Pendekatan Perencanaan Lanskap Wisata Pesisir Berkelanjutan

Bahan dan Alat Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan alat dan bahan berupa perangkat keras dan perangkat lunak,Citra Landsat ETM+7 tahun 2000, Peta Rupa Bumi Flores Timur Bakosurtanal 2000 dan kuisioner. Perangkat keras dan perangkat lunak yang digunakan dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2 Perangkat keras dan perangkat lunak yang digunakan Perangkat Keras Perangkat Lunak Fungsi ArcView GIS 3.2 Analisis spasial MS Excel Analisis tabular Expert choice 2000 Analythical Hierarchy Process AHP MS Word Pelaporan Intel Celeron M Processor 370, 256MB DDR2, 40GB HDD MS Power Point Presentasi Printer Canon PIXMA iP 1000 Pencetakan peta, foto dan laporan GPS Garmin Etrex Vista Pengambilan titik koordinat Camera digital Canon Power Shoot A400 3.2 megapixels Pengambilan foto lapang Metode Penelitian

1. Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif dengan melakukan pembobotan, skoring dan penentuan peringkat pada tiap faktor dan kategori yang dinilai. Pendekatan ini dilakukan dengan memperhatikan kesesuaian wilayah pesisir untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata yang berkelanjutan. Kawasan wisata berkelanjutan dapat terbentuk apabila pemanfaatan sebagai kawasan wisata tidak akan merusak ekologis kawasan.

2. Prosedur Pelaksanaan

Prosedur pelaksanaan merupakan prosedur yang dilakukan dalam melaksanakan penelitian Gambar 7. Prosedur pelaksanaan dilakukan dalam empat tahapan yaitu Gambar 7 Skema tahapan penelitian. Kualitas lingkungan pesisir Pengembangan kepariwisataan Akseptibilitas dan peluang ekonomi masyarakat Tata Ruang Wisata Pesisir Rencana Pengembangan Interpretasi Wisata Pesisir Rencana Lanskap Wisata Pesisir Berkelanjutan Pengelolaan Jalur Interpretasi Wisata Pesisir Berkelanjutan Kesesuaian tapak sebagai kawasan wisata Teluk Konga Skor obyek dan atraksi wisata Kelas kesesuaian Zona tingkat kepekaan lingkungan pesisir Zona wisata berdasarkan ketersediaan obyek wisata Pengembangan aktifitas wisata pesisir Fasilitas Wisata Pesisir Media interpretasi Skor peringkat akseptibilitas Zona akseptibilitas dan peluang ekonomi masyarakat Skor peluang ekonomi Sirkulasi Wisata Pesisir Jalur interpretasi Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Tahap 1. Potensi dan Kendala Kawasan Pesisir untuk Wisata Pesisir a. Penilaian Kualitas Lingkungan Pesisir Penilaian kualitas lingkungan pesisir pada tujuh desa penelitian dilakukan dengan menggunakan kriteria bersumber dari Bakosurtanal 1996 dan DKP 2003 yang meliputi kualitas akuatik dan kualitas terestrial. • Kualitas Akuatik Daerah akuatik ialah daerah perairan yang terdapat di kawasan pesisir. Batasan daerah akuatik ialah batas pesisir laut hingga batas pasang surut tertinggi. Parameter yang digunakan pada akuatik meliputi kecerahan perairan, kecepatan arus, substrat dasar, topografi dan tingkat kerawanan bencana tsunami. Titik yang diambil terdiri dari tujuh titik dimana masing-masing titik mewakili karakter perairan tiap desa di lokasi penelitian. Penilaian kualitas akuatik dapat ditunjukkan oleh Tabel 3. Tabel 3 Penilaian kualitas lingkungan pesisir akuatik Unsur Bobot Sub unsur Skor Keterangan Kecerahan perairan 20 nilai ≥ 75 50 nilai ≤ 75 25 nilai ≤ 50 nilai ≤ 25 4 3 2 1 sangat sesuai sesuai kurang sesuai tidak sesuai Kecepatan arus mdetik 15 0 nilai ≤ 0.17 0.17 nilai ≤ 0.34 0.34 nilai ≤ 0.51 nilai 0.51 4 3 2 1 sangat baik baik batas toleransi berbahaya Substrat dasar 10 Pasir Karang berpasir Lumpur Pecahan karang murni 4 3 2 1 sangat baik baik kurang baik tidak baik Topografi 10 Landai Cukup landai Terjal Curam 4 3 2 1 aktifitas tinggi aktivitas tinggi aktivitas sedang aktivitas rendah Tingkat kerawanan bencana tsunami 5 Tidak Rendah Sedang Tinggi 4 3 2 1 tidak rawan tsunami rawan tsunami rendah rawan tsunami sedang rawan tsunami tinggi Sumber : Modifikasi Bakosurtanal 1996 dan DKP 2003 Penghitungan klasifikasi kesesuaian lingkungan akuatik = [ 7 1 n = ∑ Fkp x 20 + 7 1 n = ∑ Fka x 15 + 7 1 n = ∑ Fsd x 10 + 7 1 n = ∑ Ftop x 10 + 7 1 n = ∑ Ftsu x 5] Keterangan Fkp = faktor kecerahan perairan Ftop = faktor topografi Fka = faktor kecepatan arus Ftsu = faktor kerawanan tsunami Fsd = faktor substrat dasar 7 1 n = ∑ = titik ke 1 hingga 7 Parameter-parameter yang telah diskoring selanjutnya dilakukan pembobotan dan kemudian dikategorikan dalam kelas kesesuaian, yaitu Kelas S1 : Sangat Sesuai Nilai 181 – 240 Daerah ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan perlakuan yang diberikan. Kelas S2 : Cukup Sesuai Nilai 121 – 180 Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Kelas S3 : Sesuai Marginal Nilai 61 – 120 Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Kelas N : Tidak Sesuai Nilai ≤ 60 • Kualitas Terestrial Daerah terestrial merupakan daerah daratan yang terdapat di kawasan pesisir. Batasan daerah terestrial ialah daerah pasang tertinggi hingga batas administrasi desa yang bersinggungan langsung dengan Teluk Konga. Parameter yang digunakan dari daerah terestrial ini meliputi habitat, penutupan lahan pantai, lebar pantai, topografi, dan bahaya gunung berapi. Penilaian dilakukan pada tujuh desa yang bersinggungan langsung dengan Teluk Konga. Penilaian kualitas terestrial dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Penilaian kualitas lingkungan pesisir terestrial Unsur Bobot Sub unsur Skor Keterangan Keaslian Ekosistem 20 Keaslian ekosistem utuh Keaslian ekosistem rusak 15 Keaslian ekosistem rusak 15 – 50 Keaslian ekosistem rusak 50 4 3 2 1 ekosistem asli ekosistem asli ekosistem terganggu ekosistem rusak Penutupan Lahan Pantai 15 Alami Semi alami Non alami Campuran 4 3 2 1 penutupan lahan alami penutupan lahan semi alami penutupan lahan terbangun campuran Lebar pantai m 10 nilai 150 100 nilai ≤ 150 50 nilai ≤ 100 nilai ≤ 50 4 3 2 1 sangat baik untuk wisata baik untuk wisata kurang baik untuk wisata tidak baik untuk wisata Topografi 10 0 nilai ≤ 8 8 nilai ≤ 15 15 nilai ≤ 25 nilai 25 4 3 2 1 aktivitas sangat tinggi aktifitas tinggi aktifitas sedang aktifitas rendah Bahaya Gunung Berapi 5 Tidak bahaya Agak bahaya Bahaya Sangat bahaya 4 3 2 1 jalur tidak bahaya jalur pengamanan pertama jalur waspada gunungapi jalur bahaya gunungapi Sumber : Modifikasi Bakosurtanal 1996 dan DKP 2003 Penghitungan klasifikasi kesesuaian lingkungan terestrial = [ 7 1 n = ∑ Feko x 20+ 7 1 n = ∑ Fplp x 15+ 7 1 n = ∑ Flp x 10+ 7 1 n = ∑ Ftop x 10+ 7 1 n = ∑ Fbgb x 5] Keterangan Fhab = faktor keaslian ekosistem Ftop = faktor topografi Fplp = faktor penutupan lahan pantai Fbgb = faktor bahaya gunungapi Flp = faktor lebar pantai 7 1 n = ∑ = desa ke 1 hingga 7 Parameter-parameter yang telah diskoring selanjutnya dilakukan pembobotan masing-masing dan kemudian dikategorikan dalam kelas kesesuaian. Kelas kesesuaian tersebut dibagi ke dalam empat kategori, yaitu Kelas S1 : Sangat Sesuai Nilai 181 – 240 Daerah ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan perlakuan yang diberikan. Kelas S2 : Cukup Sesuai Nilai 121 – 180 Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Kelas S3 : Sesuai Marginal Nilai 61 – 120 Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Kelas N : Tidak Sesuai Nilai ≤ 60 Penggabungan hasil kesesuaian akuatik dan terestrial menghasilkan zona tingkat kepekaan lingkungan pesisir, yaitu zona tidak peka S1, zona kurang peka S2, zona cukup peka S3, dan zona peka S4. Berdasarkan zona ini dapat dilihat tapak dengan potensi lingkungan yang paling sesuai untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata.

b. Pengembangan Kepariwisataan Pesisir

Pengembangan pariwisata di suatu kawasan dimulai dengan menentukan obyek dan atraksi wisata yang tersedia dan selanjutnya dinilai potensinya untuk dapat dikembangkan. Penentuan ketersediaan obyek dan atraksi wisata dilakukan dengan mewawancara staf pemerintah daerah, kepala desa, masyarakat dan pengamatan lapangan. Penilaian dilakukan dengan menggunakan metode Mc Kinnon 1986 dan Gunn 1994 dengan kepala desa n=7 sebagai penilai. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa kepala desa merupakan penduduk asli dan wakil masyarakat yang dipilih oleh masyarakat desa dan tetua adat, sehingga mengetahui secara rinci kondisi desa tersebut dan kondisi di sekitar desanya. Penilaian obyek wisata dilakukan dengan memenuhi aspek berikut, yaitu 1 atraksi, 2 daya tarik, 3 estetika dan keaslian, 4 fasilitas pendukung, 5 ketersediaan air bersih, 6 transportasi dan aksesibilitas, dan 7 dukungan dan partisipasi masyarakat. Penilaian obyek dan atraksi wisata dapat dilihat pada Tabel 5, dan penilaian diklasifikasi menjadi sangat kuat, kuat, sedang dan lemah. Selanjutnya dilakukan peringkat berdasarkan ketersediaan obyek dan atraksi wisata di tiap desa. Peringkat tersebut menghasilkan zona wisata berdasarkan ketersediaan obyek dan atraksi wisata yang meliputi zona atraktif S1, zona cukup atraktif S2, zona kurang atraktif S3, dan zona tidak atraktif S4. Zona atraktif ialah zona wisata dengan tingkat potensi tinggi, yaitu memiliki obyek dan atraksi wisata 5. Zona cukup atraktif ialah zona wisata dengan tingkat potensi sedang, yaitu memiliki obyek dan atraksi wisata 3 – 5. Zona kurang atraktif ialah zona wisata dengan tingkat potensi rendah yaitu memiliki obyek dan atraksi wisata 1-3. Sedangkan zona tidak atraktif ialah zona tanpa potensi wisata yaitu tidak memiliki obyek dan atraksi wisata. Tabel 5 Penilaian terhadap obyek dan atraksi wisata Nilai No Faktor 4 sangat kuat 3 kuat 2 sedang 1 lemah 1 Letak dari jalan utama 1 km 1 – 2 km 2 – 3 km 3 km 2 Estetika dan keaslian Asli Asimilasi, dominan bentuk asli Asimilasi, dominan bentuk baru Sudah berubah sama sekali 3 Atraksi Hanya terdapat di Tapak Terdapat 3 lokasi di tempat lain Terdapat 3-5 lokasi di tempat lain Terdapat 5 lokasi di tempat lain 4 Fasilitas Pendukung Tersedia dalam kondisi sangat baik Tersedia dalam kondisi baik Tersedia dalam kondisi kurang baik Prasarana dan sarana tidak tersedia 5 Ketersediaan Air bersih 0,5 km 0,5 – 1 km 1 – 2 km Jarak 2km 6 Transportasi dan Aksesibilitas Jalan aspal, ada kendaraan umum Jalan aspal berbatu, ada kendaraan umum Jalan aspal berbatu, tanpa kendaraan umum Jalan berbatutanah, tanpa kendaraan umum 7 Dukungan dan Partisipasi Masyarakat Sangat Mendukung Mendukung Kurang mendukung Tidak mendukung Sumber : Modifikasi Mc. Kinnon 1986, Gunn 1994 dalam Rahmadani 2005, Umar 2006 Penghitungan penilaian terhadap obyek dan atraksi wisata = 7 1 n = ∑ Flju + 7 1 n = ∑ Fek + 7 1 n = ∑ Fatr + 7 1 n = ∑ Ffp + 7 1 n = ∑ Fka + 7 1 n = ∑ Fta + 7 1 n = ∑ Fdpm Keterangan : Flju = faktor letak dari jalan utama Fka= faktor ketersediaan air Fek = faktor estetika dan keaslian Fta= faktor tranportasi-aksesibilitas Fatr = faktor atraksi Fpm= faktor pastisipasi masyarakat Ffp = faktor fasilitas pendukung 7 1 n = ∑ = nilai responden ke 1 sampai 7 Skor masing-masing obyek dijumlahkan dengan ketentuan sebagai berikut: S1 = Sangat Potensial Nilai 147 – 196 S2 = Cukup Potensial Nilai 99 – 147 S3 = Kurang Potensial Nilai 50 – 98 S4 = Tidak Potensial Nilai ≤ 49

