Karoushi dalam Kehidupan Sararimandi Jepang Dewasa Ini

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu

Azwar, Saifuddin. 1998. Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Fukutake, Tadashi. 1988. Masyarakat Jepang Dewasa Ini. Jakarta: PT

Gramedia

Fukutake , Tadashi.1997. Nihon Shakai no Koozo 3th edition.Tokyo: Tokyo DaigakuPress

Hamaguchi ,eishun. 1994.Nihonteki Shuudan Shugi (groupisme Jepang). Tokyo: yuuhikaku

Haryanti,pitri, M.Pd. 2013.All About Japan.Yogyakarta : CV. Andi

Hasegawa, katsuyuki. 1998. Can you Be a Cross Culturalist, Yes or No. Tokyo: Hiragana times

Mouer,Ross, dan Hiroshuke Kawanishi.2005. A Sociology of Work in Japan. New York: Cambridge University Press

Koentjaraningrat. 1976. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Madubrangti, diah. 2004. Undokai:Makna Undokai Sebagai Kegiatan Kompetitif bagi Pembentukan Kepribadian Anak Melalui Pendidikan Sekolah di Jepang.Jakarta: Fakultas Ilmu dan Budaya, Universitas Indonesia

Madubrangti, Diah. 2008. Undokai: Ritual Anak Sekolah Jepang DalamKajianKebudayaan. Jakarta: Akbar Media Sarana


(2)

Moleong, Lexy J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Nakane, Chie. 1981. Masyarakat Jepang. Jakarta: Sinar Harapan

Situmorang, Hamzon. 2009. Ilmu Kejepangan I (Edisi Revisi). Medan: USU Press Subarkah, Imam. 2013. Ilham-Ilham Dahsyat dari Kesuksesan Bangsa Jepang.

Yogyakarta: FlashBooks

Suryohadiprojo , Sayidiman. 1982. Manusia dan Masyarakat Jepang dalam Perjuangan Hidup. Jakarta: Penerbit UI Pustaka Bradjaguna

1. Uehata. 1990.Studi Kedokteran karoshi, National Defense Counse. Tokyo: Mado-sha

Wokutch, Richard. 1992.Medical and Health Annual On Occupational Safety andHealth in The Japanese Auto Industry, Worker Protection, Japanese Style. USA:ILR Press of Cornell University

September 2015)

zainabzilullah.wordpress.com/2013/01/20/pemikian-fenomenologi-menurut-edmund-husserl (diakses pada tanggal 02 Oktober 2015)


(3)


(4)

BAB III

DAMPAK KAROUSHI DI JEPANG

Kasus karoushiyang terjadi di Jepang umumnya disebabkan oleh stres yang berkepanjangan sehingga menyebabkan serangan jantung atau stroke. Korban utamanya ialah para sarariman laki-laki yang bekerja pada perusahaan Jepang. Para karyawan ini bekerja dengan jam kerja yang panjang dengan beban kerja yang besar. Dan juga beberapa kasus, seperti adanya berbagai jenis penghinaan oleh atasan sebagai akibat dari status mereka yang rendah dalam hirarki gaji perusahaan.

Karoushi ini dapat menimbulkan berbagai dampak, baik dalam kehidupan keluarga, kehidupan sosial (masyarakat), maupun dalam bidang kesehatan.Secara umum karoushi memiliki dampak positif dan negatif.Adapun dampak positif dari

karoushi terutama bagi perusahaan yang memperkerjakan sarariman ini. Karena dengan adanya sarariman ini dapat meningkatkan produktifitas perusahaan sehingga dapat memajukan dan mencapai target yang diinginkan perusahaan.

Karoushi juga berdampak negatif terutama bagi sarariman itu sendiri.Karena pekerjaan yang sangat banyak dan menumpuk membuat sarariman

ini harus bekerja lembur setiap harinya.Sarariman juga banyak kehilangan waktu istirahat bahkan untuk sekedar mengurus kepentingan diri sendiri saja tidak memiliki waktu.Hal inilah yang memicu terjadinya karoushi di Jepang dewasa ini.


(5)

tempat pekerja itu bekerja. Kondisi bekerja yang terlalu panjang justru malah bersifat buruk bagi pekerja, dan baik bagi perusahaan.Efek yang ditanggung oleh pekerja secara langsung adalah kondisi fisik yang menurun dalam jangka panjang, yang diikuti dengan penurunan produktifitas.

Penurunan produktivitas bagi perusahaan adalah kehilangan sejumlah keuntungan dalam bentuk biaya tambahan yang harus dibayar oleh perusahaan.Konsekuensi yang timbul dan bersifat tidak langsung adalah meningkatnya tingkat absensi,menurunnya tingkat produktivitas, dan secara psikologis dapat menurunkan komitmen organisasi, memicu perasaan teraliansi, hingga meninggal (Robbins, 1993:18).

3.1 Dampak Karoushi dalam Keluarga

Mempertahankan kelangsungan hidup adalah kebutuhan lahiriah atau fisik yang merupakan dasar utama, dan hal ini adalah dasar dari dilakukannya kerja atau kegiatan kerja akan tetapi dalam kenyataannya kebutuhan manusia bermacam-macam, apabila kebutuhan yang bersifat lahiriah telah terpenuhi, berturut-turut muncul keinginan-keinginan lain dalam kehidupan tersebut. Dibalik kegiatan kerja yang dilakukan oleh seseorang pasti ada motivasi yang membuat orang tersebutmelakukan kegiatan kerja.Motivasi atau penggerak yang membuat seseorang melakukan kerja ada bermacam-macam jenisnya.

Menurut Shimada dalam Atikah (2008:15) yang menjadi penyebab orangbekerja adalah karena adanya bermacam-macam pribadi manusia dengan tuntutan yang juga berbeda.Salah satu contohnya yaitu kebutuhan untuk mewujudkan diri yaitu perwujudan ciri khas manusia, kebudayaan,


(6)

pengembangan keberadaan masyarakat.Kehidupan rohani, kehidupan yang mementingkan nilai-nilai ketentraman. Agar kegiatan-kegiatan kerja dapat berjalan sesuai dengan fungsinya maka dibutuhkan aturan-aturan tertentu yang dikemukakan oleh Shimada (2008:18):

Kerja adalah kegiatan yang bersifat sosial, sebagai panggilan hidup yang merupakan selain kegiatan manusia yang berkelanjutan untuk mendapatkan imbalan demi kelangsungan hidup juga merupakan suatu yang berhubungan dengan aturan-aturan sosial yang melingkupinya yang mengatur kegiatan manusia tersebut.Aturan aturan itu adalah “etika kerja”.

Keluarga menjadi kerangka utama dalam setiap perusahaan.Dengan semangat kekeluargaan, sering kali karyawan dengan suka rela bekerja melebihi dari waktu jam kerja mereka dikarenakan loyalitas mereka yang begitu besar bagi perusahaan (Okimoto, 1988:134).

Karyawan ini pun sering merelakan waktu untuk berkumpul bersama keluarga dengan bekerja lembur pada perusahaan. Akibat dari pekerjaan lembur yang terus-menerus ini, mereka kehilangan komunikasi atau hanya sekedar untuk bertegur sapa dengan anggota keluarga. Karena karyawan ini banyak menghabiskan waktu di tempat bekerjanya.Kadang karyawan ini pulang pada saat malam telah larut dan bahkan mereka tidak sempat pulang ke rumah.Kondisi ini dilakukan terus-menerus sampai karyawan ini menjadi salah satu korban karoushi.

