KEBIJAKAN PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KABUPATEN KLATEN BERKAITAN DENGAN BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 43 TAHUN 2007 TENTANG PENGANGKATAN TENAGA HONORE

(1)

commit to user

KEBIJAKAN PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KABUPATEN KLATEN BERKAITAN DENGAN BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 43 TAHUN 2007 TENTANG PENGANGKATAN TENAGA HONORER

MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL

T E S I S

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum

Minat Utama : Kebijakan Publik

Oleh :

YULI BUDI SUSILOWATI NIM. S 310409029

PROGRAM PASCA SARJANA ILMU HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010


(2)

commit to user

KEBIJAKAN PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KABUPATEN KLATEN BERKAITAN DENGAN BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 43 TAHUN 2007 TENTANG PENGANGKATAN TENAGA HONORER

MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL

DISUSUN OLEH : YULI BUDI SUSILOWATI

NIM. S 310409029

Telah Disetujui oleh Tim Pembimbing : Dewan Pembimbing

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Pembimbing I Prof. Dr.H. Jamal Wiwoho,SH.,MH ... …………. NIP. 196111081987021001

Pembimbing II Suranto, SH., M.Hum. ... …………

NIP. 195608121986011001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum

Prof. Dr. H. Setiono, SH.,MS NIP 194405051969021001


(3)

commit to user

KEBIJAKAN PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KABUPATEN KLATEN BERKAITAN DENGAN BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 43 TAHUN 2007 TENTANG PENGANGKATAN TENAGA HONORER

MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL

DISUSUN OLEH : YULI BUDI SUSILOWATI

NIM. S 310409029

Telah Disetujui oleh Tim Penguji :

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Ketua Prof. Dr. H. Setiono, SH.,MS . . . . . . Sekretaris Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum . . . . . . Anggota 1. Prof. Dr.H. Jamal Wiwoho,SH.,MH . . . . . . 2. Suranto, SH., M.Hum . . . . . .

Mengetahui,

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Ketua Program Studi Prof. Dr. H. Setiono, SH.,MS . . . . . . . Magister Ilmu Hukum NIP 194405051969021001

Direktur Program Prof.Drs.Suranto,M.Sc.,Ph.D . . . . . . . Pascasarjana NIP 195708201985031004


(4)

commit to user

PERNYATAAN

Yang menyatakan di bawah ini : Nama : YULI BUDI SUSILOWATI NIM : S. 310409029

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis dengan judul

”KEBIJAKAN PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KABUPATEN KLATEN BERKAITAN DENGAN BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 43 TAHUN 2007 TENTANG PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL” adalah

benar-benar karya saya sendiri. Hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tersebut di atas tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, yang berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.

Surakarta, Juli 2010 Yang Membuat Pernyataan


(5)

commit to user

Motto

Inna ma’al ‘usri y usran

(sesungguhny a sesudah k esulitan ada k emudahan, Al- Insy irah : 6)

PERSEMBAHAN

Tesis ini k upersembahk an dengan tulus hati dan rasa terimak asih

k epada :

Orang tuak u tercinta

SLAMET YOSO SUHARJO DAN HJ. SOEKARTI

y ang senantiasa mendoak ank u dengan tulus

Anak k u tercinta

ALIF DAFFA FAUZ AN HIDAYATULLAH

y ang selalu mendampingi, mendoak an dan memberik an semangat

k epada “Mama”-ny a untuk selesainy a penulisan tesis ini

Kak ak -k ak ak k u :

Endang/ Munawir, Bambang/ Indah, Titi k / Didik (alm),

Jok o/ Nining, Ning/ Ucok dan Etik

y ang selalu memberik an duk ungan dan semangat.

Dan Keponk an-k eponak ank u tersay ang


(6)

commit to user

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan taufik, hidayah serta petunjuk – Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan minat utama Hukum Kebijakan Publik.

Salah satu permasalahan yang harus ditangani pemerintah saat ini adalah mengurangi angka pengangguran, kebijakan yang ditempuh pemerintah diantaranya adalah dengan membuka kesempatan kerja melalui pengadaan CPNS. Kebijakan pengadaan CPNS melalui pegangkatan tenaga honorer menjadi CPNS sebagaimana yang diatur dalam PP 43 Tahun 2007 merupakan hal menarik untuk dikaji, diteliti dan dianalisa. Berangkat dari hal tersebut tesis ini mengambil judul : ” KEBIJAKAN PENGANGKATAN TENAGA

HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KABUPATEN KLATEN BERKAITAN DENGAN BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 43 TAHUN 2007 TENTANG PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL”.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini tak lepas dari bantuan, partisipasi, bimbingan dan dorongan moril serta informasi baik dari pembimbing maupun dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar - besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Syamsulhadi, S.P.Kj Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Prof. Drs.Suranto,M.Sc.,Ph.D. selaku Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.


(7)

commit to user

3. Bapak Muh. Yamin, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

4. Bapak Prof. Dr. H. Setiono, SH.,MS. selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang dengan sabar memberikan waktu, arahan dan motivasi sehingga memberi kemudahan kepada peneliti dalam penulisan tesis.

5. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah membantu dalam penyelesaian studi penulis.

6. Bapak Prof. Dr.H. Jamal Wiwoho,SH.,MH, Selaku Pembimbing I yang dengan sabar memberikan waktu, arahan dan motivasi sehingga memberi kemudahan kepada peneliti dalam penulisan tesis.

7. Bapak Suranto, SH., M.Hum Selaku Pembimbing II yang dengan sabar memberikan waktu, arahan dan motivasi sehingga memberi kemudahan kepada peneliti dalam penulisan tesis.

8. Bapak Drs. Purwanto Anggono Cipto, M.Si Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten yang telah berkenan memberikan ijin dan data-data dalam penelitian yang dilakukan penulis, serta keluarga besar Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten yang telah memberikan waktu dan motivasi dalam penulisan tesis ini.

9. Dosen Pengajar pada Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang senantiasa memberikan dukungan dan bantuan dalam penulisan tesis ini.

10. Rekan – rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta terutama teman senasib dalam suka dan duka lapar dan dahaga di kelas kebijakan publik angatan 2009 (April) yang senantiasa memberikan dukungan dan bantuan dalam penulisan tesis ini (wabil khusuzon Dyan, mbak Yuli, mbak Eny, Pak Djatmiko, Frangko dan Ahmad yang selalu memberikan dukungan semangat kepada penulis).


(8)

commit to user

11. Teman-teman di Badan Kepegawaian Daerah yang selalu memberikan semangat, bantuan, dukungan dan perhatian untuk selesainya penulisan tesis ini.

12. Semua pihak yang telah membantu dan berperan aktif yang tidak dapat penulis sebut satu persatu dalam penulisan tesis ini.

Dengan hati yang tulus, penulis hanya bisa berdoa semoga semua pihak yang telah berkenan membantu selesainya penulisan tesis ini senantiasa mendapatkan ridho dan pahala yang lebih dari Allah SWT. penulis juga menyadari tesis ini masih ada kekurangannya, dan masih jauh dari sempurna oleh karena itu segala saran, koreksi, pendapat dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan. Dan semoga tesis ini dapat memberikan manfaat. Amin.

Surakarta, Juli 2010.

Penulis

YULI BUDI SUSILOWATI NIM. S. 310409029


(9)

commit to user DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ……… i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ……….. HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI ……….. PERNYATAAN ……….. HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ………. KATA PENGANTAR ………. ii iii iv v vi DAFTAR ISI ……… DAFTAR TABEL ……… DAFTAR LAMPIRAN ……… DAFTAR GAMBAR ………... ABSTRAK ………... ABSTRACT ………. viii x xi xii xiii xiv BAB I PENDAHULUAN ………. 1

A Latar Belakang ………. 1

B Rumusan Masalah ……….... 9

C Tujuan Penelitian ………. 9

D Manfaat Penelitian ………... 10

BAB II LANDASAN TEORI ………... 11

A Deskripsi Teoritik ……… 11

1. Kajian tentang Kebijakan Publik (Public Policy)... 11

a. Definisi kebijakan publik ... 11

b. Teori pengambilan kebijakan ... 16

c. Proses Pembuatan kebijakan ... 17

d. Analisis kebijakan ... 19

2. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation) ... 20

3. Efektifitas Bekerjanya Hukum ... 30

4. Tinjauan Tentang Pegawai Negeri ... 41


(10)

commit to user

B Penelitian Yang Relevan ... 48

C Kerangka Berpikir ... 48

BAB III METODE PENELITIAN ... 50

A Jenis Penelitian ... 50

B Lokasi Penelitian ... 53

C D Data dan Sumber Data ... Tehnik Pengumpulan Data ... 53 54 E Tehnik Analisis Data ... 56

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 59

A Hasil Penelitian ... 1. Gambaran Umum Badan Kepegawaian Daerah ... 2. Dasar Hukum Badan Kepegawaian Daerah Kab. Klaten .... 3. Struktur Organisasi BKD Kab. Klaten ... 4. Kondisi Tenaga Honorer di Kabupaten Klaten ... 59 59 59 60 68 B Pembahasan ... 1.Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil Di Kabupaten Klaten ... 2.Faktor-Faktor Penghambat... 71 71 96 BAB V P E N U T U P ... 103

A Kesimpulan ... 103

B Implikasi ... 109

C Saran-saran ... 110


(11)

commit to user DAFTAR TABEL

Halaman TABEL 4.1 ...……… 76 TABEL 4.2 ...………..

TABEL 4.3 ...……….. TABEL 4.4 …...………..

78 80 81


(12)

commit to user DAFTAR LAMPIRAN

1. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 2. Surat Ijin Melakukan Penelitian


(13)

commit to user DAFTAR GAMBAR

Halaman GAMBAR 2.1 ...……… 49 GAMBAR 3.1 ...………..

GAMBAR 4.1 ...……….. .

59 62


(14)

commit to user

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil yang dilaksanakan di Pemerintah Kabupaten Klaten dipandang dari aspek efektifitas hukum dan untuk mengevaluasi efektifitas implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 dalam menyelesaikan masalah pengadaan pegawai di Kabupaten Klaten.