c. Keikutsertaan Masyarakat Pesisir dalam Kepariwisataan

Keikutsertaan masyarakat dalam pariwisata memacu perkembangan pariwisata ke arah yang lebih baik. Keikutsertaan masyarakat dalam pariwisata dinilai dari tingkat akseptibilias dan peluang pemberdayaan dari aspek ekonomi. • Akseptibilitas Masyarakat Akseptibilitas masyarakat ditunjukkan dengan tingkat kesediaan masyarakat dalam menerima pengembangan lokasi penelitian menjadi kawasan wisata. Penilaian dilakukan oleh responden n=70 yang dipilih secara acak pada tiap desa penelitian. Jumlah responden diharapkan telah mampu mewakili penilaian oleh seluruh penduduk Teluk Konga yang relatif homogen. Penilaian diklasifikasikan menjadi bersedia, kurang bersedia, tidak bersedia, dan tidak tahu. Penilaian tingkat akseptibilitas masyarakat dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Penilaian akseptibilitas masyarakat Teluk Konga terhadap wisata Peringkat No Faktor 4 bersedia 3 kurang bersedia 2 tidak bersedia 1 tidak tahu 1 Pengembangan kawasan sebagai daerah tujuan wisata Setuju Kurang setuju Tidak setuju Tidak tahu 2 Pengelolaan kawasan wisata oleh masyarakat Setuju Kurang setuju Tidak setuju Tidak tahu 3 Peran aktif masyarakat dalam pariwisata Ya Kurang Tidak Tidak tahu 4 Keuntungan kegiatan wisata Ya Kurang Tidak Tidak tahu 5 Keberadaan wisatawan Bersedia Kurang bersedia Tidak bersedia Tidak tahu Sumber : Hasil diskusi bimbingan 2006 Penilaian akseptibilitas masyarakat untuk faktor tertentu di tiap desa didasarkan pada penghitungan berikut ini. Fx desa ke p = 4 x n + 3 x n + 2 x n + 1 x n Keterangan : Fx = total nilai faktor tertentu P = desa tertentu N = jumlah orang yang memilih Penilaian akseptibilitas masyarakat tiap desa didasarkan pada penghitungan berikut. ∑Fdtw + ∑Fpkw + ∑Fpmp + ∑Fkkw + ∑Fkw Keterangan : Fdtw = faktor pengembangan kawasan sebaga daerah tujuan wisata Fpkw = faktor pengelolaan kawasan wisata oleh masyarakat Fpmp = faktor peran aktif masyarakat dalam pariwisata Fkkw = faktor keuntungan kegiatan wisata Fkw = faktor keberadaan wisatawan ∑ = jumlah total nilai preferensi masyarakat terhadap faktor tertentu Skor preferensi pada tiap desa dijumlahkan dengan ketentuan berikut: S1: Sangat bersedia = Nilai 151 – 200 S2: Bersedia = Nilai 101 – 150 S3: Kurang bersedia = Nilai 51 – 100 S4: Tidak bersedia = Nilai ≤ 50 • Peluang Ekonomi Masyarakat Keikutsertaan masyarakat dari aspek ekonomi merupakan keikutsertaan dalam perekonomian dengan mengembangkan kegiatan usaha dagang dan jasa. Keikutsertaan dalam perekonomian tersebut dapat berupa kegiatan perekonomian terkait usaha wisata, kegiatan perekonomian terkait penyelenggaraan wisata, dan kegiatan perekonomian terkait penyedia kebutuhan. Penilaian didasarkan pada peluang kegiatan perekonomian terkait langsung wisata dan peluang kegiatan perekonomian penunjang wisata dalam pengembangan kawasan wisata pesisir Teluk Konga Tabel 7. Tabel 7 Preferensi masyarakat terhadap peluang kegiatan ekonomi Nilai Faktor 4 sangat tinggi 3 tinggi 2 sedang 1 rendah Peluang ekonomi terkait wisata Peluang investasi usaha Banyak sekali Banyak Biasa saja Sedikit Berjualan makananminuman Sangat ingin Ingin Kurang ingin Tidak ingin Pembuatan dan penjualan souvenir Sangat ingin Ingin Kurang ingin Tidak ingin Usaha tempat makan Sangat ingin Ingin Kurang ingin Tidak ingin Usaha penginapan Sangat ingin Ingin Kurang ingin Tidak ingin Usaha transportasi Sangat ingin Ingin Kurang ingin Tidak ingin Pengembangan obyek dan atraksi wisata Sangat ingin Ingin Kurang ingin Tidak ingin Pagelaran seni dan budaya Sangat ingin Ingin Kurang ingin Tidak ingin Pemandu wisata Sangat ingin Ingin Kurang ingin Tidak ingin Peningkatan jumlah, frekuensi, dan distribusi informasi mengenai kawasan wisata Sangat ingin Ingin Kurang ingin Tidak ingin Peluang ekonomi penunjang wisata Penyedia produk pertanian Sangat ingin Ingin Kurang ingin Tidak ingin Penyedia produk perikanan Sangat ingin Ingin Kurang ingin Tidak ingin Sumber : Hasil diskusi bimbingan 2006 Penilaian preferensi masyarakat di tiap desa didasarkan pada penghitungan berikut ini. Fx desa ke p = 4 x n + 3 x n + 2 x n + 1 x n Keterangan : Fx = faktor tertentu p = desa tertentu n = jumlah orang yang memilih Skor preferensi pada tiap desa untuk faktor tertentu dijumlahkan dengan ketentuan sebagai berikut: Nilai 31 – 40 = tinggi Nilai 21 – 30 = sedang Nilai 10 – 20 = rendah Berdasarkan hasil penilaian preferensi ditentukan tiga peringkat peluang ekonomi teratas. Dari peringkat tersebut dilakukan penilaian peringkat. Kategori jenis kegiatan ekonomi menentukan bobot dari masing-masing peringkat. Penilaian faktor peluang kegiatan ekonomi dilakukan dengan mengalikan seluruh nilai dengan bobot masing-masing untuk memperoleh Skor Tabel 8. Skor tersebut selanjutnya dijumlahkan berdasarkan skor di tiap desa dan selanjutnya dikategorikan menjadi: S1 = tinggi skor 100 – 120 S2 = sedang skor 70 – 90 S3 = rendah skor ≤ 60 Tabel 8 Penilaian skor pada peringkat teratas Peringkat preferensi Nilai Jenis Kegiatan Bobot Kategori 1 30 Tinggi S1 Ekonomi terkait wisata 20 2 20 Sedang S2 3 10 Ekonomi penunjang wisata 10 Rendah S3 Sumber: Hasil diskusi bimbingan 2006 Dari hasil penilaian keseluruhan diperoleh zona peringkat akseptibilitas dan peluang ekonomi masyarakat yang meliputi zona sangat aktif S1, zona cukup aktif S2, zona kurang aktif S3 dan zona tidak aktif S4. Zona sangat aktif merupakan zona dengan nilai akseptibilitas masyarakat dan nilai peluang ekonomi masyarakat tinggi. Zona cukup aktif merupakan zona dengan nilai akseptibilitas masyarakat dan peluang ekonomi masyarakat sedang, atau nilai akseptibilitas tinggi dan niali peluang ekonomi masyarakat sedang, atau nilai akseptibilitas sedang dan nilai peluang ekonomi masyarakat tinggi. Zona kurang aktif merupakan zona dengan nilai akseptibilitas sedang dan niali peluang ekonomi masyarakat rendah, atau nilai akseptibilitas rendah dan nilai peluang ekonomi masyarakat sedang. Zona tidak aktif merupakan zona dengan nilai akseptibilitas masyarakat dan nilai peluang ekonomi masyarakat rendah.

d. Kesesuaian tapak untuk wisata pesisir

Integrasi antara penilaian terhadap kualitas lingkungan pesisir, potensi kepariwisataan pesisir dan potensi pemberdayaan masyarakat menghasilkan kesesuaian tapak untuk wisata dengan tiga zona pengembangan wisata, yaitu 1 Zona pengembangan tinggi merupakan zona dengan seluruh aspek penilaian memiliki kategori S1 atau minimal terdapat satu aspek berada pada kategori S2, tanpa kategori S3. 2 Zona pengembangan sedang merupakan zona pengembangan dengan minimal terdapat dua aspek berkategori S2, tanpa kategori S3. 3 Zona pengembangan rendah merupakan zona dengan kategori penilaian minimal memiliki satu kategori S3. 4 Zona pengembangan sangat rendah merupakan zona dengan penilaian terendah dan maksimal hanya terdapat satu kategori S3.

e. Aktifitas dan fasilitas wisata pesisir

Pengembangan aktifitas dan fasilitas wisata pesisir yang akan digunakan dalam menentukan rencana pengembangan wisata pesisir. Rencana pengembangan wisata pesisir dihasilkan melalui analisis kesesuaian tapak, pengembangan aktifitas dan fasilitas untuk wisata pesisir yang diwujudkan dalam bentuk konsep perencanaan, konsep tata ruang dan konsep sirkulasi bagi wisata pesisir. Tahap 2. Perencanaan Pengembangan Interpretasi Wisata Pesisir Pengembangan interpretasi didasarkan pada potensi sumber daya dan konsep yang akan dikembangkan. Potensi sumber daya dikembangkan menjadi obyek dan atraksi wisata yang menjadi daya tarik wisata. Konsep interpretasi yang akan dikembangkan ialah ”apresiasi alam dan budaya pesisir Teluk Konga” yang kemudian dijabarkan ke dalam jalur interpretasi alternatif wisata pesisir. Skoring nilai obyek wisata menjadi acuan bagi waktu berkunjung pada masing-masing obyek wisata. Selain itu, pengembangan interpretasi juga menghasilkan media interpretasi yang digunakan sebagai sarana interpretasi wisata pesisir. Tahap 3. Perencanaan Lanskap Wisata Pesisir Berkelanjutan Rencana lanskap wisata pesisir merupakan rencana lanjutan untuk mendapatkan tatanan lanskap pendukung kawasan wisata pesisir. Rencana ini berdasarkan pada metode Simonds 1983 yaitu tapak, organisasi ruang, aspek visual, sirkulasi dan struktur dalam lanskap. Tahap 4. Pengelolaan Wisata Pesisir Berkelanjutan Pengelolaan wisata pesisir dikaji dengan menentukan program bagi pengelolaan jalur interpretasi wisata pesisir. Pengkajian ini menggunakan metode Proses Hierarki Analitik PHA Saaty 1970 yang mampu memberikan prioritas bagi pengelolaan jalur interpretasi wisata pesisir yang akan dilakukan guna mewujudkan wisata yang berkelanjutan. Prinsip penilaian PHA pada penentuan prioritas pengelolaan jalur interpretasi wisata adalah membandingkan tingkat kepentingan prioritas antara satu elemen dengan elemen lainnya yang berada pada tingkatan atau level yang sama berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Struktur yang dibangun Gambar 8 terdiri atas empat tingkatan yaitu 1 Tujuan, yaitu target yang akan dicapai dengan menggunakan metode AHP. Target yang ingin dicapai ialah pengelolaan jalur interpretasi wisata pesisir Teluk Konga yang sesuai dan berkelanjutan. Tujuan dibuat sebagai landasan guna membantu penilaian expert dalam membandingkan masing-masing elemen terhadap elemen lainnya. 2 Faktor-faktor Faktor merupakan aspek-aspek penting yang menjadi landasan penilaian dalam mencapai tujuan. Faktor yang terkait berupa manfaat lingkungan, manfaat sosial budaya, dan manfaat wisata. 3 Kriteria-kriteria Kriteria merupakan elemen yang dibangun sebagai parameter penilaian untuk mencapai tujuan dan didasarkan pada faktor-faktor penilaian yang terdapat pada satu tingkat atau level di atasnya. Kriteria-kriteria yang digunakan ialah perlindungan aspek ekologis, perbaikan kualitas lingkungan, pelestarian nilai budaya lokal, pemberdayaan masyarakat lokal, pengembangan potensi wisata, dan keberlanjutan usaha pariwisata. 4 Skenario Skenario merupakan alternatif model pengelolaan Teluk Konga di masa yang akan datang. Skenario ditentukan berdasarkan jalur interpretasi wisata pesisir yaitu jalur interpretasi wisata alam, jalur interpretasi wisata budaya, dan jalur interpretasi wisata alam dan budaya ekowisata. Penilaian PHA dilakukan oleh tujuh orang responden dengan disiplin ilmu yang berbeda, yaitu dua responden mewakili bidang ilmu pesisir dan kelautan, dua responden mewakili bidang ilmu budaya dan antropologi, dua responden mewakili bidang ilmu lanskap dan satu responden mewakili bidang ilmu wisata. Seluruh responden merupakan pakar dibidangnya. Pemilihan responden ini didasarkan pada faktor penentu dalam prioritas pengelolaan jalur interpretasi wisata pesisir di Teluk Konga, yaitu lingkungan, sosial budaya, dan wisata. Gambar 8 Struktur hierarki pengelolaan jalur interpretasi wisata pesisir di Teluk Konga. Pengelolaan Kawasan dan Wisata Pesisir Teluk Konga Manfaat sosial budaya Manfaat lingkungan Manfaat Wisata Perlindungan aspek ekologis Perbaikan kualitas lingkungan Pengembangan potensi wisata Keberlanjutan usaha pariwisata Pelestarian nilai budaya lokal Pemberdayaan masyarakat lokal Jalur interpretasi wisata alam Jalur interpretasi wisata budaya Jalur interpretasi wisata alam dan budaya ekowisata Batasan Istilah Pesisir adalah daerah peralihan antara darat dan laut dengan batas ke arah laut sesuai dengan batas laut yang terdapat dalam Peta Lingkungan Pantai Indonesia keluaran Bakosurtanal sedangkan batas ke arah darat mencakup batas administrasi seluruh desa pantai sesuai dengan ketentuan Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah, Departemen Dalam Negeri Ketetapan RAKERNAS MREP 1994 dalam Dahuri et al. 2004. Sempadan pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai yang berupa daratan sepanjang tepian yang lebarnya sesuai dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 m titik pasang tertinggi ke arah daratan Triatmodjo 1999. Lingkungan akuatik adalah sumber daya fisik dan biologis yang berasal dari laut dan menjadi kebutuhan dasar manusia masyarakat untuk dapat bertahan Nurisyah et al. 2003. Lingkungan terestrial adalah sumber daya fisik dan biologis yang berasal dari darat dan menjadi kebutuhan dasar manusia masyarakat untuk dapat bertahan Nurisyah et al. 2003. Pemberdayaan masyarakat adalah pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan dan proses perencanaan, dimana masyarakat ikut ambil bagian dan menentukan dalam mengembangkan, mengurus dan mengontrol rencana secara komprehensif Buchsbaum 2004 Obyek wisata adalah perwujudan dari ciptaan manusia, tata hidup, seni budaya serta sejarah bangsa dan tempat atau keadaan alam yang mempunyai daya tarik untuk dikunjungi wisatawan Nurisyah et al. 2003. Atraksi wisata pesisir ialah daya tarik yang paling penting dalam wisata pesisir didasarkan pada daya tarik sumber daya alam kelautan dan daya tarik sumber daya alam daratan. Selain itu, adat istiadat dan budaya masyarakat pesisir juga dapat merupakan bagian dari obyek dan daya tarik wisata pesisir Nurisyah et al. 2003. Wisata alam nature tourism adalah wisata dengan kekayaan alam sebagai obyek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan dan pengalaman yang didasarkan pada fitur-fitur lingkungan alam dan karakteristik lingkungan alam Inskeep 1991 Wisata budaya cultural tourism adalah wisata dengan kekayaan alam sebagai obyek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan dan pengalaman yang menggabungkan budaya dengan warisan alam, sosial dan sejarah Inskeep 1991. Ekowisata pesisir adalah penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab di daerah pesisir yang masih alami danatau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan kaidah alam, yang mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan alam dan kebudayaan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat Nurisyah et al. 2003. Pariwisata berkelanjutan sustainable tourism adalah bentuk pariwisata yang memenuhi kebutuhan wisatawan dan daerah penerima saat ini, sambil melindungi dan mendorong kesempatan untuk waktu yang akan datang. Mengarah pada pengelolaan seluruh sumber daya sedemikian rupa sehingga kebutuhan ekonomi, sosial dan estetika dapat terpenuhi sambil memelihara integritas kultural, proses ekologi yang esensial, keanekaragaman hayati dan sistem pendukung kehidupan WTO dalam Nurisyah et al. 2003 Lanskap wisata pesisir adalah bentukan lanskap yang terbentuk dari hasil hubungan antara alam dan kebudayaan pesisir dimana bentukan lanskap alami dan kebudayaan pesisir tersebut sering menjadi motivasi dari kegiatan wisata pesisir Simonds 1983. Pengelolaan berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya pesisir yang dapat memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia pada saat ini tanpa mengorbankan potensi pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia di masa mendatang Nurisyah et al. 2003. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografi dan Administrasi Lokasi studi merupakan sebuah teluk yang berada di antara dua tanjung, yaitu Tanjung Lopi di sebelah utara dan Tanjung Watoblou di sebelah selatan. Berdasarkan posisi geografis, Tanjung Lopi berada pada 08 27’20”LS dan 22 52’25”BT sedangkan Tanjung Watoblou berada pada 8 33’45”LS dan 122 50’40”BT. Terdapat tujuh desa yang bersinggungan langsung dengan garis pantai Teluk Konga, yaitu Desa Watotikaile, Desa Lamika, Desa Lewoingu, Desa Lewolaga, Desa Konga, Desa Nobokonga, dan Desa Nurri. Tanjung Lopi secara administrasi terletak di Desa Watotikaile, sedangkan Tanjung Watoblou berada pada Desa Nurri. Sejak tahun 2002 Kabupaten Flores Timur dibagi menjadi 13 Kecamatan yaitu Kecamatan Tanjung Bunga, Larantuka, Ile Mandiri, Titehena, Wulang Gitang, Adonara Barat, Wotanulumado, Adonara Timur, Ile Boleng, Klubagolit, Witihama, Adonara Barat, dan Adonara Timur. Dari 13 kecamatan tersebut, terdapat tiga kecamatan yang letaknya bersinggungan langsung dengan Teluk Konga. Tiga kecamatan tersebut ialah Larantuka, Titehena, dan Wulang Gitang. Desa Watotikaile dan Desa Lamika merupakan desa yang terletak di Kecamatan Larantuka. Desa Lewoingu, Desa Lewolaga, dan Desa Konga terletak di Kecamatan Titehena. Sedangkan Desa Nobokonga dan Desa Nurri berada dalam cakupan administrasi Kecamatan Wulang Gitang. Secara keseluruhan luasan lokasi studi ini ialah 3337.05 ha. Nama desa dan kecamatan serta luasan desa dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Kecamatan dan desa yang bersinggungan langsung dengan Teluk Konga Luas Desa No Desa Kecamatan ha 1. Watotikaile Larantuka 220.00 6.6 2. Lamika Larantuka 888.00 26.6 3. Lewoingu Titehena 820.00 24.6 4. Lewolaga Titehena 445.05 13.3 5. Konga Titehena 150.00 4.5 6. Nobokonga Wulang Gitang 654.80 19.6 7. Nurri Wulang Gitang 160.00 4.8 Total 3337.05 100 Sumber : Data Desa 2006 Kondisi Biofisik Pulau Flores merupakan pulau vulkanik. Pulau vulkanik ialah pulau yang terbentuk dari kegiatan gunung berapi magma yang keluar dari dalam perut bumi. Hal ini diperjelas dengan masih adanya beberapa gunung berapi yang hingga kini masih aktif, antara lain Gunung Egon dan Gunung Lewotobi. Sedangkan berdasarkan tipe morfologi pembentuk pulau-pulau kecil, pulau Flores tergolong ke dalam pulau bergunung. Pulau bergunung secara topografi memperlihatkan tonjolan-tonjolan elevasi, berbukit atau bahkan bergunung- gunung topografi bergelombang. Jenis tanah di kabupaten Flores Timur pada umumnya mempunyai jenis tanah mediteran daratan Flores, P.Adonara dan P.Solor, litosol P.Lembata dan regosol Boru. Jenis-jenis ini menjadikan Flores Timur cocok untuk tanaman perkebunan. Keadaan tekstur tanah, yaitu tanah bertekstur halus seluas 3.856 1,25, bertekstur sedang seluas 170.559 ha 55,39, bertekstur kasar seluas 133.508 ha 99,79. Luas daerah yang tergenang periodik seluas 690 ha 0,20 dan tergenang seluas 2 ha. Kandungan batuan terbentuk oleh hasil aktivitas gunung berapi, yang terdiri dari lava, breksi, aglomerat dan tufa dengan akifer produktivitas rendah. Jenis batuan pada umumnya ialah batu gamping atau koral dengan sifat pejal dan tidak berlapis serta mempunyai sifat kelulusan sedang. Teluk Konga sendiri memiliki kondisi geologi yang terdiri dari aluvium, batuan gunung berapi muda, batuan gunung api tua, dan batu gamping koral Bappeda Flores Timur, 1992. Secara keseluruhan, kabupaten Flores Timur memiliki tingkat kemiringan tanah lereng, yaitu lebih dari 40 seluas 142.335 Ha 46,23, 15 – 40 seluas 101.298 Ha 32,89, 2 – 15 seluas 35.122 Ha 11,41, 0 – 2 29.148 Ha 9,47. Kemampuan tanah mempunyai kedalaman efektif yang berkisar 30cm seluas 76.130 Ha 24,72, 30 – 60 cm seluas 138.960 Ha 45,13 , 60 – 90 cm seluas 34.350 Ha 11,16, 90 cm 58.483 Ha 18,99. Teluk Konga berada di antara kelerengan 15 – 40 . Sifat hidrologis Teluk Konga dicirikan dengan bentuk pantai yang berkelok-kelok. Hal ini menunjukkan keanekaragaman habitat yang tinggi di pantai Teluk Konga. Pada musim barat arah arus menuju tenggara, sedangkan pada musim timur arah arus menuju barat laut. Teluk Konga memiliki tipe pasang surut dengan jenis pasang surut campuran condong ke harian ganda mixed tide prevailing semidiurnal , yaitu dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut, tetapi tinggi dan periodenya berbeda. Pasang high water tertinggi bulanan pada bulan Juli 2006 terjadi pada tanggal 11 hingga 13. Surut low water terendah di bulan Juli 2006 terjadi pada tanggal 10 hingga 13. Selisih antara pasang naik dan pasang surut ialah 2 m Dinas Hidro-Oseanografi, 2006. Musim panas di Teluk Konga terjadi antara bulan April hingga Oktober, sedangkan musim hujan terjadi pada bulan Nopember sampai Maret. Kelembaban nisbi tinggi terjadi pada bulan Desember hingga April, sedangkan kelembaban nisbi rendah terjadi pada bulan Mei hingga Nopember. Iklim selama sepuluh tahun tidak banyak mengalami perubahan, kecuali suhu rata-rata dan kecepatan angin yang mengalami peningkatan di tahun 2003 hingga 2005. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor pemanasan global. Data iklim di Flores Timur selama 10 tahun dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Data iklim di Flores Timur tahun 1996 hingga tahun 2005 Suhu Udara C Tahun Rata- rata Maks Min Curah Hujan mmbln Penyinaran Matahari Tekanan Udara mb Kelemba- ban Nisbi Kece- patan Angin knots 1996 27.50 31.60 23.27 67.83 73.09 1016.03 75.75 3.26 1997 26.78 31.48 22.49 136.83 75.58 1018.19 77.17 2.29 1998 28.14 32.34 23.66 66.05 67.00 1017.14 81.50 2.50 1999 27.44 31.68 21.17 82.03 62.18 1016.15 78.64 3.27 2000 27.67 31.90 21.39 96.02 58.18 1015.65 78.00 3.18 2001 27.43 32.06 23.28 81.08 69.33 1016.23 78.08 3.33 2002 27.85 32.23 22.64 42.18 74.17 1017.34 76.08 3.58 2003 28.23 32.38 23.64 104.22 67.67 1016.93 81.08 4.67 2004 28.16 32.42 23.28 75.71 72.01 1017.15 83.17 4.75 2005 28.28 32.78 21.36 103.85 64.76 1016.88 81.00 3.75 Rata- rata

