Klorinasi Telur Ayam Ras Konsumsi dengan Metode Imersi untuk Mendisinfeksi Permukaan Kerabang yang Tercemar Virus HPAI Subtipe H5

(1)

KLORINASI TELUR AYAM RAS KONSUMSI DENGAN

METODE IMERSI UNTUK MENDISINFEKSI PERMUKAAN

KERABANG YANG TERCEMAR VIRUS HPAI SUBTIPE H5

RADEN NURCAHYO NUGROHO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Klorinasi Telur Ayam Ras Konsumsi dengan Metode Imersi untuk Mendisinfeksi Permukaan Kerabang yang Tercemar Virus HPAI Subtipe H5 adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009

Raden Nurcahyo Nugroho NRP B251064094


(3)

ABSTRACT

RADEN NURCAHYO NUGROHO. Chlorination Using Immersion Method for Disinfecting Table Egg Surface Contaminated with Pathogenic Avian Influenza Virus H5 Subtype. Under direction of SURACHMI SETIYANINGSIH and TRIOSO PURNAWARMAN.

Table eggs are one of inanimate vehicles for Avian Influenza Virus (AIV) transmission. Surface disinfection, therefore, is necessary to prevent the spread of the virus. One of widely used disinfectants is Chlorine; it is relatively cheap, easy to get, and easy to handle. Chlorination has been established previously as an effective procedure to inactivate highly pathogenic AIV H5N1 in water. Considering the high volume of trade and traffic of table eggs among areas of Indonesia, egg surface disinfection against AIV surface contamination is crucial for the disease control. The aim of this research are to study the potency of chlorine in egg surface disinfection via immersion method measured as its ability to inactivate the contaminating AIV, egg quality after treatment and chlorine residue detection. The study was conducted for 5 month from September 2008 until January 2009 using table eggs from single layer farm, pathogenic AIV H5 Subtype and calcium hypochlorite as a disinfectant. The viability of the virus was verified by inoculation in Specific Pathogen Free (SPF) embryonated chicken eggs. Data generated from this research was analyzed using SPSS, Fisher Exact Test and Minitab 14 version. The results show that the virus remained viable on the eggs surface for 21 hours. The virus was not fully inactivated (P>0,05) and significantly inactivated (P<0,05) following 30 and 60 second immersion in approximately 153 ppm chlorine, respectively. Chlorination did not affect the egg quality measured as albumen index and yolk index (P>0,05). There was no residu founded in albumen after chlorination treatment. It can be concluded that chlorination by immersion method was effective to inactivate or reduce AI viral titer on the egg surface with 95% confident level.

Key words: chlorination, calcium hypochlorite, disinfection, egg surface, pathogenic AIV H5 subtype, egg quality, chlorine residue.


(4)

iii

RINGKASAN

RADEN NURCAHYO NUGROHO. Klorinasi Telur Ayam Ras Konsumsi dengan Metode Imersi untuk Mendisinfeksi Permukaan Kerabang yang Tercemar Virus HPAI Subtipe H5. Dibimbing oleh SURACHMI SETIYANINGSIH dan TRIOSO PURNAWARMAN.

Penyakit Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) telah menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Sejak akhir tahun 2003 sampai dengan awal tahun 2009 dari 33 propinsi, hanya 2 yang masih dianggap bebas yaitu Gorontalo dan Maluku Utara. Telur merupakan bahan pangan asal hewan yang berpotensi menyebarkan virus HPAI karena agen penyakit tersebut dapat ditemukan pada kuning, putih dan kerabang. Berkaitan dengan hal tersebut, perdagangan komoditi telur konsumsi bisa menjadi salah satu faktor yang memungkinkan penyebaran penyakit HPAI di Indonesia terjadi secara cepat dan meluas.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh klorinasi pada telur ayam ras konsumsi dengan metode imersi terhadap virus HPAI Subtipe H5 yang dicemarkan pada permukaan kerabang, kualitas telur terklorinasi dan kandungan residu klorin pada telur. Rancangan percobaan untuk penelitian ini adalah Rancangan Faktorial 2 Faktor Acak Lengkap. Dua peubah yang menjadi faktor adalah telur bersih dan telur kotor. Penelitian dilakukan dengan tahapan metode yang berurutan yaitu Penentuan titer virus HPAI; Penentuan sediaan kalsium hipoklorit (kaporit), dosis klorin dan residu klorin; Penentuan demand klorin telur, cairan alantois dan feses; Uji Viabilitas virus pada permukaan kerabang; Klorinasi telur tercemar virus HPAI, Pengujian Kualitas Telur dan Pengujian Residu Klorin. Teknik analisa data yang digunakan adalah analisa komparatif untuk mengetahui perbedaan antara dua kelompok atau lebih. Analisa data perlakuan klorinasi dilakukan dengan Uji Fisher Exact. Analisa data viabilitas virus dilakukan dengan Chi-Square program SPSS. Selanjutnya analisa data kualitas telur dilakukan dengan T-test 2Sample menggunakan program Minitab Versi 14.

Titer virus yang digunakan adalah 108,5 EID

50/0,1 ml. Jumlah virus tersebut dapat digunakan sebagai campuran feses guna mencemari atau dicemarkan secara langsung pada permukaan kerabang telur ayam ras konsumsi. Dosis kaporit yang digunakan untuk memperoleh dosis klorin ± 150 ppm adalah berkisar pada 0,0255-0,0259 gram. Dosis klorin yang digunakan adalah dosis tunggal dengan mengacu pada kisaran dosis yang telah terbukti efektif dalam mendisinfeksi bakteri pada permukaan kerabang (100-200 ppm). Derajat keasaman (pH) larutan kaporit yang mengandung klorin ± 153 ppm dengan media akuabides menunjukan suasana basa, yang berarti bahwa kandungan total klorin yang ada dalam larutan tersebut adalah ion hipoklorit, bukan asam hipoklorit. Demand material organik selama imersi 60 detik yang dicemarkan pada telur bersih adalah 16,907 ppm dan pada telur kotor adalah 25,225 ppm. Dengan demikian, nilai residual klorin pada media air pencelupan telur bersih dan kotor masing-masing adalah 136,093 ppm dan 127,775 ppm secara berurutan.


(5)

Berdasarkan data hasil uji HA cepat terhadap cairan alantois yang diperoleh dari inokulasi langsung uji viabilitas, virus HPAI Subtipe H5 mampu bertahan hidup selama 21 jam pada suhu ruang (±250C) baik pada permukaan kerabang bersih maupun kerabang kotor. Pada kerabang bersih, berdasarkan hasil analisa data menggunakan Chi-Square (SPSS), nilai P adalah 0,236 (P>0,05), sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan atau pengaruh waktu yang nyata terhadap viabilitas virus dalam setiap 3 jam pengamatan selama 21 jam. Pada kerabang kotor, nilai P adalah 0,854 (P>0,05), sehingga tidak terdapat perbedaan atau pengaruh waktu yang nyata terhadap viabilitas virus dalam setiap 3 jam pengamatan selama 21 jam. Hasil analisa pada kedua perlakuan, kerabang bersih dan kerabang kotor, menunjukkan bahwa virus HPAI Subtipe H5 masih mampu bertahan selama 21 jam pengamatan pada suhu ruang (±250C). Selama waktu perlakuan tersebut, viabilitas virus cenderung bersifat konstan. Oleh karena itu, apabila virus HPAI mencemari permukaan kerabang, maka telur yang tercemar virus mempunyai resiko yang cukup tinggi untuk berperan sebagai media pembawa penyebaran virus HPAI.

Hasil analisa data uji HA cepat terhadap cairan alantois dari inokulasi langsung pada perlakuan klorinasi telur bersih dan telur kotor bervirus dengan menggunakan uji Fisher Exact menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara telur bersih dengan telur kotor yang diklorinasi selama 30 detik dengan nilai P adalah 0,038 (P<0,05). Proporsi virus mati atau mengalami penurunan titer adalah 5:1 pada telur bersih, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan telur kotor yaitu 1:5. Klorinasi selama 30 detik pada telur bersih secara nyata lebih efektif daripada klorinasi pada telur kotor dalam mematikan atau menurunkan titer virus sehingga peluang resiko virus akan disebarkan oleh telur bersih yang diklorinasi menjadi lebih rendah. Pada klorinasi selama 60 detik, hasil analisa data dengan uji Fisher Exact menunjukkan nilai P adalah 1 (P>0,05). Berarti tidak terdapat perbedaan peluang virus untuk mati atau turun titernya setelah diberi perlakuan klorinasi antara telur bersih dan telur kotor. Kedua perlakuan memiliki proporsi virus mati atau titer rendah : virus hidup yang sama yaitu 6:0. Mati atau rusaknya virus HPAI Subtipe H5 akibat perlakuan klorinasi kemungkinan terjadi akibat proses oksidasi terhadap material virus. Pada klorinasi 60 detik, jumlah virus yang teroksidasi diperkirakan jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan klorinasi 30 detik sehingga ketika dilakukan inokulasi langsung dan uji HA, klorinasi 60 detik memberikan hasil yang lebih baik.

Analisa data kualitas telur menggunakan T-test 2 sample memberikan hasil nilai P adalah 0,502 (P>0,05) untuk indeks putih telur dan 0,953 (P>0,05) untuk indeks kuning telur. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa antara telur yang diberi perlakuan klorinasi dengan telur yang tidak diberi perlakuan (kontrol), secara nyata tidak memiliki perbedaan kualitas indeks putih telur dan indeks kuning telur pada 10 hari perlakuan. Selanjutya, berdasarkan pengukuran residu klorin dengan tahapan kualitatif Titrasi Iodometrik, diperoleh hasil bahwa pada putih telur tidak ditemukan adanya kandungan residu klorin.

Kata kunci : klorinasi, kalsium hipoklorit, disinfeksi, permukaan kerabang, virus HPAI Subtipe H5, kualitas telur, residu klorin.


(6)

v

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang -Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

KLORINASI TELUR AYAM RAS KONSUMSI DENGAN

METODE IMERSI UNTUK MENDISINFEKSI PERMUKAAN

KERABANG YANG TERCEMAR VIRUS HPAI SUBTIPE H5

RADEN NURCAHYO NUGROHO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(8)

vii


(9)

Judul : Klorinasi Telur Ayam Ras Konsumsi dengan Metode Imersi untuk Mendisinfeksi Permukaan Kerabang yang Tercemar Virus HPAI Subtipe H5

Nama : Raden Nurcahyo Nugroho

NRP : B251064094

Disetujui Komisi Pembimbing

Drh. Surachmi Setiyaningsih, Ph.D

Ketua Drh. Trioso Purnawarman, M.Si Anggota

Diketahui, Ketua Program Studi

Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. Drh. Denny Widaya Lukman, M.Si

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


(10)

ix

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas petunjuk dan ridho-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil disusun. Tema penelitian yang dipilih adalah disinfeksi dengan judul Klorinasi Telur Ayam Ras Konsumsi dengan Metode Imersi untuk Mendisinfeksi Permukaan Kerabang yang Tercemar Virus HPAI Subtipe H5.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Ibu drh. Surachmi Setiyaningsih, Ph.D dan Bapak drh. Trioso Purnawarman, M.Si selaku komisi pembimbing serta Bapak Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner. Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Syukur Iwantoro, MS, MBA dan Bapak Ir. Hari Priyono, M.Si yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan jenjang pendidikan Pascasarjana. Ungkapan terimakasih juga disampaikan untuk ibu, istri, putriku dan seluruh keluarga dan sahabat atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkarantinaan Indonesia. Bogor, Januari 2009 Raden Nurcahyo Nugroho


(11)

KLORINASI TELUR AYAM RAS KONSUMSI DENGAN

METODE IMERSI UNTUK MENDISINFEKSI PERMUKAAN

KERABANG YANG TERCEMAR VIRUS HPAI SUBTIPE H5

RADEN NURCAHYO NUGROHO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Klorinasi Telur Ayam Ras Konsumsi dengan Metode Imersi untuk Mendisinfeksi Permukaan Kerabang yang Tercemar Virus HPAI Subtipe H5 adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009

Raden Nurcahyo Nugroho NRP B251064094


(13)

ABSTRACT

RADEN NURCAHYO NUGROHO. Chlorination Using Immersion Method for Disinfecting Table Egg Surface Contaminated with Pathogenic Avian Influenza Virus H5 Subtype. Under direction of SURACHMI SETIYANINGSIH and TRIOSO PURNAWARMAN.