Dalam kenyataannya untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagian dilakukan oleh tenaga honorer. Diantara tenaga honorer tersebut ada yang telah lama bekerja kepada pemerintah dan keberadaannya sangat dibutuhkan oleh pemerintah. Untuk menjawab permasalahan tenaga honorer tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengatur pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Dengan filosofi ingin merekrut Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dari tenaga honorer sebagai apresiasi terhadap pengabdian mereka terhadap pemerintah, dikeluarkanlah kebijakan Pemerintah berupa mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum sosiologis, karena bertitik tolak dari data primer, yakni diperoleh langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan, yang dilakukan baik melalui pengamatan (observasi) dan wawancara. Penelitian hukum sebagai penelitian sosilogis (empiris) dapat direalisasikan terhadap efektifitas hukum yang sedang berlaku ataupun penelitian terhadap identifikasi hukum. Penelitian ini mengambil lokasi di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten untuk lebih memudahkan akses mendapatkan sumber atau informasi mengenai data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dan mendasarkan tempat tinggal peneliti yang berada di wilayah lokasi penelitian sehingga tingkat pengamatan, pengkajian dan analisa terhadap objek penelitian diharapkan lebih cermat.

Hasil pembahasan melalui analisa, menunjukkan bahwa pelaksanaan pengangkatan tenaga honorer menjadi calon pegawai negeri sipil di Kabupaten Klaten sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil masih ditemui hambatan/permasalahan yang menyebabkan proses implementasi tidak efektif.


(15)

commit to user

ABSTRACT

The objectives of research is to analyze the Government Regulation No. 43 of 2007 abaout the Honorary Officer Hiring into the Potencial Civil Servants implemented in the Government of Regency Klaten viewed from the law effectiveness aspect and to evaluate the effectiveness of Government Regulation No. 43 of 2007 implementation in coping with the problems of officer hiring in Regency Klaten.

In fact, in order to support the smoothness of government and development assignment implementation, in both central and local government, the honorary officers are hired. Among those honorary officers some of them had been working for a long time for the government and their existences are really necessary to the government. In order to cope with the problems of honorary officer, the government issues a policy goverming the honorary officers hiring into the Potential Civil Servant (CPNS). With the philosophy of desiring to recruit the Potential Civil Servant (CPNS) from honorary officer as appreciation for their dedication to the government, the Government Policy is issued in the form of Government Regulation No. 43 of 2007 about the Honorary Officer Hiring into the Potencial Civil Servants.

The research method used in this study was sociological law research, because it started from the primary data, the one deriving directly from the society as the first source using field study that was conducted using observation and interview. The law research as sociological (empirical) research can be realized in the law effectiveness prevailing or the research on law identification. This research was taken place in Badan Kepegawaian Daerah of Regency Klaten to facilitate the access to the source and information on the data needed in this research and because the writer resides in the research location area so that observation, study and analysis level on the research object is expected to be more precisely.

The result of discussion using analysis shows that the implementation of honorary officer hiring into the potential civil servants in Regency of Klaten has not effective because some obstacles and problems are found during implementation of honorary officer hiring into the potential civil servants in Regency of Klaten.


(16)

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Era reformasi di Indonesia yang dimulai sejak jatuhnya rezim orde baru membawa harapan baru bagi bangsa Indonesia menuju kehidupan yang lebih demokratis. Salah satu transisi kebijakan ekonomi dan politik di Indonesia pada tahun 1999 adalah pengenalan desentralisasi, otonomi yang memungkinkan pemerintah daerah berperan langsung terhadap perkembangan wilayahnya dan alokasi sumber daya yang ada di wilayahnya masing-msing.

Decentralisation policy in Indonesia, as it has been implemented in recent years has impacted strongly on regional levels of government. An examination of how decentralisation policy has affected good governance implementation at regional of government levels is timely.1

Dari batasan di atas, dapat dijelaskan bahwa kebijakan desentralisasi di Indonesia, seperti yang telah diimplementasikan dalam beberapa tahun terakhir telah berdampak kuat pada tingkat pemerintah daerah. karena daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat yang ada di wilayahnya,sehingga mendukung pemerintah daerah untuk merespons kebutuhan penduduk setempat baik pada masa kini dan mendatang.

However they also admitted that the current decentralization process is still far from perfect and many parts of process still need a lot of improvement. Generally, it has to be admitted that despite the (mild)

1

Mardiasmo, Diaswati and Barnes, Paul H. and Sakurai, Yuka (2008) Implementation of Good Governance By Regional Governments in Indonesia: The Challenges. In Brown, Kerry A. and Mandell, Myrna and Furneaux, Craig W. andBeach, Sandra, Eds. Proceedings Contemporary Issues in Public Management:The Twelfth Annual Conference of the International Research Society for PublicManagement (IRSPM XII), pages pp. 1-36, Brisbane, Australia.


(17)

commit to user

success of decentralization process, there were some big holes in the laws that sometimes led to the confusion or even conflicts between local and central government or among local government.2

Dari pengertian di atas diperoleh gambaran bahwa ternyata proses desentralisasi saat ini masih jauh dari sempurna dan banyak bagian dari proses tersebut masih perlu banyak perbaikan, ketidaksempurnaan arus proses desentralisasi itu karena ketidakmampuan aparat pelaksana melalui produksi masing-masing peraturan pemerintah. Dalam proses pelaksanaan desentralisasi, ada beberapa lubang besar dalam peraturan pemerintah yang kadang-kadang menyebabkan kebingungan atau bahkan konflik antara pemerintah daerah dan pusat atau di antara lokal pemerintah.

Desentralisasi di Indonesia merupakan salah satu perwujudan dari tuntutan reformasi dilakukan dalam berbagai bidang diantaranya reformasi dibidang politik yang ditandai dengan penyelenggaraan pemilu yang berbeda dari pemilu sebelumnya yaitu dengan sistem pemilihan legislatif maupun eksekutif secara langsung oleh rakyat dari tingkat pusat sampai daerah. Reformasi politik ternyata belum mampu menciptakan suatu sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa karena masih banyaknya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di lembaga-lembaga negara dari tingkat pusat sampai daerah. Sulitnya memberantas KKN dalam pemerintahan dan birokrasi terjadi karena rendahnya komitmen pemerintah untuk membenahi sistem birokrasi publik. Reformasi politik tanpa diikuti oleh reformasi birokrasi ternyata tidak menghasilkan perbaikan kinerja pelayanan publik.3

Selain hal-hal di atas masih banyak permasalahan yang harus ditangani oleh pemerintah. Permasalahan yang harus ditangani secara serius dan sungguh-sungguh oleh pemerintah dan bangsa Indonesia pada saat ini, antara lain : memberantas kemiskinan, mengurangi pengangguran

2

Bambang Brodjonegoro, The Indonesian Decentralization after Law Revision : Toward Better Future, Departement of Economics University of Indonesia, brodjo@indo.net.id, Indonesian Paper.pdf

3


(18)

commit to user

serta menegakkan ketertiban dan keamanan. Ketiga hal tersebut berkaitan satu sama lain. Pengangguran menyebabkan kemiskinan. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya. Pengangguran yang berkepanjangan dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya. Pengangguran dan kemiskinan itu secara langsung menyebabkan terganggunya keamanan dan ketertiban. Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kekacauan politik keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Pengangguran di Indonesia untuk saat ini sudah mencapai 99,9 juta orang (BPS 2010). Kemiskinan dan pengangguran adalah masalah substansional, masalah utama yang mendasar, yang sejak awal perencanaan pembangunan harus ditetapkan sebagai target nasional utama. Pasal 27 (Ayat 2) UUD 1945 menyebutkan : "...Tiap-tiap warganegara berhak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan...". Salah satu cara yang ditempuh pemerintah dalam mengurangi pengangguran adalah dengan membuka kesempatan kerja melalui pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil.

Menjadi Pegawai Negeri Sipil merupakan alternatif pilihan bagi sebagian besar pencari kerja di tengah-tengah keadaan sulitnya mencari pekerjaan. Berkarier di lingkungan birokrasi pemerintah sampai saat ini masih menjadi pilihan banyak orang. Kepastian adanya gaji tetap, minimnya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan adanya pensiun di hari tua menjadi alasan untuk memilih Pegawai Negeri Sipil sebagai pilihan profesi.

PNS (Pegawai Negeri Sipil) mempunyai kedudukan yang sangat penting dan menentukan bagi negara, dimana PNS merupakan unsur


(19)

commit to user

aparatur negara yang menyelenggarakan tugas pemerintahan dan tugas pembangunan dalam rangka pencapaian tujuan nasional. Kedudukan yang sangat penting dalam kinerja birokrasi tentunya membutuhkan profesionalitas dan kompetensi dari para PNS karena kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional terutama tergantung dari kesempurnaan kinerja PNS. Dengan demikian perlu adanya manajemen kepegawaian yang teratur dan terencana bagi PNS baik ditingkat pusat maupun daerah.

Dalam Pasal 129 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa :

(1)Pemerintah melaksanakan pembinaan manajemen pegawai negeri sipil daerah dalam satu kesatuan penyelenggaraan manajemen pegawai negeri sipil secara nasional.

(2)Manajemen Pegawai Negeri Sipil daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban, kedudukan hukum, pengembangan kompetensi dan pengendalian jumlah.

Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut, menurut HAW. Widjaja, dalam sistem kepegawaian secara nasional, pegawai negeri memiliki posisi penting untuk menyelenggarakan pemerintahan dan difungsikan sebagai alat pemersatu bangsa. Sejalan dengan kebijakan desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka ada sebagian kewenangan di bidang kepegawaian diserahkan kepada daerah yang dikelola dalam sistem kepegawaian daerah.4

Harus diakui bahwa manajemen kepegawaian di Indonesia masih belum tertata rapi. Mulai dari sistem administrasi, renumerasi, rekruitmen,

4

HAW Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia Dalam Rangka Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005.