27.75 32.08 22.62 85.58 68.40

1016.77 79.05 3.46 Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika BMG Kabupaten Flores Timur 2006. Tata Guna Lahan Penggunaan lahan pada kawasan studi secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kawasan alami, kawasan semi alami dan kawasan buatan. Kawasan alami meliputi hutan alami, hutan mangrove, dan semak belukar. Kawasan semi alami meliputi sawah, kebun, dan tegalanladang. Sedangkan kawasan buatan berupa pemukiman penduduk. Tata guna lahan di Teluk Konga dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Tata guna lahan di Teluk Konga No. Tipe Kawasan Tipe Penggunaan Lahan Luas ha Hutan Alami 1040 Hutan Mangrove 94 1. Alami SemakBelukar 1713 Sawah 259 KebunPerkebunan 1335 2. Semi Alami TegalanLadang 1090 3. Buatan Pemukiman 113 Sumber : Profil Desa 2006 Teluk Konga memiliki beberapa tipe ekosistem yang masih alami. Tipe ekosistem alami di Teluk Konga berdasarkan klasifikasi Sastrapradja et al. 1989 dapat dikategorikan menjadi ekosistem pantai batu, ekosistem hutan bakau, ekosistem vegetasi pantai pasir dan karang, ekosistem hutan monsun dan ekosistem savana. Ekosistem pantai batu berupa batuan padas yang berasal dari proses koglomerasi batu-batu kecil dengan tanah liat dan kapur, atau terbentuk dari bongkah-bongkah batu granit yang besar-besar. Ekosistem ini terdapat antara lain di Pantai Lewolaga dan Tanjung Waitimu. Ekosistem hutan bakau ialah hutan yang terdapat di area pesisir dengan vegetasi yang tahan dengan salinitas. Jenis vegetasi hutan mangrove di Teluk Konga antara lain Avicennia alba Bl, Avicennia marina Forsk. Vierh., Rhizophora apiculata Bl, dan Rhizophora mucronata Lmk. Ekosistem ini dapat dijumpai antara lain pada hutan mangrove Lewolaga, Konga, dan Nobokonga. Ekosistem vegetasi pantai merupakan ekosistem yang terdapat di tepi pantai berpasir atau berkarang yang membentang tidak terlalu jauh dari pantai ke arah darat. Vegetasi pada ekosistem ini di Teluk Konga terdiri atas vegetasi yang berbentuk terna formasi pes-caprea dan vegetasi yang berbentuk perdu dan pohon formasi Baringtonia. Vegetasi tersebut berupa Ipomea pes-caprea L. Sweet, Pandanus odoratissima, Baringtonia asiatica L. Kurz. Ekosistem ini dijumpai di hutan pantai Konga. Ekosistem darat alami lainnya berupa ekosistem hutan monsun dan ekosistem savana. Ekosistem hutan monsun merupakan ekosistem yang hanya memiliki satu lapisan tajuk pohon dengan tinggi jarang lebih dari 25 m. Pohon bercabang rendah, batangnya jarang lurus, jumlah sedikit dan masing-masing cenderung untuk menjadi dominan lokal. Sedangkan ekosistem savana memiliki tipe vegetasi berkisar dari padang rumput dengan pohon-pohon yang terpencar jarang. Kedua ekosistem ini dapat dijumpai di pesisir desa Nurri. Resiko Bencana Lingkungan Bahaya lingkungan terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Berdasarkan Rancangan Undang-undang Penanggulangan Bencana Pasal 1 Ayat 1 bencana lingkungan merupakan suatu kejadian yang disebabkan oleh alam, manusia atau keduanya, yang menimbulkan korban manusia, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana, lingkungan dan utilitas umum, serta meninggalkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat. Bencana lingkungan dibagi atas bencana alam dan bencana karena manusia. Bencana alam merupakan bencana yang ditimbulkan akibat adanya aktivitas alam. Bencana alam yang umumnya terjadi adalah gempa bumi, tsunami, gunung meletus, tanah longsor, gerakan tanah, erosi, sedimentasi, intrusi, perembesan, wabah penyakit, terancam punahnya tumbuhan dan satwa, hujan dan badai, banjir, kekeringan, penggurunan, gelombang pasang, kebakaran hutan, dan sebagainya. Bencana karena manusia terjadi akibat kegiatan manusia yaitu pencemaran lingkungan, kebisingan, dan kombinasi dari keduanya. Bencana lingkungan ini mengakibatkan kerugiaan secara fisik, ekologis, ekonomi, dan sosial Nurisyah 2007 Bencana alam yang berpotensi terjadi di Teluk Konga antara lain ialah gempa bumi, gunung meletus, banjir dan tanah longsor. Gempa bumi merupakan aktivitas geologis yang terjadi karena pergerakan lempeng tektonik gempa tektonik dan aktivitas gunung api gempa vulkanik. Aktivitas tektonik kawasan bagian Timur Indonesia dibedakan menjadi busur sangat aktif, busur aktif, zona lipatan dan patahan, zona laut Banda bagian barat, blok stabil Kei, dan kawasan sangat stabil Timor dan Dangkalan Sahul. Gempa dengan episentrum di dasar laut dapat menimbulkan tsunami, yaitu timbulnya gelombang tinggi yang bergerak menyapu daratan di pulau-pulau sekitarnya. Pulau Flores termasuk dalam zona laut Banda bagian barat yang memiliki potensi gempa tektonik yang tinggi dan dapat menyebabkan tsunami. Teluk Konga juga memiliki sepasang gunung berapi yaitu Gunung Lewotobi Laki-laki dan Gunung Lewotobi Perempuan. Gunung Lewotobi Laki- laki merupakan salah satu gunng berapi aktif di Pulau Flores. Flores dan pulau- pulau lainnya di Nusa Tenggara Timur dibangun oleh tubuh gunung berapi purba maupun aktif. Pulau-pulau ini merupakan salah satu contoh bagaimana kulit bumi ini terbentuk dan berkembang Deptamben 1990. Gunung Lewotobi Laki-laki bersebelahan dengan Gunung Lewotobi Perempuan dengan jarak kira-kira 2 km. Kemungkinan Gunung Lewotobi Laki- laki muncul setelah Gunung Lewotobi Perempuan ada. Gunung Lewotobi Laki- laki membentuk kerucut runcing dengan lereng di sekitar puncak membentuk sudut 45 . Sebagian besar tubuh gunung berapi ini dibangun oleh lava. Sebuah kawah terdapat di puncak, dinding kawah di sebelah utara vertikal. Kawah lainnya terdapat di sebelah barat laut kawah utama. Akivitas Gunung Lewotobi Laki-laki mengakibatkan gempa tektonik dan letusan gunung berapi Deptamben 1990. Kegiatan letusan Gunung Lewotobi Laki-laki dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Data letusan Gunung Lewotobi Laki-Laki No Waktu Sifat Letusan 1 4, 18 Mei 1861 Letusan abu 2 1865 Letusan abu 3 13 Juli dan 15 Desember 1868 Letusan abu 4 1869 Letusan batu dan lontaran batu 5 Kegiatan mulai 28 sept – 18 0kt 1907 Aliran lava ke arah Nobo dan Nurabelen 6 9 April 1909 sampai 21 Mei 1910 Letusan abu dan aliran lava 7 29 Juni 1914 Letusan abu dan aliran lava 8 23 Mei 1932 sampai Desember 1933 Letutas abu, aliran lava dan guguran lava 9 17 Desember 1939 sampai 21 April 1940 Letusan abu dan aliran lava 10 1969 dan 1970 Letusan abu 11 2 April 1990 Letusan abu 12 28 Juli 1992 Letusan abu 13 21 Maret sampai 1 Juli 1999 Letusan abu 14 31 Mei sampai 31 Agustus 2003 Letusan abu Sumber : Badan Vulkanologi Flores Timur 2006 Gunung Lewotobi Perempuan mempunyai bentuk kerucut terpancung dan terdapat dua buah kawah di puncaknya. Gunung ini bersifat eksplosif menghasilkan rempah gunung api lepas dan efusif yang menghasilkan aliran lava dan kubah lava. Dalam perkembangannya gunung ini menghasilkan endapan awan panas yang menyelimuti hampir seluruh tubuh gunung. Gunung Lewotobi Perempuan hanya dua kali terjadi kegiatan yang tercatat selama ini Tabel 13. Tabel 13 Data letusan Gunung Lewotobi Perempuan No Waktu Sifat Letusan 1 1, 3, dan 4 Januari 1921 dan 20 Desember 1921 Letusan abu Letusan abu dan lontaran batu 2 1935 Keluar asap tebal disertai suara gemuruh Sumber : Badan Vulkanologi Flores Timur 2006 Daerah sepanjang pesisir mempunyai kerawanan yang cukup tinggi terhadap bahaya banjir. Pada dasarnya bahaya banjir dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe, yaitu 1 bahaya banjir yang terjadi sedikitnya sekali dalam setahun, 2 bahaya banjir yang terjadi setiap 5 sampai 10 tahun sekali, 3 bahaya banjir yang terjadi setiap 50 sampai 100 tahun sekali. Wilayah Teluk Konga tidak terdapat data mengenai bahaya banjir yang pernah terjadi. Namun demikian, kemungkinan potensi banjir tahunan cukup kecil karena Teluk Konga hanya memiliki satu sungai besar, yaitu sungai Waikonga. Teluk Konga memiliki sungai dengan jenis selalu terairi dan terairi musiman. Sungai selalu terairi merupakan sungai yang selalu terairi pada musim hujan maupun dimusim kemarau. Sungai terairi musiman merupakan sungai yang hanya terairi pada musim hujan saja, sedangkan pada musim kemarau sungai tersebut menjadi kering. Nama dan jenis sungai tersaji pada Tabel 14. Kondisi fisiografi Teluk Konga berupa pegunungan, perbukitan bergelombang dan dataran redah. Beberapa bagian lahan di Teluk Konga terbentuk dari batuan karang yang terangkat kepermukaan, sehingga meskipun tutupan vegetasi rendah, resiko terjadinya tanah longsor juga rendah karena adanya batu karang yang dapat menstabilkan gerakan masa tanah pada saat turun hujan lebat. Namun resiko tanah longsor dapat terjadi di daerah sekitar gunung berapi Lewotobi. Hal ini dikarenakan topografi yang curam dan tanah yang kurang stabil. Tabel 14 Nama sungai yang bermuara di Teluk Konga No Nama sungai Jenis sungai Letak 1 Senatra Musiman Watotika Ile 2 Lumbelen Musiman Lamika 3 Letekkoten Musiman Batas desa Lamika dan Lewoingu 4 Oyang Musiman Lewoingu 5 Kemui Musiman Batas desa Lewoingu dan Lewolaga 6 Ulangkene Musiman Lewolaga 7 Ninu Selalu terairi Lewolaga 8 Dateng Musiman Lewolaga 9 Leko Selalu terairi Batas desa Lewolaga dan Konga 10 Konga Selalu terairi Konga 11 Rabiama Musiman Batas Nobokonga dan Nurri 12 Ikankotang Musiman Nurri 13 Rata Musiman Nurri 14 Pelati Musiman Nurri 15 Nurabelen Musiman Nurri Sumber : Peta RBI Bakosurtanal 2000 Sosial Budaya dan Ekonomi Masyarakat Penduduk desa-desa di Teluk Konga didominasi oleh suku Lamaholot, yaitu suku asli di Flores Timur. Masyarakat Teluk Konga tercatat 7597 jiwa dengan total penduduk pria 3519 46,32 dan penduduk wanita 4078 53,68. Jumlah penduduk terbanyak ialah desa Nobokonga dengan total penduduk 1892 jiwa, sedangkan desa Watotika Ile memiliki jumlah penduduk paling sedikit yaitu 509 jiwa Tabel 15. Tabel 15 Jumlah penduduk tiap desa di lokasi penelitian No Desa Jumlah Penduduk Pria Jumlah Penduduk Wanita Jumlah Penduduk Total 1 Watotika Ile 242 267 509 2 Lamika 468 505 973 3 Lewoingu 494 538 1032 4 Lewolaga 555 642 1197 5 Konga 403 445 848 6 Nobokonga 888 1004 1892 7 Nurri 469 677 1146 Jumlah 3519 4078 7597 Sumber : Profil Desa 2006 Masyarakat Teluk Konga ialah masyarakat pesisir namun aktivitas sehari- harinya dilakukan di darat. Penduduk Teluk Konga sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Kegiatan nelayan dilakukan pada musim bera yaitu masa menunggu musim tanam setelah selesai panen dan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan. Kegiatan pertanian yang dilakukaan ialah berladang jagung, ubi, dan sebagainya, bersawah padi, dan berkebun jambu mente. Kegiatan berladang dilakukan dengan sistem ladang berpindah sesuai dengan ketentuan adat. Secara adat setiap musim tanam hanya dapat dilakukan pada daerah-daerah tertentu yang disebut etang. Setelah panen, etang ditinggalkan dan dibuka etang baru. Etang yang lama akan ditinggalkan hingga suatu saat kembali ditanami. Hal ini dilakukan karena tanah yang ada memiliki solum yang tipis sehingga tanaman akan sulit menghasilkan jika ditanam kembali pada musim berikutnya. Pemerintah menganjurkan untuk menanam jambu mente pada etang- etang yang ditinggalkan agar tidak terjadi erosi tanah. Lahan yang terdapat di Flores Timur umumnya merupakan tanah ulayat yang dikuasai oleh masyarakat dan dipergunakan untuk kemakmuran masyarakat tersebut. Untuk itu, seluruh kegiatan yang akan dilakukan pada lahan tersebut atas persetujuan tetua adat dan diawali dengan upacara adat seperti halnya upacara adat pada musim tanam dan upacara adat pada musim panen. Tetua adat memiliki pengaruh yang cukup besar dalam pengambilan keputusan di desa. Penyelesaian konflik intern desa ataupun konflik ekstern desa dilakukan dengan hukum adat. Meskipun demikian masyarakat terbuka terhadap pendatang maupun warga negara asing. Hal ini dapat dilihat dengan pesatnya pertumbuhan agama Katholik di Flores, terutama Flores Timur. Agama Katholik memberi banyak pengaruh dalam kehidupan masyarakat Flores terutama yang berkaitan dengan pendidikan. Fasilitas umum yang tersedia di tiap desa di Teluk Konga sangat minim, antara lain balai desa, sekolah, koperasi, pasar, jaringan listrik, jaringan PDAM, jaringan telepon, fasilitas kesehatan, terminal, pelabuhandermaga, dan tempat ibadah. Secara keseluruhan di Teluk Konga terdapat satu pasar yang terletak di desa Lewoingu dan beraktivitas setiap hari Jumat pagi. Pasokan listrik dari PLN hanya tersedia di desa-desa tertentu. Penerangan desa dalam lokasi penelitian umumnya menggunakan genset yang mulai diaktifkan pada pukul 19.00 WITA untuk penerangan malam hari. Genset tersebut merupakan hasil swadaya masyarakat desa. Tempat ibadah yang tersedia di tiap desa berupa gereja Katholik dan kapela karena mayoritas penduduk memeluk agama Katholik. Gereja terdapat satu pada setiap desa, lainnya berupa Kapela. Namun desa Nurri memiliki tiga buah gereja, yakni satu gereja pada setiap dusun. Hal ini dikarenakan jarak antar dusun yang berjauhan. Tabel 16 menunjukkan jenis fasilitas umum dan jumlahnya di tiap desa di lokasi penelitian. Tabel 16 Fasilitas umum tiap desa di lokasi penelitian No Desa Ba la i Desa Sekol a h Koper a si Pas a r Jari n g a n Listrik Jari n g a n PDAM Jari n g a n Telepon Fa silita s Keseh a tan Terminal Pelabu han D a rmaga Tempat Ibad ah 1 Watotika Ile 1 1 3 - - - - 2 - - 1 2 Lamika 1 2 - - 6 - - 4 - - 2 3 Lewoingu 2 4 - 1 - 1 - - 1 - 2 4 Lewolaga 1 4 9 - 1 1 1 5 1 1 2 5 Konga 1 1 3 - 5 1 - 2 - - 3 6 Nobo Konga 1 - - - - - - - - 1 1 7 Nurri 1 5 - - - - - 2 - - 5 Total 8 17 15 1 12 3 1 15 2 - 16 Sumber : Profil Desa 2006 Akses dan Sistem Transportasi Akses menuju Teluk Konga bisa dicapai melalui darat maupun laut. Jalur darat dapat ditempuh melalui dua kota, yaitu Larantuka dan Maumere. Sedangkan jalur laut dan udara dapat diakses melalui Larantuka dan Maumere. Maumere dan Larantuka merupakan gerbang menuju Teluk Konga. Kedua kota tersebut dapat langsung diakses melalui Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar, Kupang, dan Labuanbajo. Sedangkan melalui laut, Teluk Konga bisa diakses dengan kapal berukuran kecil yang dapat berlabuh di pelabuhan Waidoko. Teluk Konga berada di tengah-tengah antara Larantuka dan Maumere. Jalan yang menghubungkan kedua kota tersebut berupa jalan asphalt hotmix dengan kondisi sangat baik. Jalur laut juga berkembang sangat pesat sehingga kedua kota tersebut dapat diakses setiap minggu. Jalur udara dapat dilalui empat Keterangan: : Kawasan Penelitian : Jalur darat : Kota-kota sumber wisatawan : Jalur udara : Jalur laut kali seminggu dari Kupang menuju Larantuka, sedangkan dari Kupang menuju Maumere dua kali seminggu, dan Denpasar menuju Maumere enam kali seminggu dengan dua kali penerbangan. Diagram aksesibilitas Teluk Konga tersaji pada Gambar 9. Gambar 9 Diagram aksesibilitas Teluk Konga. Aksesibilitas menuju lokasi penelitian relatif mudah. Jalan yang menghubungkan antar desa di dalam lokasi penelitian juga telah tersedia dan ada dalam kondisi yang sangat baik. Jalan tersebut merupakan jalan propinsi yang dapat dilalui oleh kendaraan roda empat. Akan tetapi kondisi tapak yang berbukit- bukit menyebabkan beberapa segmen jalan yang agak berbahaya karena terlampau curam dan bertikungan tajam. Sarana transportasi tersedia di waktu-waktu tertentu namun dengan intensitas yang relatif kecil. Angkutan pedesaan pada umumnya tidak tersedia pada malam hari. Alternatif angkutan lainnya ialah ojek motor dan Denpasar Kupang Makasar Larantuka Maumere Surabaya Teluk Konga Jakarta bis antar kota Larantuka – Maumere. Aksesibilitas dan sarana transportasi dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Aksesibilitas dan sarana transportasi menuju lokasi penelitian No Desa Jarak dari ibukota Kecamatan km Jarak dari ibukota Kabupaten km Jenis Angkutan Umum Waktu Operasi 1 Watotika Ile 25 25 Angkutan pedesaan 07.00-18.00 WITA 2 Lamika 27 27 Angkutan pedesaan 07.00-18.00 WITA 3 Lewoingu 28 29 Bis antar kota 08.00-19.00 WITA 4 Lewolaga 13 35 Angkutan pedesaan 08.00-20.00 WITA 5 Konga 11 44 Angkutan pedesaan 07.00-19.00 WITA 6 Nobokonga 11 49 - - 7 Nurri 27 54 - - Sumber : Profil Desa 2006 Potensi Pariwisata Flores Timur Wilayah Indonesia bagian timur memiliki kekayaan alam dan budaya yang tinggi dan berpotensi dikembangkan untuk wisata. Tidak terkecuali kekayaan alam dan budaya yang ada di provinsi Nusa Tenggara Timur NTT. Beberapa kawasan di NTT sudah dikembangkan sebagai kawasan wisata termasuk diantaranya Taman Nasional Pulau Komodo, Cagar Alam Gunung Kelimutu, dan Cagar Alam Gunung Mutis. Selain itu, beberapa obyek dan atraksi wisata juga sedang dikembangkan di NTT, seperti Taman Wisata Alam Laut Teluk Kupang. Berbagai obyek dan atraksi wisata di NTT dapat dilihat pada Lampiran 1. Pada saat ini, Kabupaten Flores Timur telah mempunyai beberapa obyek dan atraksi yang akan dikembangkan sebagai obyek dan atraksi wisata. Obyek dan atraksi wisata ini diharapkan dapat dikembangkan menjadi paket wisata Flores Timur yang dapat menarik minat wisatawan untuk datang dan menikmati pariwisata di Flores Timur. Dengan pariwisata diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dan meningkatkan pendapatan daerah Flores Timur. Obyek dan atraksi wisata di Flores Timur disajikan pada Lampiran 2. Kota Larantuka merupakan ibukota kabupaten Flores Timur dikenal sebagai kota wisata religi bagi umat Katholik. Hal ini terlihat dari suasana kota dan banyaknya tempat peribadatan. Salah satu atraksi yang terkenal ialah Prosesi Jumat Agung. Prosesi ini dilakukan pada perayaan Paskah setiap tahunnya. Masyarakat dari luar Flores dan luar negeri berdatangan untuk meramaikan prosesi ini. Dengan demikian, kota Larantuka dapat dijadikan sebagai pusat promosi wisata bagi kawasan wisata lain di Flores Timur. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Potensi Kawasan Wisata untuk Pesisir

