12 Berikut ini ada beberapa hambatan yang dialami wanita ketika
mengembangkan kariernya Daeng, Hartati dan Widyastuti, 2005: 1.
Faktor penghambat dari dalam, yakni berupa: sikap dari wanita sendiri yang enggan untuk meningkatkan prestasi karena takut akan
konsekuensi negatif dari prestasi yang akan dicapainya. Contohnya: ketakutan akan anak dan suami tidak terurus.
2. Faktor dari luar: adanya pandangan masyarakat yang masih
menganggap bahwa wanita lebih rendah daripada pria sehingga kurang dipercaya untuk menduduki jabatan tertentu. Selain itu,
kurangnya dukungan dari suami juga menjadi faktor penghambat.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti mengenai wanita karier diperoleh hasil, yakni diketahui bahwa wanita
karier yang sudah menikah memiliki peran ganda. Peran sebagai wanita karier dan peran sebagai ibu rumah tangga yang mengurus suami dan
anak-anak. Oleh karena itu, peran ganda ini memicu adanya dampak bagi seorang wanita karier yang sudah menikah, yakni berkurangnya
waktu dan perhatian terhadap suami dan anak Daeng, Hartati dan Widyastuti, 2005.
2. Melajang
Lajang atau hidup sendiri single, yakni orang yang tidak menikah, sedang tidak terlibat hubungan romantis dengan lawan jenis
13 dan juga tidak memiliki teman yang tinggal dan hidup bersama di
tempat tinggal yang sama. Melajang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai hidup melajang atau hidup sendiri. Dariyo
2004 menambahkan bahwa hidup sendiri adalah salah satu pilihan hidup yang ditempuh oleh seorang individu. Hidup sendiri berarti ia
sudah memikirkan resiko-resiko apa saja yang akan timbul sehingga mau tidak mau ia harus siap menanggung segala kerepotan yang
muncul dalam perjalanan hidupnya Hal ini berarti bahwa melajang atau lajang adalah seseorang yang hidup sendiri dan tidak menikah Stein,
1976, dalam Sutanto Haryoko, 2010 ; kbbi, 2015; dan Dariyo, 2004. Seorang wanita yang masih lajang atau melajang dengan statusnya
mereka memperoleh keuntungan, yakni: kebebasan, kesenangan, waktu untuk membangun sebuah persahabatan, dan adanya kepuasan akan
materi yang dapat dinikmati sendiri Rouse, 2006, dalam Sutanto dan Haryoko, 2010. Wanita lajang dapat memperoleh rasa keintiman
melalui hubungan pertemanan yang di dalamnya terdapat kasih sayang, komitmen, dan dapat berlangsung hingga waktu yang lama Peter Stein,
1981, dalam Sutanto dan Haryoko, 2010. Berikut Shostack dalam Pratiwi, 2007 menjabarkan beberapa tipe
wanita lajang: 1.
Ambivalent Tipe ini merupakan individu yang secara suka rela
melajang dan menganggap kesendiriannya adalah sementara. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14 Mereka tidak mencari pasangan untuk menikah, tetapi tetap
terbuka dengan rencana-rencana menikah. Biasanya wanita dengan tipe ini lebih mengutamakan pendidikan, karier, dan kesenangan.
2. Wishful
Individu yang termasuk dalam tipe ini adalah mereka yang aktif mencari pasangan, akan tetapi belum menemukan yang cocok.
Dengan kata lain, mereka sudah siap untuk menikah. 3.
Resolve Tipe ini adalah individu yang melajang dikarenakan pilihan
mereka sendiri, seperti: romo atau pastor, biarawan, biarawati, dan sebagainya.
4. Regretful
Tipe ini sebenarnya mereka memilih untuk menikah. Akan tetapi karena menyerah pada nasib, mereka tidak bisa menikah.
Misalnya saja mereka yang memiliki cacat secara fisik maupun psikis, kaum lesbian, dan sebagainya.
Berikut ini terdapat alasan menurut para ahli mengapa wanita melajang: 1.