Table eggs are one of inanimate vehicles for Avian Influenza Virus (AIV) transmission. Surface disinfection, therefore, is necessary to prevent the spread of the virus. One of widely used disinfectants is Chlorine; it is relatively cheap, easy to get, and easy to handle. Chlorination has been established previously as an effective procedure to inactivate highly pathogenic AIV H5N1 in water. Considering the high volume of trade and traffic of table eggs among areas of Indonesia, egg surface disinfection against AIV surface contamination is crucial for the disease control. The aim of this research are to study the potency of chlorine in egg surface disinfection via immersion method measured as its ability to inactivate the contaminating AIV, egg quality after treatment and chlorine residue detection. The study was conducted for 5 month from September 2008 until January 2009 using table eggs from single layer farm, pathogenic AIV H5 Subtype and calcium hypochlorite as a disinfectant. The viability of the virus was verified by inoculation in Specific Pathogen Free (SPF) embryonated chicken eggs. Data generated from this research was analyzed using SPSS, Fisher Exact Test and Minitab 14 version. The results show that the virus remained viable on the eggs surface for 21 hours. The virus was not fully inactivated (P>0,05) and significantly inactivated (P<0,05) following 30 and 60 second immersion in approximately 153 ppm chlorine, respectively. Chlorination did not affect the egg quality measured as albumen index and yolk index (P>0,05). There was no residu founded in albumen after chlorination treatment. It can be concluded that chlorination by immersion method was effective to inactivate or reduce AI viral titer on the egg surface with 95% confident level.

Key words: chlorination, calcium hypochlorite, disinfection, egg surface, pathogenic AIV H5 subtype, egg quality, chlorine residue.


(14)

iii

RINGKASAN

RADEN NURCAHYO NUGROHO. Klorinasi Telur Ayam Ras Konsumsi dengan Metode Imersi untuk Mendisinfeksi Permukaan Kerabang yang Tercemar Virus HPAI Subtipe H5. Dibimbing oleh SURACHMI SETIYANINGSIH dan TRIOSO PURNAWARMAN.

Penyakit Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) telah menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Sejak akhir tahun 2003 sampai dengan awal tahun 2009 dari 33 propinsi, hanya 2 yang masih dianggap bebas yaitu Gorontalo dan Maluku Utara. Telur merupakan bahan pangan asal hewan yang berpotensi menyebarkan virus HPAI karena agen penyakit tersebut dapat ditemukan pada kuning, putih dan kerabang. Berkaitan dengan hal tersebut, perdagangan komoditi telur konsumsi bisa menjadi salah satu faktor yang memungkinkan penyebaran penyakit HPAI di Indonesia terjadi secara cepat dan meluas.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh klorinasi pada telur ayam ras konsumsi dengan metode imersi terhadap virus HPAI Subtipe H5 yang dicemarkan pada permukaan kerabang, kualitas telur terklorinasi dan kandungan residu klorin pada telur. Rancangan percobaan untuk penelitian ini adalah Rancangan Faktorial 2 Faktor Acak Lengkap. Dua peubah yang menjadi faktor adalah telur bersih dan telur kotor. Penelitian dilakukan dengan tahapan metode yang berurutan yaitu Penentuan titer virus HPAI; Penentuan sediaan kalsium hipoklorit (kaporit), dosis klorin dan residu klorin; Penentuan demand klorin telur, cairan alantois dan feses; Uji Viabilitas virus pada permukaan kerabang; Klorinasi telur tercemar virus HPAI, Pengujian Kualitas Telur dan Pengujian Residu Klorin. Teknik analisa data yang digunakan adalah analisa komparatif untuk mengetahui perbedaan antara dua kelompok atau lebih. Analisa data perlakuan klorinasi dilakukan dengan Uji Fisher Exact. Analisa data viabilitas virus dilakukan dengan Chi-Square program SPSS. Selanjutnya analisa data kualitas telur dilakukan dengan T-test 2Sample menggunakan program Minitab Versi 14.

Titer virus yang digunakan adalah 108,5 EID

50/0,1 ml. Jumlah virus tersebut dapat digunakan sebagai campuran feses guna mencemari atau dicemarkan secara langsung pada permukaan kerabang telur ayam ras konsumsi. Dosis kaporit yang digunakan untuk memperoleh dosis klorin ± 150 ppm adalah berkisar pada 0,0255-0,0259 gram. Dosis klorin yang digunakan adalah dosis tunggal dengan mengacu pada kisaran dosis yang telah terbukti efektif dalam mendisinfeksi bakteri pada permukaan kerabang (100-200 ppm). Derajat keasaman (pH) larutan kaporit yang mengandung klorin ± 153 ppm dengan media akuabides menunjukan suasana basa, yang berarti bahwa kandungan total klorin yang ada dalam larutan tersebut adalah ion hipoklorit, bukan asam hipoklorit. Demand material organik selama imersi 60 detik yang dicemarkan pada telur bersih adalah 16,907 ppm dan pada telur kotor adalah 25,225 ppm. Dengan demikian, nilai residual klorin pada media air pencelupan telur bersih dan kotor masing-masing adalah 136,093 ppm dan 127,775 ppm secara berurutan.


(15)

Berdasarkan data hasil uji HA cepat terhadap cairan alantois yang diperoleh dari inokulasi langsung uji viabilitas, virus HPAI Subtipe H5 mampu bertahan hidup selama 21 jam pada suhu ruang (±250C) baik pada permukaan kerabang bersih maupun kerabang kotor. Pada kerabang bersih, berdasarkan hasil analisa data menggunakan Chi-Square (SPSS), nilai P adalah 0,236 (P>0,05), sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan atau pengaruh waktu yang nyata terhadap viabilitas virus dalam setiap 3 jam pengamatan selama 21 jam. Pada kerabang kotor, nilai P adalah 0,854 (P>0,05), sehingga tidak terdapat perbedaan atau pengaruh waktu yang nyata terhadap viabilitas virus dalam setiap 3 jam pengamatan selama 21 jam. Hasil analisa pada kedua perlakuan, kerabang bersih dan kerabang kotor, menunjukkan bahwa virus HPAI Subtipe H5 masih mampu bertahan selama 21 jam pengamatan pada suhu ruang (±250C). Selama waktu perlakuan tersebut, viabilitas virus cenderung bersifat konstan. Oleh karena itu, apabila virus HPAI mencemari permukaan kerabang, maka telur yang tercemar virus mempunyai resiko yang cukup tinggi untuk berperan sebagai media pembawa penyebaran virus HPAI.

Hasil analisa data uji HA cepat terhadap cairan alantois dari inokulasi langsung pada perlakuan klorinasi telur bersih dan telur kotor bervirus dengan menggunakan uji Fisher Exact menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara telur bersih dengan telur kotor yang diklorinasi selama 30 detik dengan nilai P adalah 0,038 (P<0,05). Proporsi virus mati atau mengalami penurunan titer adalah 5:1 pada telur bersih, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan telur kotor yaitu 1:5. Klorinasi selama 30 detik pada telur bersih secara nyata lebih efektif daripada klorinasi pada telur kotor dalam mematikan atau menurunkan titer virus sehingga peluang resiko virus akan disebarkan oleh telur bersih yang diklorinasi menjadi lebih rendah. Pada klorinasi selama 60 detik, hasil analisa data dengan uji Fisher Exact menunjukkan nilai P adalah 1 (P>0,05). Berarti tidak terdapat perbedaan peluang virus untuk mati atau turun titernya setelah diberi perlakuan klorinasi antara telur bersih dan telur kotor. Kedua perlakuan memiliki proporsi virus mati atau titer rendah : virus hidup yang sama yaitu 6:0. Mati atau rusaknya virus HPAI Subtipe H5 akibat perlakuan klorinasi kemungkinan terjadi akibat proses oksidasi terhadap material virus. Pada klorinasi 60 detik, jumlah virus yang teroksidasi diperkirakan jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan klorinasi 30 detik sehingga ketika dilakukan inokulasi langsung dan uji HA, klorinasi 60 detik memberikan hasil yang lebih baik.

Analisa data kualitas telur menggunakan T-test 2 sample memberikan hasil nilai P adalah 0,502 (P>0,05) untuk indeks putih telur dan 0,953 (P>0,05) untuk indeks kuning telur. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa antara telur yang diberi perlakuan klorinasi dengan telur yang tidak diberi perlakuan (kontrol), secara nyata tidak memiliki perbedaan kualitas indeks putih telur dan indeks kuning telur pada 10 hari perlakuan. Selanjutya, berdasarkan pengukuran residu klorin dengan tahapan kualitatif Titrasi Iodometrik, diperoleh hasil bahwa pada putih telur tidak ditemukan adanya kandungan residu klorin.

Kata kunci : klorinasi, kalsium hipoklorit, disinfeksi, permukaan kerabang, virus HPAI Subtipe H5, kualitas telur, residu klorin.


(16)

v

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang -Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(17)

KLORINASI TELUR AYAM RAS KONSUMSI DENGAN

METODE IMERSI UNTUK MENDISINFEKSI PERMUKAAN

KERABANG YANG TERCEMAR VIRUS HPAI SUBTIPE H5

RADEN NURCAHYO NUGROHO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(18)

vii


(19)

Judul : Klorinasi Telur Ayam Ras Konsumsi dengan Metode Imersi untuk Mendisinfeksi Permukaan Kerabang yang Tercemar Virus HPAI Subtipe H5

Nama : Raden Nurcahyo Nugroho

NRP : B251064094

Disetujui Komisi Pembimbing

Drh. Surachmi Setiyaningsih, Ph.D

Ketua Drh. Trioso Purnawarman, M.Si Anggota

Diketahui, Ketua Program Studi

Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. Drh. Denny Widaya Lukman, M.Si

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


(20)

ix

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas petunjuk dan ridho-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil disusun. Tema penelitian yang dipilih adalah disinfeksi dengan judul Klorinasi Telur Ayam Ras Konsumsi dengan Metode Imersi untuk Mendisinfeksi Permukaan Kerabang yang Tercemar Virus HPAI Subtipe H5.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Ibu drh. Surachmi Setiyaningsih, Ph.D dan Bapak drh. Trioso Purnawarman, M.Si selaku komisi pembimbing serta Bapak Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner. Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Syukur Iwantoro, MS, MBA dan Bapak Ir. Hari Priyono, M.Si yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan jenjang pendidikan Pascasarjana. Ungkapan terimakasih juga disampaikan untuk ibu, istri, putriku dan seluruh keluarga dan sahabat atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkarantinaan Indonesia. Bogor, Januari 2009 Raden Nurcahyo Nugroho


(21)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 13 Desember 1980. Ayah kandung adalah Drh. Kanjeng Raden Tumenggung Jiyono Notokusumo dan Ibu kandung Poni Astuti, SPd. Penulis merupakan putra keempat dari empat bersaudara.