Perencanaan pengembangan suatu kawasan wisata pesisir di Teluk Konga ditentukan berdasarkan kualitas lingkungan pesisir, pengembangan kepariwisataan pesisir, dan keikutsertaan masyarakat pesisir dalam pengembangan wisata. a. Kualitas Lingkungan Pesisir Penilaian kualitas lingkungan pesisir kawasan penelitian ditentukan berdasarkan kesesuaian akuatik dan kesesuaian terestrial. Hasil penilaian kesesuaian akuatik Tabel 18 ialah kategori sangat sesuai S1 untuk Lewolaga dan Konga, dan kategori cukup sesuai S2 untuk desa lainnya. Hasil yang diperoleh dari penilaian kesesuaian terestrial Teluk Konga sebagai kawasan wisata pesisir Tabel 19 menunjukkan bahwa semua bagian tapak potensial untuk dijadikan kawasan wisata. Tabel 18 Penilaian kesesuaian akuatik untuk wisata pesisir di Teluk Konga Kecerahan perairan Kecepatan arus Substrat dasar Topografi laut Bahaya tsunami Kesesuaian wisata Parameter Desa N S N S N S N S N S N K Watotika Ile 80 SS 30 KS 30 S 20 KS 10 KS 170 S2 Lamika 80 SS 30 KS 30 S 20 KS 10 KS 170 S2 Lewoingu 80 SS 45 S 20 KS 20 KS 10 KS 175 S2 Lewolaga 80 SS 60 SS 20 KS 40 SS 10 KS 210 S1 Konga 80 SS 60 SS 20 KS 30 S 10 KS 200 S1 Nobokonga 80 SS 45 S 20 KS 20 KS 10 KS 175 S2 Nurri 80 SS 15 TS 30 S 10 TS 10 KS 145 S2 Sumber: Olahan data lapang Keterangan: N = Nilai, S = Skor SS=Sangat Sesuai, S=Sesuai, KS=Kurang Sesuai, TS=Tidak Sesuai, K = Kategori Tabel 19 Penilaian kesesuaian terestrial untuk wisata pesisir di Teluk Konga Ekosistem Penutupan lahan pantai Lebar pantai Topografi darat Bahaya gunungapi Kesesuaian wisata Parameter Desa N S N S N S N S N S N K Watotika Ile 60 S 45 S 20 KS 10 TS 20 SS 155 S2 Lamika 60 S 45 S 40 SS 10 TS 20 SS 175 S2 Lewoingu 60 S 45 S 30 S 20 KS 20 SS 175 S2 Lewolaga 60 S 45 S 40 SS 40 SS 20 SS 195 S1 Konga 60 S 45 S 40 SS 30 S 20 SS 195 S1 Nobokonga 60 S 45 S 10 TS 10 TS 10 KS 135 S2 Nurri 60 S 45 S 10 TS 10 TS 5 TS 130 S2 Sumber: Olahan data lapang Keterangan: Keterangan: N = Nilai, S = Skor SS=Sangat Sesuai, S=Sesuai, KS=Kurang Sesuai, TS=Tidak Sesuai, K = Kategori Kecerahan perairan adalah suatu kondisi perairan dengan intensitas cahaya hingga batas maksimal ke arah dasar laut, dengan demikian berbagai kehidupan alam bawah laut dapat dinikmati oleh para wisatawan. Kecerahan air yang tinggi juga menjadi indikator tingkat kebersihan perairan laut. Oleh karena itu, perairan yang memiliki kecerahan tinggi merupakan sarat utama yang harus dipenuhi dalam kegiatan wisata bahari. Nilai kecerahan perairan yang tinggi ialah 75, sedangkan nilai kecerahan perairan di Teluk Konga berkisar antara 80 - 100. Nilai ini mengindikasikan bahwa perairan Teluk Konga dapat mendukung aktifitas wisata pesisir, seperti snorkelling, menyelam diving, dan mengamati terumbu karang dengan menggunakan glass bottom boat. Kecepatan arus adalah salah satu kondisi perairan yang sangat berkaitan dengan keamanan dan keselamatan para wisatawan yang melaksanakan aktivitas di dalam air. Keberadaan Pulau Konga di tengah Teluk Konga menyebabkan berkurangnya kecepatan arus yang masuk ke pesisir Teluk Konga. Hal ini memberi dampak positif bagi pengembangan wisata karena kecepatan arus yang rendah mendukung pengembangan kawasan wisata pesisir. Nilai kecepatan arus yang baik untuk aktifitas wisata air ialah 0,51 mdet, sedangkan di Teluk Konga pada umumnya perairan sesuai untuk wisata air, kecuali perairan desa Nurri. Rendahnya kecepatan arus dapat menunjang aktifitas wisata pesisir seperti bersampan dan berenang. Substrat dasar dibeberapa lokasi pantai berupa lumpur dengan vegetasi mangrove. Substrat lumpur terjadi sebagai akibat dari adanya muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Kondisi pesisir Teluk Konga yang terlindungi dari gempuran ombak dan daerah landai menyebabkan terjadinya pengendapan lumpur sehingga pertumbuhan mangrove menjadi optimal. Hutan mangrove sangat kaya akan keanekaragaman dan merupakan daerah asuhan nursery ground dan daerah pemijahan spawning ground beberapa jenis hewan perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan. Dengan kekayaan yang dimiliki, hutan mangrove dapat dijadikan sebagai salah satu obyek wisata dalam pengembangan pariwisata pesisir di Teluk Konga. Topografi laut landai pada perairan Lewolaga dan Konga. Topografi landai baik untuk aktivitas rekreasi pantai. Topografi curam terdapat pada lokasi pantai yang mendekati Selat Lewotobi. Topografi curam berbahaya untuk wisata tetapi memiliki pemandangan laut yang indah seperti terumbu karang, sehingga dapat dikembangkan untuk wisata bahari dengan fasilitas glass bottom boat untuk dapat melihat terumbu karang. Pulau Flores pada umumnya tercakup dalam kawasan rawan tsunami di Indonesia. Teluk Konga sendiri termasuk daerah dengan kerawanan bencana tsunami tinggi. Bencana tsunami yang melanda Flores utara pada 12 Desember 1992 menyebabkan terjadinya gempa di beberapa desa di Teluk Konga, seperti desa Konga dan desa Nobokonga. Gempa tersebut mengakibatkan kerusakan pada seluruh bangunan rumah di Konga dan kerusakan pada sebagian konstruksi dermaga Waidoko Nobokonga. Gambar 10 menunjukkan daerah rawan tsunami di Nusa Tenggara Timur. Sumber : Peta on-line Bakosurtanal download 30 Juli 2007 Gambar 10 Peta tingkat kerawanan bencana tsunami. Pengembangan wisata dapat tetap dilakukan meskipun Teluk Konga dinyatakan sebagai daerah dengan tingkat kerawanan tsunami tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan bahaya tsunami yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Untuk mencegah adanya korban jiwa, maka perlu dilakukan pemasangan sistem peringatan dini early warning system untuk mendeteksi potensi bahaya tsunami dan jalur evakuasi ketika terjadi tsunami. Teluk Konga Sistem peringatan dini dapat mengacu pada sistem peringatan dini yang dikembangkan oleh Federal Emergency Management Agency FEMA dan National Oceanic and Atmospheric Administration NOAA yaitu Deep-Ocean Assessment and Reporting of Tsunamis DART. Teknik yang diaplikasikan pada sistem DART ialah pemasangan deep-ocean tsunami detector pada laut dalam di daerah-daerah yang merupakan jalur potensi tsunami dan dengan menggunakan sistem komputer akan diprediksi berapa lama pemicu tsunami dapat mencapai pesisir. Sistem ini menjadi efektif dengan pemasangan alarm di pesisir Teluk Konga dan pendidikan bahaya tsunami bagi wisatawan dan masyarakat lokal González 1999. Pembuatan jalur evakuasi dan lokasi evakuasi bagi penduduk dan wisatawan dilakukan untuk mencegah terjadinya korban jiwa ketika tsunami terjadi. Jalur evakuasi dapat dibuat dengan menghubungkan tempat aktifitas wisata dan aktifitas keseharian penduduk dengan lokasi evakuasi tsunami. Lokasi evakuasi tsunami dapat disediakan di daratan pesisir yang lebih tinggi dan dapat dengan mudah dan cepat dijangkau oleh wisatawan dan masyarakat lokal. Pendayagunaan laut sebagai media wisata memerlukan persyaratan tertentu Yudasmara 2004, antara lain 1 Keadaan musimcuaca yang cukup baik sepanjang tahun 2 Lingkungan laut yang bersih, bebas pencemaran. 3 Keadaan pantai yang bersih dan alami, yang disertai pengaturan- pengaturan tertentu terhadap bangunan dan jenis kegiatan. 4 Keadaan dasar laut yang masih alami, misalnya taman laut yang merupakan habitat dari berbagai fauna dan flora. 5 Gelombang dan arus yang relatif tidak terlalu besar serta aksesibilitas yang tinggi. Berdasarkan persyaratan di atas, maka secara fisik perairan Teluk Konga merupakan teluk yang potensial untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata, mengingat potensi sumber daya yang dimiliki sangat mendukung seperti kecerahan perairan yang tinggi dan kecepatan arus yang rendah, keadaan pantai dan dasar laut yang masih alami, dan lingkungan laut yang bersih. Potensi sumber daya alam terestrial Teluk Konga juga mendukung pengembangan wisata pesisir, seperti ekosistem yang masih asli, penutupan lahan pantai yang masih alami, serta adanya lokasi pengamatan aktivitas gunung berapi yang aman untuk wisatawan. Sehingga pengembangan Teluk Konga sebagai kawasan wisata yang menampilkan obyek dan atraksi wisata alam dan budaya dapat diklasifikasi sesuai peruntukannya. Keaslian ekosistem di Teluk Konga masih sangat baik yaitu ekosistem mengalami kerusakan kurang dari 15 persen. Pesisir Teluk Konga memiliki ekosistem yang masih alami berupa ekosistem hutan mangrove, hutan pantai, pantai bepasir, pantai berbatu, hutan darat, sungai, gunung dan pulau kecil. Ekosistem yang masih asli dapat dijadikan sebagai obyek wisata alam bagi pengembangan wisata di Teluk Konga. Gambar 11 Peta penggunaan lahan di Teluk Konga. Penutupan lahan di pesisir Teluk Konga terdiri atas hutan alami, hutan rawamangrove, padang rumput, kebun, ladang, semak belukar, sawah, pemukiman, dan pasir pantai Gambar 11. Sebagian besar lahan di pesisir Teluk Konga tertutupi oleh hutan yang masih alami. Penutupan lahan yang masih alami atau semi alami dapat dikembangkan sebagai obyek wisata pesisir di Teluk Konga. Sebagai contoh ialah pengembangan kawasan semi alami, yaitu sawah dan ladang di desa Konga. Desa Konga ditetapkan oleh pemerintah Kabupaten Flores Timur sebagai salah satu lumbung padi Kabupaten Flores Timur. Selain itu, Konga juga memiliki sistem pertanian ladang berpindah dengan lokasi ladang sesuai dengan ketentuan adat. Kedua potensi ini dapat dikembangkan menjadi salah satu obyek dan atraksi wisata yaitu agrowisata. Selain potensi, Teluk Konga memiliki beberapa kendala. Topografi pulau utama Pulau Flores di Teluk Konga memiliki rentang yang lebar antara 0 hingga 1708 mdpl sedangkan topografi pulau kecil Pulau Konga berada pada rentang antara 6 hingga 245 mdpl Gambar 12. Tapak umumnya berupa tebing yang curam dan sulit untuk dilalui. Untuk mengurangi resiko kecelakaan pada wisatawan, maka kawasan ini dikembangkan sebagai lokasi sight seeing dengan fasilitas dek kayu dan teropong, sebagai lokasi pengamatan atau lokasi untuk menikmati pemandangan ke arah Teluk Konga. Ilustrasi gambar lokasi sight seeing dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 12 Peta topografi Teluk Konga. Teluk Konga juga memiliki gunung berapi yang masih aktif hingga saat ini. Desa Nurri tercakup dalam daerah bahaya gunung berapi, sedangkan desa Nobokonga tercakup dalam daerah waspada gunung berapi. Untuk itu dalam keadaan yang membahayakan bagi pengunjung, maka tapak ini akan ditutup. Sebagai alternatif lain di desa Watotika Ile yang merupakan desa yang berhadapan langsung dengan Gunung Lewotobi, disediakan fasilitas sightseeing dan teropong untuk mengamati aktivitas gunung berapi yang aman bagi pengunjung. Gambar 14 menunjukkan daerah bahaya gunung berapi. Foto: Dok. Setyanti 2007 Gambar 13 Ilustrasi dek untuk aktifitas sight seeing. Gambar 14 Peta daerah bahaya gunung berapi di Teluk Konga. Umumnya masyarakat di sekitar pantai hidup dari ketersediaaan air di mata air perbukitan. Seperti halnya masyarakat desa Konga dan Nobokonga memperoleh air bersih dari mata air Nileknoheng, sedangkan masyarakat Lewolaga memperoleh air bersih dari mata air Bokang. Pemerintah dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat LSM mempermudah perolehan air bagi masyarakat pesisir, khususnya di Teluk Konga, dengan pembuatan pipa yang dialirkan dari sumber mata air menuju desa-desa terdekat. Dengan demikian perolehan air relatif lebih mudah. Sungai besar seperti sungai Waikonga yang terairi, hanya digunakan oleh penduduk untuk mengairi sawah, karena memiliki debit air yang sangat kecil pada musim kemarau. Namun pada musim penghujan debit air meningkat dan dapat dikembangkan untuk wisata bersampan. Pengembangan kawasan Teluk Konga dengan konsep ekowisata menitikberatkan pada minimalisasi dampak negatif yang menekankan pembangunan dengan dampak rendah, jumlah wisatawan yang terkendali, dan kepedulian terhadap flora dan fauna lokal Honey 1999 dalam Buchsbaum 2004. Penurunan kualitas lingkungan akan mengurangi permintaan wisatawan dalam jangka panjang. Penurunan kualitas lingkungan alami pada kawasan pengembangan ekowisata mengakibatkan berkurangnya atraksi wisata dan berdampak bagi kepuasan wisatawan dalam memperoleh pengalaman ekologis. Gambar 15 Peta hasil analisis zona kepekaan lingkungan pesisir untuk wisata. Berdasarkan penilaian kualitas lingkungan akuatik dan terestrial diperoleh zona tingkat kepekaan lingkungan pesisir. Zona ini merupakan penggabungan antara kesesuaian akuatik dan kesesuaian terestrial. Zona tingkat kepekaan lingkungan pesisir untuk mendukung pengembangan wisata pesisir di Teluk Konga klasifikasikan menjadi 1 zona tidak peka S1, 2 zona kurang peka S2, dan 3 zona cukup peka S3. Distribusi ketiga zona tersebut dapat dilihat pada Gambar 15.