Penelitian yang dilakukan oleh Departemen Tenaga Kerja Jepang pada tahun 1987 menunjukkan bahwa keluargalah yang paling khawatir jika suami atau


(7)

anak mereka akhirnya jatuh menjadi korban karoushi seperti yang dinyatakan NHK (2001:44). “Para ibu atau istri biasanya membuat jadwal harian kepulangan suami atau anak mereka. Salah satu penelpon layanan karoushi 110 mengatakan bahwa cuma itu yang bisa ia lakukan melihat kondisi anaknya yang sekarang. Anaknya bekerja tiap hari, termasuk hari minggu. Seminggu sekali ia tidak pulang dan menginap di hotel kapsul, ia tidak lagi membaca buku kesukaannya, tidak berbicara pada anggota keluarga lainnya, bila ada waktu luang hal yang paling ia inginkan adalah tidur. Begitu khawatirnya, ibu itu merasa setiap pagi ia harus mengantar anaknya pergi ke medan perang”.

Dalam pengertian karoushi, terdapat dua unsur utama yang dapat dikatakan sebagai syarat bahwa kematian seseorang dapat dikatagorikan ke dalam

karoushi.Dua unsur penting yang perlu diketahui agar keluarga atau orang yang mempunyai hubungan dengan korban karoushi dapat mengajukan tuntutan terhadap pihak atau perusahaan yang bersangkutan. Pemerintah dalam hal ini Departemen Tenaga Kerja Jepang menentukan kategori karoushi ini dan berusaha mempercepat jalannya proses tuntutan karena banyak perusahaan yang menolak untuk memenuhi tuntutan yang diajukan kepada mereka, yaitu:

1. Jenis penyakit yang diderita oleh korban karoushi termasuk di dalamnya stress, penyakit mental lainnya yang disebabkan oleh kerja. Penyakit otak, jantung, dan pembuluh darah. Para dokter di Jepang mendefinisikan karoushi sebagai kematian yang disebabkan oleh memburuknya sirkulasidarah seperti pendarahan otak, pecahnya selaput darah, penyumbatan darah ke otak dan ke jantung dan lain-lain. Yang disebabkan oleh beban kerja dengan frekwensi


(8)

tinggi.

2. Frekwensi jam kerja korban sebelum ia meninggal. Departemen Tenaga Kerja Jepang menyatakan, frekwensi jam kerja yang dapat dikatakan sebagai penyebab karoushi, adalah jika korban terkait dengan pekerjaannya selama 24 jam terus menerus tepat sebelum kematiannya, atau jika ia bekerja sekurang-kurangnya 16 jam sehari selama seminggu, tepat sebelum hari kematiannya. Ini berarti korban telah bekerja sekurang-kurangnya 2 kali lipat dari jam kerja yang seharusnya selama 1 minggu sebelum ia meninggal atau 3 kali lipat dari jam kerja yang seharusnya tepat pada hari sebelum ia meninggal.

Menurut Richard Wokutch dalam Sookhan Ho (2002:32) mengatakan bahwa masyarakat Jepang menganggap bahwa karoushi, tidak hanya disebabkan oleh situasi kerja, seperti tuntutan untuk menyelesaikan kerja secara cepat dan kerja dengan frekwensi jam kerja yang tinggi, tetapi juga disebabkan oleh faktor lainnya yang dapat dikatakan sebagai factor tidak langsung seperti lamanya waktu yang ditempuh dari rumah ke tempat kerja, tempat tinggal yang sempit, tidur dan olahraga yang tidak cukup, kebiasaan minum-minuman dan lain-lain.

Sebagai pemenuhan syarat pengajuan tuntutan, ketentuan frekwensi jam kerja ini sangat ketat. Bila korban karoushi mendapat satu hari libur selama masa seminggu sebelum ia meninggal, padahal pada 6 hari lainnya ia telah bekerja 2 kali lipat dari jam kerja yang telah ditentukan, maka keluarga korban tidak akan memperoleh kompensasi dari tuntutan yang diajukannya, kecuali jika mereka mampu membuktikan secara medis bahwa kematian korban adalah akibat kerja


(9)

yang berlebihan.

Di Jepang unit kekerabatan keluarga korban karoushi mengandungsistem aturan, yaitu yang menyangkut patrilineal. Unit kekerabatan juga memiliki sistem nilai yang berfungsi untuk menjaga nama baik usaha atau keluarga.

Kesetiaan seseorang pekerja akan sangat dihargai oleh perusahaan. Syamsaimun (1992:25), mengatakan bahwa demi untuk kesetiaan pula perusahaan rela mengeluarkan pengeluaran cukup besar untuk menjaga kesetiaan setiap pekerja dengan membuat macam-macam atribut seperti filsafat, lagu perusahaan, lencana dan pertemuan serta jamuan pada saat penerimaan karyawan baru.

Kehidupan masyarakat Jepang dengan standar hidup yang tinggi, penerapan teknologi maju, menuntut mereka untuk menjalani pendidikan sampai tingkat tertentu agar bisa mengimbangi standar hidup mereka itu sendiri dan mampu mengikuti arus perkembangan zaman.Disamping itu, kecendungan untuk menilai seseorang melalui latar belakang pendidikannya sudah berakar kuat pada masyarakat Jepang. Secara ekonomis dapat mengandalkan latar pendidikannya sebagai modal dan pendapatannya di masa depan (NHK Kokusai Kyouzu Keizei,1995:177).

Menurut badan perencanaan okonomi yang didirikan pada bulan juni 1992, pengeluaran untuk pendidikan bagi keluarga yang memiliki anak usia sd mencapai 8,3% dari anggaran belanja keluarga, 10,3% bagi keluarga yang mempunyai anak usia smp, 11,8% bagi keluarga yang mempunyai anak yang duduk di bangku sma dan 15% bagi keluarga yang anaknya telah duduk di bangku perguruan tinggi.


(10)

Biaya lainnya yang dianggap lebih berat dari biaya pendidikan yaitu biaya yang dikeluarkan untuk cicilan rumah. Pada tahun 1993, keluarga yang memiliki rumah sendiri di seluruh Jepang, jumlahnya sekitar 60%, dan sangat susah untuk memiliki rumah sendiri di kota besar seperti tokyo, karena harganya sangat tinggi. hal ini sesuai dengan kehidupan orang Jepang dalam Hyou To Gurafu De MiruShakaika Shiryoushuu (1998: 214).

Karena tuntutan hidup orang Jepang yang sangat tinggi, kebutuhan hidup yang harus dicukupi oleh orang Jepang dan loyalitas yang dimiliki oleh seorang pekerja dapat dijadikan landasan tinggi dan lamanya jam kerja di Jepang.

Perusahaan biasanya berusaha untuk mengurangi biaya lembur (overtimeexpenses) agar mampu bersaing dengan kompetitor lainnya. Dalam hal ini, posisipekerja sangat tidak menguntungkan , mereka dituntut untuk bekerja keras tapi tidak memperoleh bayaran atas kerja kerasnya itu. Disamping itu, kesadaran berkelompok dan juga loyalitas yang tinggi terhadap perusahaan membuat perusahaan biasa menuntut pekerjaannya untuk lembur berjam-jam.Meskipun peraturan mengenai lembur harus disepakati melalui perjanjian sarikat buruh dengan perusahaan, tapi lembur yang mereka kerjakan biasanya jauh melebihi angka tersebut.Para pekerja hampir tidak bisa berbuat apa-apa karena adanya ancaman pemutusan hubungan kerja dan juga tersisihkan dari kelompok.Melihat kondisi ini, sistem shuushinkoyou yang diterapkan oleh kebanyakan perusahaan di Jepang telah menempatkan seorang pekerja pada posisi yang sangat lemah.Hal ini sesuai dengan perusahaan Jepang dalam NHK Kokusai Kyouzou Keizai Project (1995:99).