(20)

commit to user

pengangkatan, hingga pembinaan dan pengawasan masih nampak kelemahan yang melingkupinya. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kinerja aparat birokrasi dan berujung pada penggambaran (image) bahwa birokrasi tidak profesional, berbelit-belit, kurang efisien dan efektif, bahkan kadang-kadang sampai terjadi pungutan liar (pungli) dalam pengurusan-pengurusan kepentingan publik tertentu, misalnya KTP, akta kelahiran dan berbagai urusan perizinan.

Ada beberapa otokritik terhadap sistem penataan aparatur birokrasi di Indonesia yang secara sistemik masih menjangkiti aparatur pemerintah di negeri ini. Pertama, lemahnya sistem rekruitmen pegawai, dengan tanpa perencanaan yang matang yang mendasarkan pada job analisis yang jelas. Model rekruitmen ini tidak akan memenuhi permintaan pegawai yang benar-benar proposional dengan kebutuhan birokrasi yang sesungguhnya dan berimplikasi panjang, yakni tidak terpenuhinya tuntutan the right man in the right place. Kedua, pola rekruitmen yang buruk juga memberikan kontribusi pada sistem alokasi atau penempatan pegawai yang menjadi tidak standar. Ketiga, pola pengembangan aparatur yang belum diorientasikan pada sistem karier secara benar. Keempat, sistem penilaian kinerja melalui DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan) dipandang kurang objektif dan bersifat kontraproduktif. Kelima, sistem kenaikan pangkat yang berjalan secara otomatis, menjadikan pegawai bersikap apatis, pasif dan menerima apa adanya tanpa ada suatu tantangan untuk senantiasa meningkatkan produktivitas kerja. Keenam, sistem imbalan yang sama pada tingkat kepangkatan, golongan dan ruang yang sama kurang mengakomodasi perbedaan prestasi kerja, tingkat kompetensi dan kinerja pegawai yang lebih baik. Ketujuh, peraturan disiplin pegawai tidak mampu


(21)

commit to user

mengikat secara tegas, karena unsur pimpinan sendiri seringkali melakukan pelanggaran disiplin.5

Persoalan lain muncul berkaitan dengan manajemen pegawai negeri sipil, yaitu masalah keberadaan tenaga honorer. Dalam kenyataannya untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagian dilakukan oleh tenaga honorer. Diantara tenaga honorer tersebut ada yang telah lama bekerja kepada pemerintah dan keberadaannya sangat dibutuhkan oleh pemerintah. Untuk menjawab permasalahan tenaga honorer tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengatur pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Dan tenaga honorer yang telah lama bekerja kepada pemerintah dan keberadaannya sangat dibutuhkan oleh pemerintah serta memenuhi syarat yang ditentukan dalam peraturan pemerintah dapat diangkat menjadi CPNS.

Dengan filosofi ingin merekrut Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dari tenaga honorer sebagai apresiasi terhadap pengabdian mereka terhadap pemerintah, dikeluarkanlah kebijakan Pemerintah berupa Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tanggal 11 Nopember 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tanggal 11 Nopember 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dilakukan bertahap mulai Tahun Anggaran 2005 dan paling lambat selesai Tahun Anggaran 2009.

5

Ambar Teguh Sulistyani, Memahami Good Governance Dalam Prespektif Sumber Daya Manusia, Yogyakarta, Gava Media, 2004.


(22)

commit to user

Implementasi Peraturan Pemerintah tersebut ternyata mengalami banyak permasalahan dan kendala. Apa yang diharapkan pemerintah sesuai dengan filosofi yaitu adanya wujud reward (penghargaan) terhadap tenaga honorer yang telah mengabdi pada pemerintah melalui perekrutan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, pada kenyataannya belum bisa menuntaskan ataupun mengakomodir semua honorer yang ada.

Kegiatan perekrutan dimaksud diawali dengan Pendataan Tenaga Honorer yang ada. Dari kegiatan pendataan ini sudah timbul masalah, karena lemahnya sosialisasi, sehingga menyebabkan perbedaaan persepsi di antara petugas pendataan di kabupaten/kota juga para tenaga honorer. Tentang definisi tenaga honorer telah menimbulkan bias penafsiran, sehingga masyarakat mempunyai persepsi sendiri, belum lagi para tenaga honorer yang mempunyai kepentingan agar bisa diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.

Definisi tenaga honorer menjadi isu yang sangat pelik, karena

sangat menentukan klasifikasi / kriteria tenaga honorer yang akan didata. Data tersebut menjadi pedoman pengangkatan tenaga honorer menjadi

Calon Pegawai Negeri Sipil. Tenaga honorer yang akan diangkat menjadi CPNS harus tercantum dalam database, oleh karena itu para tenaga honorer berusaha untuk didata dengan membawa penafsiran masing-masing, dengan harapan bisa diangkat menjadi CPNS.

Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 juga menjadi beban, karena kondisi tenaga honorer daerah sangat bervariatif, diantaranya :

1. Legalitas pejabat yang mengangkat tenaga honorer bervariasi.

2. Pendanaan penggajian tidak hanya dari APBN/APBD, tapi juga dari pendapatan lainnya.


(23)

commit to user

3. Tempat kerja tidak di Instansi Pemerintah tetapi diangkat oleh pejabat yang berwenang, gaji dari APBN/APBD.

4. Banyak tenaga honorer yang tidak memenuhi ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 mengenai usia dan masa kerja.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara telah menetapkan formasi Calon Pegawai Negeri Sipil tahun 2009 untuk Kabupaten Klaten sebanyak 505 orang yang akan ditempatkan di seluruh wilayah Kabupaten Klaten, yang dituangkan dalam Surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 102.PM/M.PAN/9/2009 tanggal 7 September 2009 perihal Persetujuan Rincian Formasi Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah Tahun 2009 untuk Pelamar Umum, Tenaga Honorer dan Sekretaris Desa. Formasi tersebut disesuaikan dengan kebutuhan PNS dan diutamakan untuk bidang pelayanan seperti pendidikan, kesehatan dan teknis strategis lainnya. Untuk tahun 2009 Kabupaten Klaten mendapat alokasi CPNS sebesar 505 orang yang terdiri dari 70 untuk tenaga honorer, 418 dari pelamar umum dan 17 sekretaris desa.

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 sebagai produk kebijakan publik diharapkan dapat mengakomodir tuntutan semua tenaga honorer untuk dapat diproses menjadi calon pegawai negeri sipil. Akan tetapi fakta di Kabupaten Klaten menunjukkan bahwa implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tersebut justru menimbulkan berbagi permasalahan dan ketidakpuasan dari para tenaga honorer yang belum bisa diproses menjadi calon pegawai negeri sipil.


(24)

commit to user

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut :

1. Apakah pengangkatan tenaga honorer menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) di Kabupaten Klaten berdasar PP Nomor 43 Tahun 2007 sudah efektif ?

2. Faktor-faktor penghambat apakah yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Klaten dalam penerapan/implementasi PP Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil ?

D. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian adalah :

1. Untuk menganalisa implementasi PP Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil yang dilaksanakan di Kabupaten Klaten di pandang dari aspek efektifitas hukum.

2. Untuk mengevaluasi efektifitas dan mengetahui faktor-faktor penghambat implementasi PP Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Klaten dalam menyelesaikan masalah pengadaan pegawai.


(25)

commit to user

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi antara lain :

1. Sebagai sumbangan pemikiran di bidang ilmu hukum, khususnya Hukum Tata Negara / Hukum Administrasi Negara yang sekarang berkembang dengan cepat.

2. Diharapkan dalam penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sumbangan pemikirian pada pihak – pihak yang terkait dengan kegiatan Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil dalam pengambilan kebijakan.


(26)

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Deskripsi Teoritik

1. Kajian Tentang Kebijakan Publik (Public Policy)

a. Definisi kebijakan publik

Seiring dengan berkembangnya masalah-masalah di dunia, berkembang pulalah usaha yang yang dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Dalam usaha untuk memecahkan masalah-masalah yang terdapat di tengah-tengah kehidupan masyakarat, pemerintah telah mengeluarkan banyak kebijakan.

Recently the terms "governance" and "good governance" are being increasingly used in development literature. The concept of "governance" is not new. It is as old as human civilization. Simply put "governance" means: the process of decision-making and the process by which decisions are implemented (or not implemented).7

Batasan diatas menjelaskan bahwa baru-baru ini istilah pemerintahan (goverment) dan tata pemerintahan (good governance) yang baik sering digunakan dalam literatur pembangunan. Konsep pemerintahan bukan merupakan hal yang baru karena sudah ada sejak adanya peradaban manusia. Secara sederhana tata (good) berarti : proses pengambilan keputusan atau kebijakan dan proses dengan mana keputusan / kebijakan itu diimplementasikan (atau tidak diimplementasikan). Dari pengertian tersebut diperoleh gambaran bahwa good governance adalah cara bagaimana kekuasaan pemerintah baik pusat maupun daerah digunakan untuk mengelola

7

United Nations, ESCAP, PBB Web Site/Website PBB Locator, Proverty and Development

Division, Good Governance, http://www.unescap.org/pdd/prs/Project


(27)

commit to user

sumber daya-sumber daya ekonomi dan sosial untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat.

Thomas R Dye8 menjelaskan bahwa kebijakan negara atau public policy is whatever goverments choose to do or not to do (pilihan tindakan apapun yang dilakukan atau tidak ingin dilakukan oleh pemerintah). Menurut Anderson dan Dye,9 ada 3 (tiga) alasan mempelajari kebijakan negara yaitu, pertama dilihat dari sudut alasan ilmiah (scientific reason), kebijakan negara dipelajari dengan maksud untuk memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam mengenai hakekat dan asal mula kebijakan negara, berikut proses-proses yang mengantarkan perkembangannya serta akibat-akibatnya pada masyarakat; kedua dilihat dari sudut alasan profesional (profesional reason), maka studi kebijakan negara dimaksudkan untuk menerapkan pengetahuan ilmiah di bidang kebijakan negara guna memecahkan masalah-masalah sosial sehari-hari. Sehubungan dengan ini, terkandung suatu pemikiran tentang faktor-faktor yang membentuk kebijakan negara, atau akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kebijakan tertentu, maka perlu dipertimbangkan bagaimana individu, kelompok atau pemerintah dapat bertindak guna mencapai tujuan mereka; ketiga, dilihat dari sudut alasan politis (political reason), maka mempelajari kebijakan negara pada dasarnya dimaksudkan agar pemerintah dapat menempuh kebijakan yang tepat, guna mencapai tujuan yang tepat pula. Dengan kata lain, studi kebijakan negara dalam hal ini dimaksudkan untuk menyempurnakan kebijakan negara yang dibuat oleh pemerintah.