Tahun 1999 penulis lulus dari SMU Negeri 7 Yogyakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (FKH UGM) melalui jalur UMPTN dengan jurusan Kedokteran Hewan sebagai pilihan pertama. Selanjutnya, pada jenjang Pascasarjana penulis memilih Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Institut Pertanian Bogor (KMV IPB).

Selama mengikuti perkuliahan, penulis tetap menjalankan pekerjaan sehari-hari sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Badan Karantina Pertanian Departemen Pertanian. Beasiswa untuk jenjang studi Pascasarjana diperoleh dari Badan Karantina Pertanian.


(22)

xi

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... xiii DAFTAR GAMBAR ... xiv DAFTAR PERSAMAAN ... xv DAFTAR LAMPIRAN ... xvi 1 PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 2 1.3 Tujuan Penelitian ... 3 1.4 Manfaat Penelitian ... 3 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 3 1.6 Hipotesis ... 3 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4 2.1 Virus Avian Influenza ... 4 2.2 Kejadian Penyakit Avian Influenza ... 5 2.3 Avian Influenza pada Hewan ... 8 2.4 Avian Influenza pada Manusia ... 16 2.5 Telur sebagai Media Transmisi Virus ... 17 2.6 Disinfeksi ... 18 2.7 Klorin dan Klorinasi ... 19 2.8 Telur Ayam Ras Konsumsi ... 23 3 METODE ... 29 3.1 Waktu dan Tempat ... 29 3.2 Bahan dan Alat ... 29 3.3 Rancangan Percobaan ... 29 3.4 Prosedur Penelitian dan Parameter serta Variabel Pengamatan ... 29 3.5 Analisa Data ... 34 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35 4.1 Titer Virus HPAI Subtipe H5 ... 35 4.2 Sediaan Kaporit dan Dosis Klorin ... 35 4.3 Penentuan Demand Klorin Kerabang, Cairan Alantois Murni dan

Feses ... 37 4.4 Viabilitas Virus HPAI Subtipe H5 pada Permukaan Kerabang ... 38 4.5 Klorinasi Telur Ayam Ras Kosumsi ... 40 4.6 Kualitas Telur Terklorinasi ... 43 4.7 Residu Klorin pada Putih Telur ... 45 4.8 Peluang Penerapan Praktis di Lapangan ... 45


(23)

5 SIMPULAN DAN SARAN ... 48 5.1 Simpulan ... 48 5.2 Saran ... 48 DAFTAR PUSTAKA ... 49 LAMPIRAN ... 54


(24)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Rata-rata dosis klorin setelah penimbangan kaporit ... 35 2. Rata-rata pH dan suhu larutan klorin ... 36 3. Berat cairan alantois murni yang ditimbang ... 37 4. Demand klorin kerabang , cairan alantois murni dan feses ... 37 5. Hasil uji HA cepat terhadap cairan alantois dari inokulasi langsung uji

viabilitas virus yang mencemari permukaan kerabang bersih dan kerabang kotor selama 21 jam ... 38 6. Hasil analisa Chi-Square uji viabilitas virus pada permukaan kerabang

bersih dan kotor ... 39 7. Hasil uji HA cepat terhadap cairan alantois dari inokulasi langsung


(25)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Struktur virus Influenza A ... 4 2. Peta penyebaran penyakit AI di Indonesia ... 5 3. Pembengkakan dan sianosis yang terjadi pada seekor ayam layer

akibat terinfeksi virus HPAI ... 9 4. Regresi dan nekrosis ovarium pada ayam ras petelur yang terinfeksi

virus HPAI (a) dan ovarium normal (b) ... 11 5. Uji Viabilitas virus HPAI Subtipe H5 pada permukaan kerabang

telur ayam ras konsumsi ... 32 6. Klorinasi pada telur bersih (a) dan klorinasi pada telur kotor (b) .... 33 7. Peluang viabilitas virus pada kerabang bersih (garis warna merah) dan kerabang kotor (garis warna hijau)... 39 8. Proporsi peluang virus mati dan hidup pada telur bersih (a.) dan

telur kotor (b.) ... 41 9. Perbandingan indeks putih dan kuning telur kelompok kontrol


(26)

xv

DAFTAR PERSAMAAN

Halaman 1. Persamaan (1) ... 18 2. Persamaan (2) ... 20


(27)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Metode inokulasi telur SPF ...

2. Metode titrasi virus ... 3. Perhitungan titer virus ... 4. Metode titrasi iodometrik ...


(28)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Telur merupakan bahan pangan asal hewan yang berpotensi menyebarkan virus Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) karena agen penyakit tersebut dapat ditemukan pada kuning, putih dan kerabang (Swayne dan Beck 2004). Di Propinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2006 virus Avian Influenza (AI) Subtipe H5 telah berhasil dideteksi dan diisolasi dari swab permukaan kerabang telur konsumsi dan egg tray pada peternakan ayam ras petelur oleh BBV Maros (Wahyu D 23 Februari 2008, komunikasi pribadi). Berkaitan dengan hal tersebut, maka perdagangan komoditi telur konsumsi bisa menjadi salah satu faktor yang memungkinkan penyebaran penyakit HPAI di Indonesia menjadi meluas.

Terkait dengan potensi penyebaran penyakit yang terbawa oleh telur, Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE) telah memberikan rekomendasi tindakan disinfeksi telur tetas maupun konsumsi yang diperdagangkan dengan fumigasi, spraying, imersi (pencelupan) dan tindakan disinfeksi lain yang dibakukan oleh otoritas veteriner pada suatu negara. Jenis disinfektan yang direkomendasikan adalah klorin dan quats untuk disinfeksi telur konsumsi, serta formalin dan virkon untuk disinfeksi telur tetas (AFFA 2000, OIE 2008).

Di Indonesia, perdagangan antar area komoditi unggas berupa telur mempunyai frekuensi yang cukup tinggi yaitu 1.259 kali dengan volume 16.070.809 kg untuk lalulintas domestik masuk dan 8.803 kali dengan volume 26.495.538 kg untuk lalulintas domestik keluar (BARANTAN 2007). Sebagai upaya antisipasi penyebaran HPAI, pemerintah memberlakukan Petunjuk Teknis Tindakan Karantina Hewan terhadap Media Pembawa HPAI No. 316.a/Kpts/PD.670.320/L/11/06 tanggal 20 November 2006. Dalam petunjuk teknis tersebut dinyatakan bahwa komoditi telur yang akan dilalulintaskan harus diberi perlakuan disinfeksi terlebih dahulu. Namun demikian, penerapan di lapangan masih terkendala oleh beberapa faktor teknis. Suatu metode disinfeksi telur konsumsi yang baku dan telah teruji secara ilmiah dalam mematikan virus AI sekaligus tidak merusak kualitas telur yang didisinfeksi perlu dirancang dan


(29)

diteliti sehingga berbagai pilihan aplikasi pada akhirnya akan tersedia bagi petugas karantina.

1.2 Perumusan Masalah

Penyakit Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) telah menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Sejak akhir tahun 2003 sampai dengan awal tahun 2009 dari 33 propinsi, hanya 2 yang masih dianggap bebas yaitu Gorontalo dan Maluku Utara. Berkaitan dengan cepatnya penyebaran penyakit tersebut, maka tindakan pencegahan yang benar dan tepat harus diterapkan terhadap seluruh komoditi unggas yang berpotensi membawa dan menyebarkan virus AI. Tindakan tersebut merupakan bagian dari tugas pokok dan fungsi instansi pemerintah dalam hal ini Badan Karantina Pertanian Departemen Pertanian Republik Indonesia.

Telur konsumsi yang berpotensi menyebarkan penyakit HPAI selama ini hampir tidak pernah diberi tindakan karantina, meskipun Petunjuk Teknis Tindakan Karantina Hewan terhadap Media Pembawa HPAI No. 316.a/Kpts/PD.670.320/L/11/06 tanggal 20 November 2006 telah ditetapkan sebagai pedoman oleh pemerintah. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya yang konkret untuk mengatasi permasalahan tersebut sehingga penerapan petunjuk teknis di lapangan dapat berjalan sesuai harapan.

Terobosan dalam pengkajian dan penelitian tentang teknik dan metode tindakan disinfeksi telur konsumsi perlu senantiasa didorong dan difasilitasi sehingga nantinya dapat diperoleh metode-metode baku yang aplikasinya lebih memudahkan bagi petugas karantina di lapangan untuk memilih metode yang cocok sesuai dengan kemampuan dan situasi serta kondisi tempat tugas masing-masing. Penemuan dan aplikasi metode disinfeksi telur konsumsi yang tepat diharapkan dapat turut berperanan penting dalam upaya mencegah penyebaran virus penyebab penyakit HPAI.

Sebagai upaya untuk mewujudkan hal tersebut, maka teknik klorinasi dengan metode imersi menggunakan bahan disinfektan klorin bisa dijadikan sebagai salah satu pilihan mengingat klorin telah terbukti efektif dalam menginaktivasi virus H5N1 dalam media air (Rice et al. 2007), aman terhadap kesehatan manusia karena terbukti tidak bersifat karsinogenik, mutagenik maupun genotoksik serta


(30)

3

tidak toksik terhadap sistem reproduksi (IARC 1991 dalam AISE 1997). Disamping itu, klorin juga telah direkomendasikan sebagai salah satu jenis disinfektan yang dapat digunakan untuk pencucian telur (OIE 2008). Di Indonesia, klorin termasuk golongan disinfektan yang terjangkau dan mudah diperoleh.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh klorinasi pada telur ayam ras konsumsi dengan metode imersi terhadap virus HPAI Subtipe H5, kualitas telur dan residu pada telur.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bahwa klorinasi dengan metode imersi dapat direkomendasikan sebagai metode disinfeksi telur ayam ras konsumsi.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mempunyai ruang lingkup mengenai viabilitas (kemampuan bertahan hidup) virus HPAI Subtipe H5 yang dicemarkan pada permukaan kerabang bersih dan kotor. Kerabang bersih dan kotor yang telah dicemari virus diberi perlakuan klorinasi dengan metode imersi untuk selanjutnya dilakukan pengujian apakah virus tersebut masih mampu bertahan hidup atau mempertahankan tingkat titernya setelah didisinfeksi.

Telur yang telah diklorinasi juga diuji kualitasnya dengan mengukur parameter kualitas yaitu indeks putih dan kuning telur serta dideteksi kemungkinan adanya residu klorin akibat perlakuan klorinasi.

1.6 Hipotesis

a. Klorinasi mempunyai pengaruh yang nyata terhadap viabilitas virus.

b. Klorinasi tidak mempunyai pengaruh yang nyata terhadap kualitas telur konsumsi.


(31)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Virus Avian Influenza

Avian Influenza (AI) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang termasuk dalam Famili Orthomyxoviridae genus Influenzavirus A. Ada 3 tipe virus Influenza yaitu A, B dan C. Hanya virus Influenza A yang diketahui secara pasti dapat menginfeksi unggas (OIE 2005). Istilah Flu Burung atau Avian Influenza mempunyai arti yang sama yaitu penyakit yang akut dan sangat fatal pada sebagian besar jenis unggas (Anaeto dan Chioma 2007).

Virus AI dibagi menjadi 2 kelompok yaitu HPAI dan LPAI tergantung pada kemampuannya dalam menimbulkan gejala klinis dan kefatalan penyakit. Lebih jauh lagi, virus AI dibagi dalam klasifikasi Subtipe berdasarkan tipe antigen pada protein permukaan kapsid yaitu haemagglutinin (H) dan neuraminidase (N) (Burgos dan Burgos 2007a). Sampai dengan saat ini, telah dikenal sebanyak 16 Subtipe H (H1-H16) dan 9 subtipe N (N1-N9) (OIE 2005).

Gambar 1 Struktur virus Influenza A (Kamps et al. 2006).

Hanya Subtipe H5 dan H7 yang sampai dengan saat ini tergolong sebagai virus HPAI, namun demikian tidak semua Subtipe H5 dan H7 bersifat virulen (Anaeto dan Chioma 2007). Diantara virus Influenza tipe A lainnya, virus H5N1 merupakan virus yang paling virulen (Noorudin et al. 2006). Virus H5 dan H7


(32)

5

yang tergolong LPAI pada kelanjutannya dapat mengalami perubahan menjadi strain yang patogen atau HPAI (CFSPH 2008).

Virus AI mengandung 8 segmen s-RNA dan mengkode 10 jenis protein khusus. Agar dapat menghindar dari sistem imun, virus ini mampu melakukan rekombinasi, delesi, insersi, re-assortment dan mutasi (Burgos dan Burgos 2007c).

2.2 Kejadin Penyakit Avian Influenza

Berdasarkan data dari USAID (2008) dalam Bello et al. (2008), lebih dari 220 juta ekor unggas di benua Asia, Eropa dan Eurasia serta Afrika pada 57 negara telah mati akibat terinfeksi virus H5N1. Wabah tersebut menunjukkan bahwa keganasan virus AI sangat merugikan kelangsungan usaha peternakan ayam serta memberikan pengaruh buruk terhadap pertumbuhan ekonomi dan perkembangan perdagangan.

Gambar 2 Peta penyebaran penyakit AI di Indonesia (Pusat Informasi dan Keamanan Hayati, Badan Karantina Pertanian Departemen Pertanian 2007).

Menurut Burgos dan Burgos (2007e), wabah virus AI H5N1 yang terjadi di Asia Tenggara mengakibatkan dampak ekonomi yang cukup signifikan yaitu penurunan ekspor unggas, jatuhnya harga komoditi unggas domestik dan turunnya produksi serta mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Kerugian paling nyata terlihat dari lesunya perdagangan broiler dan telur yang turun hingga 62.5%. Di Kamboja, harga telur turun drastis dari semula US$ 0,05 menjadi US$ 0,03 per butirnya dan harga broiler juga turun dari KHR 4000 menjadi KHR 1500. Akibat


(33)

kejadian wabah AI H5N1, importasi produk unggas dari Asia akhirnya dilarang. Disamping itu, secara tidak langsung negara pemasok bahan baku pakan unggas seperti Amerika Serikat, juga terkena dampaknya karena permintaan terhadap komoditi tersebut menjadi berkurang.

Sebelum terjadinya wabah AI, Indonesia mampu mengekspor produk unggas berupa telur sebanyak 1.224.579 kg, namun setelah wabah, ekspor komoditi tersebut menjadi nol (BARANTAN 2003, BARANTAN 2007).

Sebanyak 26 epizootik HPAI telah terjadi di dunia sejak 1995 dan yang paling besar disebabkan oleh virus HPAI H5N1 di lebih kurang 60 negara di kawasan Asia, Eropa dan Afrika sejak tahun 1996 (Ka-Oud et al. 2008). Silsilah virus HPAI di Asia pertamakali ditemukan pada angsa di China Selatan pada tahun 1996 dan tidak menyebar sampai benua Eropa maupun Afrika (Burgos dan Burgos 2008).

Sejak tahun 2003 sampai dengan bulan April 2008, virus AI H5N1 telah menginfeksi 380 orang yang sebelumnya pernah mempunyai riwayat kontak yang sangat dekat dengan unggas. Jumlah kematian dari total jumlah yang terinfeksi mencapai 241 orang (CFSPH 2008). Tingkat mortalitas pada manusia lebih kurang adalah 61%, sedangkan pada unggas bisa mencapai 90-100% (Burgos dan Burgos 2007c).

Menurut CFSPH (2008), antara tahun 1997 sampai dengan tahun 2006 rentetan kejadian infeksi AI pada manusia adalah sebagai berikut :

- Tahun 1997, sebanyak 18 orang terinfeksi virus H5N1 di Hongkong. Gejala yang mereka alami adalah demam, sakit tenggorokan dan batuk. Beberapa penderita mengalami gangguan pernafasan yang parah dan pneumonia. Dari 18 orang tersebut, 6 diantaranya meninggal.

- Tahun 1999, sebanyak 2 orang anak di Hongkong dikonfirmasi positif terinfeksi virus LPAI H9N2. Infeksi tersebut tergolong ringan dan kedua anak tersebut akhirnya sembuh. Di daratan China, 6 orang juga terinfeksi virus H9N2 dan semua penderitanya sembuh.

- Tahun 2002, antibodi terhadap virus H7N2 terdeteksi pada seseorang setelah kejadian wabah pada unggas di Virginia.


(34)

7

- Tahun 2003, 2 jenis virus AI H5N1 diketahui menginfeksi sebuah keluarga yang baru saja bepergian dari China. Salah satu penderitanya meninggal. Anggota keluarga yang lain meninggal karena terserang penyakit pada saluran pernafasan namun tidak dilakukan peneguhan diagnosa tentang penyebab penyakit tersebut.

- Tahun 2003, sebanyak 89 dari total 347 orang dikonfirmasi positif terinfeksi H7N7 mengikuti wabah pada unggas. Kebanyakan kasus terjadi pada pekerja kandang dan anggota keluarga dari 3 penderita tersebut juga menderita gejala sakit yang serupa. Dari 89 orang yang dikonfirmasi positif, 78 orang hanya menunjukkan gejala konjungtivitis, 2 orang menunjukkan gejala flu berupa demam, batuk dan nyeri otot. Sementara itu, 5 orang yang lainnya mengalami gejala konjungtivitis dan gejala flu, sedangkan 4 penderita lagi diklasifikasikan sebagai infeksi penyakit lain. Seorang dokter hewan pernah diketahui meninggal setelah mengalami gangguan pernafasan akut yang sangat parah serta komplikasi. Pada awalnya, dokter hewan tersebut mengalami gejala demam tinggi yang persisten dan sakit kepala tanpa disertai dengan gejala sakit pernafasan. Virus yang berhasil diisolasi dari kasus yang fatal biasanya telah mengalami mutasi.

- Tahun 2003, infeksi virus LPAI H7N2 ditemukan pada seorang pasien yang menunjukkan gejala sakit pernafasan di New York. Penderita tersebut akhirnya sembuh setelah mendapatkan perawatan yang intensif.

- Tahun 2004, pekerja kandang unggas di Kanada diketahui mengalami gejala konjungtivitis dan flu. Kedua pekerja tersebut akhirnya sembuh setelah berobat menggunakan antiviral. Selain 2 orang tersebut, 10 pekerja lainnya juga mengalami gejala serupa dan disertai dengan gangguan saluran pernafasan atas. Semua kejadian infeksi tersebut setelah ditelusuri ternyata berkaitan dengan wabah virus H7N3 pada unggas.

- Sejak tahun 2004 sampai dengan 2008, kejadian sporadik dan kematian pada manusia berkaitan erat dengan wabah H5N1 yang terjadi secara meluas pada unggas. Pada tanggal 17 April 2008, telah dikonfirmasi dan dilaporkan ke WHO ada 381 penderita dan 240 diantaranya berlangsung fatal. Kasus infeksi pada


(35)

manusia dilaporkan oleh beberapa negara Asia. Di Afrika, Azerbaijan, Timur Tengah dan Turki kasus yang terjadi pada manusia sangat sedikit.

2.3 Avian Influenza pada Hewan

Virus AI mempunyai hubungan yang dekat dengan virus Influenza pada manusia, kuda, babi dan anjing. Secara umum, dalam hal menginfeksi virus-virus tersebut bersifat spesies spesifik. Namun terkadang, virus dari satu spesies dapat menginfeksi spesies lainnya. Hal tersebut dapat terjadi melalui dua cara. Pertama, apabila 2 jenis virus dari spesies yang berbeda secara bersamaan menginfeksi sel, segmen genetik dapat mengalami re-assortment ketika partikel-partikel virus baru sedang dibentuk. Sebagai contoh, jika suatu sel terinfeksi oleh virus Influenza dari unggas dan manusia, virus-virus baru yang dihasilkan dari sel tersebut bisa mengandung beberapa segmen dari virus AI dan sebagian lainnya mengandung segmen dari virus Influenza manusia. Virus AI yang sudah mengandung beberapa gen dari virus Influenza manusia selanjutnya dapat menginfeksi manusia secara langsung. Kedua, virus Influenza dapat berpindah-pindah dalam menginfeksi satu spesies ke spesies lainnya. Sebagai contoh, virus AI telah diketahui dapat menginfeksi secara berpindah-pindah dari unggas ke manusia, kucing, cerpelai, anjing laut, kuda dan hewan lainnya. Namun dengan cara ini, biasanya virus tidak mampu beradaptasi dengan baik, tidak bisa melakukan transmisi secara efisien dan segera mati (CFSPH 2008).

Virus Influenza mampu bermutasi sehingga dapat mendukung kemampuan replikasi dan transmisi pada hospes yang baru dan selanjutnya mampu menginfeksi dari satu spesies ke spesies lain secara berpindah-pindah. Meskipun hal ini jarang sekali terjadi, namun dapat berlanjut menjadi epidemi atau pandemi ketika hospes yang terinfeksi tidak memiliki kekebalan terhadap virus tersebut (CFSPH 2008).

AI pada Unggas

Masa inkubasi pada unggas bervariasi mulai dari beberapa jam hingga 2 minggu. Periode waktu tersebut tergantung pada dosis virus yang menginfeksi, rute infeksi dan kepekaan unggas yang terinfeksi (Saidu et al. 2008).


(36)

9

Infeksi pada unggas dapat bersifat ringan atau berat, tergantung dari strain dan Subtipe virus. Virus LPAI biasanya menyebabkan infeksi asimtomatis, penyakit pernafasan ringan atau penurunan produksi telur. Sedangkan virus HPAI sifatnya sangat virulen dan dapat menyebabkan infeksi yang berat pada beberapa unggas. Gejala klinis bervariasi mulai dari sinusitis, lakrimasi, sianotik pada kepala, jengger dan pial, edema kepala dan diare hijau atau putih. Lesi hemoragi dapat terjadi pada jengger dan pial kalkun. Gejala lain berupa anoreksia, batuk, pilek, leleran hidung dan mulut, perdarahan titik pada kaki dan cakar, gejala neurologik, penurunan produksi telur, rusaknya pigmentasi kerabang dan deformitas kerabang. Kematian mendadak dapat terjadi tanpa menunjukkan gejala (CFSPH 2008).

Gambar 3 Pembengkakan dan sianosis yang terjadi pada seekor ayam layer akibat terinfeksi virus HPAI (Bello et al. 2008).

