adanya peluang dalam situasi apapun dan mampu mengatasi berbagai konflik. Orang-orang yang benar-benar mengoptimalakan EQ, akan lebih
jeli dalam melihat sebuah peluang. Ia lebih cekatan dalam bertindak dan lebih punya inisiatif. Atau ia akan lebih siap dalam melakukan negosiasi
bisnis. Lebih mampu melakukan langkah strategis bisnisnya, memiliki kepekaan, daya cipta, dan komitmen yang tinggi. http:www.
purdiecandra.comjmcontent view9346. Unsur-unsur yang berkaitan dengan kecerdasan emosional menurut
Goleman 1999:274 meliputi: a. Keyakinan
Perasaan kendali dan penguasaan seseorang terhadap tubuh, perilaku, dan dunia.
b. Rasa Ingin Tahu Perasaan bahwa menyelidiki segala sesuatu itu bersifat positif dan
menimbulkan kesenangan. c. Niat
Hasrat dan kemampuan untuk berhasil dan untuk bertindak berdasarkan niat itu dengan tekun, Ini berkaitan dengan perasaan
terampil, perasaan efektif.
d. Kendali Diri
Kemampuan untuk menyesuaikan dan mengendalikan tindakan dengan pola yang sesuai dengan usia, suatu rasa, kendali batiniah.
e. Keterkaitan Kemampuan untuk melibatkan diri dengan orang lain berdasarkan
pada perasaan saling memahami. f. Kecakapan
Berkomunikasi Keyakinan dan kemampuan verbal untuk bertukar gagasan, perasaan,
dan konsep dengan orang lain. g. Koperatif
Kemampuan menyeimbangkan kebutuhan sendiri dengan kebutuhan orang lain.
2. Dimensi Kecerdasan Emosional Siprianus Koda dalam “Membedah Dinamika Emosi Sebagai
Struktur Logis-Ilmiah” Seri Buku Vox, 2000:90 menyatakan bahwa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kecerdasan emosional adalah kesanggupan manusia dalam menjangkaui lima “kawasan” yang paling menentukan keberhasilan hidup seorang
individu.
Pertama, mengenal emosi diri. Pemahaman terhadap perasaan
yang sedang berlangsung adalah dasar kecerdasan emosional. Dengan kontinuitas proses pemahaman terhadap gejolak perasaan, individu
dimungkinkan untuk menjangkaui wawasan psikologi dan pemhaman diri, sekaligus pembebasan individu dari belenggu perasaan. Proses ini akan
bermuara pada tercetusnya keputusan–keputusan yang efektif.
Kedua, mengelola emosi. Kesadaran diri merupakan dimensi
penentu bagi penanganan perasaan agar dapat menjelma secara memadai. Pada individu yang gagal mengelola emosinya, akan terjadi pertarungan
yang tak berkesudahan melawan emosinya sendiri.
Ketiga, memotivasi diri sendiri. Penataan emosi yang memadai
merupakan sarana untuk memotivasi diri dan menguasai diri, serta untuk bereaksi secara wajar. Kemampuan demikian memperbesar peluang
produktivitas dan efektivitas kerja dalam pelbagai bidang.
Keempat, mengenali emosi orang lain. Kesadaran emosional yang
merupakan landasan sikap empati, mengandung kemampuan menangkap pesan–pesan sosial yang tersembunyi, yang menginformasikan kebutuhan
dan kehendak orang lain.
Kelima, membina hubungan. Seni membina hubungan, sebagian
besar merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Berbekal kemampuan ini, seseorang akan terbantu dalam meraih popularitas, sukses
dalam memimpin dan relasi antar pribadi.
D. Etnis
Etnis adalah penggolongan manusia berdasarkan kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma, bahasa, agama, sejarah, grografis, dan
hubungan kekerabatan http:www.lin.go.id. Dalam hal ini penulis hanya membatasi pengelolaan usaha pada etnis Cina dan etnis Jawa. Berikut ini
gambaran umum mengenai etnis Jawa dan etnis Cina. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1. Golongan etnis Jawa Masyarakat Jawa merupakan salah satu masyarakat asli Indonesia
yang kini hidupnya sudah tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Secara umum masyarakat Jawa dibagi menjadi tiga golongan kelas sosial yaitu:
1 golongan orang biasa dan pekerja kasar atau buruh, 2 golongan pedagang atau saudagar, 3 golongan pegawai negri, pencatatatan sipil
dan priyayi Koentjaraningrat,1985:231. Selanjutnya Koentjaraningrat dalam Martaniah 1984:54-57 menyebutkan mentalitas “priyayi” adalah
sebagai berikut; 1 mereka menganggap hakekat karya adalah kekuasaan, kedudukan, dan lambang-lambang lahiriah dari kemakmuran; 2 persepsi
waktu mereka lebih ditentukan oleh masa lampau; 3 mereka sangat menggantungkan diri pada nasib; 4 mereka sangat berorientasi ke arah
atasan, sehingga mematikan hasrat untuk berdiri sendiri, dan disiplin pribadi. Adapun mentalitas petani adalah: 1 tidak bisa bersepekulasi
tentang hakekat hidup, karya, dan hasil karya manusia; 2 persepsi waktu mereka terbatas, dan sebagian keputusan-keputusan penting dan arah
orientasi hidupnya ditentukan oleh keadaan masa kini; 3 menganggap bahwa nasib sangat menentukan, dan bahwa orang harus hidup selaras
dengan alam; 4 petani menilai tingi konsep sama-rasa-sama-rata; mereka beranggapan bahwa pada hakekatnya manusia itu tidak berdiri sendiri,
maka dari situ akan saling membantu. Menurut De Jong Martaniah, 1984:56 orang Jawa untuk mencapai sesuatu tidak berusaha dengan keras,
tetapi dengan “tapabrata,” jadi usaha yang dilakukan bersifat pasif. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kekhasan masyarakat Jawa juga dapat dilihat pada bidang pendidikan keluarga mereka. Dalam masyarakat Jawa, pendidikan di
dalam keluarga tidak bermaksud untuk menghasilkan orang yang dapat berdiri sendiri melainkan menekankan orang yang sosial misalnya tolong
menolong, gotong royong dan toleransi terhadap sesama Mulder,1973:48. Anak-anak dibuat hidup senyaman dan semudah
mungkin. Dorongan untuk berprestasi dan hasrat untuk tahu tidak dihargai dan didorong. Mereka hanya diberi mainan yang sifatnya penuh dengan
khayalan dan tidak membantu kecerdasan. Dasar anggapan ini adalah bahwa anak–anak itu pada dasarnya tidak membutuhkan apa–apa selama
mereka diam dan manis, dan lingkungannya pun berusaha keras agar ia tetap diam dan manis. Ia dimajakan dalam kehangatan badan dan jarang
diperlakukan dengan cara yang mengganggu. Anak dibuat senang oleh orang–orang, benda–benda, dan mainan, hampir tidak diberi semangat
untuk menjelajahi dunia luar sendiri dan dengan spontan ditahan dengan memberi sedikit kebebasan bergerak. Karena itulah masyarakat Jawa tidak
memiliki kemadirian untuk berdiri diatas kaki sendiri Mulder,1973:106- 108. Pada orang Jawa hampir tidak ada motivasi yang kuat untuk bekerja.
Mereka bekerja sekedar untuk dapat hidup, mereka lebih suka mengosongkan hidup ini untuk menanti hidupnya di dunia akhirat
Hariyono,1993:43. Masyarakat Jawa mempunyai citra malas, meskipun menurut
penelitian para ahli yaitu Windstedt dan Thomson Alatas, 1988:97-102 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI