orientasi semiologi pada Saussure dan orientasi pada semiotic pada Pierce. Satu perbedaan diantara keduanya, menurut Hawkes adalah semiologi dipilih orang-
orang eropa diluar perbedaan yang dimaksud Saussure, sedang semiotika dipilih oleh penutur berbahasa inggris diluar perbedaan yang dimaksud dari Pierce
Amerika. Dengan kaya lain, sebenranya menurut Eco dama Sobur, pada prinsipnya adalah disiplin ilmu yang mengkaji segala seseuatu yang dapat
digunakan untuk mendustai, mengelabui atau mengecoh. “
Semiotika menaruh perhatian apapun yang dapat dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang diambil sebagaipenanda yang mempunyai arti penting untuk
menggantikan sesuatu yang lain, seseuatu yang lain tersebut tidak perlu ada, atau tanda itu secara nyata ada disuatu tempat pada waktu tertentu. Semiotika pada prinsipnya
adalah sebuah disiplin yang mempelajari apapun yang bisa digunakan untuk menyatakan suatu kebohongan. Jika sesuatu tersebut tidak dapat digunakan mengatakan suatu
kebohongan, sebaliknya, tidak bisa digunakan untuk mengatakan kebenaran. Berger Dalam Sobur,2004:18
2.1.8 Semiologi Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikan model linguistic dan semiologi Saussuren. Ia juga intelektual
dan kritikus asal Prancis yang ternama; ekspones penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra. Bartens 2001:208 menyebutnya sebagai tokoh yang
memainkan peranan sentral dalam strukturalisme tahun 1960-an dan 70-an. Barthes berpendapat bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan
asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Ia mengajukan pendapat ini dalam Writing Degree Zero Sobur,2004:63.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
Menurut Shklovsky “karya seni adalah karya-karya yang diciptakan melalui tekhnik-tekhnik khas yang dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi
karya yang seatristik mungkin”. Sedangkan pendekatan karya strukturalis memberikan perhatian terhadap kode-kode yang digunakan untuk menyusun
makna. Strukturalisme merupakan suatu pendekatan yang secara khusus memperhatikan struktur karya seni atau sastra. Fenomena kesastraan dan estetika
didekati sebagai sistem tanda-tanda Budiman,2003:11. Linguistik merupakan ilmu tentang bahasa yang sangat berkembang
menyediakan metode dan peristilahan dasar yang diperoleh seseorang semiotikus dalam mempelajari semua sistem-tanda sosial lainya. Semiologi ialah ilmu
tentang bentuk, sebab ia mempelajari pemaknaan secara terpisah dari kandunganya. Kurniawan,2001:156. Di dalam semiologi, seseorang diberikan
kebebasan didalam memaknai sebuah tanda. Gambar 2.1 : Peta Tanda Roland Barthes
1. signifier penanda
2. signified petanda
3. denotative sign tanda denotative
4. connotative signifier petanda konotatif
5. connotative signifield petanda konotatif
6. connotative sign tanda konotatif
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotative 3 terdiri dari atas penanda 1 dan petanda 2. Akan tetapi, pada saat bersamaan tanda denotative
adalah juga penanda konotatif 4. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material : hanya jika anda mengenal tanda “siaga”, barulah konotasi seperti harga
diri, kegarangan, dan kebranian menjadi mungkin CobleyJanz,1991:51 dalam Sobur,2004:69
Jadi, dalam konsep Barthes. Tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotative yang
melandasi keberadaanya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Bathes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan
dalam tataran denotative. Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dam konotasi dalam
pengertian-pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai
makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang kala juga diracunkan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut
sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang seseuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, didalam semiologi roland
barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi
justru lebih diasosiasikan dengan ketetutupan makna dan dengan demikian, sensor atau represi politis. Sebagai reaksi yang paling ekstrem melawan keharafian
denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap berguna bagi sebuah koreksi atas
kepercayaan bahwa makna “harafiah” merupakan seseuatu yang bersifat alamiah Budiman,199:22 dalam Sobur,2004:70-71.