Pada bebek dan angsa gejala klinis jarang sekali muncul. Namun gejala yang umum terjadi pada angsa adalah sinusitis, diare dan peningkatan kematian. Beberapa isolat H5N1 saat ini dapat mengakibatkan penyakit yang parah pada bebek, termasuk disfungsi saraf dan kematian (CFSPH 2008).

Infeksi AI biasanya bersifat subklinis pada burung liar, namun beberapa strain dapat mengakibatkan sakit dan kematian. Virus H5N1 yang merebak sangat terkait dengan angka mortalitas yang tinggi pada unggas liar. Infeksi secara percobaan pada Anas platyrhyncha (sejenis bebek hasil persilangan domestik dengan liar) dapat menimbulkan kelumpuhan, ataksia, tortikolis, berputar-putar dan seizure. Infeksi secara percobaan pada bebek kayu (Aix sponsa) menyebabkan terjadinya kelemahan yang parah, inkoordinasi, mata sembab, bulu kusam,


(37)

konstriksi pupil, tremor, seizure dan kematian. Bebek asli Amerika Utara yaitu Anas platyrhynchos, Anas acuta, Anas crecca dan Aythya Americana tidak menunjukkan gejala klinis pada saat diinfeksi dengan virus H5N1. Di Eropa, angsa dapat mengalami infeksi yang parah apabila terinfeksi H5N1 (CFSPH 2008).

Gejala akibat infeksi H5N1 secara percobaan pernah teramati pada burung camar dan burung psittacine. Burung camar akan mengalami gejala saraf yang parah, kelemahan, mata sembab, bulu kusam, inkoordinasi dan tortikolis. Hampir semua burung camar yang terinfeksi akan mati. Burung camar biasanya akan sembuh total namun akan mengalami kepala miring persisten. Infeksi secara percobaan pada zebra finches akan mengakibatkan depresi dan anoreksia yang berlanjut menjadi kematian dalam waktu 5 hari pasca inokulasi. House finches dan budgerigar akan mengalami anoreksia, depresi, gejala saraf dan mati dengan cepat. Infeksi H5N1 bersifat ringan pada burung gereja karena tidak mengakibatkan kematian dan hanya menimbulkan gejala depresi. Pada burung jalak gejala infeksi tidak muncul (asimtomatis) (CFSPH 2008).

Lesi pada unggas sangat bervariasi dan dapat menyerupai lesi akibat penyakit unggas lainnya. Beberapa lesi yang dapat ditemukan pada unggas yang terinfeksi adalah edema subkutan pada kepala dan leher, penumpukan cairan pada hidung dan rongga mulut (paruh) dan kongesti konjugtiva yang parah. Trakheitis hemoragika dapat terlihat pada beberapa unggas, sementara unggas lainnya dapat menunjukkan lesi berupa eksudat mukus. Pada lemak abdomen, permukaan lapisan serosa dan peritoneum dapat dijumpai adanya perdarahan titik (petechiae). Hemoragi dapat terlihat pada lapisan mukosa proventrikulus, dibawah garis tembolok dan pada mukosa usus. Ginjal dapat mengalami kongesti yang parah dan terkadang berisi endapan urat. Ovarium akan terkena hemoragi atau degenerasi dengan beberapa area sudah mengalami nekrosis. Ruang (cavity) peritoneum sering terisi oleh yolk sebagai akibat dari ovarium yang rupture. Radang peritoneum dan airsacculitis dapat terjadi pada beberapa unggas. Pada unggas yang mati per akut dan unggas muda, lesi yang ditemukan biasanya hanya


(38)

11

sedikit. Pada beberapa kasus, kongesti pada otot dan dehidrasi dapat dijumpai (CFSPH 2008).

Gambar 4 Regresi dan nekrosis ovarium pada ayam ras petelur yang terinfeksi virus HPAI (a) dan ovarium normal (b) (Bello et al. 2008). Di Indonesia, kejadian AI pada unggas secara klinis dan patologis saat ini sulit untuk dikenali, sehingga memerlukan pemeriksaan laboratorium secara langsung. Perubahan tersebut kemungkinan terjadi akibat mutasi virus atau karena unggas yang telah divaksinasi berkontak dengan virus namun antibodi yang tidak terlalu kuat menyebabkan virus tetap bersarang di dalam tubuh unggas dan menyisakan virus pada kotoran sehingga terjadi virus shedding (Anonim 2009).

Virus AI pada unggas disebarkan melalui feses, saliva dan sekresi nasal. Feses dapat mengandung virus dalam jumlah yang sangat banyak sehingga penularan secara fecal-oral merupakan jalur utama penyebaran pada unggas liar (reservoir). Namun demikian, beberapa isolat H5N1 terkini mempunyai jumlah atau kandungan yang lebih banyak pada sampel trakea dibandingkan dengan feses. Hal ini kemungkinan menjadi pertanda bahwa jalur penularan utama virus ini bukan lagi secara fecal-oral pada beberapa spesies. Sekali virus masuk dalam kawanan unggas atau flok, maka virus tersebut akan menyebar dalam peternakan tersebut baik secara fecal-oral dan aerosol terkait dengan letak kandang yang saling berdekatan. Peralatan kandang memegang peranan penting dalam penularan. Lalat dapat berperan sebagai vektor mekanis (CFSPH 2008).


(39)

Unggas liar atau burung liar sebenarnya mempunyai 2 peran dalam hal penyebaran penyakit, yaitu sebagai karier (biologis) dan sebagai vektor mekanis. Sebagai karier, unggas liar tersebut dapat menunjukkan gejala klinis yang akut pada saat terinfeksi Newcastle Disease, Duck Plague dan Pasteurellosis, dan gejala yang kronis ketika terkena Pox serta asimtomatis ketika terkena Influenza dan Salmonellosis. Feses dan eksudat yang berasal dari saluran pernafasan dapat menularkan virus AI, Paramyxovirus, Virus Herpes, C. psittaci, Campylobacter, Salmonella, Mycobacterium avium, P. Multocida dan Clostridium spp. Disamping itu, unggas liar tersebut dapat membawa kutu yang mengandung patogen sehingga dapat turut disebarkan. Dengan potensi sebagai media pembawa penyakit, memusnahkan unggas liar agar tidak menyebarkan agen penyakit bukanlah suatu cara yang tepat. Langkah yang paling tepat untuk mengantisipasi terjadinya penularan dari unggas liar adalah dengan menerapkan biosekuriti yang benar dan sistem surveilans yang baik (Dhama et al. 2008).

Virus AI yang dibawa oleh unggas liar mayoritas adalah kelompok LPAI. Bila unggas liar terserang virus HPAI maka akan menunjukkan gejala klinis dan bahkan dapat mengakibatkan kematian sebagaimana pernah terjadi di China dan Mongolia. Dengan demikian, potensi yang perlu diwaspadai terhadap unggas liar adalah virus LPAI yang dibawanya akan bermutasi menjadi virus HPAI ketika ditularkan pada unggas lokal (Dhama et al. 2008).

Menurut Anaeto dan Chioma (2007), penularan secara langsung dapat terjadi melalui sekresi dan ekskresi dari unggas domestik maupun unggas liar yang terinfeksi. Sedangkan secara tidak langsung penularan terjadi melalui peralatan kandang, sepatu, pakaian, keranjang telur dan perlengkapan lainnya yang tercemar oleh virus.

Unggas yang terinfeksi akan mengeluarkan virus dari tubuhnya pada 2 minggu pertama. Bebek yang terinfeksi dapat mengekskresikan sampai dengan 1010 EID

50 dalam waktu 24 jam. Dengan asumsi bahwa seekor bebek mengekskresikan feses 7,5 10 kg/ tahun dan angsa 12,5-15 kg/ tahun, maka unggas air yang terinfeksi akan mengeluarkan sebanyak 3 x 109 EID


(40)

13

Kamps et al. (2006) dalam 1 gram feses infektif dapat terkandung virus AI sebanyak 108,7 EID

50/gram feses.

Data mengenai daya hidup virus di lingkungan cukup bervariasi. Bebek yang diinfeksi secara buatan dengan virus H5N1 sebanyak 106 EID

50 dalam 1 ml inokulan akan mengekskresikan virus dalam fesesnya sejumlah 2,25-3,75 log10 EID50/ gram feses segar dan kemudian tidak terdeteksi setelah dikeringkan semalaman. Pada feses basah dengan suhu 250C, virus masih dapat dideteksi selama 7 hari namun titernya menurun. Ketika disimpan pada suhu 40C virus masih mampu bertahan dan dapat dideteksi setelah 20 hari. Pada suhu 370C, virus dapat dideteksi pada hari ke 4 dan ke 6 (WHO 2006).

Menurut EPA (2006), virus AI dapat bertahan lebih lama di lingkungan bila terdapat material organik seperti feses atau terpelihara pada suhu yang dingin. Virus H5N1 dapat bertahan selama 7 hari pada suhu ± 210C. Pada media air, virus mampu bertahan pada suhu 00C selama 30 hari dan tahan lebih lama pada kondisi beku. Virus H5N1 dapat bertahan di lingkungan selama 6 hari pada suhu 360C. Virus HPAI juga mampu bertahan hidup selama 7 hari pada suhu 200C. Pada suhu 210C, virus mampu bertahan selama 4 hari dan menjadi lebih lama yaitu 30 hari pada suhu 00C.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa virus yang terkandung dalam feses segar mampu bertahan lama dan tetap infektif pada beberapa kisaran suhu (WHO 2006).

Menurut Kaoud (1999) dan Tablante et al. (2002) dalam Ka-Oud et al. (2008), biosekuriti adalah serangkaian manajemen yang mampu mengurangi masuk dan tersebarnya suatu penyakit yang disebabkan oleh organisme tertentu pada suatu tempat maupun antar suatu tempat. Oleh karena itu, biosekuriti perlu dikombinasikan dengan tindakan sanitasi, disinfeksi, vaksinasi dan strategi penanganan untuk mengeradikasi atau mengurangi patogen sampai pada level yang tidak infeksius. Komponen dari biosekuriti adalah konseptual biosekuriti, struktural biosekuriti dan operasional biosekuriti.

Unggas yang dipelihara dengan tingkat biosekuriti yang rendah dan tidak dipelihara dengan manajemen biosekuriti yang memadai akan lebih rentan untuk


(41)

mengalami penularan infeksi dari burung liar. Namun demikian, setelah infeksi dari burung liar tersebut terjadi dan teradaptasi pada unggas domestik, maka penyebaran lebih lanjut dari virus tersebut menjadi sangat terbatas. Program biosekuriti yang tidak diterapkan dengan baik, tidak adanya pelarangan terhadap unggas dan produknya pada lalu lintas antar daerah dengan kepadatan populasi peternakan unggas yang cukup tinggi (8 tempat/km2) serta kurangnya kesadaran masyarakat merupakan faktor penting yang dapat mengakibatkan terjadinya wabah virus HPAI dan infeksi pada manusia (Kaoud 2008).

Lokasi antar peternakan yang berjarak 1 km dalam waktu 1 hari akan tertular oleh HPAI dari peternakan yang lainnya. Namun pada peternakan yang menerapkan biosekuriti dengan baik, meski jarak dengan peternakan lain yang terserang HPAI hanya 2 km, peternakan tersebut tetap aman dari serangan virus HPAI (Bello et al. 2008).