Kehidupan pribadi yang bebas Dariyo 2004 mengatakan bahwa wanita ingin menjalani
hidup secara bebas. Hidup sendiri dipilih seseorang untuk menyenangkan diri sendiri tanpa diganggu dengan kehadiran orang
lain. Pilihan apapun yang dilakukan diharapkan dapat memenuhi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15 kebutuhan diri mereka sendiri. Artinya, seseorang dapat bebas
menentukan jalan hidupnya sendiri tanpa diganggu. Hidup sendiri merupakan pilihan yang harus dijalani sepanjang hidupnya dengan
menerima konsekuensi positif dan negatif. Serupa dengan Wulandari, Nurlasam dan Ibrahim 2015 yang mengatakan bahwa
wanita ingin menjalani kehidupan yang pribadi secara bebas. Sejalan dengan feminisme liberal, yakni pandangan untuk
menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Perempuan juga harus menuntut haknya tanpa
harus bergantung pada laki-laki. Hurlock 1990, dalam Noviana dan Suci, 2010 menambahkan bahwa adanya gaya hidup yang
menggairahkan juga dapat mempengaruhi wanita untuk melajang. Artinya, gaya hidup yang bisa dinikmati sendiri tidak ada yang
mengatur dirinya kapan harus berada di rumah tepat waktu.
2. Besarnya peluang untuk meningkatkan jenjang karier.
Dariyo 2004 mengatakan bahwa wanita karier terlanjur memikirkan karier pekerjaan tidak menutup kemungkinan, individu
yang mencapai jenjang karier tinggi akan merasa kesulitan memperoleh jodoh yang diharapkan karena tidak sesuai dengan
kriteria yang diinginkan. Akhirnya, setelah lama tidak menemukan pasangan yang sesuai, maka ia sibuk dengan kariernya. Hal
tersebut didukung dengan pernyataan dari Nursalam dan Ibrahim PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16 2015 yang mengatakan bahwa wanita karier terlalu memikirkan
karier dan pekerjaannya. Dalam terori feminisme, kaum wanita ingin memperjuangkan haknya agar dapat setara dengan laki-laki.
Hal ini semakin didukung dengan perkembangan jaman yang mengakibatkan semakin meningkatnya kesetaraan gender antara
perempuan dan laki-laki. Hurlock 1990, dalam Noviana dan Suci, 2010 menambahkan faktor yang serupa, yakni adanya keinginan
untuk meniti karier dan senang berpergian. Meniti karier yang disenangi dapat menjadikan wanita karier menikmati dan ingin
memperoleh kedudukan yang lebih. Selain itu, senang berpergian kemanapun yang diinginkan merupakan hal yang menyenangkan
untuk menikmati hasil kerja keras sendiri.
3. Ketidakcocokan dengan lawan jenis.
Dariyo 2004 berpendapat bahwa wanita karier menunda untuk menikah karena adanya perasaan trauma pada masa lalu.
Perasaan yang dipermainkan oleh kekasih menjadi penyebab munculnya perasaan takut untuk membangun rumah tangga.
Akibatnya, mereka merasa takut untuk membentuk kehidupan rumah tangga. Selain itu, ada yang berpandangan bahwa dengan
hidup berumah tangga berarti akan melahirkan, mengurusi, mendidik anak-anak, dan mengurus pasangan. Hal ini berarti, ia
tidak dapat berkonsentrasi mencapai keinginan yang dicita- PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17 citakannya. Faktor yang hampir serupa menurut Hurlock 1990,
dalam Noviana dan Suci, 2010, yakni sering gagal dalam mencari pasangan hidup dan tidak pernah bertemu dengan laki-laki yang
sesuai dengan kriteria Nanik dan Hendriani, 2016. Sering gagal mencari pasangan dikarenakan adanya kriteria tertentu yang kurang
sesuai dengan apa yang diharapkan. Oleh karena itu, wanita karier sulit mendapatkan pasangan.
4. Trauma perceraian.
Dariyo 2004 mengatakan bahwa adanya pilihan untuk menunda pernikahan disebabkan karena trauma perceraian. Bagi
sebagian orang perceraian merupakan hal yang biasa. Kerap kali setelah menikah tidak lama kemudian perkawinan hancur karena
masing-masing pasangan memilih hidup sendiri. Bagaimanapun peristiwa perceraian memberikan dampak luka batin yang tidak
mungkin dilupakan seumur hidup, baik wanita maupun pria. Dengan hidup sendiri, seseorang merasa bebas menikmati seluruh
aktivitas yang dilakukan tanpa memperoleh gangguan dari pihak lain. Hurlock 1990 menambahkan faktor lain, yakni kekecewaan
di masa lalu yang dialami dalam keluarga dengan pengalaman pernikahan dan kehilangan kepercayaan dalam dirinya terhadap
pernikahan karena trauma masa lalu orang tua Nanik dan Hendriani, 2016. Kecewa di masa lalu terhadap pengalaman
18 pernikahan menjadikan seseorang untuk berhati-hati dalam
menjalin hubungan kembali dengan lawan jenis. Adanya rasa takut dalam diri sendiri apabila terulang kembali ketika menjalin
hubungan baru.