8

Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, PT. Suryandaru Utama, 2005

9

Solichin Abdul Wahab, Public Policy : Pengertian Pokok Untuk Memahami dan Analisis Kebijakan Pemerintah, Surabaya : Airlangga University Press, 1997.


(28)

commit to user

Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan memberi arti kebijakan sebagai suatu pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah, sedang Carl J. Friedrich mendefinisikan kebijakan sebagai ”...serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu.”10

Ragam kebijakan yang dibuat ada beberapa jenis, pertama kebijakan yang dibuat oleh legislatif secara tunggal (Undang-undang Dasar, Ketetapan MPR), kedua kebijakan yang dibuat dalam bentuk kerja sama antara legislatif dan eksekutif (undang-undang). Ketiga adalah kebijakan yang dibuat oleh eksekutif saja, karena di dalam perkembangan kebijakannya peran eksekutif tidak cukup hanya melaksanakan kebijakan yang dibuat legislatif. Semakin meningkatnya kompleksitas kehidupan bersama diperlukan kebijakan-kebijakan untuk melaksanakan kebijakan yang bersifat umum yang dibuat legislatif (UUD, TAP MPR, UU, dll). Di Indonesia ragam kebijakan yang dibuat/ditangani eksekutif bertingkat, contoh :11

Di tingkat pusat yaitu :

1). Peraturan Pemerintah (PP), 2). Keputusan Presiden (Kepres),

3). Keputusan Menteri atau Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen, dll.

10

Joko Purwono, Analisis Kebijakan Publik : Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Yakarta, Bumi Aksara, 1989 .

11

Riant Nugroho, Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, Jakarta, Edisi Kedua, Gramedia, 2004 .


(29)

commit to user Di tingkat daerah yaitu :

1). Keputusan Gubernur,

2.) Keputusan Bupati dan bertingkat-tingkat keputusan di bawahnya,

3). Keputusan Walikota dan bertingkat-tingkat keputusan di bawahnya.

Dalam studi kebijakan publik, maka kebijakan-kebijakan tertulis formal inilah yang menjadi pusat perhatian.

Proses implementasi sangat erat dengan kebijakan. Kebijakan-kebijakan yang diputuskan dan ditetapkan bermuara untuk mengatasi masalah yang terjadi dalam masyarakat (publik), menurut Friedrich mendefinisikan kebijakan sebagai :12

”serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada, di mana kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu”

Sedangkan James E Anderson menyatakan bahwa kebijakan adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau kelompok pelaku guna memecahkan masalah tertentu13

WI. Jenkins merumuskan kebijakan sebagai :14serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh seseorang aktor politik atau sekelompok aktor politik berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi

12

Ibid, hal 4

13

Irfan Islami, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Jakarta, Bumi Aksara, 2004.

14


(30)

commit to user

dimana keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut.

Sedangkan kebijakan menurut Heins Eulau dan Keneth Prewith adalah keputusan yang teguh yang disifati oleh adanya perilaku yang konsisten dan pengulangan pada bagian dari keduanya yakni bagi orang-orang yang membuatnya dan bagi orang-orang yang melaksanakannya.

Kebijakan publik dipahami sebagai pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat atau badan pemerintah dalam bidang tertentu. Dalam pandangan David Easton ketika pemerintah membuat kebijakan publik, maka ketika itu pula pemerintah mengalokasikan nilai-nilai kepada masyarakat, karena setiap kebijakan mengandung seperangkat nilai di dalamnya. Sedangkan Harold Laswell dan Abraham Kaplan berpendapat bahwa kebijakan publik hendaknya berisi tujuan, nilai-nilai dan praktika-praktika sosial yang ada dalam masyakarat. Ketika kebijakan publik berisi/mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyakarat, maka kebijakan publik tersebut akan mendapat resistensi ketika diimplementasikan. Sebaliknya, suatu kebijakan publik harus mampu mengakomodasikan nilai-nilai dan praktika-praktika yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Kebijakan menurut Graycar15 dapat dilihat sebagai konsep filosofis, sebagai suatu produk, sebagai suatu proses, dan sebagai suatu kerangka kerja. Dalam konsep filosofis, kebijakan merupakan serangkaian prinsip, atau kondisi yang diinginkan; sebagai suatu produk, kebijakan dipandang sebagai suatu serangkaian kesimpulan dan rekomendasi; sebagai suatu proses, kebijakan dipandang sebagai

15

Yeremias T Keban, Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Konsep, Teori dan Isu, Gava Media, Yogyakarta, 2004, hlm. 55


(31)

commit to user

suatu sistem organisasi, sehingga dapat mengetahui apa yang diharapkan dari program dan mekanisme kerja dalam mencapai produknya serta sebagai suatu kerangka kerja. Kebijakan merupakan suatu proses tawar menawar dan negosiasi untuk merumuskan isu-isu dan metode implementasinya.

Thomas R. Dye 16menjelaskan, bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Selanjutnya Dye mengatakan, apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu, maka harus ada tujuannya dan kebijakan tersebut harus meliputi semua tindakan pemerintah, bukan semata-mata keinginan pemerintah atau pejabatnya. Disamping itu, sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk kebijakan negara. Hal ini disebabkan “sesuatu yang tidak dilakukan “ oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh yang sama besarnya dengan “sesuatu yang dilakukan” pemerintah.

b Teori pengambilan kebijakan

Menurut Solichin Abdul Wahab17 ada tiga teori pengambilan kebijakan yang sering dipakai, yaitu:

Pertama, Teori Rasional Komprehensif. Teori ini paling banyak dikenal dan diterima oleh kalangan luas. Unsur-unsur utama dari teori ini meliputi: (1) Pembuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu yang dapat dibedakan dari masalah-masalah lain; (2) Tujuan-tujuan, nilai-nilai atau sasaran yang sebagai pedoman pembuat keputusan amat jelas dan dapat diperbandingkan rangkingnya sesuai dengan urutan kepentingannya; (3) Berbagai alternatif untuk memecahkan masalah tersebut diteliti secara seksama;

16

Hanif Nurcholish, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2005, hlm 159

17


(32)

commit to user

(4) Akibat-akibat berupa biaya dan manfaat yang ditimbulkan oleh setiap alternatif dipilih dan diteliti; (5) Setiap alternatif dan masing-masing akibat yang menyertainya dapat diperbandingkan dengan alternatif lainnya; (6) Pembuat keputusan akan memilih alternatif dan akibat-akibatnya untuk mencapai tujuan, nilai atau sasaran yang telah digariskan. Hasil dari proses tersebut adalah keputusan yang rasional yakni suatu keputusan dapat mencapai tujuan paling efektif.

Kedua, Teori Inkremental. Pengambilan keputusan dalam teori ini menghindari banyak masalah yang harus dipertimbangkan dan pada saat yang sama merupakan teori lebih banyak menggambarkan cara untuk ditempuh oleh pejabat pemerintah dalam mengambil keputusan sehari-hari.

Ketiga, Teori Pengamatan Terpadu. Suatu pendekatan untuk pengambilan sebuah keputusan dengan memperhitungkan baik keputusan yang bersifat fundamental maupun keputusan-keputusan bersifat inkremental dan memberikan urutan teratas bagi proses pembuatan kebijakan fundamental guna memberikan arahan dasar dan proses pembuatan kebijakan inkremental sesudah keputusan tercapai.

c Proses Pembuatan kebijakan

Membuat atau merumuskan suatu kebijakan Negara, bukanlah suatu proses sederhana dan mudah, hal ini disebabkan karena terdapat banyak faktor atau kekuatan-kakuatan yang berpengaruh terhadap proses pembuatan kebijakan Negara tersebut. Menurut Irfan Islamy18 ada enam langkah yang harus diperhatikan dalam perumusan kebijakan Negara yaitu; Pertama Perumusan masalah; Kedua, Penyusunan agenda pemerintahan; Ketiga, Perumusan usulan

18


(33)

commit to user

kebijakan; Keempat, Pengesahan kebijakan Negara; Kelima, Pelaksanaan kebijakan dan Keenam,Penilaian kebijakan Negara.

William Dunn19 mengemukakan proses pembuatan kebijakan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung menurut urutan-urutan waktu; Pertama, Penyusunan agenda, para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik; Kedua, Formulasi kebijakan, para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengantisipasi masalah; ketiga, Adopsi kebijakan, alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus diantara direktur lembaga atau keputusan peradilan; keempat, Implementasi kebijakan, kebijakan dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia; Kelima, Penilaian kebijakan, untuk pemeriksaan dan akuntasi dalam pemerintahan menentukan apabila badan-badan eksekutif, legislatif dan badan peradilan memenuhi persyaratan seperti yang ditentukan oleh undang-undang dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan.

Proses kebijakan dapat dilukiskan sebagai deretan keadaan yang berbeda-beda sehubungan dengan keseluruhan dari tindakan yang dinamis dalam hal persiapan, penentuan, pelaksanaan, penilaian dan pengendalian suatu kebijakan. David Easton menjelaskan,20 “Melalui proses pembuatan keputusanlah komitmen-komitmen masyarakat yang acap kali masih kabur dan abstrak sebagaimana tampak dalam nilai-nilai dan tujuan-tujuan masyarakat, diterjemahkan oleh para aktor (politik) ke dalam

19

William Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Gajahmada University Press, Yogyakarta, 1998, hlm. 24

20


(34)

commit to user

komitmen-komitmen yang lebih spesifik menjadi tindakan-tindakan dan tujuan-tujuan yang konkrit.”