Menurut Burgos dan Burgos (2007b), vaksinasi pada unggas dapat memberikan hasil yang bervariasi tergantung pada kondisi penerapan di lokasi. Vaksin dapat menurunkan peluang ekskresi virus dan dinamika penularan, meningkatkan resistensi terhadap infeksi dan mengurangi timbulnya gejala klinis. Penerapan strategi vaksinasi dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu rutin, pencegahan dan darurat. Aplikasi vaksinasi rutin diterapkan pada lokasi yang telah endemik dan pengendalian secara tradisional sudah tidak efektif dalam upaya mengeliminasi virus. Vaksinasi pencegahan dilakukan pada lokasi yang mempunyai resiko tinggi terjadi pemasukan HPAI, terutama pada lokasi yang berbatasan langsung dengan daerah wabah. Sementara vaksinasi darurat dilakukan pada lokasi wabah untuk membuat zona penyangga yang mengelilingi lokasi wabah. Vaksinasi darurat dilakukan beriringan dengan program pemusnahan dan dilakukan pada awal pertama penanggulangan wabah.

Vaksinasi telah terbukti nyata mampu menurunkan peluang terjadinya ekskresi virus sehingga penyebaran virus di lingkungan dapat dihindari dan peluang manusia untuk terpapar juga dapat berkurang. Namun demikian, vaksinasi tidak selalu efektif untuk mencegah terjadinya infeksi pada unggas apabila virus HPAI telah masuk dan menginfeksi pada masa-masa awal vaksinasi.


(42)

15

Alasannya adalah, dibutuhkan waktu sekitar 1 minggu untuk dapat melakukan vaksinasi pada seluruh unggas pada suatu peternakan dan diperlukan waktu tambahan 7-14 hari sampai titer antibodi yang dihasilkan cukup protektif untuk menghadapi infeksi dan penularan berikutnya. Jeda waktu tersebut sangat cukup bagi virus untuk dapat menyebar atau disebarkan dengan mudah di lokasi peternakan (Ka-Oud et al. 2008).

Menurut Swayne (2008) dalam Ka-Oud et al. (2008), vaksinasi bukanlah suatu solusi universal dalam pengendalian AI di lapangan. Banyak dijumpai hasil titer yang tidak konsisten terkait dengan kualitas dan aplikasi vaksin yang kurang tepat. Oleh karena itu, ada dua langkah utama yang bisa diterapkan untuk pengendalian AI yaitu penggunaan vaksin inaktif yang efektif dan penerapan ketentuan biosekuriti yang ketat.

AI pada Hewan Mammalia

Infeksi H5N1 yang menimbulkan gejala dan yang asimtomatis juga terjadi pada beberapa spesies mammalia. Infeksi yang fatal pernah terjadi pada harimau, leopard, kucing dan anjing. Harimau dan leopard mengalami gangguan pernafasan yang parah dan demam tinggi sebelum mati. Kucing dapat mengalami demam, depresi, dyspnoe, konvulsi, ataksia dan beberapa kasus berakhir dengan kematian. Sebelum mati kucing juga dapat menunjukkan kondisi yang seolah telah pulih dari gejala dalam waktu 24 jam sebelum hewan ini mati. Kucing yang diinfeksi dengan virus H5N1 secara percobaan akan menunjukkan gejala demam, lethargy, konjungtivitis, pembengkakan kelopak mata, dyspnoe dan akhirnya mati. Secara alami, kucing yang terinfeksi H5N1 akibat kontak dengan angsa yang sakit tidak menunjukkan gejala klinis. Anjing yang memakan unggas yang terinfeksi akan mengalami demam tinggi, gangguan nafas (tersengal-sengal), lesu dan kemudian mati dalam waktu beberapa hari. Namun demikian, beberapa anjing yang diinfeksi secara percobaan tidak menunjukkan gejala klinis (CFSPH 2008).

Menurut Burgos dan Burgos (2007d), kucing yang diinfeksi secara percobaan dengan virus H5N1 intratrakheal disamping menunjukkan gejala sakit juga mampu mengeluarkan dan menyebarkan virus dari dalam tubuhnya melalui droplet saluran pernafasan dan feses. Anjing ras Beagle peka terhadap infeksi


(43)

virus AI H5N1 dan dapat mengeluarkan dan menyebarkan virus melalui saluran pernafasan tanpa menunjukkan gejala klinis. Virus menyerang pada reseptor yang berlokasi di saluran pernafasan bagian bawah, trakhea dan hidung. Terkait dengan hal tersebut maka kucing dan anjing mempunyai potensi sebagai penular virus AI bagi manusia.

Menurut CFSPH (2008), penularan antar hewan secara terbatas pernah terjadi pada harimau kebun binatang, sebagaimana terjadi antar kucing pada infeksi buatan. Secara alami, tidak terjadi penularan antar kucing ketika kucing tersebut terpapar dengan bebek yang sakit atau dengan babi yang dilakukan infeksi buatan. Kajian penularan antar anjing belum pernah dilakukan.

Infeksi secara percobaan pada ferret menimbulkan manifestasi gejala yang bervariasi mulai dari gangguan pernafasan atas ringan sampai dengan berat dan mengakibatkan kefatalan. Patogenesitas bervariasi tergantung dari jenis isolat. Kasus yang berat gejalanya antara lain adalah demam tinggi, kelesuan, anoreksia, penurunan berat badan dan diare. Pada babi yang diinfeksi secara percobaan, akan mengalami gejala gangguan pernafasan yang ringan termasuk batuk, demam dan anoreksia sementara (CFSPH 2008).

2.4 Avian Influenza pada Manusia

Pada manusia, virus AI H5N1 cenderung menyerang pneumocytes dan sel epitel kuboid tak bersilia pada bronkioli ujung dari saluran pernafasan bagian bawah. Pada kucing, karakteristik predileksi pada saluran pernafasan mirip dengan kejadian yang ada pada manusia (Burgos dan Burgos 2007d).

Gejala Flu Burung pada manusia adalah keratokonjungtivitis, demam, infeksi saluran pernafasan yang sangat cepat dan kematian (Anaeto dan Chioma 2007). Disamping itu, gejala klinis yang muncul juga dapat berupa demam tinggi dan gangguan saluran pernafasan atas dengan Influenza biasa sebagai gejala awal. Beberapa penderita dapat mengalami sakit dada, perdarahan hidung dan gusi, gangguan pencernaan seperti diare, muntah dan nyeri perut. Gejala respirasi tidak selalu muncul pada saat dilakukan diagnosa. Seorang penderita infeksi HPAI dapat tidak menunjukkan gejala klinis respirasi, namun mengalami ensefalitis akut, sedangkan seorang penderita yang pernah dilaporkan terinfeksi di Thailand


(44)

17

hanya mengalami demam dan diare ketika terinfeksi oleh virus tersebut. Beberapa penderita akan mengalami gangguan saluran pernafasan bawah segera setelah terinfeksi diantaranya yaitu dyspnoe, radang tenggorokan dan bersuara ketika melakukan inspirasi. Sekresi pernafasan dan sputum berwarna kemerahan. Kebanyakan penderita kondisinya akan memburuk dengan cepat. Pada tahap lanjut, akan terjadi kegagalan multi organ dan koagulasi intravaskular (CFSPH 2008).

Virus HPAI H5N1 yang menginfeksi manusia tidak dengan mudah bisa ditularkan antar manusia. Beberapa ahli menyatakan bahwa virus H5N1 menginfeksi sel saluran pernafasan bagian bawah pada lokasi yang paling dalam sehingga tidak akan mudah dikeluarkan melalui batuk maupun bersin. Penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli lain memperoleh hasil kesimpulan bahwa virus Flu pada manusia hanya mengikat reseptor alfa 2,6 galactose yang ada pada saluran pernafasan manusia dari hidung sampai ke paru-paru. Sementara virus AI cenderung untuk mengikat reseptor alfa 2,3 galactose yang terdapat pada saluran pernafasan unggas namun jarang sekali ditemukan pada manusia. Dengan menggunakan penanda atau marker molekul, telah diketahui bahwa manusia juga memiliki reseptor alfa 2,3 galactose, namun reseptor tersebut terletak di bagian terdalam dan terkecil dari paru yaitu alveoli (Anaeto dan Chioma 2007).

Insidensi kasus AI pada manusia di Indonesia cenderung konsisten terjadi pada usia sampai dengan 30-an tahun. Di Vietnam insidensi kasus juga cenderung konstan pada usia penderita sampai dengan 40 tahun. Sementara di Mesir, insidensi cenderung tidak konstan pada usia tertentu. Hal ini mengindikasikan bahwa keterpaparan memegang peranan penting untuk terjadinya kasus pada manusia. Keterpaparan sendiri bisa dikaitkan dengan resiko pekerjaan atau aktivitas yang dilakukan oleh seseorang (Kaoud 2008).

Pada manusia ada 4 jenis obat antiviral yang biasa digunakan untuk pengobatan penyakit flu yaitu amantadin, rimantadin, zanamivir dan oseltamivir. Oseltamivir pada beberapa pengobatan dapat membantu kesembuhan penderita flu burung bila diberikan dalam waktu 48 jam setelah munculnya gejala klinis.


(45)

Kebanyakan virus H5N1 resisten terhadap amantadin dan rimantadin, sedangkan resistensi terhadap zanamivir dan oseltamivir sangat jarang terjadi (CFSPH 2008). 2.5 Telur sebagai Media Transmisi Virus

Wabah Influenza dapat mengakibatkan orang menjadi takut untuk mengkonsumsi produk unggas, termasuk telur (Akpabio et al. 2007). Industri peternakan unggas dan poduknya memang mempunyai peran yang sangat penting sebagai pemicu dan pembawa virus. Produk unggas seperti daging dan telur dapat terkontaminasi oleh virus ini. Kerabang dapat mengandung virus Influenza menular yang diakibatkan oleh kontaminasi kotoran (Mahardika et al. 2005, Swayne dan Beck 2004).

Pemerintah China melalui Animal Quarantine Service in China (AQSC) menerapkan tindakan karantina yang ketat untuk mendeteksi kemungkinan adanya virus AI yang terbawa oleh unggas dan produknya sebagai upaya untuk mencegah pemasukan penyakit AI dari luar China. Selanjutnya pada tahun 2005, virus Influenza H5N1 pernah berhasil dideteksi oleh AQSC pada 3 telur bebek dan angsa dari total 30 telur yang disita. Air cucian kerabang tersebut memberikan hasil positif adanya virus AI dengan pengujian RT-PCR (Li et al. 2006).

2.6 Disinfeksi

Disinfeksi adalah proses yang ditujukan untuk mematikan organisme berbahaya namun bukan berarti membuat suatu kondisi yang steril. Ada 2 faktor yang berpengaruh penting dan perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan disinfeksi, yaitu waktu kontak dan konsentrasi disinfektan. Pada suatu kondisi yang bisa dianggap konstan dengan mengendalikan faktor lain, maka proses disinfeksi dapat digambarkan melalui persamaan sebagai berikut :

Kill Cn x t (n>0) .(1)

Berdasarkan karakteristik tersebut, maka apabila konsentrasi yang digunakan rendah akan membutuhkan waktu kontak yang lebih lama, sedangkan penggunaan konsentrasi yang tinggi akan membutuhkan waktu kontak yang lebih singkat untuk mematikan suatu mikroorganisme (Reynolds 1982, Sawyer et al. 1994).