b. Potensi Kepariwisataan Pesisir

Bentuk perwujudan Teluk Konga sebagai kawasan ekowisata ialah dengan dilakukan penilaian kesesuaian obyek dan atraksi wisata di Teluk Konga yang berpotensi bagi pengembangan wisata pesisir. Pada Teluk Konga terdapat 25 titik wisata yang potensial untuk dikembangkan menjadi obyek dan atraksi wisata. Secara keseluruhan hasil dari analisis kelayakan obyek dan atraksi wisata di Teluk Konga ialah berpotensi untuk dikembangkan sebagai obyek dan atraksi wisata. Teluk Konga memiliki 11 obyek dan atraksi wisata 44 dengan kategori sangat potensial S1 Gambar 16 dan 14 obyek dan atraksi wisata 56 dengan kategori cukup potensial S2 Gambar 17. Penilaian kelayakan obyek dan atraksi wisata di Teluk Konga disajikan dalam Tabel 20. Teluk Konga memiliki bentang alam yang sangat luas, sehingga obyek dan atraksi wisata di Teluk Konga dapat mewakili berbagai karakteristik berdasarkan lingkungan akuatik dan terestrial, ketinggian pantai hingga gunung, dan sumber daya sumber daya alam dan sumber daya budaya. Pantai Teluk Konga juga memiliki beragam karakteristik yang alami, yaitu pantai lumpur, pantai berpasir pasir putih, pasir hitam, pasir coklat, pantai berbatu, tebing pantai, teluk dan tanjung. Demikian pula halnya dengan perairan laut Teluk Konga yang memiliki beberapa jenis ikan karang Gambar 18 dan terumbu karang jenis hard coral dan soft coral Gambar 19. Berdasarkan tingkat ketersediaan obyek dan atraksi wisata di tiap desa dihasilkan zona-zona wisata dengan klasifikasi zona atraktif, zona cukup atraktif, dan zona kurang atraktif. Zona atraktif berada pada desa Konga, zona cukup atraktif meliputi desa Lewoingu, Lewolaga, Nobokonga, dan Nurri, dan zona Pantai Pasir Coklat Konga Hutan Mangrove Lewolaga Hutan Pantai Konga Hutan Mangrove Nobokonga Pulau Konga Konga Sungai Waikonga Konga Gunung Lewotobi Nurri Lanskap Berbatu Lewoingu Budidaya Mutiara Konga Kampung Tradisional Eputobi Lewoingu Rumah Adat Suku Lewoingu kurang atraktif meliputi desa Watotika Ile dan Lamika. Distribusi zona wisata berdasarkan ketersediaan obyek dan atraksi wisata dapat dilihat pada Gambar 20. Sumber : Foto Lapang 2006 Gambar 16 Obyek dan atraksi wisata sangat potensial S1. Sumber : Foto Lapang 2006 Gambar 17 Obyek dan atraksi wisata cukup potensial S2. Pantai Pasir Putih Tanjung Lopi Watotika Ile Pantai Berbatu Tanjung Waitimu Nurri Tebing Pantai Tanjung Watoblou Nurri Terumbu Karang Teluk Ake Lewoingu Pantai Berbatu Lewolaga PelabuhanWaidoko Nobokonga Pantai Pasir Hitam Pantai Nurabelen Nurri Bumi Perkemahan Konga Perkampungan dan Pelabuhan Nelayan Lewolaga Pembuatan Garam Tradisional Konga Agrowisata Konga Arsitektur Gereja Portugis Gereja Nobo Nobokonga Peninggalan sejarah dan Prosesi Jumat Agung Gereja Konga Tabel 20 Penilaian kelayakan obyek dan atraksi wisata di Teluk Konga Parameter Kelayakan No Potensi Wisata Le tak dar i jalan utama Este tika dan ke aslian Atraksi Fasilitas Kete rs ed iaan Air Transportasi Aksesibilitas Dukungan Masyarakat Skor Kategor i Gambar 1 Tg Lopi 7 28 28 7 7 8 28 113 S2 17 2 Tg Waitimu 9 22 23 7 7 8 28 104 S2 17 3 Tg Watoblou 26 26 22 7 7 14 28 130 S2 17 4 Teluk Ake 7 26 26 7 7 7 28 108 S2 17 5 Pantai Ake 7 28 26 7 7 8 28 111 S2 17 6 Pantai Berbatu 10 21 20 7 7 7 28 100 S2 17 7 Pantai Berpasir 27 25 26 8 12 28 28 154 S1 16 8 Pelabuhan Pantai 28 17 22 8 10 28 28 141 S2 17 9 Pantai Nurabelen 26 22 19 7 7 14 28 123 S2 17 10 Hutan Mangrove 28 26 21 7 12 28 28 150 S1 16 11 Hutan Pantai 28 26 21 7 12 28 28 150 S1 16 12 Hutan Pengkayaan 28 26 21 7 12 28 28 150 S1 16 13 Pulau Konga 26 28 28 10 7 26 28 153 S1 16 14 Sungai Waikonga 24 27 26 7 19 25 28 156 S1 16 15 Gn Lewotobi 23 28 28 15 9 17 28 148 S1 16 16 Lanskap Berbatu 26 27 25 7 10 26 28 149 S1 16 17 Bumi Perkemahan 7 20 28 9 15 7 28 114 S2 17 18 Budidaya Mutiara 23 25 21 21 7 25 28 150 S1 16 19 Kampung dan Pelabuhan Nelayan 9 21 26 7 7 8 28 106 S2 17 20 Pembuatan Garam 17 22 25 7 7 22 28 128 S2 17 21 Agrowisata 23 21 19 9 7 15 28 122 S2 17 22 Kampung Eputobi 28 25 27 9 7 25 28 149 S1 16 23 Rumah Adat 21 28 28 14 15 14 28 148 S1 16 24 Gereja Konga 24 16 21 9 7 27 28 132 S2 17 25 Gereja Nobo 25 20 22 9 7 14 28 125 S2 17 Sumber : Olahan hasil kuisioner Keterangan : Nilai penjumlahan skoring tiap kepala desa n = 7 S1= Sangat Potensial S3 = Kurang Potensial S2 = Cukup Potensial S4 = Tidak Potensial Sumber: Foto lapang2006, Dewi2006, http:www.through-the-maze.org.uksymbol.php 2006 Gambar 18 Beberapa fauna laut yang dapat dijumpai di perairan Teluk Konga. Achanturus blochii Achanturus nigricans Apogon aereus Chaetodon baronessa Chaetodon ocelicaudus Chaetodon vagabundus Siganus puelus Sigatus coralinus Pomacentrus chrysurus Mutiara Lumba-lumba Dolphin Penyu Bintang laut Kuda laut Ikan badut Clown fish Malachantus brevirostris Sumber : Foto lapang 2006 Gambar 19 Beberapa jenis terumbu karang yang dapat dijumpai di perairan Teluk Konga. Gambar 20 Peta hasil analisis zona wisata berdasarkan ketersediaan obyek dan atraksi wisata. Zona atraktif didominasi oleh obyek dan atraksi wisata alam dan budaya akuatik, serta kurang memiliki obyek dan atraksi wisata alam dan budaya terestrial. Zona cukup atraktif didominasi oleh obyek dan atraksi wisata alam akuatik dan budaya terestrial, namun kurang pada obyek dan atraksi wisata budaya akuatik dan alam terestrial. Sedangkan zona kurang atraktif didominasi oleh obyek wisata alam akuatik dan kurang pada obyek dan atraksi wisata budaya akuatik serta obyek dan atraksi wisata alam dan budaya terestrial. Secara keseluruhan, kawasan Teluk Konga didominasi oleh obyek dan atraksi wisata alam dan kurang pada obyek dan atraksi wisata budaya. Dengan demikian, tema wisata yang dapat dikembangkan di Kawasan Teluk Konga ialah wisata alam sebagai wisata utama dan wisata budaya sebagai wisata penunjang.