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik denganoperasi ideology, yang disebut dengan “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan
pembenaran bagi nilai-nilai dominant yang berlaku dalam suatu periode tertentu Budiman,2001:28. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda,
petanda, dan tanda, namun sebagai sistem yang unik , mitos dibangun oleh suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua. Dalam mitos pula petanda dapat memiliki
bebearapa penanda. Artinya, dari segi jumlah, petanda lebih miskin jumlahnya daripada penanda, sehingga dalam prakteknya tejadilah pemunculan sebuah
konsep secara berulang-ulang dalam bentuk yang berbeda-beda. mitologi mempelajari bentuk-bentuk tersebut karena pengulangan konsep terjadi dalam
wujud bentuk tersebut Sobur,2004:71. Kode sebagai sistem makna luar yang lengkap sebagai acuan dari setiap
tanda, menurut Barthes terdiri atas lima jenis. Lima kode ini ditinjau oleh barthes adalah kode hermeneutika kode teka-teki, kode proaretik, kode budaya, kode
semik, dan kode simbolik Kurniawan, 2001:69. Kode hermeneutika atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca
untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur testruktur yang utama dalam narasi tradisional. Di
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka- teki dan penyelesaianya didalam cerita Sobur,2004:65. Dibawah kode ini, orang
dapat mendaftar beragam istilah yang sebuah teka-teki dapat dibedakan, diduga, diformulasikan, dipertahankan, dan akhirnya disikapi. Kode ini juga disebut suara
kebenaran Kurniawan, 2001:69. Kode ini berhubungan dengan teka-teki yang timbul dalam suatu wacana Tinarbuko,2008:19.
Kode proaretik atau kode tindakanlakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya, antara lain semua teks yang
bersifat naratif Sobur,2004:66. Kode proaretik yaitu kode yang mengandung cerita, urutan, narasi atau antinarasi Tinarbuko,2008:19
Kode budaya sebagai referensi kepada sebuah ilmu atau lembaga pengetahuan. Biasanya orang mengindikasikan tipe pengetahuan mengacu pada,
tanpa cukup jauh mengkonstruksikan budaya yang mereka ekspresikan Kurniawan,2001:69. Gnomik atau kode cultural banyak jumlahnya. Kode ini
merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuanyang telah
diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal kecil-hal kecil yang telah dikodifisikan Sobur,2004:66
Kode semik atau semantic, yaitu kode yang mengandung konotasi pada level penanda Tinaburko,2008:18. Kode ini menawarkan banyak sisi dalam
proses pembacaan, pembaca menysusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokan dengan kata atau
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
frase yang mirip. Jika kita melihat kumpulan satuan konotasi melekat, kita menemukan suatu tema di dalam cerita perlu dicatat bahwa Barthes menganggap
bahwa denotasi dan konotasi yang paling kuat dan paling “akhir” Sobur,2004:66 Kode simbolik tema yang bersifat tidak stabil dan dapat dimasuki
melalui beragam sudut pendekatan. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat structural, atau tepatnya menurut konsep Barthes,
pascastrukutural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fonem
dalam proses produksi wicara, maupun taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses Sobur, 2004:66.
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca. Konotasi, walaupun sifat asli tanda, membutuhkan
keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun
di atas sistem yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh yang paling jelas sistem pemaknaan yang ke-dua yang dibangun atas bahasa sebagai sistem
pertama. Sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut konotatif, yang didalamnya mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan
tataran pertama. Melanjutkan studi Hjelmslev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja Cobley Janz,1999 dalam Sobur,2004:69.
Menurut Barthes 2001 tanda adalah suatu kesatuan dari suatu bentuk penanda dan petanda. Penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
bermakna. Jadi penanda adalah aspek material dari bahasa apa yang dikatakan, didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental,
pikiran, atau konsep. Jadi petanda adalah aspek mental dari bahasa. Yang harus diperhatikan adalah bahwa tanda bahasa yang kongkret, kedua unsur tidak dapat
dilepaskan. Tanda bahasa selalu mempunyai dua segi, yakni signifier penanda dan signifield petanda. Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan
karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya suatu petanda, tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda, petanda atau yang ditandakan itu
termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan factor linguistik. “penanda dan petanda merupakan kesatuan, seperti dua sisi dari sehelai kertas
Sobur,2004:46 . Semiologi Barthes tersusun atas tingkatan-tingkatan sistem bahasa.
umumnya Barthes membuatnya dalam dua tingkatan bahasa, bahasa pada tingkat pertama adalah sebagai objek dan bahasa tingkat kedua yang disebut metabahasa.
Sistem tanda pertama kadang disebut dengan istilah denotasi atau sistem terminologis, sedang sistem tanda tingkat kedua disebut sebagai konotasi atau
sistem teoris atau mitologi. Fokus kajian Barthes terletak pada sistem tanda tingkat kedua atau metabahasa Kurniawan,2001:115.