(11)

3.2 Dampak karoushi terhadap kesehatan (Diri Sendiri)

Kesehatan adalah hal yang sangat penting,jika ketahanan tubuh menurun maka secara tidak langsung akan kehilangan semangat, sehingga pekerja lebih sering menunda-nunda pekerjaan dan bahkan menghindari pekerjaan, tidak dapat melaksanakan pekerjaan secara maksimal, kehilangan konsentrasi dan akan membuat prestasi dan produktivitas di dalam bekerja menurun. Motivasi untuk melakukan hal-hal yang bersifat positif pun berkurang, karena secara fisik tubuh akan cepat merasa lelah apabila ketahanan daya tahan tubuh menurun secara drastis.

Menurut analisis tingginya jam kerja yang dilakukan pada bidang pekerjaan di perusahaan besar menimbulkan stress yang dapat menyebabkan

karoushi. Hal ini diakibatkan karena mereka bekerja sangat antusias namun mengabaikan kebutuhan mereka untuk istirahat, makan, tidur dengan teratur, sesuai dengan yang dikatakan oleh Dr. Uehaja (karoushi:2000) di dalam penelitiannya:

Karakterisasi di dalam pekerjaan juga merupakan faktor penyebab terjadinya karoushi, dengan tingkat pekerjaan yang lebih tinggi, akan menyebabkan tuntutan kerja yang semakin tinggi pula, tetapi dukungan sosial yang didapatkan lebih rendah, dan tingkat kontrol bekerja masing-masing orang sangat bervariasi. Ada seseorang yang sangat senang dan antusias dengan pekerjaan mereka, dan akibatnya cenderung mengabaikan kebutuhan mereka untuk istirahat, makan, tidur dengan teratur dan seterusnya.Bahkan kebutuhan untuk kesehatan pun diabaikan.Jenis pekerjaan yang paling banyak terjadi karoushi yaitu Manajer dan


(12)

Insinyur.Mereka memiliki tuntutan pekerjaan yang sangat tinggi dan biasanya mereka sangat antusias di dalam melakukan pekerjaannya, sehingga mereka tidak bisa mengontrol jam kerja dengan baik.

Hampir semua jenis pekerjaan mengalami peningkatan stress yang drastis akibat dari stress karena banyak bekerja. Karena tuntutan pekerjaan mereka yang mengharuskan setiap pekerjanya untuk bekerja dengan waktu yang singkat dan dengan pekerjaan yang banyak, sehingga menyebabkan para pekerja bekerja di bawah tekanan. Hal ini sesuai dalam Stress and Health (1999:204) yang menyatakan:

Kecemasan, ketegangan, kemarahan, dan kebencian adalah gejala yang lebih sering dilaporkan. Beberapa orang menemukan tekanan pekerjaan begitu besar sehingga menyebabkan mereka dalam jangka waktu tertentu , dan secara bertahap menjadi depresi.

Apabila pekerjaan belum selesai dikerjakan, maka pekerja akan menyelesaikan sehingga harus bekerja melebihi jam kerja normal. Peningkatan stress akibat bekerja melebihi jam kerja normal, mengalami peningkatan yang cukup tinggi dan bahwa jam kerja yang berlebihan membuat para pekerja mengalami stres. Jam kerja yang panjang pasti membawa korban. Seorang psikiater pada tahun 1992 melaporkan dalam hotline karoushi (1991), bahwa jumlah pasien yang konsultasi kepadanya untuk masalah stress telah empat kali lipat lebih dari sepuluh tahun sebelumnya.


(13)

kompleksitas pekerjaan, bekerja yang melebihi batas, kondisi fisik yang tidak nyaman, dan giliran bekerja (shift) yang tidak berjalan semestinya. Kompleksitas pekerjaan adalah bagian dari pekerjaan yang sulit untuk diselesaikan.Hal ini meliputi jumlah dan kerumitan informasi yang dibutuhkan dari fungsi suatu pekerjaan, serta perluasan atau penambahan dari metode untuk melakukan pekerjaan.

Beberapa sumber stress yang dianggap sebagai sumber stress kerja adalah stress karena kondisi pekerjaan, masalah peran, hubungan interpersonal, kesempatan pengembangan karir, dan struktur organisasi (Cooper,1989:193).

Terry Beehr dan John (1999:195) mengkaji kembali banyak pelajaran mengenai stres yang disebabkan oleh pekerjaan dan menyimpulkan bahwa terdapat tiga hal pribadi negatif yang keluar sebagai hasil dari stress bekerja, diantaranya adalah ditinjau dari gejala kesehatan mental, gejala kesehatan fisik, dan gejala perilaku.

Dampak stress kerja bagi individu adalah munculnya masalah-masalah yang berhubungan dengan kesehatan, psikologis dan interaksi interpersonal. Apabila seseorang pekerja sudah mengalami stres yang berkepanjangan, maka pekerja akan mudah cemas, binggung, dan sensitif. Daya tahan tubuh pun akanberkurang, karena terlalu banyak hal-hal yang dipikirkan sehingga menyebabkan para pekerja yang mengalami stress pola hidupnya menjadi tidak teratur, kurangnya waktu untuk istirahat dan akan menyebabkan gangguan pada kesehatan, contohnya kehilangan nafsu makan sehingga mengalami gangguan pada lambung (maag), dan membuat daya tahan tubuh menurun. Secara psikologis stress berkepanjangan akan menyebabkan ketegangan dan kekuatiran yang


(14)

terus-menerus. Menurut istilah psikologi, stress berkepanjangan ini disebut stress kronis. Stress kronis sifatnya menghancurkan tubuh, pikiran dan seluruh kehidupan penderitanya secara perlahan-lahan. Stress kronis umumnya terjadi di seputar masalah ketidakpuasan kerja. Akibatnya, orang akan terus-menerus merasa tertekan dan kehilangan harapan.Hal ini dapat memicu terjadinya karoushi terhadap pekerja.

3.3 Usaha-usaha mengatasi karoushi

Karoushi yang terjadi di Jepang sudah menjadi permasalahan besar. Karena setiap tahunnya jumlah korban karoushi terus bertambah. Untuk itu Pemerintah Jepang telah melakukan segala cara untuk mengatasi masalah karoushi ini. Mulai dari penanggulangan yang ringan sampai kepada hal-hal yang berat dan rumit.

Di dalam Undang-Undang Standar Perburuhan di Jepang pasal 39, dalam setahun, seorang pekerja bisa mengambil cuti selama 10 hari, tetapi pada perusahaan yang berpegawai di bawah 300 orang, cuti bisa diambil hanya 6 hari per tahunnya. Jumlah cuti ini bertambah satu hari tiap satu tahun, mencapai batas 20 hari. Sesuai dengan Standar perburuhan pelaksanaan sistem libur Sabtu-Minggu, hanya 6,7% yang menerapkan sistem ini. Bila sistem ini benar-benar diterapkan, maka rata-rata jam kerja per minggu berkisar 40 jam. Pada kenyataannya, pekerja yang bekerja di perusahaan elektronik, bekerja dalam 1 minggu selama 51 jam 6 menit, begitu pula dengan parapekerja pabrik mereka bekerja selama enam hari seminggu dan hanyamemperoleh libur pada hari minggu. Mereka biasanya kerja 12-15 jam sehari, maka dalam seminggu mereka


(15)

terbiasa bekerja 48- 60 jam dan ini belum termasuk lembur.Berarti banyak dari perusahaan-perusahaan yang belum menerapakan sistem ini (Kunio, 2001:46).