c. Akseptibilitas dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dalam

Kepariwisataan Keikutsertaan masyarakat dalam kepariwisataan penting untuk mengidentifikasi dampak negatif pada masyarakat yang tinggal di kawasan yang akan dikembangkan untuk ekowisata Place 1998 dalam Buchsbaum 2004. Masyarakat merupakan bagian dari lingkungan yang mengetahui dan merasakan dampak yang akan terjadi akibat perubahan pada lingkungan tersebut. Kesediaan masyarakat dalam menerima wisata dan menjadi bagian dari sistem wisata akan mempermudah proses perencanaan. Keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dapat mengurangi kemungkinan konflik yang akan terjadi di masa mendatang dan mengurangi terjadinya kesalahan informasi Suwantoro 1997. Masyarakat Teluk Konga memberikan tanggapan yang positif dalam pengembangan wisata di Teluk Konga. Sebagian besar masyarakat menerima apabila kawasan Teluk Konga dikembangkan sebagai kawasan wisata dan masyarakat akan berperan aktif didalamnnya. Masyarakat juga lebih memilih untuk mengelola kawasan wisata tersebut karena dapat memperkirakan berbagai keuntungan dari adanya pengembangan wisata di daerahnya. Data dan hasil analisisnya dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Akseptibilitas masyarakat dalam pengembangan wisata Peringkat untuk desa No Peubah Watotika Ile Lamika Lewoingu Lewolaga Konga Nobokonga Nurri 1 Pengembangan kawasan sebagai DTW 40 40 40 40 40 40 40 2 Masyarakat mengelola 40 40 28 40 40 36 40 3 Peran aktif masyarakat 40 40 40 40 40 40 40 4 Keuntungan kegiatan wisata 40 40 36 40 40 34 40 5 Keberadaan Wisatawan 40 40 40 40 40 40 40 Nilai 200 200 184 200 200 190 200 Kategori S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 Sumber : Olahan hasil kuisioner Keterangan : nilai preferensi tiap desa didasarkan pada nilai kesediaan masyarakat terhadap pengembangan wisata pesisir di Teluk Konga n=70 Kategori : S1 = Sangat sesuai, S2 = Cukup sesuai, S3 = Kurang sesuai, S4 = Tidak sesuai Masyarakat lokal dapat menerima kegiatan wisata apabila mereka percaya bahwa wisata dapat memberikan dampak positif dalam kehidupan mereka dengan memperbaiki usaha perdagangan lokal, menggunakan tenaga kerja lokal, dan meningkatkan pendapatan rumah tangga Buchsbaum 2004. Peluang ekonomi wisata bagi masyarakat lokal Teluk Konga diwujudkan dengan memberikan kesempatan bagi masyarakat lokal untuk melakukan usaha yang terkait langsung dengan wisata maupun yang hanya bersifat menunjang ekonomi wisata. Tabel 22 menyajikan tiga peringkat teratas dari peluang kegiatan ekonomi di tiap desa berdasarkan preferensi masyarakat terhadap peluang kegiatan ekonomi. Penilaian peluang kegiatan ekonomi berdasarkan preferensi masyarakat terkait wisata yang memungkinkan diaplikasikan di kawasan Teluk Konga ialah peluang investasi usaha, pengembangan obyek dan atraksi wisata, berjualan makanan dan minuman, mengadakan pagelaran seni dan budaya, usaha tempat makan, usaha penginapan, dan usaha transportasi. Kegiatan ekonomi yang memperoleh preferensi tinggi pada dasarnya merupakan kegiatan yang dekat dengan keseharian masyarakat. Kegiatan ini umumnya dapat dilakukan oleh masyarakat karena sudah menjadi budaya mereka. Sedangkan kegiatan ekonomi yang memerlukan keahlian khusus, seperti halnya pemandu wisata atau pembuat dan penjual souvenir, memperoleh nilai preferensi yang rendah. Namun untuk memenuhi permintaan wisatawan akan kegiatan ekonomi tersebut disarankan untuk melakukan pelatihan bagi masyarakat lokal. Tabel 22 Preferensi masyarakat di tiap desa terhadap peluang kegiatan ekonomi No Desa Peringkat peluang kegiatan ekonomi Kategori 1. Penyedia produk pertanian 2. Berjualan makanan dan minuman 1 Watotika Ile 3. Peluang investasi usaha S2 1. Usaha penginapan 2. Pagelaran seni dan budaya 2 Lamika 3. Usaha transportasi S1 1. Peluang investasi usaha 2. Berjualan makanan dan minuman 3 Lewoingu 3. Pagelaran seni dan budaya S1 1. Berjualan makanan dan minuman 2. Peluang investasi usaha 4 Lewolaga 3. Penyedia produk perikanan S1 1. Usaha transportasi 2. Berjualan makanan dan minuman 5 Konga 3. Pengembangan obyek dan atraksi wisata S1 1. Usaha transportasi 2. Penyedia produk pertanian 6 Nobokonga 3. Pagelaran seni dan budaya S1 1. Berjualan makanan dan minuman 2. Pengembangan obyek dan atraksi wisata 7 Nurri 3. Pagelaran seni dan budaya S1 Sumber: Olahan hasil kuisioner Gabungan antara akseptibilitas dan peluang ekonomi masyarakat lokal diwujudkan dalam zona peringkat akseptibilitas dan peluang ekonomi masyarakat yang terdiri dari zona aktif S1 dan zona cukup aktif S2. Zona aktif ialah zona dengan tingkat akseptibilitas dan peluang pemberdayaan tinggi. Zona aktif meliputi desa Lamika, Lewoingu, Lewolaga, Konga, Nobokonga, dan Nurri. Zona cukup aktif ialah zona dengan tingkat akseptibilitas tinggi, akan tetapi memiliki peluang pemberdayaan sedang. Zona ini meliputi desa Watotika Ile. Distribusi zona peringkat akseptibilitas dan peluang ekonomi dapat dilihat pada Gambar 21. Gambar 21 Peta hasil analisis zona peringkat akseptibilitas dan peluang ekonomi masyarakat Teluk Konga.

d. Kesesuaian tapak untuk wisata pesisir

Kesesuaian tapak untuk wisata pesisir dihasilkan melalui overlay peta zona tingkat kepekaan lingkungan pesisir, peta zona wisata berdasarkan ketersediaan obyek dan atraksi wisata, dan peta zona peringkat akseptibilitas dan peluang ekonomi masyarakat. Hasil overlay tersebut berupa tiga zona pengembangan wisata Gambar 22, yaitu 1 zona pengembangan wisata pesisir tinggi, meliputi desa Lewolaga dan Konga, selanjutnya ditetapkan sebagai kawasan wisata utama yang akan dikembangkan dahulu karena memenuhi persyaratan tertinggi sebagai kawasan wisata. 2 zona pengembangan wisata pesisir sedang, meliputi desa Lamika, Lewoingu, Nobokonga, dan Nurri, yang selanjutnya akan dikembangkan dengan terlebih dahulu meningkatkan potensi untuk memenuhi persyarakat sebagai kawasan wisata. 3 zona pengembangan wisata pesisir rendah, meliputi desa Watotika Ile, yang akan dikembangkan kemudian karena belum sepenuhnya memenuhi persyaratan sebagai kawasan wisata. Gambar 22 Peta hasil analisis kesesuaian tapak untuk wisata pesisir di Teluk Konga. Berdasarkan hasil kesesuaian ini, maka pengembangan selanjutnya akan difokuskan pada zona pengembangan wisata pesisir tinggi, yaitu desa Lewolaga dan Konga. Untuk zona pengembangan wisata pesisir sedang dan rendah memiliki tingkat kepekaan tapak sedang hingga tinggi, ketersediaan obyek dan atraksi wisata yang kurang, dan rendahnya tingkat preferensi terhadap peluang kegiatan ekonomi wisata. Pengembangan untuk wisata di kedua zona tersebut dapat dilakukan apabila tingkat kepekaan menjadi rendah, ketersediaan obyek dan atraksi wisata meningkat, dan peluang kegiatan ekonomi wisata tinggi. Salah satu kendala yang terdapat pada zona pengembangan wisata sedang hingga rendah ialah tingkat kepekaan yang sedang hingga tinggi, seperti kecepatan arus tinggi, topografi laut curam, pantai yang kurang lebar, topografi darat yang curam hingga terjal dan termasuk dalam daerah bahaya dan waspada gunung berapi. Kendala ini dapat dikurangi dengan memasukkan beberapa teknologi. Kecepatan arus yang tinggi dapat dikurangi dengan memasang pemecah gelombang di dekat pantai. Arus yang tinggi dilokasi tertentu dapat tetap dipertahankan dan dikembangkan untuk aktifitas berselancar surfing. Pada topografi laut yang curam dapat dilakukan pemasangan batas bouy untuk aktifitas wisata. Topografi yang curam dengan terumbu karang yang bagus dapat dikembangkan untuk aktifitas menyelam diving. Lebar pantai menentukan jumlah wisatawan yang dapat ditampung. Dengan demikian, aktifitas wisata dapat tetap dilakukan namun dengan jumlah fasilitas dan jumlah wisatawan yang dibatasi. Topografi darat yang curam dapat dihindari dengan pemasangan pagar dan tanda bahaya untuk mencegah terjadinya kecelakaan saat berwisata. Topografi curam juga merupakan potensi karena dapat dikembangkan untuk aktivitas panjat tebing wall climbing. Daerah bahaya dan waspada gunung berapi merupakan kendala dalam wisata karena akan membahayakan wisatawan disaat gunung berapi aktif. Namun aktifitas gunung berapi juga merupakan obyek wisata yang menarik. Untuk dapat tetap mengembangkan tapak tersebut sebagai tapak wisata dapat dilakukan penelitian lebih dalam mengenai bahaya gunung berapi dan jalur tumpahan lava, sehingga pada lokasi yang aman wisatawan dapat menyaksikan aktifitas gunung berapi. Kendala lain pada zona wisata rendah adalah minimnya ketersediaan obyek dan atraksi wisata, dan rendahnya tingkat preferensi peluang kegiatan ekonomi wisata. Kendala ini dapat dikurangi dengan pengembangan potensi obyek dan atraksi wisata secara kreatif untuk meningkatkan ketersediaannya bagi wisata. Tingginya ketersediaan obyek dan atraksi wisata dapat menarik minat wisatawan untuk datang ke suatu tapak. Peluang kegiatan wisata yang rendah disebabkan oleh kurangnya ketrampilan lain selain bidang pekerjaannya saat ini. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian ketrampilan bagi masyarakat sehingga dapat membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berperan dalam kegiatan ekonomi wisata. Contohnya dengan diberikan pelatihan untuk menjadi pemandu wisata, pengrajin souvenir, dan sebagainya.

e. Pengembangan aktifitas dan fasilitas wisata pesisir

Pengembangan aktifitas di lokasi penelitian dibedakan menjadi aktifitas wisata, aktifitas kehidupan masyarakat dan aktifitas perlindungan sumber daya alam dan lingkungan. Aktifitas wisata pesisir diarahkan pada aktifitas yang bersifat mengajak pengunjung terlibat langsung dalam berbagai atraksi wisata agar memperoleh pengalaman baru yang menyenangkan sehingga pengunjung memiliki keinginan untuk menjaga kelestarian lingkungan Teluk Konga. Aktifitas wisata pesisir sangat dipengaruhi oleh ruang wisata serta obyek dan atraksi wisata yang ada didalamnya. Aktifitas kehidupan masyarakat ialah aktifitas yang terkait keseharian dan budaya masyarakat. Aktifitas masyarakat dipengaruhi oleh mata pencaharian dan budaya masyarakat. Aktifitas terkait perlindungan sumber daya alam dan lingkungan mengarah pada pencegahan bahaya di pesisir dan pelestarian kawasan pesisir agar berkelanjutan. Fasilitas yang direncanakan untuk dikembangkan di lokasi penelitian berdasar pada peluang aktivitas wisata dengan memanfaatkan gaya arsitektur lokal. Fasilitas wisata pesisir yang dikembangkan disesuaikan dengan kebutuhan pengunjung dan masyarakat agar kegiatan wisata dapat berjalan dengan nyaman, namun aktifitas keseharian masyarakat juga dapat tetap berjalan dengan baik. Tabel 23 menyajikan aktifitas dan fasilitas yang diusulkan untuk dikembangkan di Teluk Konga. Arsitektur lokal dianalisis berdasarkan gaya arsitektural bangunan lokal yang terdapat di Teluk Konga. Pada umumnya bangunan lokal terbuat dari bahan alami yang banyak terdapat di sekitar lokasi penelitian, yaitu alang-alang untuk bahan atap, kayu angsana sebagai tiang penyangga, bambu untuk bahan dinding, dan anyaman bambu atau tanah untuk lantai. Menurut Vatter 1984, rumah penduduk lokal dibangun di atas tanah yang ditinggikan dengan batu atau kayu penyangga agar terlindungi dari kelembaban tanah dan serangga yang terdapat dalam lapisan teratas tanah. Lebih lanjut diungkapkan bahwa bangunan rumah berukuran kecil dan beratap rendah agar terhindar dari angin kencang dan dapat memberi kehangatan pada malam hari dan pada musim hujan. Beberapa rumah juga memiliki bale-bale di bagian depan rumah yang sering digunakan pada siang hari. Hal ini dipengaruhi oleh suhu siang hari yang sangat panas, sehingga lebih nyaman untuk beraktivitas dan beristirahat di luar rumah. Contoh arsitektur bangunan lokal ialah bangunan rumah adat, bangunan rumah penduduk, dan juga Tabel 23 Rencana aktifitas dan fasilitas yang akan dikembangkan di Teluk Konga Aspek Aktifitas Fasilitas Wisata • photo hunting • mempelajari ekosistem • mengamati satwa • menikmati keindahan alam • mengamati fenomena alam • tracking sungai • berkemah • berjemur • snorkelling • canoeing • berperahu • menyaksikan kehidupan sosial • budaya masyarakat lokal • menyaksikan upacara-upacara adat • mengunjungi galeri • pusat informasi • tempat parkir • rest room dan toilet • dek lokasi photo hunting • outdoor classroom • menara pandang • observation hide • deck pengamatan dengan teropong • boardwalk dan tracking primitif • camping ground • home stay • glass bottom boat • perahu dan sampan • dermaga • galeri • papan interpretasi • rambu-rambu • pemandu wisata Kehidupan masyarakat • bertani dan berkebun • menjual produk pertanian • menangkap ikan di laut • mengumpulkan hasil laut non-ikan • menjual hasil tangkapan • mengolah hasil laut ikan • mengolah hasil laut non-ikan • membuat dan menjual kerajinan • melakukan ritual adat • lokasi lumbung padi • pasar lokal • pelabuhan nelayan • tempat pelelangan ikan • pasar ikan • pasar seni • koperasi • rumah adat • balai tempat berkumpul Perlindungan sumber daya alam dan lingkungan • melindungi garis pantai dengan memperbaiki hutan mangrove • membuat batas buoy lokasi aktivitas wisata di laut agar tidak menggaggu kegiatan budidaya mutiara dan penangkapan ikan • mencegah tumbuh dan berkembangnya nyamuk penyebab malaria • mencegah eksploitasi sumber daya alam • mencegah terjadinya kecelakaan di tebing pantai dan tebing sungai • mencegah terjadinya banjir dengan menanam kembali hutan • mencegah terjadinya longsor pada tanah yang tidak stabil • perlindungan terhadap bahaya tsunami dan gempa • pembibitan mangrove • pemasangan buoy • kolam di lokasi mata air tawar dan menggunakan ikan mujair untuk mencegah timbulnya bibit nyamuk • pagar di tebing pantai dan sungai • perbaikan hutan di daerah hulu sungai • retaining wall • sistem peringatan dini early warning system • jalur dan lokasi evakuasi tsunami • papan tanda larangan • papan tanda bahaya lumbung padi. Gaya ketiga arsitektur lokal ini dapat dijadikan acuan disain fasilitas wisata, seperti tempat makan, shelter, home stay, dan sebagainya. a b c Gambar 23 Bangunan dengan arsitektur lokal : a rumah adat b rumah tinggal c lumbung padi. Rumah adat korke dengan arsitektur lokal berupa bangunan panggung berbentuk bale-bale tanpa dinding yang dibangun di atas delapan tiang kayu penyangga utama dimana masing-masing tiang penyangga terdapat ukiran yang menjadi penanda keberadaan suku-suku utama. Kayu penyangga tersebut berupa kayu angsana. Lantainya berupa susunan bambu yang diikat, sedangkan atapnya terbuat dari alang-alang dengan rangka atap yang terbuat dari bilah bambu. Arsitektur bangunan rumah adat dapat dilihat pada Gambar 23a. Rumah penduduk dengan arsitektur lokal dibagi atas area inti dan area pelayanan. Area pelayanan berada dibangunan yang terpisah dengan area inti. Area inti terdiri atas ruang tamu, ruang makan dan kamar tidur, sedangkan area pelayanan terdiri atas dapur, gudang dan kamar mandi. Bangunan inti dibangun di atas susunan tanah dan batu kecil. Susunan tanah batu kecil ini juga menjadi lantai rumah. Bangunan area inti diperkokoh dengan batu-batu besar untuk menahan tanah di sekitar area inti agar tidak tererosi diwaktu hujan. Dinding rumah terbuat dari bambu, sedangkan atapnya dari susunan alang-alang yang diperkuat dengan rangka bambu. Bangunan area pelayanan berada di atas tanah dengan dinding menyentuh tanah dan tanpa batu besar untuk penahan air hujan. Bahan bangunan yang digunakan sama dengan bahan bangunan yang digunakan pada area inti. Arsitektur rumah penduduk dapat dilihat pada Gambar 23b. Lumbung padi dengan arsitektur lokal memiliki keunikan tersendiri. Bangunan lumbung merupakan bangunan panggung yang tertutup rapat. Lumbung memiliki tempat beristirahat di bagian samping berupa bale-bale kecil yang menempel pada bangunan lumbung dan berfungsi sebagai tempat beristirahat petani. Arsitektur lumbung padi dapat dilihat pada Gambar 23c.