5. Perasaan dibutuhkan oleh keluarga di rumah.
Wulandari, Nursalam dan Ibrahim 2015 mengatakan bahwa adanya perasaan dibutuhkan oleh keluarga di rumah
menjadikan wanita karier menunda pernikahan. Sejak kecil orang tua selalu merawat anaknya. Inilah saatnya membalas jasa orang
tua. Adanya rasa kasihan pada orang tua menjadikan seseorang untuk lebih bertanggung jawab. Hal ini didukung juga dengan
peryataan dari Hurlock 1990 yakni wanita karier menganggap dirinya mempunyai tanggung jawab dan waktu untuk orang tua dan
saudara-saudaranya.
6. Kenyamanan untuk hidup sendiri tanpa pasangan.
Kartono 2006 mengatakan bahwa adanya sikap
egosentrisme atau narsisme yang berlebihan pada diri wanita karier. Cinta yang berlebihan pada diri sendiri. Cinta diri atau
narsisme adalah hal wajar, bahkan sangat perlu untuk mempertahankan harga diri. Apabila berlebihan, akan sulit untuk
menyesuaikan diri dengan orang lain. Yang kedua adalah musim PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19 pasang dari kebudayaan. Adanya perubahan secara teknologi dan
kepandaian manusia yang lama kelamaan melupakan agama dan hanya menjadikan individu semakin individualis. Wulandari,
Nursalam dan Ibrahim 2015 menambahkan bahwa adanya prioritas-prioritas kehidupan lainnya. Kebanyakan dari mereka
yang masih lajang mengatakan bahwa menikah bukanlah satu- satunya sumber kebahagiaan. Apalagi saat ini perkawinan tidak
selamanya bahagia karena semakin banyaknya kekerasan dalam rumah
tangga, poligami,
dan perceraian.
Sumber lain
menambahkan terlalu lama sandiri sehingga sudah nyaman dengan keadaan yang dialaminya Nanik dan Hendriani, 2016.
7. Masalah ideologi dan panggilan agama.
Individu yang mempercayai suatu kepercayaan tertentu ideologi politik atau agama tertentu dan berusaha untuk
mempertahankan keyakinan tersebut, ia memilih untuk tidak menikah. Rasul Paulus salah satu contoh orang yang melakukan
kehidupannya sendiri. Orang yang memilih untuk hidup selibat dianggap sebagai orang yang mempunyai keputusan untuk hidup
suci karena sepanjang hidupnya tidak akan pernah menikah dan tidak akan pernah melakukan hubungan seks dengan siapapun
Dariyo, 2004. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20 8.
Tidak pernah mencapai usia kematangan sebenarnya. Kematangan bukan semata-mata hanya mental dan fisik
saja, akan tetapi juga harus mencapai kematangan secara sosial, seperti mampu beradaptasi pada lingkungan sosial di tengah
masyarakat dan mengintegrasikan diri di tengah masyarakat. Kematangan ini sudah seharusnya dimiliki oleh setiap individu
karena berguna untuk menjalin hubungan dengan orang lain dan juga pasangan setelah menikahKartono, 2006.
9. Ketakutan akan munculnya konflik dalam keluarga.
Banyaknya kekerasan dalam rumah tangga dan berujung pada perceraian. Pengalaman rekan kerja yang sudah berkeluarga
mengenai kehidupan ekonomi dan kebutuhan anak untuk bersekolah juga menjadikam pertimbangan seseorang untuk
menikah Nursalam dan Ibrahim 2015.
10. Identifikasi secara ketat terhadap orang tua.
Adanya kelekatan dengan orang tua dari usia kanak-kanak yang menjadikan seorang wanita dewasa sulit menemukan
pasangan atau calon suami yang sesuai dengan dirinya. Setiap kali ia bertemu dengan seorang pria selalu saja hasilnya kurang sukses
karena ia selalu terbayang dengan sosok ayahnya. Wanita yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21 seperti ini tidak akan bisa terlalu lama terpisah dari ayahnya.
Lama-kelamaan akan sulit mendapatkan pasangan Kartono, 2006.
11. Anggapan bahwa diri tidak menarik.
Menurut Hurlock 1990, dalam Noviana dan Suci, 2010, dengan usia yang sudah seharusnya menikah, wanita lajang merasa
tidak memiliki ketertarikan khusus pada dirinya. Hal ini disebabkan oleh adaya rasa kurang percaya diri untuk tampil di
depan orang lain terutama denagan lawan jenis.
C. KONFLIK INTERPERSONAL