Kasus karoushi yang dihadapi oleh masyarakat Jepang mengakibatkan kondisi ekonomi Jepang tahun 2007 menurun hampir 2,7 triliun yen atau sekitar Rp288,4 triliun. Penurunan ini merujuk pada hilangnya pendapatan masyarakat dan meningkatnya biaya perawatan atas karoushi yang dialami.Menurut studi pemerintah, masyarakat yang meninggal akibat karoushi umumnya berusia antara 20 tahun hingga 45 tahun. Mereka sebenarnya masih dalam kelompok usia produktif dan bisa mendatangkan pendapatan sekitar 1,9 triliun yen hingga mereka mencapai usia pension. Selain itu, Pemerintah Jepang mengatakan masalah karoushimembuat negara Jepang menghabiskan hampir US$32 miliar atau sekitar Rp28,8 triliun sepanjang tahun2007 hingga saat ini untuk membuat solusi-solusi guna menekan angka bunuh diri di Jepang.

Pemerintah Jepang juga melakukan tindakan pencegahankaroushi terhadap para salary manatau pekerja. Pemerintah melakukan tindakan seperti menyediakan nomor telepon darurat untuk dapat menerima keluh-kesah para

sarariman, buku petunjuk untuk mengurangi stress yang dibagikan kepada masyarakat Jepang terutama yang bekerja dalam suatu perusahaan, hingga membuat undang-undang yang memberikan sejumlah uang atau asuransi ke para janda dan anak-anak yang ditinggal mati karena karoshi. Selain itu, pemerintah juga akan menugaskan sejumlah penasehat di pusat informasi tenaga kerja di seluruh Jepang, agar dapat memberi bantuan kepada masyarakat Jepang yang dilanda masalah hutang berkepanjangan atau untuk masyarakat yang telah kehilangan pekerjaan sehingga tidak memiliki pendapatan tetap.


(16)

Pada tahun 2010, Pemerintah Jepang meluncurkan kampanye Anti

Karoushisebagai upaya untuk menekan tingginya jumlah kasus kematian di Jepang.Kampanye yang dilakukan pemerintah mencakup penggunaaan media internet dan papan reklame untuk menghimbau masyarakat agar lebih peka terhadap tanda-tanda perilaku yang tidak normal yang dilakukan oleh orang di sekitarnya.

Segara upaya yang dilakukan oleh pemerintah Jepang guna menangani masalah karoushi ini merupakan bentuk pengelolaan secara organisasional.Pemerintah selaku pengambil keputusan melakukan wewenangnya dalam pembuatan kebijakan yang berhubungan dengan masalah ini. Saluran telpon yang disediakan pemerintah guna menangani keluh kesah sarariman

merupakan suatu bentuk pengelolaan organisasional dengan cara membangun komunikasi dua arah antara pemerintah dan masyarakat. Selain itu, bantuan pemerintah Jepang bentuk asuransi dan dana yang disediakan untuk mereka yang kehilangan pekerjaan dan terlilit utang merupakan bentuk dari program kesejahteraan yang dapat diketegorikan sebagai tindakan pengelolaan stres organisasional.

Ada banyak cara yang dilakukan pemerintah Jepang dalam menangani kasus karoushi di Jepang. Tindakan yang dilakukan dapat dikategorikan sebagai tindakan pengelolaan stres secara organisasional seperti melakukan kampanye Anti karoushi, menyiapkan saluran telpon dalam menghadapi keluh kesah pegawai, membagikan buku untuk mengurangi stres, dan memberikan dana kesejahteraan bagi masyarakat yang membutuhkan.


(17)

Pemerintah Jepang, menerbitkan undang-undang baru yang akan memaksa para karyawan untuk berlibur. Para karyawan di Jepang sangat malas untuk mengambil cuti. Sepanjang 2013, mereka hanya mengambil kurang dari separuh jatah cuti. Dengan peraturan baru ini, Pemerintah Jepang berharap bisa meningkatkan angka liburan para karyawan hingga 70 persen pada 2020.Pada masa pertumbuhan ekonomi yang tak menentu ini, banyak perusahaan Jepang yang meminta para karyawannya bekerja lebih keras. Banyak karyawan muda yang harus bekerja lembur lebih dari 100 jam selama satu bulan.Namun, hampir dua pertiga karyawan di Jepang ternyata enggan mengambil jatah cuti karena mereka merasa sungkan dengan para rekan kerjanya. Menurut hasil studi Institut Pelatihan Kebijakan Tenaga Kerja Jepang, lebih dari separuh karyawan di negeri itu mengatakan bahwa mereka tak sempat berlibur karena beban kerja yang terlalu banyak.

Para karyawan itu juga mengatakan, mereka yang mengambil cuti pada masa kesulitan ekonomi seperti saat ini berisiko dianggap sebagai seseorang yang tak memiliki komitmen. Alhasil, kasus-kasus karoshi atau meninggal dunia karena bekerja terlalu keras kini menimpa semua lapisan karyawan, mulai dari yang berusia tua hingga muda.Saat ini, para karyawan di Jepang memiliki hak 10 hari cuti setahun. Jumlah hari cuti itu bertambah sehari setiap tahun hingga mencapai angka maksimal, yaitu 20 hari setahun. Undang-undang baru itu setelah diberlakukan nanti diharap bisa membuat pihak pengelola perusahaan memastikan karyawan mereka mengambil jatah cuti tahunan.

Pemerintah Jepang mengatakan, undang-undang baru itu dibuat untuk mencegah beban kerja yang terlalu banyak dan memungkinkan para karyawan


(18)

memiliki keseimbangan dalam kehidupan serta pekerjaan.Jepang telah mempelajari Rancanga terakhir.Dorongan yang muncul kuat sejak 2012 atas konsensus yang berkembang bahwa biaya kesehatan, sosial dan produktivitas dari budaya kerja ekstrim di Jepang sangat tinggi.Sebagian penyebab dari permasalahan ini adalah banyak orang khawatir terhadap sentimen negatif yang berkembang dari rekan kerjanya apabila ia mengambil hak cutinya, dampak nyata dari budaya tradisional Jepang yang lebih mengutamakan keharmonisan.

Buruh wanita yang bekerja di kantor seperti Eriko Sekiguchi mendedikasikan hidupnya pada pekerjaan sehingga tampak sulit baginya untuk pulang meninggalkan pekerjaan. Inilah tipe umum dan kekuatan di balik perusahaan di Jepang. Hal ini memiliki dampak sosial dimana wanita seperti Eriko Sekiguchi khawatir bahwa dirinya tidak akan pernah menikah.Budaya “gila kerja” dan keterkaitannya terhadap pasangan di Jepang untuk tidak memiliki anak telah lama dituding sebagai penyebab utama menurunnya angka kelahiran secara drastis di Jepang, yang dampaknya dapat merusak kemapanan negara dengan perekonomian ketiga terbesar di dunia ini.

Bekerja hingga mati adalah tragedi yang sangat umum terjadi hingga menyebabkankaroushi. Pemerintah memperkirakan terdapat 200 kematian

karoushi per tahun dengan penyebab seperti serangan jantung, atau pendarahan diotak setelah bekerja selama berjam-jam tanpa istirahat.Ini belum termasuk banyaknya kasus depresi mental dan kasus bunuh diri tak terhitung yang termasuk kematian karoushi.


(19)

Undang Undang yang baru ini akan mengurangi mendorong orang tua untuk menghabiskan lebih banyak waktu dengan anak-anak mereka selama liburan musim panas misalnya, dimana pada saat itu sekolah-sekolah diliburkan.