2. Perencanaan Wisata Pesisir Berkelanjutan a.

Konsep Perencanaan Wisata Konsep perencanaan pengembangan wisata pesisir Teluk Konga adalah ekowisata pesisir dimana pengembangan wisata didasarkan pada potensi lingkungan dan obyek dan atraksi wisata yang potensial untuk melindungi sumber daya alam dan kualitas lingkungan serta kesejahteraan masyarakat lokal. Konsep yang dikembangkan tersebut mengacu pada hasil analisis terhadap kualitas lingkungan pesisir, potensi kepariwisataan pesisir, dan akseptibilitas dan pemberdayaan masyarakat pesisir dalam kepariwisataan. Konsep ini juga sesuai dengan program pemerintah Kabupaten Flores Timur yaitu menggali potensi lingkungan untuk pengembangan wisata sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Kawasan pesisir yang akan dikembangkan untuk wisata harus memenuhi kriteria sebagai wadah untuk wisata, yaitu memiliki lingkungan pesisir alami yang tidak rusak dan memiliki daya dukung yang tinggi. Berdasarkan hasil analisis terhadap kualitas lingkungan pesisir diperoleh desa Lewolaga dan desa Konga dua dari tujuh desa di lokasi penelitian yang memenuhi kriteria tersebut. Selain itu, kawasan pesisir yang akan dikembangkan juga harus memiliki ketersediaan obyek dan atraksi wisata dan kegiatan berbasis pesisir yang tinggi. Berdasarkan analisis terhadap pengembangan kepariwisataan pesisir, maka desa Lewolaga dan desa Konga dua dari tujuh desa di lokasi penelitian dapat memenuhi kriteria tersebut. Dengan demikian, desa Lewolaga dan Konga yang akan dikembangkan menjadi kawasan wisata pesisir. Pariwisata berkelanjutan ditentukan oleh kualitas lingkungan pesisir dan daya tarik wisata yang dimiliki saat ini yang dapat tetap terjaga dan dikembangkan hingga masa yang akan datang, sehingga mampu memenuhi kebutuhan wisatawan. Dalam mewujudkan pariwisata berkelanjutan maka dikembangkan konsep dan pengembangan keberlanjutan wisata bagi lingkungan pesisir dan aktifitas wisata. Konsep pengembangan dan keberlanjutan lingkungan pesisir ialah perlindungan terhadap lingkungan yang menjadi wadah wisata untuk generasi mendatang dengan meminimalisasi dampak wisata bagi lingkungan pesisir dan pengelolaan kawasan pesisir sebagai satu kesatuan yang utuh darat dan laut sehingga dapat terus mewadahi aktivitas wisata didalamnya. Konsep ini diterapkan melalui penerapan sempadan pantai dalam pengembangan wisata, pengelolaan lingkungan pesisir secara terpadu dan peningkatan kesadaran kepada masyarakat lokal dan wisatawan akan nilai penting lingkungan bagi keberlangsungan hidup manusia. Konsep pengembangan dan keberlanjutan aktifitas wisata ialah penggalian potensi wisata yang dimiliki untuk dapat terus menampilkan obyek dan atraksi wisata yang menarik bagi wisatawan sehingga aktifitas wisata dapat terus berlangsung. Konsep ini diterapkan melalui pengkajian potensi sumber daya yang dimiliki untuk dikembangkan sebagai obyek dan atraksi wisata pesisir yang akan selalu memberi daya tarik bagi wisatawan. Perwujudan konsep pengembangan dan keberlanjutan wisata bagi lingkungan pesisir dan aktifitas wisata yaitu melalui perencanaan jalur dan media interpretasi wisata pesisir dengan menampilkan sumber daya pesisir yang dimiliki sebagai satu kesatuan yang utuh.

b. Konsep Ruang Wisata Pesisir

Konsep ruang wisata Teluk Konga ialah pengembangan kawasan pesisir Teluk Konga dengan mengembangkan ruang yang disesuaikan dengan kondisi existing lingkungan. Ruang wisata dibagi menjadi dua, yaitu ruang utama dan ruang penunjang. Ruang utama meliputi ruang wisata akuatik dan ruang wisata Darat Laut Ruang Penunjang ruang penerima dan ruang transisi Ruang Utama ruang wisata terestrial Ruang Utama ruang wisata akuatik Keterangan : : Akses masuk : Sirkulasi antar ruang terestrial. Sedangkan ruang penunjang meliputi ruang penerima welcome area dan ruang transisi transition area. Pada tiap ruang wisata terdapat obyek dan atraksi wisata yang mendukung tema dan tujuan ruang wisata tersebut, sedangkan pada ruang penunjang terdapat fasilitas yang menunjang kegiatan wisata. Gambar 24 menunjukkan tata ruang wisata pesisir Teluk Konga. Gambar 24 Konsep tata ruang wisata pesisir Teluk Konga. Pembagian ruang didasarkan pada tema dan tujuan pengembangan ruang berikut ini. 1. Ruang utama Ruang utama merupakan ruang wisata yang mengakomodasi seluruh aktifitas wisata. Ruang utama dibagi menjadi ruang wisata akuatik dan ruang wisata terestrial. • Ruang wisata terestrial Merupakan ruang wisata yang menggambarkan kawasan terestrial Teluk Konga dengan menampilkan obyek dan atraksi wisata terestrial. Tema ruang wisata terestrial ialah menampilkan kekayaan alam darat dan budaya masyarakat berorientasi darat. Tujuan dari pengembangan ruang wisata ini ialah mengajak pengunjung menikmati keindahan dan keaslian alam di daratan Teluk Konga dan berinteraksi dengan masyarakat lokal melalui aktivitas wisata yang berorientasi ke darat. Ruang wisata terestrial dialokasikan di darat dengan obyek dan atraksi wisata yaitu • Ruang wisata akuatik Merupakan ruang wisata yang menggambarkan kawasan akuatik Teluk Konga dengan menampilkan obyek dan atraksi wisata akuatik. Tema ruang wisata akuatik ialah menampilkan kekayaan alam akuatik dan budaya masyarakat berorientasi laut. Tujuan dari pengembangan ruang wisata ini ialah mengajak pengunjung untuk menikmati keindahan dan kekayaan alam laut Teluk Konga dan berinteraksi dengan masyarakat lokal melalui aktivitas wisata yang berorientasi ke laut. 2. Ruang penunjang Ruang penunjang merupakan ruang yang menunjang kegiatan wisata utama. Ruang penunjang dialokasikan di tengah tapak yang terhubung langsung dengan akses jalan utama dan berada di antara dua ruang wisata. Ruang penunjang meliputi : • Ruang penerima Merupakan pusat informasi wisata. Tema ruang penerima ialah memberikan informasi yang lengkap dan akurat kepada pengunjung untuk kenyamanan berwisata. Tujuan ruang penerima adalah menyediakan informasi wisata yang mendukung kegiatan wisata melalui informasi mengenai obyek dan atraksi wisata yang ada serta fasilitas yang tersedia, mencegah terjadinya kecelakaan melalui informasi tentang kondisi kawasan saat ini dan mencegah pengrusakan lingkungan melalui informasi mengenai hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama pengunjung melakukan aktifitas wisata. Area penerima dilengkapi dengan fasilitas pusat informasi wisata, tempat parkir dan toko souvenir. • Ruang transisi Merupakan ruang peralihan dari ruang wisata akuatik menuju ruang wisata terestrial atau sebaliknya. Tema ruang transisi ialah menghubungkan darat dan laut dan menjadikannya sebagai satu kesatuan tatanan pesisir yag saling terkait. Pengembangan area transisi bertujuan untuk mengontrol aktivitas pengunjung, baik pada ruang wisata terestrial maupun akuatik, sehingga kelestarian kawasan pesisir dapat terjaga dengan baik. Ruang transisi dilengkapi dengan ruang peristirahatan rest room, ruang makan dan minum foodcourt, serta ruang atribut wisata tempat penyewaan alat- alat yang digunakan untuk melakukan aktifitas wisata, seperti peralatan snorkel , peralatan berkemah, dan sebagainya. c. Konsep Sirkulasi Wisata Pesisir Konsep sirkulasi yang diaplikasikan ialah jaringan sirkulasi yang sesuai dengan konsep ruang dan menghubungkan semua elemen lokal, sehingga memberi peluang yang tinggi bagi pengunjung untuk dapat melihat banyak atraksi dan informasi serta meningkatkan waktu dan pengeluaran pengunjung agar dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat lokal. Menurut Simonds 1983, dalam touring system perlu mempertimbangkan : 1. Jarak dan waktu tempuh merupakan fungsi dari area, sedangkan area merupakan fungsi dari ruang space. Jarak tempuh dan area merupakan satu kesatuan yang utuh. 2. Keutuhan menggambarkan keharmonisan dan kesatuan unity dari elemen- elemen, sehingga elemen-elemen tersebut tidak terpilah-pilah. 3. Sekuen menggambarkan urutan terhadap obyek yang mempunyai persepsi kontinuitas dan merupakan pengorganisasian dari elemen-elemen pada suatu ruang. Sirkulasi pada tapak dibagi menjadi empat yaitu sirkulasi primer, sirkulasi sekunder, sirkulasi tersier dan sirkulasi evakuasi tsunami. • Sirkulasi primer merupakan sirkulasi utama yang menghubungkan ruang- ruang pada ruang utama. Sirkulasi ini menghubungkan ruang utama dan ruang penunjang. • Sirkulasi sekunder merupakan sirkulasi dalam ruang yang menghubungkan obyek-obyek wisata. Sirkulasi ini menghubungkan obyek-obyek wisata pada ruang wisata akuatik dan obyek-obyek wisata pada ruang wisata terestrial. • Sirkulasi tersier merupakan sirkulasi di dalam obyek dan atraksi wisata. Sirkulasi tersier berupa boardwalk dan tracking primitif. • Sirkulasi evakuasi tsunami merupakan sirkulasi yang menghubungkan ruang aktifitas wisata dan ruang aktifitas sehari-hari masyarakat menuju lokasi evakuasi tsunami. Sirkulasi ini merupakan jalur jalan yang dapat ditempuh dengan kendaraan maupun berjalan kaki agar dapat menjangkau lokasi evakuasi tsunami dalam waktu cepat.

3. Perencanaan Interpretasi Wisata Pesisir

a. Perencanaan Jalur Interpretasi Wisata Pesisir

Rencana jalur interpretasi didasarkan pada konsep ruang dan konsep sirkulasi. Tema utama jalur interpretasi wisata pesisir Teluk Konga ialah memenuhi aspek pendidikan lingkungan dengan memberikan pengalaman baru bagi wisatawan. Wisatawan yang telah berkunjung di kawasan ini diharapkan memiliki apresiasi yang tinggi terhadap lingkungan Teluk Konga. Apresiasi yang tinggi terhadap suatu kawasan merupakan salah satu upaya untuk menjaga kelestarian kawasan tersebut. Message yang ingin disampaikan pada wisatawan yang berkunjung ke Teluk Konga ialah “keanekaragaman kawasan pesisir sangat terkait satu sama lain, sehingga penting dijaga keutuhan dan kelestariannya”. Message ini disampaikan melalui jalur interpretasi wisata pesisir yang akan dikembangkan di kawasan wisata Teluk Konga. Rencana jalur interpretasi dibagi menjadi tiga alternatif jalur wisata pesisir coastal touring plan dengan tema yang berbeda. Jalur alternatif 1 dengan tema sumber daya alam, jalur alternatif 2 dengan tema sumberdaya budaya, dan jalur alternatif 3 dengan tema sumber daya alam dan budaya. Rencana jalur interpretasi wisata alternatif 1 didasarkan pada : a Tema jalur interpretasi alternatif 1 yaitu melindungi kekayaan dan keragaman sumber daya alam pesisir Teluk Konga. b Tujuan dari jalur interpretasi alternatif 1 ialah agar pengunjung dapat mempelajari obyek dan atraksi wisata alam yang terdapat di Teluk Konga, sehingga menyadari arti penting keberadaan sumber daya alam tersebut bagi keberlanjutan kehidupan di Teluk Konga, terutama bagi keberlanjutan pariwisata di Teluk Konga. c Titik-titik perhentian merupakan obyek dan atraksi wisata alam dengan potensi sedang hingga tinggi. Pada jalur ini obyek dan atraksi wisata tersebut dikelompokkan berdasarkan sumber daya alam akuatik dan sumber daya alam terestrial. d Jalur wisata disusun dengan membagi dua sub tema jalur, yaitu jalur wisata alam akuatik dan jalur wisata alam terestrial. Jalur wisata alam akuatik ditempuh melalui jalur laut, sedangkan jalur wisata alam terestrial ditempuh melalui jalur darat. Kedua jalur tersebut sambung menyambung membentuk satu buah loop utama yang dimulai dari area penerimaan dengan melalui jalur wisata alam akuatik terlebih dahulu kemudian kembali ke area penerimaan dan dilanjutkan dengan jalur wisata alam terestrial untuk selanjutnya kembali ke area penerimaan. Peta jalur interpretasi alternatif 1 dapat dilihat pada Gambar 25. Rencana jalur interpretasi wisata alternatif 2 didasarkan pada : a Tema jalur interpretasi alternatif 2 ialah melestarikan kekayaan dan keragaman sumber daya budaya pesisir Teluk Konga. b Tujuan dari jalur interpretasi alternatif 2 ialah agar pengunjung dapat mempelajari dan memahami nilai-nilai budaya dan kesejarahan yang terkandung dalam obyek dan atraksi wisata di Teluk Konga, sehingga menyadari arti penting sumber daya budaya tersebut bagi keberlanjutan wisata di Teluk Konga. c Titik-titik perhentian merupakan obyek dan atraksi wisata budaya dengan potensi sedang hingga tinggi. Pada jalur ini obyek dan atraksi wisata tersebut dikelompokkan menjadi budaya akuatik dan budaya terestrial. d Jalur wisata disusun dengan membagi dua sub tema jalur, yaitu sub tema jalur wisata budaya akuatik dan sub tema jalur wisata budaya terestrial. Kedua jalur tersebut sambung menyambung membentuk satu buah loop utama yang dimulai dari area penerimaan menuju jalur wisata budaya akuatik terlebih dahulu kemudian kembali ke area penerimaan dan dilanjutkan dengan jalur wisata budaya terestrial dan berakhir pada area penerimaan. Peta jalur interpretasi alternatif 2 dapat dilihat pada Gambar 26. Rencana jalur interpretasi wisata alternatif 3 didasarkan pada : a Tema jalur interpretasi wisata alam dan budaya yaitu konservasi lingkungan akuatik dan terestrial dengan melindungi sumber daya alam dan melestarikan sumber daya budaya di Teluk Konga. b Tujuan dari jalur interpretasi wisata alam dan budaya ialah agar pengunjung dapat mempelajari karakter alam dan budaya, baik pada lingkungan akuatik maupun terestrial, yang menjadi faktor utama bagi keberlanjutan wisata di Teluk Konga, sehingga menimbulkan kesadaran untuk melindungi dan menjaga sumber daya alam dan melestarikan nilai-nilai budaya lokal. c Titik-titik perhentian merupakan obyek dan atraksi wisata alam dan budaya dengan potensi sedang hingga tinggi. Pada jalur ini obyek dan atraksi wisata tersebut dikelompokkan ke dalam dua jalur, yaitu jalur wisata akuatik dan jalur wisata terestrial. Dalam jalur wisata akuatik terdapat titik-titik wisata alam dan budaya akuatik, sedangkan pada jalur wisata terestrial terdapat titik- titik wisata alam dan budaya terestrial. d Jalur wisata disusun dengan membagi dua sub tema jalur, yaitu jalur wisata akuatik dan jalur wisata terestrial. Kedua jalur tersebut sambung menyambung membentuk satu buah loop utama yang dimulai dari area penerimaan dengan melalui jalur wisata akuatik terlebih dahulu, kemudian kembali ke area penerimaan dan dilanjutkan dengan jalur wisata terestrial untuk selanjutnya kembali ke area penerimaan. Peta jalur interpretasi alternatif 3 dapat dilihat pada Gambar 27. Gambar 25 Jalur interpretasi wisata alternatif 1. No Titik perhentian potensial Ruang penerima Titik wisata alam akuatik 1 Hutan pantai 2 Pantai berpasir 3 Pulau Konga 4 Hutan mangrove 5 Pantai berbatu Ruang transisi Titik wisata alam terestrial a Sungai b Bumi perkemahan Ruang penerima Gambar 26 Jalur interpretasi wisata alternatif 2. No Titik perhentian potensial Ruang penerima Titik wisata budaya akuatik 1 Budidaya mutiara 2 Kampung dan pelabuhan nelayan 3 Pembuatan garam tradisional Ruang transisi Titik wisata budaya terestrial a Agrowisata b Gereja Konga Ruang penerima Gambar 27 Jalur interpretasi wisata alternatif 3. No Titik perhentian potensial Ruang penerima Titik wisata akuatik 1 Hutan pantai 2 Pantai berpasir 3 Budidaya mutiara 4 Pulau Konga 5 Kampung dan pelabuhan nelayan 6 Hutan mangrove 7 Pantai berbatu 8 Pembuatan garam tradisional Ruang transisi Titik wisata terestrial a Sungai b Gereja Konga c Bumi perkemahan d Agrowisata Ruang penerima