Thomas R. Dye merumuskan secara terperinci pembuatan kebijakan sebagai :21 “ Keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisian masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut ke dalam sistem politik, pengupayaan pengenaan sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih, pengesahan dan pelaksanaan/implementasi, monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik).”

Dalam pembuatan kebijakan ada beberapa model yang salah satunya adalah model group theory : Policy as Group Equilibrium. Model kelompok merupakan abstraksi dari proses pembuatan kebijakan yang dimana beberapa kelompok kepentingan berusaha untuk mempengaruhi isi & bentuk kebijakan secara interaktif. Dengan demikian pembuatan kebijakan terlihat sebagai upaya untuk menanggapi tuntutan dari berbagai kelompok kepentingan dengan cara bargaining, negoisasi dan kompromi.22

d Analisis kebijakan

William Dunn23 menyatakan Analisis kebijakan dilakukan untuk menilai secara kritis dan mengkonsumsikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu atau lebih tahap proses pembuatan kebijakan. Dalam melakukan analisis kebijakan Dunn membagi lima tahap analisis yaitu, (1) Perumusan masalah (2) Peramalan (3) Rekomendasi (4) Pemantauan (5) Penilaian. Setiap

21

Ibid, hal 47

22

R. Slamet Santoso, Model dalam Kebijakan Publik,

23


(35)

commit to user

tahap berhubungan dengan tahap berikutnya, dan tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan agenda), atau tahap ditengah, dalam lingkup aktivitas yang tidak linier.

Berdasarkan pendapat tadi, dapat dipastikan bahwa kebijakan adalah rangkaian tindakan dengan tujuan untuk memecahkan masalah, tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat yang dilakukan setelah adanya keputusan terhadap alternatif yang dipilih.

2. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation)

Jika suatu kebijakan telah diputuskan atau direkomendasikan untuk dipilih, maka kebijakan tersebut tidak akan berhasil terwujud apabila kebijakan tadi tidak diimplementasikan. Kebijakan yang telah dipilih oleh pembuat kebijakan (policy makers) tidak menjamin bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya.

Istilah implementasi sering digunakan oleh para ahli untuk menggambarkan tahapan pelaksanaan. Namun di kalangan para ahli sendiri hingga saat ini belum ada kesatuan pendapat mengenai implementasi, hal ini disebabkan karena memang apa yang disebut sebagai implementasi merupakan tahapan yang kompleks dan rumit. Kendati sulit untuk merumuskan batasan implementasi secara definitif, namun batasan mengenai apa yang disebut implementasi untuk keperluan analisis, mutlak diperlukan.

Kamus Webster, merumuskan secara pendek bahwa To Implement (mengimplementasikan) berarti to provide, the mean for carrying out,


(36)

commit to user

(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu), to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu)24

Implementasi menurut Mazmanian dan Sabatier adalah :25

Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan, yakni kejadian-kejadian atau kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.

Mazmanian dan Sabatier juga memberikan definisi lain tentang implementasi yaitu :

Pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk Undang-Undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasi masalahnya yang ingin dicapai, menyebutkan secara tegas tujuan/sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk untuk menstrukturkan/mengatur proses implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan Undang-undang, kemudian output kebijaksanaan dalam bentuk pelaksanaan keputusan-keputusan tersebut oleh kelompok sasaran, dampak nyata baik yang dikehendaki atau yang tidak dari output tersebut, dampak keputusan sebagai dipersepsikan oleh badan-badan yang mengambil keputusan dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting atau upaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan terhadap Undang-undang/peraturan yang bersangkutan.

24

Abdul. Wahab Solichin, 2004, op.cit 64.

25


(37)

commit to user

Implementasi tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menumbuhkan ketaatan pada diri kelompok sasaran. Implementasi juga menyangkut jaringan-jaringan kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terikat dan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap dampak yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.

Sedangkan Van Meter dan Van Horn merumuskan proses implementasi sebagai berikut :

Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan.

Proses implementasi terkait erat dengan kebijakan, implementasi melibatkan usaha dari policy makers untuk mempengaruhi “street level bureaucats” untuk memberikan pelayananan atau mengatur perilaku kelompok sasaran (target group). Untuk kebijakan yang sederhana, implementasi hanya melibatkan satu badan yang berfungsi sebagai implementator. Sebaliknya untuk kebijakan yang bersifat makro, maka usaha-usaha implementasi akan melibatkan berbagai institusi.

Mengenai keterlibatan berbagai pelaku (actors) dalam implementasi, Ripley dan Franklin menyatakan :26

Impelementation processinvolve many important actors holding diffuse and competing goals and expectations who work within a contexts of an increasingly large and complex mix of government programs that require participation form numerous layers and unit of government and who are affected by powerfull factors beyond their control.

26


(38)

commit to user

Pengertian di atas menjelaskan bahwa Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor atau unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual maupun variabel organisasional dan masing-masing variabel pengaruh tersebut juga saling berinteraksi satu sama lain.

Setelah ditetapkannya suatu kebijakan tidak berarti bahwa masalah yang dihadapi sudah terselesaikan, masalah yang masih harus dihadapi adalah apakah kebijakan itu langsung dapat diterima oleh masyarakat dan mempunyai kesediaan diri untuk mengimplementasikannya.

Jika suatu kebijakan telah dirumuskan dan diputuskan maka dibutuhkan suatu sistem untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Kebijakan yang telah dirumuskan, diterima dan disahkan oleh pihak yang berwenang maka siap untuk diimplementasikan. Masalah implementasi kebijakan tidak hanya terbatas pada perwujudan secara riil dari kebijakan tersebut. Pembuat kebijakan tidak hanya ingin melihat kebijakannya dilihat oleh masyarakat akan tetapi juga ingin mengetahui seberapa jauh kebijakan tersebut memberikan konsekwensi positif dan negatif bagi masyarakat. Sebab pada dasarnya kebijakan itu dibuat untuk kepentingan rakyat banyak.

Implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh karena itu tidak terlalu salah apabila dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Untuk


(39)

commit to user

mengimplementasikan kebijakan publik, maka dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut.

Pada umumnya tugas implementasi adalah mengkaitkan realisasi tujuan kebijakan dengan hasil kegiatan/program pemerintah. Beberapa kebijakan bersifat ”self executing” artinya dapat dirumuskannya kebijakan itu sekaligus (dengan sendirinya) kebijakan itu terimplementasikan. Akan tetapi jumlah kebijakan yang self executing ini tidak banyak. Kebanyakan kebijakan negara itu berbentuk peraturan perundang-undangan baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah, ataupun berbagai macam ketentuan dan ketetapan yang sejenis dengan itu yang lebih bersifat non self executing, artinya bahwa kebijakan negara perlu diwujudkan dan dilaksanakan oleh berbagai pihak sehingga nampak efeknya.

Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerjasama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan.27

Meter dan Horn mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta baik secara individu atau kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagaimana dirumuskan dalam kebijakan.28

Ada dua macam strategi dalam proses implementasi kebijakan negara yaitu top down dan bottom up, yang masing-masing memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Sabatier mengemukakan, kenyataannya pelaksanaan suatu kebijakan sangat dipengaruhi oleh bekerjanya tarik

27

Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta, Media Pressindo, 2002

28


(40)

commit to user

menarik kepentingan antara pemerintah dengan perubahan sikap masyarakat. Dinamika tarik menarik inilah yang disebutnya sebagai Implementasi top-down dan bottom up.29

Menurut teori yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn maupun Sabatier dan Mazmanian, suatu implementasi akan efektif apabila pelaksananya mematuhi apa yang telah digariskan oleh peraturan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis atau dengan menggunakan model top down. Kebijakan yang bersifat top down hampir tidak memberikan ruang kepada aparat pelaksana untuk melakukan inovasi dalam bekerja. Segala tindakan sudah diatur dengan detail dan bersifat mengikat. Kecenderungan aparat untuk melaksanakan kebijakan sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis sangat kuat.

Accountability is a top-down notion. It assumes – rightly – that the government structure is a hierarchical one. In a hierarchical bureaucracy, accountability usually implies answerability to higher echelons of government.30

Dari pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa menurut Santosh Mehrotra, implementasi top down berkaitan dengan kemampuan meningkatkan akuntabilitas pemerintah. Struktur pemerintah adalah suatu hirarki tatanan birokrasi, dan akuntabilitas dalam hal ini biasanya berarti answerability ke tingkat yang lebih tinggi dalam pemerintahan. Yang pada akhirnya pertanggungjawaban ini harus disampaikan kepada warga negara.

Keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh banyak variabel, faktor dan dimensi dan masing-masing saling berhubungan

29

Mas Roro Lilik Ekowati, Perencanaan, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan atau Program, Pustaka Citra, Surakarta, 2005.

30

Santosh Mehrotra, Penasihat Ekonomi Daerah Kemiskinan dan Pemerintahan, Pusat Regional untuk Asia, Elaborasi pada kemampuan pendekatan Sen, Demokrasi, Desentralisasi dan akses ke Layanan Dasar, Bangkok, E-mail: santosh.mehrotra@undp.org.


(41)

commit to user

satu sama lain. Para ahli banyak mengemukakan pendapatnya tentang teori metode implementasi kebijakan. Menurut Grindle keberhasilan implementasi dipengaruhi oleh 2 (dua) variabel besar, yaitu isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (contex of implementation).

Variabel isi kebijakan menyangkut:31 1). Kepentingan kelompok sasaran 2). Jenis manfaat

3). Derajad perubahan yang diinginkan 4). Letak pengambilan keputusan 5). Pelaksanaan program

6). Sumber daya yang dilibatkan

Sedang variabel lingkungan implementasi menyangkut : 1). Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat 2). Karakteristik lembaga dan penguasa

3). Kepatuhan dan daya tanggap

Sedang Edward memandang bahwa : implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel yakni : (1) komunikasi, (2) sumber daya, (3) disposisi dan (4) struktur birokrasi. Keempat variabel tersebut juga saling berhubungan satu sama lain.