(20)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan diatas maka kita dapat mengambil beberapa kesimpulan yaitu:

1. Karoushi adalah kematian seseorang akibat kerja yang berlebihan. Fenomena karoushi yang terjadi pada masyarakat Jepang dipengaruhi oleh sosial budaya Jepang itu sendiri yaitu berlandaskan rasa pengorbanan yang tinggi terhadap pekerjaan dan tempat kerja serta adanya jiwa kerja keras yang telah membudaya juga menjadi karakteristik bangsa Jepang.

2. Beban kerja yang berlebih serta jam kerja yang sangat tinggi (lembur) adalah faktor yang memicu terjadinya fenomena karoushi. Stres yang sangat menumpuk dalam jangka waktu yang cukup lama hingga dapat mengalami penyakit fisik merupakan dampak yang ditimbulkan dari dari beban kerja yang berlebih dengan jam kerja yang tidak teratur ditambah dengan sedikitnya hari libur / waktu istirahat yang membuat seseorang berada dalam kondisi yang tidak sehat baik secara fisik maupun mental. Hal inilah yang memicu terjadinya karoushi di Jepang.

3. Karoushi umumnya terjadi pada kalangan sarariman yaitu pekerja yang hidupnya secara teratur menerima gaji semata walaupun gaji itu kecil, bekerja setengah mati tanpa uang lembur serta tidak adanya


(21)

kepastian peningkatan karier walaupun telah bekerja puluhan tahun lamanya. Rata-rata sarariman ini merujuk kepada laki-laki, karena jam kerja laki-laki lebih banyak daripada jam kerja perempuan di Jepang. 4. Karoushimemberikan dampak terhadap keluarga. Berkurang

harmonisnya hubungan keluarga karena sarariman / pekerja tidak memiliki waktu untuk sekedar berkumpul dan berkomunikasi dengan keluarganya. Sarariman ini menghabiskan banyak waktu mereka hanya untuk bekerja dan mengabdi kepada perusahaan atau tempat bekerja. Bahkan pekerja ini sampai tidak pulang ke rumah dan memginap di tempat bekerja atau hotel kapsul.

5. Karoushi memberikan dampak terhadap kesehatan (diri sendiri). Menyebabkan menurunnya kesehatan si pekerja karena terlalu banyak bekerja dan lembur yang mengakibatkan stres setiap waktu. Tidak adanya waktu istirahat atau hanya sekedar untuk memanjakan diri sendiri karena selalu memikirkan pekerjaan. Penyakit yang diderita oleh korban karoushi ini umumnya penyakit pembuluh darah di otak, pendarahan di otak, gagal jantung hingga stroke karena beban kerja yang banyak.

6. Dalam mengatasi karoushi ini, pemerintah Jepang telah melakukan berbagai cara. Salah satunya yaitu dengan mengeluarkan undang-undang yang mewajibkan pekerja di Jepang untuk mengambil cuti di sela-sela pekerjaannya, menyediakan telepon untuk mrndengarkan keluh kesah sarariman atau pekerja serta mengeluarkan buku petunjuk untuk mengurangi stres dalam bekerja.


(22)

4.2 Saran

Seiring dengan kemajuan perekonomian dan terknologi Jepang harusnya Bangsa Jepang dapat mengantisipasi masalah-masalah yang ditimbulkan oleh karoushi ini. Pemerintah harus lebih giat lagi dalam memberikan pelayanan tambahan bagi para pekerja khususnya dalam kesehatan, sehingga mereka menyadari pentingnya kesehatan untuk diri sendiri dan meluangkan waktu untuk istirahat.

Pemerintah juga harus mencari cara sebanyak-banyaknya untuk mengurangi masalah karoushi ini. Dengan banyaknya penaggulangan yang dilakukan oleh pemerintah, diharapkan masalah dan kasus karoushi dapat berkurang di Jepang. Dan sarariman atau pekerja di Jepang dapat bekerja dengan leluasa tanpa adanya tekanan dari berbagai pihak.

Skripsi ini mempunyai banyak kekurangan, baik dari segi isi, pemahaman konsep, penulisan dan analisis data. Bagi rekan-rekan yang yang ingin melanjutkan pembahasan tentang karoushi alangkah lebih baik mempersempit ruang lingkup pembahasan agar kekurangan dalam pembahasan semakin berkurang.


(23)

BAB II

GAMBARAN UMUM MENGENAI KAROUSHI DALAM KEHIDUPAN

SARARIMAN DI JEPANG DEWASA INI

2.1 Sarariman dan Perusahaan Jepang

Jepang merupakan salah satu dari negara maju yang ada di dunia, dan kemajuan jepang diakui terlebih dalam bidang teknologi. Suatu negara dapat maju karena dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Meskipun negara Jepang tidak memiliki sumber daya alam yang lebih baik dari negara-negara lain, tetapi Jepang memiliki sumber daya manusia yang lebih baik dari kebanyakan negara lain. Hal itu dikarenakan akan kesadaran dengan jiwa yang giat dan gigih oleh bangsa Jepang itu sendiri dalam melakukan suatu pekerjaan atau hal yang dianggap suatu kewajiban.

Warga Jepang sejak berabad-abad memang memiliki tradisi kerja keras dan jiwa pantang menyerah yang sudah tertanam dari dahulu hingga sekarang. Hal ini dapat dilihat dari kerja keras yang dilakukan bangsa Jepang untuk melakukan kewajibannya. Terlebih disuatu bidang pekerjaan pada perusahaan tempat bekerja. Bagi bangsa Jepang, tempat kerja adalah rumah dan saat mengerjakan pekerjaan mereka sama halnya dengan melakukan kewajiban kepada Sang Budha. Maka dari itu, bangsa Jepang selalu memberikan yang terbaik untuk pekerjaannya tanpa memperdulikan diri sendiri, terlebih pada kondisi dirinya.

Menurut survei di Tokyo, orang-orang yang baru lulus kuliah cenderung memilliki tingkat stress yang lebih tinggi dibandingkan ketika


(24)

mereka sedang menghadapi ujian terakhir di kampus.Semakin hari semakin banyak lulusan baru yang bersaing ketat untuk mendapatkan pekerjaan. Ketika jumlah pesaing semakin banyak, maka semakin banyak pula orang yang rela digaji rendah dan bekerja larut, sehingga tingkat kesehatan mereka semakin menurun. Berdasarkan data dari pemerintah Jepang, terdapat lebih dari 10 juta oarang yang hidup dengan penghasilan kurang dari standar normal Jepang, yaitu 1.600,000 yen/tahun (sekitar Rp155

juta/tahun

Di dalam sistem perekrutan tenaga kerja perusahaan menginginkan pekerja yang baru lulus universitas, mereka akan dididik dan dilatih oleh perusahaan secara teknis maupun secara moral. Karir mereka tidak tergantung pada kemampuan personal yang dimiliki, tetapi tergantung sepenuhnya pada perusahaan. Kesempatan kerja diberikan perusahaan adalah sistem kerja seumur hidup, dimana ia akan mengutamakan kepentingan komunitas (perusahaan). Bagi keduanya ini membawa rasa aman dan bangga dan loyalitas yang kuat terhadap perusahaan.

Kesetiaan pada perusahaan ini merupakan jaminan bagi perusahaan akan adanya angkatan kerja yang produktif, yang merasa bangga dan puas dalam pekerjaanya. Baik pekerja kasar maupun pegawai kantoran gembira bekerja lembur, bahkan tidak menggunakan sepenuhnya masa libur yang diberikan. Mereka semua adalah pekerja yang tekun dan bisa dipercaya akan menjaga mutu pekerjaan mereka sendiri.

