hal 10 Dengan demikian, bialaada kepincangan kata sepakat dalam suatu perjanjian maka perjanjian itu dapat dimintakan pembatalannya melalui hakim pengadilan. Selamata pembatalan itu tidak diminta oleh pihak yang bersangkutan, perjanjian tetap berlaku. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1449 KUH Perdata yang menyatakan bahwa : “Perjanjian-perjanjian yang dibuat dengan paksaan, kesilapan atau penipuan, menerbitkan hak tuntutan untuk membatalakkannya”. Sehubungan dengan kekhilafan atau salah pengertian yang terjadi dalam suatu perjanjian terdapat pengaturan khusus dalam KUH Perdata. Pada Pasal 1321 KUH Perdata disebutkan bahwa kekhilafan diletakkan sama posisinya dengan paksanaan dan penipuan. Akan tetapi dalam Pasal 1322 KUH Perdata memberikan pengaturan yang khusus dengan menyebutkan bahwa : “Kekhilafan tidak menyebabkan batalnya suatu persetujuan selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai barang yang menjadi pokok persetujuan kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kehilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang yang siapa seseorang bermaksud membuat suatu persetujuan, kecuali jika persetujuan itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut”. Universitas Sumatera Utara Ketentuan ini memberikan gambaran bahwa kekhilafan yang dimaksud di sini adalah terbatasa dan hanya bisa mengenai subjek perjanjian dan bukan objeknya. Jika menyangkut objek perjanjian maka hal itu tidaklah dapat lagi digolongkan dalam kelompok paksaan atau penipuan. Berkenaan dengan indikasi adanya paksaan dalam suatu perjanjian. Pasal 1323 KUH Perdata menegaskan bahwa : “Paksaan yang dilakukan terhadap yang membuat suatu persetujuan merupakan alasan untuk batalnya persetujuan, jika apabila paksanan itu dilakukan oleh seorang pihak ketigas untu kepentingan siapa persetujuan tersebut telah dibuat”. Mengenai penipauan dijelaskan dalam Pasal 1328 KUH Perdata, yaitu : “Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan persetujuan apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan itu dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan”. Jika diteliti ketentuan Pasal 1328 KUH Perdata tersebut, dapat diketahui bahwa pasal tersebut mengandung pesan untu dapat mengatakan telah dilakukan suatu penipuan tidaklah hanya reka-reka atau diduga saja, akan tetapi haruslah dibuktikan. Dari ketentuan tersebut juga dapat ditarik pengertian bahwa hukum tetap ingin berperilaku seimbang dengan tetap melindungi itikad baik dan menghalangi semua itikad buruk. Universitas Sumatera Utara Dengan demikian pengertian bebas itu sendiri dapat berarti sebagai suatu keadaan sedemikian rupa di mana para pihak memberikan persetujuan dalam keadaan yang benar-benar sadar dan wajar terhadap hal-hal yang mendasar bagi dibuatnya satu perjanjian. Setidaknya terdapat kesadaran terdap hal-hal yang akan saling dipertukarkan. Pada sat kata sepakat lahir adalah merupakan klimaks dari lahirnya persetujuan kehendak para pihak yang berjanji. Secara mendasar, ketentuan Pasal 1454 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa perjanjian dianggap lahir pada saat dicapainya kata sepakat di antara para pihak. b. Kecakapan dari Para Pihak Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian merupakan hal yang penting bagi para pihak, sebab perjanjian menimbulkan kewajiban untuk menyerahkan benda kepada orang lain dan kewajiban untuk tiak melakukan suatu perbuatan. Inilah yang dikenal sebagai prestasi dalam perjanjian. Oleh karena itu, orang- orang yang mengadakan perjanjian harus cakap, sebab perjanjian itu nantinya akan mengikat para pihak sehingga harus mempunyai kesadaran tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. KUH Perdata mulai melakukan pengaturan tentang kecakapan dengan menyatakan hal tersebut dalam Pasal 1329, yaitu : “Tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu”. Pada dasarnya setiap orang yang telah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menyebabkan terjadinya perjanjian, kecuali terhadap orang-orang yang oleh undang-undang dipandang tidak cakap untuk melakukan perbuatan tersebut. Bila ketentuan Universitas Sumatera Utara tersebut tidak dipenuhi oleh para pihak maka dengan sendirinya perjanjian tersebut tidak mungkin ada. Ketentuan tersebut masih pula dibatasi oleh Pasal 1330 KUH Perdata yang mengatur bahwa mereka tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang sakit ingatan, bukan termasuk orang yang bersifat pemboros dan ditetapkan oleh hakim berada dibawah pengampuan atau pun perempuan yang bersuami”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata tersebut, dapat ditentukan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yaitu : 1. Orang-orang yang belum dewasa 2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan 3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu Batasan tentang usia dewasa memang terdapat perbedaan dalam beberapa ketentuan anak-anak yang belum sampai umur atau yang masih berada di bawah pengawasan orang tua atau wali adalah termasuk orang-orang yang belum dewasa. Menurut Pasal 330 KUH Perdata, seseorang telah dikatakan dewasa apabila sudah berumur 21 tahun atau sudah pernah menikah. Apabila belum memenuhi syarat tersebut, mereka