Sementara Van Meter dan Van Horn berpendapat bahwa Implementasi kebijakan berjalan lancar secara linier dari kebijakan publik, implementator dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik adalah variabel : 32

1). Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi. 2). Karakteristik dari agen pelaksana/implementator.

31

AG. Subarsono, op.cit, hal 90-94

32


(42)

commit to user 3). Kondisi ekonomi, sosial dan politik.

4). Kecenderungan (disposition) dari pelaksana/impelementator.

Mazmanian dan Sabatier mengembangkan model yang disebut sebagai A Frame work for Implementation Analysis (Kerangka Analisis Implementasi)

Peran penting dari implementasi kebijaksanaan negara ialah mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel-variabel yang dimaksud dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) katagori besar yaitu :

1). Mudah tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan.

2). Kemampuan keputusan kebijaksanaan untuk menstrukturkan secara cepat proses implementasi dan

3). Pengaruh langsung pelbagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijaksanaan tersebut.33

Berdasar pengertian di atas dapat diketahui bahwa implementasi bukan hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang bertanggungjawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan pula menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang berlangsung atau tidak dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat dan pada akhirnya berpengaruh terhadap dampak baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.

Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan ádalah suatu proses tindakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok setelah peraturan atau keputusan

33


(43)

commit to user

ditetapkan untuk mencapai tujuan dengan didukung oleh peralatan, aparat pelaksana, dan biaya.

Suatu kebijakan negara akan menjadi efektif bila dilaksanakan dan mempunyai dampak positif bagi masyarakat. Dengan kata lain, tindakan atau perbuatan manusia yang menjadi anggota masyarakat itu bersesuaian dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah atau negara. Dengan demikian jika mereka bertindak/berbuat tidak sesuai dengan keinginan pemerintah/negara itu, maka kebijakan negara akan menjadi tidak efektif.

Dari berbagai pendapat tersebut, maka implementasi kebijakan dapat dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan kebijakan. Usaha untuk melakukan melaksanakan kebijakan tetentu, tentunya membutuhkan suatu keahlian dan keterampilan dalam menguasai persoalan yang hendak dikerjakan. Dalam hal ini birokrasi menempati kedudukan yang strategis, karena birokrasilah yang berkewajiban melaksanakan kebijakan tersebut, sehingga birokrasi senantiasa dituntut untuk mempunyai keterampilan dan keahlian yang tinggi.

Keberhasilan implementasi kebijakan negara sebagai suatu proses secara garis besar disamping dipengaruhi oleh faktor tujuan yang telah ditetapkan, dengan cara apa tujuan tersebut dilaksanakan juga dipengaruhi oleh beberapa variabel dalam implementasi kebijakan publik, yaitu : communications (komunikasi), resources (sumber daya), dispotitions atau attitudes (sikap) dan bereaucratic structure (struktur birokrasi).34

34


(44)

commit to user a). Komunikasi

Agar implementasi kebijakan berjalan efektif diperlukan komunikasi yang jelas, akurat dan konsisten bagi implementator. Tidak cukupnya komunikasi bagi implementator mengakibatkan implementasi yang dikirim akan mengalami kesalahan atau kerusakan, samar-samar atau tidak konsisten yang akhirnya secara serius akan mempengaruhi implementsai kebijakan.

b). Sumber Daya

Diperlukan sumber daya yang memadai agar implementasi bisa efektif. Pentingnya sumber daya ini meliputi ukuran staf dan keahlian yang dimiliki, sumber daya yang lemah akan berakibat bahwa pelayanan tidak akan bisa diberikan atau peraturan-peraturan tidak akan bisa untuk diterapkan.

c). Sikap

Seorang implementator disamping harus mengetahui apa yang harus dilaksanakan juga harus bisa membawa kebijakan sebagaimana yang diinginkan (diharapkan).

d). Struktur birokrasi

Struktur birokrasi merupakan faktor penting di dalam pelaksanaan kebijakan. Dimana di dalam birokrasi tersebut akan terjadi koordinasi dan kerjasama agar implementasi kebijakan bisa efektif dan efisien.

Langkah terakhir dari suatu proses kebijakan adalah evaluasi kebijakan yang meliputi penilaian terhadap hasil-hasil kebijakan, tujuan-tujuan, sarana-sarana, aktivitas-aktivitas, urutan waktu dengan berpegang pada ukuran-ukuran lain dari tujuan-tujuan kebijakan seperti asas-asas maupun pandangan-pandangan lain yang dianut oleh para penilai.


(45)

commit to user

3. Efektifitas Bekerjanya Hukum

Sesungguhnya hubungan hukum dan kebijakan publik sangat erat bagaikan dua sisi mata uang. Maksudnya adalah produk hukum yang baik harus melalui proses komunikasi yang baik antara stakeholders dan antar komponen masyarakat yang biasa dilakukan dalam proses penyusunan kebijakan publik. Produk hukum dibicarakan dalam dua sisi, yakni sisi keadilan dan sisi legalitas sebagai upaya adanya kepastian hukum yang kemudian menjelma hukum positif, yakni produk hukum yang berlaku dalam suatu negara tertentu dan dibuat lembaga yang berwenang seperti pembuatan undang-undang dilakukan oleh pemerintah dan DPR RI, peraturan daerah dibuat oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati.

Dalam melakukan penerapan hukum membutuhkan kebijakan publik sebagai sarana yang mampu mengaktualisasikan hukum tersebut dengan kebutuhan dan kondisi riil yang ada di masyarakat, sebab jika responsifitas aturan masyarakat hanya sepenuhnya diserahkan pada hukum semata, maka bukan tidak mungkin pada saatnya akan terjadi pemaksaan-pemaksaan hukum yang tidak sejalan dengan cita-cita hukum itu sendiri yang ingin mensejahterakan masyarakat.

Kebijakan publik sebagai sebuah konsep pengaturan masyarakat yang lebih menekankan pada proses, dewasa ini tampaknya menjadi lebih populer daripada hukum. Namun keberadaan hukum secara sadar atau tidak sadar masih tetap dibutuhkan oleh masyarakat modern.

Penerapan hukum menjadi sangat tergantung pada kebijakan publik sebagai sarana yang dapat menyukseskan berjalannya penerapan hukum itu sendiri. Sebab dengan adanya kebijakan publik, maka pemerintah pada level yang terdekat dengan masyarakat setempat akan mampu merumuskan apa-apa saja yang harus dilakukan agar penerapan hukum yang ada pada suatu saat dapat berjalan dengan baik.


(46)

commit to user

Menurut Lawrence Meir Friedman seorang ahli sosiologi hukum dari Stamford University dalam bukunya The Legal System, mengemukakan mengenai Tiga Unsur Sistem Hukum (Three Element of Legal System). Untuk itu sangat tepat Teori Friedman yang menyatakan bahwa hukum merupakan satu kesatuan sistem yang terdiri dari tiga unsur yang saling terkait. Ketiga unsur sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya hukum tersebut adalah sebagai berikut :35 a. Struktur Hukum (legal structure);

Struktur menurut Friedman adalah kerangka bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Di Indonesia berbicara tentang struktur sistem hukum Indonesia maka termasuk didalamnya struktur Institusi-institusi penegakan hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan

Dalam hal ini merupakan unsur yang berasal dari para pemegang aturan hukum. Bisa jadi pemerintah (eksekutif), pembuat peraturan (legislatif) ataupun lembaga kehakiman (yudikatif). Para aparat penegak hukum, seyogyanya harus bersikap konsisten terhadap apa yang telah dikeluarkannya. Ia tidak boleh mangkir dari kebijakan-kebijakan hukum yang telah dibuatnya. Atau dengan kata lain, dalam melakukan segala perbuatan, pemerintah harus selalu berpegang teguh terhadap peraturan umum yang telah dibuatnya.

Jadi pada dasarnya struktur hukum secara sederhana bisa diartikan dari kerangka hukum maupun wadah dan organisasi dari lembaga-lembaganya.

35

Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta, PT. Yarsif Watampone, 2001.


(47)

commit to user b. Substansi Hukum ( legal substance);

Substansi adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem hukum itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada didalam sistem hukum itu mencakup peraturan baru yang mereka susun. Komponen substantif sebagai output dari sistem hukum yang berupa peraturan-peraturan keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.36

Substansi hukum meliputi norma dan aturan itu sendiri. Tidak terbatas pada norma formal saja tetapi juga meliputi pola perilaku sosial termasuk etika sosial, terlepas apakah nantinya akan perilaku sosial tersebut akan membentuk norma formal tersendiri. Idealnya, isi/materi hukum tidak boleh diinterpretasikan secara baku/sebagaimana adanya seperti yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan.

c. Kultur hukum (legal culture).

Pernyataan Friedman menyatakan bahwa kultur hukum ádalah apa yang masyarakat rasakan terhadap hukum dan sistem hukumnya, kemudian Friedman memperluas lagi bahwa budaya hukum bukan sekedar pikiran saja, tetapi juga cara pandang dan cara masyarakat menentukan bagaimana sebuah hukum itu digunakan

Pada akhirnya, pemahaman kultur hukum menurut Friedman adalah setiap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah susunan pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalah gunakan.

36


(48)

commit to user

Tanpa Kultur Hukum maka sistem hukum itu sendiri tidak berdaya. Pendapat Friedman, jika unsur ini dihilangkan akan menimbulkan kepincangan hukum & tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya, serta cita-cita mewujudkan keadilan pun akan sirna. Pemerintah, dalam menyusun peraturan dan menentukan langkah-langkah hukum perlu memperhatikan pula nilai-nilai dalam masyarakat. Tidak boleh mengambil keputusan/kebijakan hanya berdasarkan asumsinya belaka. Sesuai/tidaknya kebijakan hukum dengan tuntutan masyarakat umum, akan sangat menentukan keberhasilan hukum itu sendiri.