Perusahaan-perusahaan Jepang yang lebih mementingkan keuntungan perusahaan dan memanfaatkan keluguan para pekerja baru dan tidak mau


(25)

membuang-buang peluang, sehingga terciptalah sarariman. Sarariman muncul akibat adanya perkembangan masyarakat jepang, khususnya dalam lingkungan kantor atau perusahaan, mengakibatkan timbul kelompok baru yang dinamakan sarariman.Sarariman adalah karyawan atau pekerja yang hidupnya 100% tergantung dari gaji. Jadisarariman adalah karyawan yang secara teratur menerimagaji/orang yang bekerja hanya dengan mengharapkan gaji semata walaupun gaji itu kecil, bekerja setengah mati tanpa uang lembur dan tanpa kepastiaan peningkatan karier walaupun mereka telah bekerja puluhan tahun lamanya.Istilah sarariman merujuk hampir secara eksklusif kepada laki-laki.

Sarariman sering bekerja selama 12-14 jam sehari selama seminggu dan ada juga yang bekerja selama 80 hari berturut-turut dan lebih dari 100 jam selama berbulan-bulan pada suatu waktu. Pola kerja seperti ini mengakar karena adanya budaya yang menjunjung tinggi kerja keras dan pengorbanan diri.Selain itu, ledakan ekonomi pada tahun 1980 mendorong sarariman untuk semakin produktif.Sehari-hari sarariman hanya tidur selama 4 jam,maka jangan heran apabila melihat banyaksarariman jepang yang tertidur pulas di kereta saat mereka dalam perjalanan pulang ke rumah.Aktivitas tersebut diulang terus dari senin sampai jumat, untuk hari sabtubiasanya pulang lebih awal (kalau ada lemburmereka juga akan bekerja seperti biasa).

Para awalnyasarariman ini memiliki niat baik, yaitu ingin memajukan perusahaannya. Ditambah lagi dengan kebudayaan Jepang yang selalu menekankan disiplin tinggi, mereka berpikiran bahwa dengan bekerja lebih lama dan lebih keras daripada karyawan lain dan tanpa meminta bayaran apapun, atasan mereka bisa memberikan posisi yang lebih baik. Tapi kenyataan tidak seperti itu.


(26)

Setelah perang dunia kedua, Jepang menjadi negara dengan tenaga kerja murah melimpah. Untuk mempertahankan eksitensinya, para sarariman harus bekerja lebih keras dan lebih panjang. Untuk menghindarkan konflik perburuhan, parasarariman di Jepang menerima sistem gaji berdasarkan senioritas. Prestasi kerja dan loyalitas diukur dari panjangnya jam kerja. Faktor-faktor inilah yang mendorong sarariman bekerja lebih keras dan panjang, yang menyebabkan terjadinyaKaroushi.

Dalam sistem bekerja sama dalam kelompok pada masyarakat Jepang, tempat kerja merupakan satu kesatuan unit keluarga. Kesatuan unit keluarga sebagai tempat kerja ini dibentuk oleh orang-orang yang sebelumnya tidak memiliki suatu keterampilan atau keahlian dan mereka bekerja sesuai dengan tugas dan kewajibannya masing-masing di dalam kelompok yang mengikatnya.Tugas dan kewajiban ini dilakukan dengan sikap loyal sebagai pengetahuan dan pengalamannya.Setiap anggota dalam kelompok dengan sendirinya mempunyai keinginan yang kuat untuk mewujudkan kesejahteraan kelompoknya atau mensuksekan kelompoknya.(Hamaguchi, 1994:19).

Menurut Hasegawa (1998:167) mengatakan perusahaan adalah komunitas seorang pekerja, sedangkan rumah hanyalah sebagai tempat ia tidur. Perusahaan tidak dianggap semata-mata sebagai satu organisasi dimana seorang terikat dengannya melalui kontrak, tetapi dianggap sebagai tempat dimana seorang pekerja merupakan bagian darinya bahkan dianggap sebagai miliknya. Sebagai contoh, orang Jepang selalu memperkenalkan dirinya kepada orang lain, dengan terlebih dahulu menyebutkan tempat dimana ia bekerja, bukan posisi dia bekerja. Seorang pekerja akan berhati-hati terhadap perkataannya dan tidak akan


(27)

mengatakansesuatu yang dapat memperburuk image perusahaan tempat ia bekerja. Apabila ia sakit, maka perusahaan akan berusaha untuk menutupi dan tidak akanmembocorkannya kepada rekan bisnis dari perusahaan lainnya karena hal ini bisa membuat perusahaan kelihatan buruk. Bila klien mencarinya, maka perusahaan akan mengatakan bahwa pegawai yang sakit itu sedang keluar atau sedang dalam perjalanan bisnis .

Tuntutan hidup yang tinggi membuat sararimandi Jepang harus bekerja dengan keras untuk mencukupi kebutuhannya tersebut.Tetapi bukan semata-mata hanya untuk memenuhi tuntutan hidup, maka pekerja di Jepang banyak menjadi menjadi korban karoushi. Masih banyak negara-negara lain yang tingkat kesejahteraannya jauh berada di bawah Jepang, dan mempunyai tuntutan hidup yang lebih keras, tetapi fenomena karoushi tidak terjadi di negara tersebut, bahkan rekor korban karoushi pun hingga saat ini masih dipegang oleh Jepang dan bahkan menjadi pusat perhatian dunia.

Menurut Chie Nakane (1981:21), masyarakat Jepang adalah masyarakat yang menonjolkan kelompok kerja sama berdasarkan tempat, maksudnya jika seseorang telah menjadi anggota suatu kelompok, termasuk di dalamnya kelompok bekerja (perusahaan) maka orang tersebut akan mendahulukan kepentingan kelompoknya itu. Chie Nakane juga menyatakan perusahaan bagi orang Jepang ibarat satu keluarga, pimpinan adalah kepalakeluarga dan bawahan sebagai anggota keluarga. Perusahaan adalah komunitas seorang pekerja, sedangkan rumah hanyalah sebagai tempat dimana ia tidur, perusahaan tidak dianggap semata-mata sebagai satu organisasi dimana seseorang terikat dengannya melalui kontrak, tetapi dianggap sebagai tempat dimana


(28)

sararimanmerupakan bagian darinya bahkan dianggap sebagai miliknya. Sebagai contoh, orang Jepang selalu memperkenalkan dirinya kepada orang lain dengan terlebih dahulu menyebutkan tempat dimana ia bekerja, bukan sebagai apa dia bekerja.

Sebagai satu keluarga, perusahaan tidak hanya memperhatikansarariman

saja, tetapi juga keluarga sarariman tersebut, perusahaan menjamin kesejahteraan

sararimandan keluarganya dengan menyediakan berbagai fasilitas, dan tentu saja hal ini menguntungkan bagi perusahaan itu sendiri. Dengan adanya jaminan ini

sararimanakan mendahulukan kepentingan perusahaan, mereka rela untuk bekerja ekstra meskipun tidak sesuai dengan kontrak kerja yang telah disepakati sebelum mulai bekerja. Mereka terbiasa untuk bekerja melebihi jam kerja yang telah diatur oleh undang-undang yang sah. Lagi pula sarariman yang pulang tepat pada waktunya tanpa lembur akan merasa malu karena seolah-olah itu menunjukkan kurangnya loyalitas mereka terhadap kelompok (perusahaan) dan ia pun akan terkucilkan. Bahkan sarariman yang telah bekerja melebihi jam kerja yang telah disepakati melalui kontrak, bisa tidak memperoleh bayaran sesuai dengan lembur yang telah dilakukannya.