masih dianggap belum dewasa dan harus diwakili oleh orang tuanya atau walinya atau kuratornya bagi mereka yang berada dibawa pengampuan. Akan tetapi bukan tidak mungkin terjadi suatu perjanjian yang dibuat oleh orang yag berusia di bawah usia 21 tahun dan tetap diakui keabsahannya. Pada kenyataannya hal ini tidak begitu diperhatikan oleh para pihak atau pun para penegak hukum. Universitas Sumatera Utara Meskipun demikian, ketetnauan Pasal 330 KUH Perdata tersebut tidak selalu menjadi pedoman, karena ada beberapa pendapat sarjana yang berbeda tentang batasan kedewasan yang ditentukan KUH Perdata tersebut. Berkenaan dengan hal ini,Imam Sudiyat mengatakan bahwa : “Kedewasaan seseorang menurut ketentuan Hukum adat dan Hukum Islam adalah seorang itu sudah akil baligh, yang sudah biasa mencapai umur 15 tahun atau telah mencapai perampungan status orang mandiri, lagi pula sudah berumah tangga” 22 “Dalam sistem hukum perdata barat hanya mereka yang telah berada di bawah pengampunan saja yang dianggap tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum secara sah. Sedangkan orang-orang yang kurang sehat atau tiaksehat akal piirannya yang tidak berada di bawah pengampunan tidak demikian, perbuatan hukum yang dilakukannya tidak dapat dikatakan tidakah akaluhanya didasarkan pada Pasal 1320 KUHP Perdata. Tetapi perbuatan hukum itu tidak dapat dibantah dengan alasan tidak sempurnanya kesepakatan yang diperlakukan untuk sahnya perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 ayat 1 KUH Perata. Selain orang-orang yang belum dewasa dianggap tidak cakap dalam berbuat, demikian juga halnya dengan orang-orang yang berada di bawah pengampuan. Dalam hubungan ini Syahrani mengatakan : 23 22 . Imam Sudiyat. 1981. Hukum Adat dan Sketsa Adat. Liberty. Yogyakarta. hal 78 23 . Ridwan Syahrini. 1985. Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Alumni. Bandung. hal 217 Kecakapan seorang perempuan dalam membuat suatu perjanjian dijealskanoleh pasal 108 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perempuan yang bersuami yang akan membuat perjanjian memerlukan bantuan dan izin dari suaminya itu. Perempuan yang telah menikah dianggap tidak cakap membuat perjanjian sehingga harus mendapat bantuan dan izin dari suaminya. Universitas Sumatera Utara Khusus mengenai perempuan yang telah menikahbersuami, sejak dikeluarkannya surat edaran Mahakamah Agung SEMA Nomor 3 tahun 1963 yang menganjurkan kepada para hakimuntuk tidak mempedomani beberapa pasal dalam KUH Perdata karena tidak sesuai lagi dengan kepribadian bangsa Indonesia. Pasal tersebut antara adalah Pasal 108, 110, 284 ayat 3 dan 1238 KUH Perdata. c. Suatu Perdata Suatu hal tertentu dalam syarat membuat suatu perjanjian mengarah pada objek tertentu dalam suatu perikatan. Karena para pihak yang telah membuat perjanjian akan memikul hak dan kewajiban maka diperlukan adanya kektentuan yang mengatur tentang jenis barang yang menjadi objek dalam perjanjian itu. Perjanjian baru dianggap ada apabila para pihak yang telah mengetahui dan menentukan apa yang menjadi objek dibuatnya suatu perjanjian. Batasan yang dapat ditarik adalah para pihak telah mengetahui setidak-tidaknya macam atau jenis apa yang menjadi objek perjanjian. Contohnya perjanjian jual beli beras seharusnya menjealskan berapa beratnya, jenisnya atau bila mungkin menyebutkan warnanya. Hal yang tidak semakin mempertegas syarat-syarat seperti yang telah disebutkan sebelumnya sehingga perjanjian yangdibuat memang merupakan sesuatu yang diinginkan terjadi oleh para pihak. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah walaupun bentuk fisik objek perjanjian tidak kelihatan secara langsung, namun para pihak disyaratkan telah mengetahui apa yang menjadi standarnya. Apabila perjanjian mengenai barang maka barang tersebut haruslah barang-barang yang ada di dalam perdagangan. Akan tetapi, ukuran yang ada dalam dunia perdagangan sekarang ini telah Universitas Sumatera Utara berkembang sedemikian rupa dan sangat bergantung pada kalangan yang memperdagangkannya. Dengan kata lain bahwa suatu perjanjian haruslah mempunyai objek tetentu sekurang-kurangnya dapat ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda yang sekarang ada dan nanti akan ada. Dengan demikian batasannya juga telah berubah yaitu asal saja bukan sesuatu yang secara nyata dilarang dalam undang-undang, kepatuhan atau pun kebiasaan untuk diperdagangkan. d. Suatu sebab yang halal Suatu sebab yang hahal merupakan syarat untuk adanya perjanjian. Hal ini disebabkan pada setiap mengadakan perjanjian tidak terlepas dari maksud dan tujuan yang akan dicapai. Namun demikian, setiap maksud dan tujuan yang akan dicapai tidak boleh melawan hukum tetapi harus atas sesuatu yang halal. Ini adalah syarat terhadap isi perjanjian sehingga orang yang membuat perjanjian itu tidak tertuju pada niat yang kurang baik, karena masing-masing saling membutuhkan. Seperti yang telah disebutkan bahwa ukuran halal dalam KUH Perdata ini berarti tidak berlawanan dengan apa yang ditentukan oleh undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Walaupun batasan tersebut dapat dikaitkan dengan ketentuan agama, akan tetapi tidak semua yang dikategorikan tidak halal dalam agama langsung diartikan tidak halal di mata hukum. Dasar suatu perjanjian yang tidak halal dapat mengakibatkan perjanjian itu dianggap tidak pernah ada. Ukuran sebab yang halal pada kenyataannya sejalan dengan kebutuhan dan perasaan hukum masyarakat sosial. Universitas Sumatera Utara Mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian, Subekti menjelaskan : “Kedua syarat pertama dinamakan syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian. Sedangkan dua syarat terakhir disebutkan sebagaisyarat ojektif karena mengenai objek perjanjian. Apabila tidak dipenuhinya syarat pertama dan kedua maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya. Sedangkan apabila tidak dipenuhinya syarat ketiga dan keempat maka perjanjian tersebut batal demi hukum”. 