b. Media Interpretasi Wisata Pesisir

Keberhasilan sebuah rencana interpretasi ialah apabila pesan yang ingin disampaikan oleh perencana dapat diterima dengan baik oleh pengunjung. Keberhasilan ini bergantung pada jalur interpretasi yang dibuat dan metode yang digunakan untuk menyampaikan pesan tersebut. Metode yang digunakan harus mempermudah pengunjung untuk memahami makna dari setiap atraksi wisata yang ditampilkan. Metode dalam menyampaikan pesan wisata dapat secara lisan, tertulis, visual dan audiovisual dengan berbagai media penyampaiannya Nurisyah dan Damayanti 2006. Metode penyampaian secara lisan dilakukan dengan menggunakan pemandu wisata. Penggunaan pemandu wisata tour guide seringkali dijumpai diberbagai lokasi wisata. Pemandu wisata berfungsi sebagai interpreter dan bahkan menjadi demonstrator dibeberapa atraksi. Peran pemandu wisata sangat penting dalam interpretasi obyek dan atraksi wisata. Umumnya pendidikan lingkungan berasal dari pengetahuan pemandu wisata. Cara ini efektif dalam memberikan pendidikan lingkungan terhadap wisatawan dan memberikan pemasukan secara ekonomi bagi masyarakat lokal. Keuntungan menggunakan pemandu wisata lokal adalah pemandu lokal memiliki pengetahuan yang lebih banyak mengenai ekologi lokal, sejarah alam, dan budaya lokal bila dibandingkan dengan pemandu yang berasal dari luar Place 1998 dalam Buchsbaum 2004. Keuntungan lainnya ialah adanya peningkatan kesadaran dan pemahaman masyarakat lokal akan arti penting lingkungan tersebut sehingga meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam menjaga kelestarian alam dan budaya mereka. Kesadaran dan pemahaman ini yang kemudian diturunkan kepada generasi yang akan datang. Dengan demikian, ekowisata dapat memberikan pendapatan bagi masyarakat lokal, daerah dan negara dalam jangka panjang. Pendidikan lingkungan dapat diberikan kepada pemandu wisata lokal melalui pelatihan-pelatihan pemandu wisata Buchsbaum 2004. Media lain yang dapat digunakan dalam interpretasi seperti dikemukakan oleh Alderson dan Low 1996 berupa: 1 publikasi brosur, leaflet, booklet, guidebook , katalog, buku, 2 museum displays dan exhibits, 3 peralatan audio, 4 peralatan audiovisual tape-slide show, filmstrips, multiple-projector tape-slide, motion picture film . Peran media sangat penting guna mempermudah penyampaian message kepada pengunjung. Usulan program interpretasi dan metode yang diaplikasikan pada wisata pesisir di Teluk Konga dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Usulan program dan metode interpretasi untuk wisata pesisir di Teluk Konga Wisata Program interpretasi Atraksi Metode interpretasi Pengenalan sumber daya alam akuatik • Kehidupan di laut terumbu karang, ikan karang, ikan lumba-lumba, dsb • Kehidupan di mangrove nursery, spawning, feeding ground , habitat biota • Kehidupan di hutan pantai formasi baringtonia, formasi pandanus, formasi pes-caprae, mata air tawar, mata air panas • Kehidupan di pantai rocky shore, sandy shore, muddy shore • Kehidupan di pulau kecil • Guided tour boardwalk, pematang, observation hide , menara pandang, outdoor classroom, observation deck, boat, glass bottom boat Alam Pengenalan sumber daya alam terestrial • Kehidupan di sungai • Berkemah • Guided Guidebookself- guided tour jalur interpretasi, papan interpretasi, camping ground Apresiasi sumber daya budaya akuatik • Kehidupan masyarakat nelayan • Pembuatan garam tradisional • Budidaya mutiara • Guided tour • Demonstrator • Films • Exhibitiongaleri Budaya Apresiasi sumber daya budaya terestrial • Upacarafestival tradisional • Ritual keagamaan • Peninggalan sejarah • Masakan tradisional • Budidaya pertanian • Guided Guidebookself- guided tour • Demonstrator • Films • Exhibitiongaleri

4. Perencanaan Lanskap Wisata Pesisir Berkelanjutan

Perencanaan lanskap wisata pesisir Teluk Konga didasarkan pada hasil analisis kesesuaian wisata pesisir yang diperoleh dan konsep yang dikembangkan. Perencanaan pengembangan lanskap wisata pesisir Teluk Konga terdiri atas pengembangan wisata akuatik dan pengembangan wisata terestrial. Pengembangan wisata akuatik meliputi obyek dan atraksi wisata Pembuatan Garam Tradisional, Hutan Pantai, Pantai Berpasir, Budidaya Mutiara, Pulau Konga, Kampung dan pelabuhan nelayan, Hutan mangrove, dan Pantai Berbatu. Pengembangan wisata terestrial meliputi obyek dan atraksi wisata Sungai Waikonga, Gereja dan Galeri Konga, Bumi Perkemahan dan Agrowisata. Touristic site plan Teluk Konga dapat dilihat pada Gambar 28. Potensi obyek dan atraksi wisata yang dikembangkan disajikan dalam Lampiran 3. Program pengembangan obyek dan atraksi wisata bertujuan untuk mendukung kelestarian alam dan budaya yang akan dikembangkan. Program ini menggambarkan setiap unit lanskap berupa obyek dan atraksi wisata yang berada di kawasan wisata utama Teluk Konga serta usaha penataan lanskapnya. Penataan lanskap pada tiap obyek dan atraksi wisata ditujukan untuk melindungi aspek ekologis dan melestarikan budaya lokal. Program yang ditawarkan pada pengembangan obyek dan atraksi wisata utama Teluk Konga dapat secara teknis dan sosial. Secara teknis ditujukan untuk mempertahankan aspek ekologis, seperti pembangunan fasilitas wisata yang ramah lingkungan, seperti track, boardwalk, dermaga, shelter, viewing deck, dan tangga dengan menggunakan material alami dan disesuaikan dengan kondisi lingkungannya. Secara sosial ditujukan untuk pelestarian nilai-nilai budaya lokal dengan menggunakan model arsitektur vernakular dan penanaman rasa kebanggaan terhadap budaya lokal kepada masyarakat lokal. Program pengembangan didasarkan pada obyek dan atraksi wisata yang mendukung ruang wisata yaitu obyek dan atraksi wisata pada ruang wisata akuatik serta obyek dan atraksi wisata pada ruang wisata terestrial. Program pengembangan untuk obyek wisata pada ruang wisata akuatik dapat dilihat pada Tabel 25, sedangkan untuk obyek wisata pada ruang wisata terestrial Tabel 26. Legenda: 1 Hutan Pantai 2 Pantai Berpasir 3 Budidaya Mutiara 4 Pulau Konga 5 Kampung dan Pelabuhan Nelayan 6 Hutan Mangrove 7 Pantai Berbatu 8 Pembuatan Garam Tradisional 9 Sungai Waikonga 10 Gereja Konga 11 Bumi Perkemahan 12 Agrowisata 1 2 3 4 5 6 7 8 P 9 10 11 12 E : Sirkulasi primer : Sirkulasi : Sirkulasi tersier : Ruang penerima ruang transisi : Lokasi evakuasi : Obyek dan atraksi : Jalur evakuasi Sumber : Hasil Analisis Teluk Konga Tanpa skala Flores Timur Desa Kobasoma Desa Ilegerong Desa Nobokonga Desa Pululera De sa Ni lek no he ng E Desa Lewoingu Tabel 25 Program pengembangan ruang wisata akuatik No Obyek wisata Program pengembangan Ilustrasi arahan pengembangan 1 Hutan Pantai • Menjadikan kawasan hutan pantai sebagai kawasan hutan alami yang menampilkan keunikan dan keaslian hutan pantai dengan tetap mempertahankan ekosistem dan formasi vegetasi yang membentuk hutan pantai. • Peletakan fasilitas berupa papan interpretasi yang dapat mengakomodasikan kebutuhan pengunjung terhadap informasi mengenai hutan pantai dan pembuatan boardwalk dan observation deck agar aktifitas pengunjung tidak menyebabkan penurunan kualitas lingkungan hutan pantai. 2 Pantai berpasir • Menjadikan kawasan pantai berpasir sebagai lokasi belajar dan berekreasi dengan bagi wisatawan dan masyarakat lokal. • Penataan fasilitas berupa shelter dan tempat duduk yang nyaman untuk menikmati suasan pantai berpasir dan menikmati pemandangan Teluk Konga serta pembangunan dermaga kecil untuk memudahkan pengunjung mengakses lokasi tersebut dari obyek wisata akuatik lainnya. 3 Budidaya mutiara • Menjadikan kawasan budidaya mutiara sebagai kawasan agrowisata mutiara • Pembuatan display tiram mutiara untuk memperlihatkan proses budidaya mutiara tanpa mengganggu aktifitas budidaya • Pembuatan boardwalk untuk menunjang aktifitas pengamatan budidaya mutiara • Kantor pengelola budidaya mutiara yang dilengkapi dengan galeri mutiara hasil budidaya dan ruang pemutaran film mengenai teknik budidaya mutiara. Tabel 25 Lanjutan No Obyek wisata Program pengembangan Ilustrasi arahan pengembangan 4 Pulau Konga • Menjadikan kawasan Pulau Konga sebagai kawasan alami yang menampilkan keindahan dan keunikan pulau kecil. • Pembangunan fasilitas wisata seperti track interpretasi berupa tangga vertikal dan pemasangan papan interpretasi mengenai jenis burung yang beraktifitas di sekitar Pulau Konga. • Pembangunan fasilitas wisata berupa viewing deck dan shelter untuk menikmati suasana pulau kecil, pemandangan Teluk Konga dan Pulau Flores. 5 Kampung dan pelabuhan nelayan • Menjadikan kawasan ini sebagai kawasan budaya pesisir Teluk Konga dengan menampilkan kehidupan masyarakat nelayan. • Penataan bangunan pemukiman nelayan dengan sanitasi yang lebih baik agar tidak mencemari kawasan pesisir. • Pembuatan fasilitas darmaga, lokasi penambatan perahu dan lokasi pelelangan ikan agar tertata dengan lebih baik • Pembuatan leaflet mengenai atraksi wisata yang dapat ditemui dan dilakukan oleh pengunjung pada obyek wisata ini. 6 Hutan mangrove • Menjadikan kawasan hutan mangrove sebagai kawasan hutan alami dengan tetap menjaga kelestarian biota agar tetap dapat menampilkan keunikan dan keaslian hutan mangrove. • Penataan fasilitas wisata dengan menggunakan elemen-elemen alami yang dapat mengakomodasi kebutuhan pengunjung dan melindungi ekosistem hutan mangrove. • Pembangunan fasilitas berupa boardwalk dan pematang sebagai jalur interpretasi agar aktifitas pengunjung tidak mengganggu kelestarian hutan mangrove. Tabel 25 Lanjutan No Obyek wisata Program pengembangan Ilustrasi arahan pengembangan 7 Pantai berbatu • Menjadikan kawasan pantai berbatu sebagai kawasan pantai yang memiliki keunikan dan keaslian pantai berbatu dengan tetap melindungi ekosistem pantai berbatu. • Penataan fasilitas yang dapat menginterpretasikan kawasan pantai berbatu berupa track interpretasi dan papan interpretasi sehingga memudahkan pengunjung untuk memahami nilai edukasi yang ingin ditampilkan. • Peletakan shelter sebagai tempat beristirahat dan menikmati suasana pantai berbatu serta menikmati pemandangan dari lokasi ini. 8 Pembuatan garam tradisional • Menjadikan atraksi ini sebagai atraksi budaya masyarakat pesisir dengan menampilkan teknik pemanfaatan sumber daya pantai untuk memenuhi kebutuhan hidup. • Penataan lokasi demonstrasi pembuatan garam secara tradisional dan menyesuaikan dengan lingkungan sekitar. • Peletakan fasilitas shelter berarsitektur lokal agar pengunjung dapat menyaksikan proses pembuatan garam tradisional dengan nyaman. Tabel 26 Program pengembangan ruang wisata terestrial No Obyek wisata Program pengembangan Ilustrasi arahan pengembangan 1 Sungai Waikonga • Menjadikan Sungai Waikonga sebagai kawasan alami yang menjadi tonggak utama pertanian di Konga. • Program DAS terpadu dari pemerintah Flores Timur untuk seluruh desa yang dilewati DAS Waikonga agar dapat terjalin kerjasama dalam mengelola DAS Waikonga sehingga dapat sinergis dan berkesinambungan dari hulu hingga hilir yang juga berdampak bagi keberlanjutan kawasan pesisir Teluk Konga. • Pembuatan track bagi pengunjung untuk menyusuri sungai yang ditata dengan memperhatikan kenyamanan pegunjung dan tetap menjaga kelestarian sungai. • Pemasangan papan interpretasi dan pembuatan leaflet untuk memberikan informasi mengenai peta jalur interpretasi dan informasi mengenai ekosistem bantaran sungai Waikonga. 2 Gereja dan galeri Konga • Meningkatkan peran gereja sebagai tempat peribadatan dan jugan sebagai tempat bersejarah sehingga perlu dipertahankan dan dilestarikan. • Penataan kawasan sekitar gereja dengan elemen pendukung yang menunjang dan menjadikan Gereja Konga sebagai bangunan utama. • Pembangunan fasilitas track bagi prosesi ’Jalan Salib’ untuk kelancaran dan kesakralan prosesi tersebut. • Pembangunan galeri sejarah di kompleks Gereja Konga untuk menempatkan barang-barang peninggalan sejarah yang saat ini masih diletakkan di Gereja Konga. Tabel 26 Lanjutan No Obyek wisata Program pengembangan Ilustrasi arahan pengembangan 3 Bumi perkemahan • Menjadikan kawasan Bumi Perkemahan sebagai kawasan edukasi yang memberikan pengalaman untuk dapat bertahan hidup di alam terbuka dan mencintai lingkungan sekitar sebagai bentuk penerapan pendidikan lingkungan bagi pengunjung. • Kawasan bumi perkemahan menjadi alternatif lokasi menginap bagi wisatawan. • Penataan kawasan dengan fasilitas berkemah camping ground yang aman dan nyaman bagi pengunjung dan pembuatan jembatan gantung untuk memudahkan akses menuju kawasan tersebut. 4 Agrowisata • Menjadikan kawasan persawahan dan perladangan Konga sebagai kawasan wisata agro dengan mengembangkan potensi pertanian masyarakat Konga disamping sebagai tujuan wisata. • Di lokasi ini pengunjung dapat berinteraksi dengan para petani dan dapat belajar bercocok tanam atau memanen produk pertanian. • Penataan kawasan dengan minimalisasi fasilitas wisata agar tidak mengganggu aktivitas petani. Track yang digunakan oleh wisatawan berupa jalur pematang dan shleter tempat beristirahat para petani sekaligus digunakan sebagai shelter bagi wisatawan untuk beristirahat dan menikmati suasana persawahan dan perladangan. • Pembuatan leaflet yang memuat informasi mengenai lokasi ladang berpindah yang saat ini digunakan oleh penduduk. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kawasan Teluk Konga sebagai kawasan wisata adalah : 1 Penerapan konsep pengembangan ramah lingkungan mengingat rentannya kondisi fisik kawasan. 2 Penataan lanskap yang sesuai dengan kondisi alam pesisir Teluk Konga dan mempertahankan kondisi existing hutan alami darat, hutan mangrove dan hutan pantai. 3 Kawasan pengembangan untuk wisata dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas sosial dan fasilitas umum bagi wisatawan untuk kenyamanan dan keamanan berwisata. Penyediaan tanda-tanda yang jelas, baik berfungsi sebagai petunjuk, peringatan maupun informasi bagi pengunjung akan sangat membantu kelancaran berwisata. 4 Bentuk-bentuk arsitektur bangunan hendaknya didesain mengikuti arsitektur vernakular yang selaras dengan lingkungan alam dan budaya sekitar. 5 Peletakan fasilitas penginapan maupun struktur bangunan lainnya hendaknya tidak berada pada zona sempadan pantai dan sempadan sungai. 6 Pengembangan fasilitas penginapan maupun struktur bangunan lainnya hendaknya menggunakan teknik dengan minimalisasi dampak kerusakan lingkungan dan menggunakan teknik konstruksi serta menggambarkan kebudayaan kawasan Teluk Konga. 7 Memperhatikan buangan limbah padat dan limbah cair agar tidak langsung dibuang ke sungai ataupun ke laut. 8 Penyediaan brosur, leaflet, booklet, film dan pustaka lainnya untuk membantu wisatawan mengenali karakteristik kawasan dan potensi wisata yang dimiliki kawasan Teluk Konga. 9 Peningkatan kewaspadaan dan melindungi kawasan terhadap ancaman abrasi dan polusi terhadap lingkungan pantai. 10 Konservasi bangunan-bangunan adat dan bangunan bersejarah, seperti rumah adat, Gereja Nobo, dan Pelabuhan Waidoko. 11 Menjadikan pantai sebagai ruang publik bagi masyarakat lokal dan mengajak masyarakat ikut menjaga kelestarian pantai demi keberlanjutan wisata di Teluk Konga. 12 Mengembangkan usaha lokal seperti usaha penginapan home stay, penyelenggaraan pagelaran seni dan budaya, pengembangan obyek dan atraksi wisata, usaha makanan dan minuman, pembuatan dan penjualan souvenir, untuk dapat menumbuhkembangkan perekonomian masyarakat lokal. 13 Mengembangkan pemukiman-pemukiman masyarakat lokal dengan fasilitas serta sarana dan prasarana yang memadai. 14 Menambah dermaga kecil, anjungan atau jetty untuk melengkapi fasilitas wisata di Teluk Konga dengan tetap memperhatikan minimalisasi dampak kerusakan pantai.

5. Pengelolaan Wisata Pesisir Berkelanjutan