(46)

19

Virus Influenza sangat peka terhadap beberapa macam disinfektan antara lain adalah klorin (sodium hipoklorit), 70% etanol, agen pengoksidasi, amonium kuartener, aldehid (formalin, glutaraldehid, formaldehid), fenol, asam, povidon iodine dan pelarut lemak. Agen penyakit ini juga dapat diinaktivasi dengan panas 560C selama 60 menit, radiasi ionisasi dan pH rendah yang ekstrim (pH 2) (CFSPH 2008, EPA 2006).

Keberadaan material organik seperti sekresi hidung dan feses akan membuat virus lebih resisten terhadap aplikasi bahan kimia maupun pengaruh fisik lingkungan, sehingga untuk tujuan disinfeksi material organik tersebut harus dibersihkan terlebih dahulu. Dalam hal efektifitas, virus AI yang terlindungi oleh material organik dapat dibasmi dengan mengunakan formaldehid atau glutaraldehid, beta-propiolactone dan binary ethylenimine. Pada kondisi tanpa adanya material organik, virus dapat dibasmi dengan menggunakan fenol, ion amonium, agen pengoksidasi (klorin), asam terlarut dan hydroxylamine (Swayne dan Halvorson 2003 dalam EPA 2006).

2.7 Klorin dan Klorinasi Klorin

Klorin merupakan elemen kimia dengan simbol CI yang tergolong dalam keluarga halogen. Berat atom klorin adalah 35,457. Klorin tidak dijumpai di alam dalam bentuk murni namun diperoleh dengan cara melakukan elektrolisis larutan garam atau dengan proses oksidasi hydrogen chloride (HCl). Bentuk klorin sebagai gas berwarna kuning kehijauan dan mempunyai berat 2,5 kali lebih berat daripada udara yaitu 3,2 g/l pada suhu 00C dan tekanan 101,3 kPa. Klorin dalam bentuk cair adalah sodium hypochlorite (NaOCl) dan banyak dijual sebagai pemutih. Konsentrasi sediaan komersialnya adalah berkisar antara 5-15%. Sementara sediaan padat klorin adalah calcium hypochlorite (Ca(OCl)2), merupakan sediaan klorin yang mudah digunakan dan mudah ditransportasikan. Kedua bentuk sediaan tersebut harus disimpan dengan baik agar tidak mengalami kerusakan karena klorin tidak stabil di lingkungan termasuk di dalam air, sehingga seiring dengan berjalannya waktu kandungan klorin dalam suatu larutan akan terus menurun. Senyawa klorin dalam bentuk cair harus terlindung dari panas,


(47)

cahaya, pH dan keberadaan kation logam berat. Sedangkan sediaan padat harus terlindung dari panas, material organik dan kelembapan (FPTCDW 2007).

Klorin termasuk salah satu jenis disinfektan yang paling sering digunakan secara luas karena mempunyai sifat efektif pada konsentrasi rendah, mudah digunakan dan memiliki bentuk residual pada dosis penggunaan yang diinginkan. Kemampuan disinfeksi klorin terletak pada kemampuannya sebagai agen oksidasi kuat. Klorin akan mengoksidasi enzim-enzim sel mikroba yang sangat penting dalam proses metabolisme sel mikroba (Reynolds 1982).

Sebagai disinfektan, klorin efektif terhadap berbagai jenis agen penyakit baik virus beramplop maupun tidak beramplop, cendawan, bakteri dan alga (Ivanov 2008).

Secara ekonomis untuk mendapatkan 1 liter larutan klorin 0,5%, dibandingkan sodium hipoklorit dan bentuk sediaan lainnya, kaporit merupakan bahan pelepas klorin yang paling terjangkau. Dalam kondisi normal, kaporit yang telah dilarutkan akan meninggalkan endapan dalam larutan (Anonim 1996).

Kalsium hipoklorit yang merupakan bentuk sediaan kering dari preparat klorin, bila dicampur dengan air akan terionisasi dan menghasilkan ion hipoklorit sebagai berikut :

Ca(OCl)2 Ca2+ + 2OCl- (2)

Ion hipoklorit yang dihasilkan pada persamaan reaksi (1) selanjutnya akan membentuk keseimbangan dengan ion hidrogen ketika klorin atau hipoklorit ditambahkan dalam air. Derajat keasaman mempunyai pengaruh dalam keseimbangan jumlah ion hipoklorit dan asam hipoklorit (Sawyer et al. 1994).

Asam hipoklorit dan ion hipoklorit keduanya memiliki kemampuan disinfeksi. Namun, senyawa dalam bentuk asam lebih efektif daripada ion. Keduanya akan bereaksi dengan material organik dan inorganik yang terkandung dalam air (Reynolds 1982).

Dalam penggunaan klorin, perlu dipertimbangkan beberapa aspek yang berkaitan dengan sifat oksidasi klorin yaitu dosis, demand dan residual. Dosis klorin adalah jumlah keseluruhan klorin yang dipergunakan. Demand adalah


(48)

21

jumlah klorin yang telah terpakai atau bereaksi oksidasi dengan material tertentu. Residual klorin adalah jumlah yang masih ada atau masih tersisa setelah proses oksidasi berlangsung (Reynolds 1982). Dengan demikian demand klorin dapat diukur dan dihitung dengan mengurangkan dosis dengan residual (Sawyer et al. 1994).

Klorin aman terhadap kesehatan manusia dan tidak termasuk dalam kategori senyawa yang dapat mengakibatkan kanker karena tidak ada bukti yang cukup, baik pada hewan percobaan maupun kejadian kasus pada manusia (IARC 1991 dalam AISE 1997).

Konsumsi klorin 20 ppm terbukti secara ilmiah tidak menimbulkan gangguan metabolisme lemak dan tiroid dalam tubuh manusia. Kandungan klorin 50 ppm apabila dikonsumsi oleh manusia juga tidak mengakibatkan sakit ataupun gangguan kesehatan. Sementara itu, konsumsi air dengan kandungan klorin lebih kurang 32 ppm selama beberapa bulan juga tidak mengakibatkan efek gangguan kesehatan. Konstriksi kerongkongan dan iritasi pada mulut dan kerongkongan baru terjadi apabila manusia mengkonsumsi air yang mengandung klorin lebih dari 90 ppm (FPTCDW 2007).

Meski demikian, pekerja industri perunggasan yang menggunakan klorin sebagai disinfektan rentan terhadap kejadian iritasi mata dan gangguan saluran pernafasan atas karena gas klorin yang mungkin mengkontaminasi ruangan (King et al. 2004).

Klorinasi

Klorinasi pada awalnya merupakan suatu teknik disinfeksi yang diterapkan pada sumber air, bahkan sampai dengan saat ini. Teknik ini pertama kali diterapkan sekitar tahun 1850 yang mana pada waktu tersebut mulai diketahui bahwa air dapat berperanan penting dalam penyebaran suatu penyakit, sehingga diperlukan suatu perlakuan yang dapat mengatasi permasalahan tersebut (Sawyer et al. 1994).

Pada industri pengolahan air, jenis-jenis klorin yang dapat digunakan adalah gas klor dengan kandungan klor aktif minimal 99%, kaporit dengan kandungan klor aktif minimal 60-70% dan sodium hipoklorit dengan kandungan klor aktif


(49)

minimal 15%. Dosis klor ditentukan melalui perhitungan jumlah klor yang dikonsumsi air, dimana besarannya tergantung pada kualitas air bersih yang diproduksi serta sisa klor sebagai residual klorin yaitu 0,25-0,35 ppm (RSNI3b 2007).

Dalam perkembangannya, klorin juga digunakan untuk mendisinfeksi komoditi hasil pertanian. Pada industri pangan, belum ada sanitiser lain yang dapat menggantikan peran klorin. Larutan klorin digunakan untuk mencuci dan memilah buah-buahan dan sayuran, mencegah kontaminasi patogen pada daging (sapi, unggas) dan telur. Kombinasi klorin dan deterjen sering digunakan pada industri telur konsumsi untuk menghilangkan kontaminasi dan membersihkan permukaan kerabang (AISE 1997, CCC 2002).

Klorin yang digunakan untuk mendisinfeksi karkas sapi kandungan total klorin dalam setiap liternya adalah 20 ppm atau dengan kandungan asam hipoklorit 10 ppm yang selanjutnya diikuti dengan pembilasan untuk menghilangkan residu yang mungkin tersisa. Karkas ayam juga sering diberi perlakuan dengan klorin baik dengan cara direndam, di semprot ataupun dicuci dengan air yang mengandung 20-50 ppm total klorin atau 10 ppm asam hipoklorit, diikuti dengan pembilasan. Residu klorin pada bahan pangan belum pernah ditemukan. Karena sifatnya yang mudah larut dan sangat reaktif, maka klorin tidak akan terakumulasi atau mengalami biokensentrasi pada rantai makanan (FPTCDW 2007).

Menurut CAC (2000), disinfeksi komoditi pertanian untuk karkas broiler dosis klorin yang digunakan adalah 30 ppm, telur konsumsi dosisnya 100-200 ppm, buah dan sayur 50-200 ppm (maksimum 2000 ppm untuk washing) dan ikan 10 ppm.

Desinfeksi telur dengan metode imersi, direkomendasikan di Belgia untuk mendisinfeksi permukaan kerabang yang terkontaminasi oleh cendawan dan kapang (Ivanov 2008).

Di Amerika Utara, pemasok telur konsumsi melakukan pencucian dan disinfeksi permukaan telur konsumsi dengan menggunakan klorin. Hal ini


(50)

23

dilakukan untuk mengeliminasi kemungkinan cemaran virus LPAI maupun HPAI akibat kotoran atau feses yang menempel pada permukaan kerabang (IAFP 2005). Menurut Rice et al. (2007), klorin dapat menginaktivasi virus AI H5N1. Dengan jumlah residual klorin bebas 0,52-1,08 mg/l sudah cukup untuk mematikan 5,26-5,32 log10 TCID50/ml virus H5N1 yang terkandung pada cairan alantois dalam waktu 1 menit.

Air yang diklorinasi tidak terbukti bersifat karsinogenik, demikian juga dengan klorin baik dalam sediaan padat maupun cair (IARC 1997). Namun demikian, apabila klorin yang larut dalam media air bertemu dengan humic substance akan menghasilkan senyawa trihalometan yang dapat berpotensi karsinogenik (Sawyer et al. 1994)

2.8 Telur Ayam Ras Konsumsi

Telur merupakan bahan pangan alami yang mempunyai banyak kegunaan pada produk makanan. Albumen (putih telur) merupakan komponen telur yang sering digunakan sebagai agen pengikat atau pelekat pada industri pangan. Sedangkan yolk (kuning telur) merupakan komposisi lipoprotein pada telur dalam bentuk yang teremulsi (Jones 2007). Telur merupakan bahan pangan yang paling disukai oleh hampir seluruh orang di dunia. Kandungan nutrisinya sangat lengkap dan mempunyai banyak manfaat bagi tubuh baik untuk pertumbuhan, perkembangan, laktasi maupun reproduksi. Menurut Akpabio et al. (2007), telur mempunyai kandungan air sebanyak 78%, protein 13-14%, lemak 10-15%, karbohidrat 1-2% dan abu 1%.

Menurut Abanikannda dan Leigh (2007), telur disusun oleh putih telur, kuning telur dan kerabang dengan komposisi masing-masing adalah lebih kurang 58%, 31% dan 11% dari berat telur secara berurutan. Putih telur merupakan komponen yang mengandung lebih dari separoh total protein telur, sedangkan kuning telur mengandung total lemak dan hampir seluruh vitamin telur.