Berdasarkan teori sistem dari Friedman diatas kalau ingin memperbaiki sistem hukum yang ada ketiga komponen tersebut harus diperhatikan dan dibenahi. Kondisi ini memerlukan suatu proses yang panjang untuk mampu merubahnya karena menyangkut masalah sosial budaya, sehingga bukan hanya perundang-undangan yang harus dibenahi namun juga budaya hukum masyarakat.

Menurut Setiono, pada dasarnya di dalam penerapan hokum tergantung pada empat unsur yaitu unsure hukum, unsur struktural, unsur masyarakat dan budaya.37

1) Unsur Hukum

Unsur hokum merupaka produk atau teks aturan-aturan hokum. Ketika pada kasus tertentu ternyata unsur hokum ini tidak dapat diterapkan sama persis dengan harapan yang ada, maka kebijakan publik diharapkan mampu memberikan tindakan-tindakan yang lebih kontekstual dengan kondisi riil di lapangan. Ketika kebijakan publik melakukan hal itu maka sesungguhnya ia pun berangkat dari unsur hokum yang dimaksud. Perencanaan dan langkah-langkah

37

Setiono, PemahamanTterhadap Metodologi Penelitian Hukum, Program Studi Ilmu Hukum, Surakarta, Pasca Sarjana UNS, 2005.


(49)

commit to user

yang diambil oleh kebijakan publik bisa jadi tidak sepenuhnya sama dengan teks-teks aturan hokum, dengan demikian pada dasarnya kebijakan publik itu lebih sebagai upaya untuk membantu atau memperlancar penerapan hokum yang telah ditetapkan.

2) Struktural

Struktural merupakan lembaga-lembaga atau organisasi yang diperlukan dalam penerapan hokum itu. Kebijakan publik dalam konteks unsur struktural ini lebih dominan berposisi sebagai sebuah seni, yaitu bagaimana ia mampu melakukan kreasi sedemikian rupa sehingga performance organisasi yang dialaminya itu dapat tampil lebih baik, sekaligus distorsi-distorsi pemaknaan dari unsur hokum yang ada tidak diselewengkan atau ditafsir berbeda oleh para pelaksananya di lapangan. Atau mungkin terjadi para pelaksana dalam organisasi sudah mengerti maksud dari aturan hokum yang ada tetapi mereka tidak mampu menjalankannya.

3) Masyarakat

Yang dimaksud dengan masyarakat disini adalah bagaimana kondisi social politik dan social ekonomi dari masyarakat yang akan terkena dampak atas diterapkannya sebuah aturan hokum atau Undang-undang. Sebaik apapun unsur-unsur kinerja organisasi atau institusi pelaksana, bila kondisi masyarakatnya sedang kacau balau tentu semua itu tidak akan dapat berjalan seperti yang diharapkan. Posisi dari kebijakan publik lagi-lagi akan sangat berpengaruh dalam hal unsur masyarakat dalam penerapan hokum. Kondisi masyarakat yang ada itu harus diselesaiakan terlebih dahulu demi terselenggaranya sebuah penerapan hokum


(50)

commit to user 4) Budaya

Yang dimaksud dengan budaya adalah berkaitan dengan bagaimana isi kontekstual sebuah Undang-undang yang hendak diterapkan dengan pola piker, pola perilaku, norma-norma nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Unsur budaya dalam penerapan hokum sangat penting sebab ini berkaitan dengan bagaimana pamahaman masyarakat atas sebuah introduksi nilai yang hendak ditransformasikan oleh sebuah produk hokum atau Undang-undang.

Earl Letham beranggapan,38 bahwa kebijakan publik pada dasarnya mencerminkan keseimbangan yang tercapai dalam perjuangan antar kelompok. Kebijakan publik merupakan keadaan seimbang yang tercapai dalam perjuanagan antar kelompok pada suatu waktu tertentu dan merupakan cerminan keseimbangan setelah pihak-pihak atau kelompok tertentu berhasil mengarahkan kebijakan publik itu ke arah yang menguntungkan. Dalam hubungan mencapai keseimbangan itu dibutuhkan berlakunya suatu system hukum yang merupakan cerminan dari nilai-nilai dan standar elit masyarakat, masing-masing mempunyai kepentingan sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan kelompok mereka. Kebijakan dalam bidang hukum akan berimplikasi kepada masalah politik yang sarat dengan diskriminasi terhadap kelompok lain.

Menurut Soerjono Soekanto, bahwa masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral sehingga dampak positif atau negatifnya penegakan hukum itu terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut : 39

38

Bambang Sunggono, op.cit, hal. 60

39

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,1983


(51)

commit to user 1). Faktor hukumnya sendiri

Yang dimaksud dengan hukum dalam hal ini adalah peraturan tertulis yang dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah, yang mencakup :

a. Peraturan pusat yang berlaku untuk semua warga negara atau suatu golongan tertentu saja maupun yang berlaku umum di sebagian wilayah negara.

b. Peraturan setempat yang hanya berlaku di suatu tempat atau daerah saja.

2). Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum

Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Seorang penegak hukum sebagaimana halnya dengan warga-warga masyarakat lainnya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan demikian tidaklah mustahil bahwa antara berbagai kedudukan dan peranan tersebut timbul konflik (status conflict dan conflict of roles). Kalau di dalam kenyataannya terjadi suatu kesenjangan antara peranan yang seharusnya dengan peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan aktual, maka akan terjadi kesenjangan peranan (role distance). Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka.

3). Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan


(52)

commit to user

terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan lain-lain. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya.

4). Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hokum berlaku atau diterapkan

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu dipandang dari sudut tertentu masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Tidak setiap usaha yang bertujuan supaya warga masyarakat menaati hukum menghasilkan kepatuhan tersebut. Ada kemungkinan bahwa kegiatan atau usaha tersebut malahan menghasilkan sikap tindak yang bertentangan dengan tujuannya.

5). Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat sengaja dibedakan karena dalam pembahasannya diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non materiil. Kebudayaan hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari),

Masih menurut Soerjono Soekanto, kelima faktor tersebut saling berkaitan erat, karena merupakan esensi dari penegakan hukum dan merupakan tolok ukur dari efektivitas penegakan hukum.

Hukum agar bisa berfungsi sebagai sarana rekayasa sosial bagi masyarakat biasa dan masyarakat pejabat sebagai pemegang law enforcement, maka dapat dipakai pendekatan dengan mengambil teori


(53)

commit to user

Robert Seidman,40 yang menyatakan bahwa bekerjanya hukum dalam masyarakat itu melibatkan tiga kemampuan dasar, yaitu pembuat hukum (Undang-undang), birokrat pelaksana dan masyarakat obyek hukum. Pelaksana hukum, perilakunya ditentukan pula oleh peranan yang diharapkan darinya, namun bekerjanya harapan itu tidak hanya ditentukan oleh peraturan-peraturan saja, melainkan juga ditentukan oleh faktor-faktor lainnya tetapi juga oleh :

a). Sanksi-sanksi yang terdapat didalamnya.

b). Aktifitas dari lembaga-lembaga atau badan-badan pelaksana hukum c). Seluruh kekuatan sosial, politik dan lainnya yang bekerja atas diri

pemegang peran itu.

Efektifitas hukum merupakan indikator untuk menilai berhasil atau tidaknya penerapan suatu produk hukum atau penegakkan hukum di dalam masyarakat. Hukum akan ditaati dan dilaksanakan sebagai perilaku oleh warga masyarakat apabila hukum tersebut berhasil mengatur pola perilaku orang/warga masyarakat sesuai tujuannya. Suatu kaedah hukum akan berhasil atau gagal dalam mencapai tujuannya dapat diukur dengan terwujudnya hukum sebagai perilaku.

Dalam hal ini Soerjono Soekanto mengatakan, bahwa apabila seseorang mengatakan suatu kaedah hukum berhasil atau gagal mencapai tujuannya, maka hal itu biasanya diukur apakah pengaruhnya berhasil mengatur sikap tindak atau perilaku tertentu sehingga sesuai dengan tujuannya atau tidak. Pernyataan ini pada dasarnya memperlihatkan bahwa hal berlakunya hukum adalah terwujudnya hukum sebagai perilaku.

40

Robert Seidman, Law and Development, A General Model, Law and Society Review, Madison, University of Wisconsin, USA, dalam Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, PT. Suryandaru Utama, 1972.


(54)

commit to user

Paul dan Dias mengajukan 5 (lima) syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan sistem hukum, yaitu :41

1) Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap dan dipahami

2) Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan hukum yang bersangkutan

3) Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum

4) Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaiakan sengketa

5) Adanya anggapan dan pengakuan yang merata dikalangan warga masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif.

Menurut Satjipto Rahardjo, secara sosiologis dapat dilihat adanya 2 (dua) fungsi utama hukum, yaitu :42

a). Social control (kontrol sosial)

Yaitu mempengaruhi warga masyarakat agar bertingkah laku sejalan dengan apa yang telah digariskan sebagai urutan hukum, termasuk nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

b). Social Engineering (rekayasa sosial)

Penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib hukum atau keadaan masyarakat sebagaimana yang diinginkan oleh pembuat hukum. Berbeda dengan fungsi kontrol sosial yang lebih praktis, yaitu untuk kepentingan waktu sekarang, maka fungsi rekayasa sosial dari hukum lebih mengarah pada pembahasan sikap dan perilaku masyarakat di masa mendatang sesuai dengan keinginan pembuat undang-undang.

41

Esmi Warrasih, 2005, op. cit, hal. 105-106.

42


(55)

commit to user

Perubahan-perubahan yang dikehendaki itu apabila berhasil pada akhirnya akan melembaga sebagai pola-pola tingkah laku yang baru dalam masyarakat.

Menurut Radbuch,43 hukum harus mempunyai 3 (tiga) nilai idealis atau nilai dasar yang merupakan konsekuensi hukum yang baik, yaitu : a). Keadilan

b). Kemanfaatan/kegunaan c). Kepastian Hukum

Suatu Undang-undang/kaedah hukum dibuat dengan tujuan untuk mengatur kepentingan-kepentingan anggota masyarakat agar tidak terjadi perselisihan sehingga tercipta kedamaian, ketertiban dan yang lebih penting lagi bahwa hukum itu harus bisa mewujudkan keadilan di dalam masyarakat.