24 a. Syarat Subjektif Melihat 4 keempat ketetuan yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian yang telah disebutkan di atas maka pada dasarnya syarat tersebut terbagi dalam 2 dua kelompok, yaitu : Syarat subjektif merupakan suatu syarat yang menyangkut tentang subjek- subjek perjanjian yang diadakan. Dengan kata lain dapat disebutkan terhaap mereka yang membuat perjanjian harus memenuhi syarat-syarat yang melekat pada dirinya, berupa kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan bagi mereka yang membuat perjanjian. Kesepakatan itu sendiri dapat terwujud secara tegas yakni berupa dituangkannya dalam bentuk tertulis. Akan tetapi pada kenyataannya dapat dilakukan secara diam-diam yaitu dengan menganalogikan pada ukuran kebiasaan ataupun kepatuhan salah satu subjek perjanjian dianggap telah menyatakan kesepakatan atas sesuatu hal tertentu. Pada kenyataannya, mengenai kecakapan subjek perjanjian telah bergerser ukurannya pada saat sekarang ini. Bisa saja kesepakatan lahir tanpa harus bertemunya atau pun berkumpulnya para pihak yang mengadakan perjanjian misalnya adalah transaksi melaui internet bussiness to business commerce. 24 . Subekti, 1982,Pokok-Pokok Hukum Perjanjian. Intermasa, Jakarta. Hal 20 Universitas Sumatera Utara Ukuran kecakapan di sini sudah beranjak pada ukuran kemampuan melakukan suatu perbuatan. Dengan demikian, kecakapan hanya mempersoalkan tentang kemampuan untuk saling berinteraksi, misalnya dengan kemampuan menggunakan internet tersebut. J. Satrio mengatakan, bahwa : “Pada asasnya, kecuali ditentukan lain, undang-undang tidak menentukan cara orang mentukan kehendak”. 25 b. Syarat Objektif Hal ini merupakan suatu realitas, karena bisa saja kesepakatan untuk membuat perjanjian dilakukan melalui telepon, faksimile atau pun melalui internet. Dengan demikian tidak perlu saling mengenal mengenal atau pun berjumpa. Syarat objektif merupakan syarat yang menyangkut objek perjanjian yang meliputi suatu hal tertentu yang diperjanjikan dan suatu sebab yang halalyang dijadikan dasar bagi dibuatnya perjanjian tersebut. Berbeda dengan syarat subjektif apabila syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjian yang dibuat dianggap batal demi hukum nieting baar. Ketentuan ini memang sangat logis sekali, karena sangat tidak mungkin memperjanjikan sesuatu yang tidak jelas apa yang menjadi objek perjanjian yang pada hakikatnya merupakan tujuan utama dari pembuatan suatu perjanjian. Berkenan dengan syarat suatu hal tertentu, J. Satrio berpendapat, bahwa : “Objek perjanjian tidak harus semula semula individual tetentu, tetapi cukup kalau pada saat perjanjian ditutup jenisnya tertentu”. 26 25 . J. Satrio, 1995, Op. cit, hal 183 Universitas Sumatera Utara Dapat dilihat bahwa walaupun batasan dari pernyataan tersebut tidak terlalu kaku, tetapi ada ukuran kepatutan yang secara langsung dihubungkan dengan penilaian telah dilaksanakannya kewajiban prestasi atau belum pada saat yang ditentukan dalam perjanjian. Agar suatu perjanjian dikatakan saha, menurut Pasal 1320 Perdata syarat berikutnya adalah adanya suatu sebab yang hal atau biasa disebut sebagai kuasa yang halal sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Syarat yang sebenarnya diperjelas dalam Pasal 1335, Pasal 1336, dan Pasal 1337 KUH Perdata ini pada dasarnya ditujukan pada batasan agar setiap maksud dan tujuan yang ingin dicapai bukan merupakan perbuatan melawan hukum. Salah satu sendi yang terpenting dari hukum perjanjian adalah bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata, yang pada intinya menegaskan bahwa persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik, artinya pelaksanaan perjanjian tersebut harus mengindahkan kepatutan dan kesusilaan. Sebagaimana diketahui bahwa tujuan hukum adalah untuk melindungi orangmasyarakat. Maka untuk mencapai tujuan tersebut, hukum mempunyai tugas untui memberikan kepastian, kegunaan dan keadilan. Dalam pelaksanaan perjanjian, harus diperhatikan pula kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 1339 KUH Perdata yang menyatakan bahwa : “Persetujuan-persetujuan tidakhanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang 26 Ibid, hal 31 Universitas Sumatera Utara menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatuhan, kebiasaan atau undang-undang”. Akan tetapi apabila terjadi perjanjian mengenai pembelian senjata api tanpa ijin yang berwenang, ini tidak dibenarkan karena dilarang oleh undang- undang, perjanjian demikian dianggap tidak pernah terjadi.