Kerabang merupakan bagian telur yang paling keras dan kaku. Fungsinya adalah sebagai pelindung isi telur dari kontaminasi mikroba. Kerabang memiliki ribuan pori-pori yang berfungsi sebagai jalur pertukaran gas. Pori-pori tersebut memiliki ukuran 0,01-0,07 mm dan tersebar di seluruh permukaan kerabang.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abanikannda OTF, Leigh AO. 2007. Allometric Relationships Between Composition and Size of Chicken Table Eggs. International Journal of Poultry Science. 6(3): 211-217.

AkpabioAI, Okon DP, Angba AO, Aboh CL. Avian Influenza Scare and Poultry Egg Production in Uyo Urban, Nigeria. International Journal of Poultry Science. 6(4): 298-301.

Anaeto M, Chioma G. 2007. Avian Influenza in Nigeria: Suggestions for Eradication. International Journal of Poultry Science. 7(5): 367-371.

Anderson KE, Tharrington JB, Curtis PA, Jones FT. 2004. Shell Characteristics of Eggs from Historic Strains of Single Comb White Leghorn Chickens and the Relationship of Egg Shape to Shell Strength. International Journal of Poultry Science. 3(1): 17-19.

Anonim. 1996. Penggunaan Disinfektan. Edisi 1. Practical Pharmacy. http://www.angelfire.com/id/piogama/Practical Pharmacy2.html. [10 Dec 2007].

Anonim. 2009. Virus AI Tidak Terdeteksi. Kompas.Com. http : / / www . kompas . com / read/xml/2009/01/13/08053829/ai.tak.terdeteksi. [13 Jan 2009].

[AFFA] Agriculture, Fisheries and Forestry Australia. 2000. The Importation of Non-Viable Eggs and Products Containing Egg. Technical Issues Paper. [AISE] Association Internationale de la Savonnerie, de la Détergence et des

Produits Entretien, Technical Task Force Hypochlorite. 1997. Benefits and Safety Aspects of Hypochlorite Formulated In Domestic Products. Scientific Dossier.

[BARANTAN] Badan Karantina Pertanian. 2003. Laporan Tahunan. Pusat Karantina Hewan, Badan Karantina Pertanian, Departemen Pertanian.

[BARANTAN] Badan Karantina Pertanian. 2007. Laporan Tahunan. Badan Karantina Pertanian, Departemen Pertanian.

Bello M, Lukshi BM, Sanusi M. 2008. Outbreaks of Highly Pathogenic Avian Influenza (H5N1) in Bauchi State, Nigeria. International Journal of Poultry Science. 7(5): 450-456.

Burgos S, Burgos SA. 2007a. Refocusing and Reshaping of Highly Pathogenic Avian Influenza Preventive Strategies in Rural Settings. International Journal


(2)

Burgos S, Burgos SA. 2007b. National Vaccination Campaigns Against Highly Pathogenic Avian Influenza Outbreaks in Developing Nations. International Journal of Poultry Science. 6(7): 531-534.

Burgos S, Burgos SA. 2007c. Influenza A Viruses in Poultry: A Condensed Review. International Journal of Poultry Science. 6(10): 705-708.

Burgos S, Burgos SA. 2007d. Reports of Avian Influenza H5N1 in Cats and Dogs. International Journal of Poultry Science. 6(12): 1003-1005.

Burgos S, Burgos SA. 2007e. Avian Influenza Outbreaks in Southeast Asia Affects Prices, Markets and Trade: A Short Case Study. International Journal of Poultry Science. 6(12): 1006-1009.

Burgos S, Burgos SA. 2008. HPAI H5N1 in Europe 2007: Poultry and Wild Birds. International Journal of Poultry Science. 7 (1): 97-100.

[CAC] Codex Alimentarius Commission. 2000. Discussion Paper on The Use of Chlorinated Water. FAO and WHO.

[CCC] Chlorine Chemistry Council. 2002. Chlorine and Food Safety White Paper. http://www.americanchemistry.com/s_chlorine/doc.asp?CID=1199&DID=455 8. [10 Dec 2007].

[CFSPH] The Center for Food Security and Public Health. 2008. Highly Pathogenic Avian Influenza. Iowa State University, Institute for International Cooperation in Animal Biologics, an OIE Collaborating Center.

Davis C, Reeves R. 2002. High Value Opportunities from The Chicken Egg. A Report for The Rural Industries, Research and Development Corporation. Dhama K, Mahendran M, Tomar S. 2008. Pathogens Transmitted by Migratory

Birds: Threat Perceptions to Poultry Health and Production. International Journal of Poultry Science. 7(6): 516-525.

[EPA] US Environmental Protection Agency. 2006. Disposal of Domestic Birds Infected by Avian Influenza-An Overview of Considerations and Options. EPA530-R-06-09.

[FPTCDW] Federal Provincial Territotial Committee on Drinking Water. 2007. Chlorine in Drinking Water. Health Canada.

Harahap EU. 2007. Kajian Pengaruh Bahan Pelapis dan Teknik Pengemasan Terhadap Perubahan Mutu Telur Ayam Buras Selama Transportasi dan Penyimpanan [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.


(3)

Hasan I. 2006. Analisis Data Penelitian dengan Statistik. Cetakan kedua. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Hitchner SB, Charles C, Domermuth H, Purchase HG, Williams JE. 1975. Isolation and Identification of Avian Pathogens. American Association of Avian Pathologists. New York: Arnold Printing Corporation.

Hunton P. 2005. Research on Eggshell Structure and Quality : An Historical Review. Brazilian Journal of Poultry Science. 7(2): 67-71.

[IAFP] International Association for Food Protection. 2005. Special Report, Perspectives on Avian Influenza Risk Management for Food Safety Professionals.http://www.foodprotection.org/AvianFluPresentations/Avian%2 0Influenza%20Scientific%20Brief.pdf [10 Oct 2007].

IARC] International Agency for Research on Cancer, World health Organization. 1997. Chlorinated Drinking-water; Chlorination By-products; Some other halogenated Compounds; Cobalt and Cobalt Compounds. IARC Monographs on the Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans. Vol.52.

Ingram DR, Hatten III LF, Homan KD. 2008. A Study on the Relationship Between Eggshell Color and Eggshell Quality in Commersial Broiler Breeders. International Journal of Poultry Science. 7(7): 700-703.

Ivanov I. 2008. Disinfection of Eggs Contaminated with Some Fungi and Moulds. Trakia Journal of Science. 6(1): 98-101.

Jones DR, Northcutt JK. 2005. A Survey of Common Practices in Shell Egg Processing Facilities and Water Use. International Journal of Poultry Science. 4(10): 734-736.

Jones DR, Musgrove MT, Caudill AB, Curtis PA, Northcutt JK. 2005. Microbial Quality of Cool Water Washed Shell Eggs. International Journal of Poultry Science. 4(12): 938-943.

Jones DR. 2007. Egg Functionality and Quality During Long-Term Storage. International Journal of Poultry Science. 6(3): 157-162.

Kamps BS, Hoffmann C, Preiser W. 2006. Influenza Report 2006. Paris: Flying Publisher. http://www.Influenzareport.com/Influenzareport2006.pdf. [10 Oct 2007].

Kaoud HA. 2008. Eco-Epidemiologic Impacts of HPAI on Avian and Human Health in Egypt. International Journal of Poultry Science. 7(1): 72-76.


(4)

Ka-Oud HA, Zakia MA, Kamel MM. 2008. Evaluation of the Immune Response in AI Vaccinated Broiler Chickens: Effect of Biosecurity Faults on Imune Response. International Journal of Poultry Science. 7(4): 390-396.

King B, Warren A, Mueller C. 2004. Health Hazard Evaluation Report. Abstract. National Institute for Occupational Safety and Health.

Li Y et al. 2006. Detection of Hong Kong 97-like H5N1 Influenza Viruses from Eggs of Vietnamese Waterfowl. Arch Virol. 151:1615-1624.

Mahardika IGNK, Kencana GAY, Sibang M, Suardana IB, Winaya IBO. 2005. Aspek Epidemiologi Virus Avian Influenza: Sifat Virus dan Peran Berbagai Spesies Hewan dalam Genesis Pandemi. Seminar dan Lokakarya Strategi Pencegahan dan Penanggulangan Avian Influenza (H5N1) pada Manusia di Bali. UPLEK FK UNUD dan WHO Indonesia.

Monira KN, Salahuddin M, Miah G. 2003. Effect of Breed and Holding Period on Egg Quality Characteristics of Chicken. International Journal of Poultry Science. 2(4): 261-263.

Nooruddin GM, Hossain MT, Mohammad M, Rahman MM. 2006. Sero-Epidemiology of Avian Influenza Virus in Native Chicken in Bangladesh. International Journal of Poultry Science. 5(11): 1029-1033.

Northcutt JK, Jones DR, Ingram KD, Hinton A, Musgrove Jr. and MT. 2004. Airborne Microorganisms in Commersial Shell Egg Processing Facilities. International Journal of Poultry Science. 3(3): 195-200.

[OIE] Office Internationale dez Epizooties. 2005. Avian Influenza. Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial Animals. Chapter 2.7.12. http:// www. oie.int /eng /normes /mmanual /A_ 00037.htm. [05 Feb 2008].

[OIE] Office Internationale dez Epizooties. 2008. Avian Influenza. Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial Animals. Chapter 6.3.8. http : // www . oie. Int / eng/normes/mcode/en_chapitre_1.6.3.htm # chapitre_1.6.3. [01 Des 2008].

Reynolds TD. 1982. Unit Operations and Processes in Environmental Engineering. Brooks/Cole Engineering Division, A Division of Wadsworth Inc. Monterey, California. Hal.527-532.

Rice EW, Adcock NJ, Sivaganesan M, Brown JD, Stallknecht DE, Swayne DE. 2007. Inactivation of Highly Pathogenic Avian Influenza Virus (H5N1). Emerging Infectious Diseases. 13:1568-1570.

[RSNI3a] Rancangan Standar Nasional Indonesia 3. Telur Ayam Konsumsi. Badan Standardisasi Nasional. RSNI3 3926:2008.


(5)

[RSNI3b] Rancangan Standar Nasional Indonesia 3. 2007. Tata Cara Perencanaan Unit Paket Instalasi Pengolahan Air. Badan Standardisasi Nasional. ICS 91.140.60. RSNI 6674:2007.

Saidu et al. 2008. Impact of Avian Influenza in Some States of Nigeria. International Journal of Poultry Science. 7(9): 913-916.

Sawyer CN, McCarty PL, Parklin GF. 1994. Chemistry for Environmental Engineering. 4th Edition. New York: McGraw-Hill Inc. Hal. 493-508.

Srikaeo K, Hourigan JA. 2002. The Use of Statistical Process Control (SPC) to Enhance The Validation of Critical Control Points (CCPs) in Shell Egg Washing. Food Control. 13:263-273.

Swayne DE, Beck JR. 2004. Heat Inactivation of Avian Influenza and Newcastle Disease Viruses in Egg Products. Avian Pathology. 33:512-518.

[WHO] World Health Organization. 2006. Review of Latest Available Evidence on Potential Transmission of Avian Influenza (H5N1) through Water and Sewage and Ways to Reduce The Risks to Human Health. Public Health and Environment, Geneva. [29 Nov 2007].

Yakubu A, Ogah DM, Barde RE. 2008. Productivity and Egg Quality Characteristics of Free Range Naked Neck and Normal Feathered Nigerian Indigenous Chickens. International Journal of Poultry Science. 7(6): 579-585.


(6)