Pembuatan undang-undang/kaedah hukum merupakan proses awal bergulirnya pengaturan. Namun kita tidak berhenti hanya membahas masalah wujudnya yang formal berupa peraturan-peraturan tertulis yang telah dibakukan dalam peraturan perundangan saja, akan tetapi perlu dikaji lebih jauh konsekwensi dari peraturan perundangan tersebut dalam kehidupan di masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang bisa bekerja untuk menciptakan kepastian, kedamaian, ketertiban, keadilan dan kesejahteraan di dalam kehidupan masyarakat.

Agar supaya berfungsi, maka kaedah hukum harus memenuhi tiga unsur berlakunya hukum yaitu, yuridis, sosiologis dan filosofis.44 Apabila suatu kaedah hukum hanya mempunyai unsur yuridis belaka, maka kaedah hukum tersebut merupakan suatu kaedah hukum yang mati (dodel regel). Kalau suatu kaedah hukum hanya mempunyai kelakuan sosiologis dalam arti teori kekuasaan, maka kaedah hukum

43

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2000.

44

Purnadi Purbacaraka dalam Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia, 1983.


(1)

2. Faktor-faktor penghambat yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Klaten dalam penerapan/implementasi PP Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil adalah sebagai berikut :

a. Faktor Hukumnya Sendiri

Hambatan dalam faktor hukumnya sendiri dalam pelaksanaan PP Nomor 43 Tahun 2007 muncul akibat adanya kesalahan persepsi tentang pengertian tenaga honorer yang kemudian dilanjutkan dengan pemisahan pendataan yang dilakukan oleh seluruh kabupaten/kota di Jawa Tengah atas perintah dari tim pelaksana Propinsi Jawa Tengah akhirnya menimbulkan permasalahan yang besar dengan kesalahan pengumuman Calon Pegawai Negeri Sipil di tahun 2005, dengan adanya 2 kali pengumuman yaitu tanggal 17 dan 18 Maret, yang menimbulkan keresahan di antara tenaga honorer apalagi 116 orang menjadi korban revisi/ralat pengumuman.

b. Faktor Penegak Hukum

Kesalahan penafsiran peraturan, kesalahan pengumuman kelulusan menjadi indikator bahwa aspek sumber daya manusia di lingkungan pelaku kegiatan pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil kurang siap. Kinerja yang dihasilkan pada awal Implementasi PP Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS tidak maksimal dan menimbulkan keresahan publik.

Hambatan pada struktur hukum dalam hal ini pelaksana dari Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 adalah lemahnya


(2)

tingkat pusat dalam hal ini Badan Kepegawaian Negara sampai ke daerah, yaitu tim atau panitia di tingkat Propinsi/Kabupaten/Kota. Disamping itu, kurangnya koordinasi antar lembaga-lembaga atau badan-badan terkait berakibat pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 yang diawali dengan kegiatan pendataan tenaga honorer terkesan mendadak sehingga menimbulkan kesulitan karena tidak siapnya penegak hukum sebagai pelaksana.

c. Faktor Sarana atau Fasilitas

Hambatan dan permasalahan implementasi PP 43 Tahun 2007 dari faktor sarana atau fasilitas pada Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Klaten dapat dilihat dari aspek :

1) Aspek Perencanaan

Perencanaan kegiatan Pengadaan diawali dari pendataan terkesan tidak matang, mendadak dan tidak komprehensif, sehingga menyebabkan kurang tersedianya sarana dan prasarana yang diperlukan dalam pelaksanaan PP tersebut.

2) Aspek Keuangan

Pelaksanaan kegiatan didukung dengan dana APBD, namun perencanaan kegiatan yang tidak komprehensif sangat mempengaruhi kelancaran proses mekanisme anggaran, yaitu pendanaan kegiatan tidak tepat waktu, membuat instansi terkait dalam hal ini Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten tidak mempunyai alokasi dana atau anggaran untuk kegiatan ini.


(3)

d) Faktor Masyarakat

Hambatan yang timbul di dalam masyarakat adalah bahwa definisi tenaga honorer telah menimbulkan bias penafsiran, sehingga masyarakat mempunyai persepsi sendiri, khususnya para tenaga honorer yang mempunyai kepentingan agar bisa diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.

e) Faktor Kebudayaan

Adanya sebagian besar pendapat yang menolak dan menginginkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 menunjukkan bahwa budaya apriori atau penolakan terhadap peraturan yang merugikan menjadi indikator lemahnya substansi hukum yang berakibat kesalahan penafsiran isi dari peraturan oleh struktur hukum, sehingga mengakibatkan implementasi kebijakan tersebut menjadi kurang efektif.

Dari kelima faktor yang telah dibahas di atas, faktor hukumnya sendirilah yang paling dominan. Karena ketidaktegasan isi dari PP nomor 43 tahun 2007 terutama pada pengertian tentang tenaga honorer telah membawa dampak yang menyebabkan keempat faktor lainnya menjadi tidak efektif dalam pelaksanaan PP nomor 43 tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Klaten.


(4)

B. Implikasi

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dilakukan, maka implikasi dari penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut :

1. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan

Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil belum dapat diimplementasikan oleh pemerintah kabupaten Klaten dengan baik sehingga menimbulkan ketidakpuasan bagi tenaga honorer yang tidak bisa diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil. Belum semua sasaran/target tenaga honorer yang menjadi prioritas pengangkatan menjadi CPNS dapat diselesaikan pengangkatannya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 yaitu : Sebanyak 1241 tenaga honorer Non APBN/APBD tidak terangkat menjadi CPNS karena prioritas pengangkatan adalah tenaga honorer APBN/APBD terlebih dahulu, tanpa adanya pasal atau ketentuan lain yang mengatur tentang pengangkatan tenaga honorer non APBD/APBN, sehingga menimbulkan kekhawatiran dan keresahan bagi tenaga honorer non APBD/APBN bahwa dirinya tidak akan bisa diangkat menjadi CPNS.

2. Adanya perbedaan persepsi antara tenaga honorer dan aparat pelaksana

dalam menterjemahkan pengertian tenaga honorer menimbulkan berbagai permasalahan yang mengakibatkan keresahan bagi tenaga honorer. Sampai saat ini masih ditemui kelompok-kelompok tenaga honorer yang menolak dan menginginkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007, menunjukkan adanya budaya apriori atau penolakan terhadap peraturan yang dianggap merugikan individu atau sekelompok orang.


(5)

C. Saran-Saran

Berdasar hasil penelitian yang telah dibahas dan telah disimpulkan di atas, untuk meminimalisir hambatan, kendala dan permasalahan yang ada penulis menyampaikan saran-saran sebagai berikut :

1. Perlu adanya revisi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 terutama mengenai pengertian tenaga honorer yang seharusnya lebih dirinci dan dipertegas mengenai pejabat yang mengangkat, sumber penggajian dan jenis tenaga honorer yang bisa diangkat menjadi CPNS, agar tidak menimbulkan bias penafsiran dan pemahaman yang berbeda-beda baik oleh tenaga honorer maupun aparat pelaksana sehingga peraturan yang ada bisa diimplementasikan secara efektif dan maksimal di daerah.

2. Perlu segera dibuat peraturan yang mengakomodir dan mengatur tentang pengangkatan tenaga honorer yang belum bisa diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007. Dan yang benar-benar dibuat berdasarkan kondisi/keadaan tenaga honorer di daerah sehingga bisa diterapkan dan tidak menimbulkan terlalu banyak kendala/hambatan dan permasalahan dalam penerapannya.

Untuk masa mendatang pemerintah harus mengurangi perannya, sektor-sektor pekerjaan yang bisa dikelola swasta sebaiknya bekerja sama dengan pihak swasta. Pemerintah tidak perlu mengelola secara langsung sektor-sektor tersebut, karena akan menambah beban keuangan negara. Jenis-jenis pekerjaan seperti tenaga pembersih (cleaning service) petugas pengangkut sampah, pemungut restribusi menurut beban kerja sifatnya insidentil dan pemerintah bisa bekerja sama dengan pihak swasta tidak


(6)

dengan pensiun. Anggaran negara yang terbatas bisa digunakan untuk menjalin kontrak kerja dengan pihak swasta dan mereka akan memperkerjakan pegawai untuk menyelesaikan tugas sesuai dengan kontrak. Tanggung jawab pekerjaan menjadi lebih jelas dan lebih membuka kesempatan kerja daripada pemerintah hanya bisa mengangkat tenaga kerja yang terbatas tetapi harus menanggung beban sampai dengan pensiun.


Dokumen yang terkait

Analisis Kebijakan Tentang Pengangkatan Status Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Di Lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung

0 6 1

Analisis Kebijakan Tentang Pengangkatan Status Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Di Lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung

0 4 1

TINJAUAN HUKUM PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KABUPATEN BANTUL

0 2 88

PENGANGKATAN TENAGA HONORER KATEGORI II DI KABUPATEN BANTUL MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL MENURUT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2005 TENTANG PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL.

0 3 13

SKRIPSI PENGANGKATAN TENAGA HONORER KATEGORI II DI KABUPATEN BANTUL MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL MENURUT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2005 TENTANG PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL.

0 4 14

PENDAHULUAN PENGANGKATAN TENAGA HONORER KATEGORI II DI KABUPATEN BANTUL MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL MENURUT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2005 TENTANG PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL.

0 4 17

PENUTUP PENGANGKATAN TENAGA HONORER KATEGORI II DI KABUPATEN BANTUL MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL MENURUT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2005 TENTANG PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL.

0 3 4

IMPLEMENTASI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2005 TENTANG PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL TERHADAP KONDISI KEUANGAN DAERAH DI KABUPATEN NGAWI.

0 0 13

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 2005 TENTANG PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL

0 0 13

STUDI PELAKSANAAN PENGANGKATAN CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL MELALUI TENAGA HONORER DI PEMERINTAH KABUPATEN SRAGEN - UNS Institutional Repository

0 0 12