Merupakanhal yang biasa bagi para sararimanpada perusahaan-perusahaan di Jepang untuk bekerja minimal 12 jam sehari. Mereka bahkan lebih memilih tidur di tempat yang telah disediakan oleh perusahaan daripada memilih pulang dan tidur di rumah, karena terlalu larut dan melelahkan untuk pulang ke rumah.

Kebiasaan kerja 12 jam sehari ini tentu saja telah melanggar ketentuan jam kerja yang telah ditentukan di dalam rodou kijunhou (UU Standar Perburuhan).


(29)

Kebiasaan kerja 12 jam sehari ini terus berlangsung dan akhirnya secara tidak tertulis, kebiasaan ini dimaklumi dan diperbolehkan,sampai akhirnya mengganggu ritme kerja yang normal atau yang seharusnya.Kebiasaan kerja yang seperti ini mengakibatkan kelelahan yang akhirnya terjadi kerusakan fatal pada pekerja (sarariman menderita penyakit karena kelelahan bekerja,bahkan sampai menyebabkan kematian)

2.1.1 Sejarah Perusahaan-Perusahaan Besar 1. Mitsubishi

Tahun 1870 merupakan permulaan dari lahirnya Mitsubishi.Pada tahun ini, pendirinyaIwasaki Yataro mendirikan perusahaan perkapalan (Tsukumo Shokai) di Osaka.Perusahaan ini merupakan perusahaan setengah milik pemerintah karena adanya bantuan dari pemerintah propinsi Tosa.Tetapi dengan dihapuskannya tanah pinjaman, pendirian perfektur, dan perubahan-perubahan sosial-politik lainnya dalam beberapa tahun sesudahnya, menyebabkan pemerintah Tosa menarik diri dari perusahaan, lalu Yataro mengambil alih perusahaan menjadi swasta. Pada tahun 1873, ia menamakan kembali perusahaan tadi dengan nama Mitsubishi Shokai (Mitsubishi Trading Co.) dan mengambil alih lambang tiga berlian itu sebagai merk dagang Mitsubishi (Kunio,1987:38).

Lewat hubungannya dengan para pemimpin Meiji, seperti Okuba Toshimichi dan Okuma Shigenobu, ia mampu memperoleh bantuan keuangan dan perlindungan dari pemerintah.Ia mampu menjadi agen perkapalan yang utama


(30)

untuk pemerintah. Hal ini memungkinkan Mitsubishi untuk menjadi perusahaan perkapalan terbesar di Jepang.

Pada awal tahun 1880-an, pemerintah pro Mitsubishi jatuh dan Mitsui serta perusahaan lain yang kesal atas dominasi Mitsubishi dalam bisnis perkapalan, berhasil membujuk pemerintah yang baru untuk mendirikan perusahaan perkapalan yang baru sebagai balas keseimbangannya. Akhirnya karena persaingan antara Mitsui dan Misubishi mengancam industri perkapalan, kemudian pemerintah memutuskan untuk menggabungkan keduanya dan mendirikan suatu perusahaaan baru bernama Nippon Yusen Kaisha (NYK) sebagai suatu perusahaan dari kebijakan nasional pemerintah. Merger ini membuat Mitsubishi kehilangan monopolinya atas bisnis perkapalan, sehingga perusahaan ini membangun usaha-usaha lain yang berkaitan dengan perkapalan seperti perbankan, asuransi laut, galangan kapal, dan reparasi, usaha ini dibawah satu perusahaan baru bernama Mitsubishi Goshi Kaisha (Mitsubishi & Co).

2. Yamaha

Yamaha didirikan pada tahun 1887, ketika Torakusu Yamaha mendirikan perusahaan Yamaha Corp Nippon Gakki yang membuat alat musik piano organ, tidak lama kemudian Yamaha dikenal sebagai pembuat berbagai instrumen musik terbesar di dunia, Logonya pun dibuat Pada 1 Juni 1955, berdirilah Yamaha Motor Corp. yang terpisah dari dari Yamaha Corp. namun masih tetep dalam satu grup. Motor produksi pertama yamahaadalah single cylinder 2 stroke dengan kapasitas 125cc, dimana motor ini plek-plek copy dari DKW 125cc, Pabrikan Inggris BSA juga dari pabrikan Jerman ini dikenal dengan Bantam, Motor 125cc tersebut


(31)

dikenal sebagai YA1 alias Atakombo dan dikenal juga sebagai Red DragonFly, Motor ini lumayan sukses dan laris dipasaran dan diproduksi berikutnya menggunakan mesin dengan kapasitas 175cc. Produksi motor berikutnya adaah twin cylinder YDI dibuat pada tahun 1957, sanggup mengeluarkan power 20 BPH, dan memenangkan race Mount Asama di Jepang, produksinya sekitar 15.811 sepeda motor yamaha dan jumlah ini masih dibawa Suzuki.

Selanjutnya Yamaha berkembang dengan cukup pesat dan ditahun 1959 keluarla speed gearbox. tahun 1960, produksinya meningkat 6 kali lipat menjadi 138 rebu motor.Setelah berakhirnya Perang Korea,perekonomian Amerika Serikat begitu booming dan ini mendorong eksport Jepang khususnya motor ke Amerka Serikat.Tahun 1962 ekspor yamaha ke US sebanyak 12 ribu motorcyclez.Kemudian tahun 1962 sudah mencaoai 12 ribu unit.Demikian pula untuk tahun1963, kurang lebih sebanyak 36 ribu unit dan puncaknya ditahun 1964, ekspornya mencapai 87 ribu unit. Tahun 1963, Yamaha membuat motor 250cc, twin cylinder dan air cooled. Sejak saat itu, Yamaha lumayan dikenal di seantero Jepang. Tahun 1965, produksi Yamaha sudah mencapai 244 ribu unit dan peruntukkannya 50:50, dimana sebagian untuk eksport sedangkan sebagian lainnya konsumsi dalam negeri.

Yamaha mulai mengembangkan sayapnya dengan membuka pabrik diluar negara Jepang.Pabrik yamaha di luar Jepang yang pertama kali dibuka adalah di Thailand di tahun 1966.Pelan tapi pasti Yamaha mulai melewati Suzuki dalam hal produksi motor, dimana pada tahun 1967 telah mencapai 406 ribu unit


(32)

motor.Jumlah ini melewati saingan terdekatnya Suzuki dengan selisih sekitar 4 ribu unit. Selanjutnya Yamaha mulai mengembangkan untuk pertama kalinya yaitu Yamaha motor trail. Motor trail pertama menggunakan engine 250cc single cylinder. Disamping itu Yamaha juga mengembangkan sport car unit 2000cc, 6 cylinder dan DOHC untuk Toyota Motor, dan ini akan membantu Yamaha dalam mengembangkan high performance bikers nantinya.

3. Toyota

Toyota Motor Corporation (TMC) adalah sebuah pabrikan mobil yang berasal dari Jepang, yang berpusat di Toyota Aichi.Saat ini, Toyota merupakan pabrikan penghasil mobil terbesar di dunia.Toyota Motor Corporation didirikan pada September1933 sebagai divisi mobil Pabrik Tenun Otomatis Toyoda. Divisi mobil perusahaan tersebut kemudian dipisahkan pada 27 Agustus1937 untuk menciptakan Toyota Motor Corporation seperti saat ini.Toyota Motor Corporation didirikan pada September 1933 sebagai divisi mobil Pabrik Tenun Otomatis Toyoda.