3. Asas-asas Dalam Hukum Perjanjian

Dokumen yang terkait

Perjanjian Kerjasama Antara Pemerintah Indonesia dan Jepang tentang Joint Crediting Mechanism 2013 untuk Kemitraan Pertumbuhan Rendah Karbon

8 193 166

Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama Antara Pt. Satria Parang Tritis Dengan Cv. Mitra Niaga Corporation Tentang Rekrutmen Tenaga Kerja Lulusan Sma/Smk

1 60 105

Analisis Yuridis Atas Pembatalan Perjanjian Kerjasama Event Organizer Dengan Pengguna Jasa ( Studi Pada CV. Bintang Mandiri IN7 Wedding Organizer & Decoration Di Medan )

4 133 154

Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama Penyediaan Pengemudi Head Truck Angkutan Peti Kemas antara PT. Pelabuhan Indonesia I (PERSERO) Belawan International Container Terminal dengan Koperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat

2 74 90

Perjanjian Kerjasama Antara Bank Dengan Kantor Jasa Penilaian Publik (KJPP) Dalam Hal Penilaian Agunan Kredit Pemilikan Rumah (Suatu Penelitian Di PT. Bank Cimb Niaga TBK, Cabang Medan Bukit Barisan)

7 147 147

Perjanjian Baku/Standar Kontrak Bertentangan Dengan Asas Kebebasan Berkontrak

2 33 147

Kedudukan Perjanjian Ekonomi Antara Pemerintah Daerah Dengan Lembaga Internasional Ditinjau Dari Hukum Nasional & Hukum Internasional

1 75 103

Perjanjian Kerjasama Antara Developer Dengan Bank Dalam Pemberian Fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (Suatu Penelitian di PT Bank CIMB Niaga Tbk Cabang Medan Bukit Barisan)

22 304 137

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN KERJASAMA SPONSORSHIP YANG DISELENGGARAKAN PT. NOJORONO Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerjasama Sponsorship Yang Diselenggarakan PT. Nojorono Tobacco Internasional.

0 1 11

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN KERJASAMA SPONSORSHIP YANG DISELENGGARAKAN PT. NOJORONO Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerjasama Sponsorship Yang Diselenggarakan PT. Nojorono Tobacco Internasional.

0 1 24