Konotasi dan metabahasa adalah cernminan yang berlawanan satu sama lain. Metabahasa adalah operasi yang membentuk mayoritas bahasa-bahasa ilmiah
yang berperan untuk menerapkan sistem rill, dan dipahami sebagai petanda,diluar kesatuan penanda-penanda asli di luar alam deskriptif sedangkan konotasi
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
meliputi bahasa-bahasa yang sifat utamanya sosial dalam hal pesan Kurniawan,2001;68
Pendekatan semiologi Barthes secara khusus tertuju pada jenis tuturan yang disebut mitos. Menurut Barthes, bahasa membutuhkan kondisi tertentu untuk
dapat menjadi mitos Budiman,2003:64. Mengenai bekerjanya tanda dalam tatanan kedua adalah melalui mitos.
Mitos ini biasanya mengacu pada pikiran bahwa mitos itu keliru, namun pemakaian yang biasa itu adalah penggunaan oleh orang yang tak percaya. Brthes
menggunakan mitos sebagai seorang yang dipercaya, dalam artian yang orisinil. Mitos adalah cerita yang digunakan suatu kebudayaan untuk menjelaskan
beberapa aspek dari realitas suatu alam. Mitos primitive berekenaan dengan hidup dan mati, manusia dan dewa, baik dan buruk. Mitos kita lebih bertakik-takik
adalah tentang maskulinitas dan feminitas tentang keluarga, tentang keberhasilan atau tentang ilmu. Bagi Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu
kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Barthes memikirkan mitos sebagai mata rantai dari konsep-konsep
terkait. Bila konotasi merupakan pemaknaan tatanan kedua dari petanda Fiske,2006:121.
Untuk membuat ruang atensi yang lebih lapang bagi diseminasi makna dan pluralitas teks. Barthes mencoba memilah-milah petnda-penanda pada wacana
naratif kedalam serangkaian fragmen ringkas dan beruntun yang disebut kesis- leksia lexias, yaitu satu-satuan pembacaan dengan panjang-pendek yang
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
bervariasi. Sepotong bagian teks yang apabila diisolasikan akan berdampak atau memiliki fungsi yang khas apabila dibandingkan dengan teks lain disekitarnya,
adalah sebuah leksia. Akan tetapi sebuah leksia sesungguhnya bisa berupa aapa saja, kadang hanya berupa satu dua pata kata saja, kadang kelompok kata, kadang
beberapa kalimat, bahkan sebuah paragraph, tergantung kepada kegampanganya saja. Dimensi nya tergantung kepada kepekatan dan konotasi-konotasinya yang
bervariasi sesuai dengan momen-momen teks. Dalam proses pembacaan teks, leksia-leksia tersebut dapat ditemukan baik pada tataran kontak pertama diantara
pembaca dan teks maupun pada saat satuan-satuan itu dipilah-pilah sedemikian rupa sehingga diperoleh aneka fungsi pada tataran-tataran pengorganisasian yang
lebih tinggi Budiman,2003:54 Dalam rangka memaknai sebuah “teks” kita akan dihadapkan pada
pilihan-pilihan pisau analisis mana yang bisa kita pakai dari sekelian jumlah pendeketan yang yang begitu melimpah. Ketika kita sampai pada pilihan tertentu
semestinya “setia” pada satu plihan saja, namun bisa juga mencampuradukkan dengan beberapa pilihan tersebut, tergantung kepentingan dari tujuan “pembaca”
dalam membedah pembacaanya. Bisa pula benar-benar hanya memfokuskan pada teks dan melupakan sang pengarang, pembaca kemudian dapat melakukan
interpretasi pada suatu karya. Dalam hal ini “pembacalah” yang memberikan makna dan penafsiran.
Pembaca mempunyai kekuasaan absolute untuk memaknai sebuah hasil karya lirik lagu yang dilihatnya, bahkan tidak harus sama dengan maksud pengarang.
Semakin cerdas pembaca menafsirkan, semakin cerdas pula karya lirik dalam lagu
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
itu memberikan maknanya. Wilayah kajian teks yang dimaksud Barthes memang sangat luas, mulai bahasa verbal seperti karya sastra hingga fashion atau cara
berpakaian. Barthes melihat selutuh produk budaya merupakan teks yang dibaca secara otonom dari para penulisnya.
2.1.9 Representasi