Toyota merupakan pabrikan mobilterbesar di dunia dalam unit sales dan net sales. Pabrikan terbesar di Jepang ini menghasilkan 8-8,5 juta unit mobil di seluruh dunia tiap tahunnya.Dibandingkan dengan industri-industri otomotif lain yang menggunakan nama pendirinya sebagai merek dagang seperti Honda yang didirikan oleh Soichiro Honda, Daimler-Benz (Gottlieb Daimler dan Karl Benz), Ford (Henry Ford), nama Toyoda tidaklah dipakai sebagai merek. Karena berangkat dari pemikiran sederhana dan visi waktu itu, penyebutan Toyoda


(33)

kurang enak didengar dan tidak akrab dikenal sehingga diplesetkan menjadi Toyota.

Sakichi Toyoda lahir pada bulan Februari 1867 di Shizuoka, Jepang. Pria ini dikenal sebagai penemu sejak berusia belasan tahun. Toyoda mengabdikan hidupnya mempelajari dan mengembangkan perakitan tekstil. Dalam usia 30 tahun Toyoda menyelesaikan mesin tenun. Ini kemudian mengantarnya mendirikan cikal bakal perakitan Toyota, yakni Toyoda Automatic Loom Works, Ltd. pada November 1926.

Pada tahun 1936 Toyota meluncurkan mobil penumpang pertama mereka, Toyoda AA Model ini dikembangkan dari prototipe model A1 dan dilengkapi bodi dan mesin A. Kendaraan ini dari awal diharapkan menjadi mobil rakyat. Semangat inovasi Kiichiro Toyoda tidak pernah redup. Toyota kemudian berkembang menjadi penghasil kendaraan tangguh. Di era 1940-an, Toyota sibuk mengembangkan permodalan termasuk memasukkan perusahaan di lantai bursa di Tokyo, Osaka dan Nagoya. Pada tahun 1947, penjualan mobil Toyota di dalam negeri sudah mencapai 100.000 kendaraan.

SetelahPerang Dunia II berakhir, tahun 1950-an merupakan pembuktian Toyota sebagai penghasil kendaraan serba guna tangguh. Waktu itu kendaraan Jeep akrab di Jepang. Terinspirasi dari mobil ini, Toyota kemudian mengembangkan prototipe Land Cruiser yang keluar tahun 1950. Pada tahun yang sama pula Toyota mendirikan Toyota Motor Sales co., Ltd, anak perusahaan Toyota Motor Co., Ltd yang menangani penjualan, pemasaran dan distribusi Toyota. Setahun kemudian meluncurkan secara resmi model awal Land Cruiser yakni model BJ.


(34)

Pada tahun 1990-an, Toyota semakin membuktikan bahwa mobil Jepang dapat bersaing dengan mobil Eropa dan Amerika. Toyota Celica berhasil menjadi juara rally dunia, dan Toyota Camry menjadi mobil paling laris di Amerika.

4. Mitsui Bussan

Pada tahun 1874, Mitsui yang dikenal sebagai agen perlengkapan pakaian dan bankir yang berpengaruh, memutuskan untuk memperluas usahanya dan mendirikan suatu perusahaan perdagangan umum partai besar. Perusahaan yang bernama Kokusan Kata (National Products Co.) ini beroperasi dari kantor pusatnya di Tokyo dan Yokohama. Kantor di Tokyo menangani sutera mentah, beras, sedangkan kantor di Yokohama menangani teh dan sutera mentah, yang diperdagangkan ke wisma-wisma dagang asing yang terletak disana. Mitsui, yang bertindak selaku bendaharawan untuk pemerintahan Meiji yang baru, mempunyai tabungan pemerintah yang bebas bunga di dua puluh tujuh tempat di seluruh Jepang, yang dapat dipergunakan dalam perdagangan beras.

Setelah perdagangan dengan barat dimulai, pada akhir periode Tokugawa, Mitsui mendirikan sebuah toko di Yokohama untuk menjual sutera dan teh kepada pedagang-pedagang asing. Usaha ini diambil alih oleh kantor di Yokohama dari Kokusan Kata, yang sebagai tambahan, menangani ekspor beras. Ekspor beras dimasuki sebagian untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan promosi ekspor dari pemerintah untuk mengurangi defisit perdagangan dan menghentikan arus devisa keluar, tetapi lebih penting lagi karena ekspor tadi penting untuk bisnis beras Mitsui secara menyeluruh. Pada tahun 1876 Mitsui mengakuisisi perusahaan niaga lainnya bernama Senshu Kaisha, dan di mergerkan dengan Kokusan Kata


(35)

dalam suatu perusahaan baru, Mitsui Bussan. Keputusan ini untuk sebagian didasarkan pada pertimbangan politik. Okuma Shigenobu, menteri keuangan pada saat itu, mendesak Mitsui agar bergerak dalam perdagangan langsung.

5. Sumitomo group

Sumitomo Group adalah perusahaan konglomerat selama 400 tahun dan salah satu bisnis terbesar di seluruh Jepang. Group ini telah berkembang dalam berbagai bidang logam, permesinan dan kimia dan sangat besar pengaruhnya serta dukungannya untuk industri modern di Jepang.

Sebagai salah satu inti dari Grup Sumitomo, Sumitomo Heavy Industries membaur menjadi bisnis tingkat tinggi di Jepang. Dengan mengembangkan teknologi yang mutakhir dan menciptakan berbagai macam variasi dalam mesin dan peralatan yang tergabung dalam infrastruktur, kapal, pabrik, elektronik dan peralatan industri lain.

Sejarah Sumitomo

1955 Mendirikan perusahaan Modern Machinery Co., Ltd. dan mulai memproduksi Blown Film di Pabrik Kawasaki

1969 Memulai produksi mesin casting film dan benang pita 1975 Memulai produksi mesin coating extrusi

1978 Memulai produksi Extruder performa tinggi Delser Series

1980 Membangun laboratorium riset dan membuka kantor pemasaran di Osaka 1989 Memulai produksi mesin blown film bekerja penuh secara otomatis tanpa


(36)

pekerja

1997 Memulai produksi FLEX ROLL dalam pembuatan film PP transparan 1999 Menggunakan mesin Multi In One dengan kecepatan tinggi casting,

molding laminasi untuk kebutuhan tes internal

2000 Mengganti nama perusahaan menjadi SHI Modern Machinery, Ltd. 2002 Meluncurkan DMA automatic pengaturan ketebalan film dengan air ring 2003 RMengganti nama perusahaan menjadi Sumitomo Heavy Industries

Modern, Ltd.

Penggabungan dan integrasi kerja dari Film Processing Group dan Plastics Machinery Division of Sumitomo Heavy Industries, Ltd. Membuka kantor perwakilan di Shanghai

2008 Membuka pabrik di Futtsu, Chiba

2011 Membuka kantor Cina (Shanghai) and kantor Indonesia (Jakarta) 2014 Membuka kantor Thailand (Bangkok)

2.1.2 Etika Kerja di Perusahaan Jepang

Mayoritas perusahaan di Jepang menerapkan jam kerja mulai dari jam 08.00-17.00. Namun belakangan ini makin marak perusahaan yang menerapkan jam kerjafleksibel. Ini adalah sistem dimana karyawan punya kebebasan pada batas tertentu untuk menetapkan waktu kerja mereka sendiri.Sistem waktu fleksibel ini menjadi populer karena karyawan dapat menghindari jam-jam pulang pergi yang paling sibuk dan dapat bekerja sesuai dengan pola kehidupan mereka. Dari sisi lain, memang benar banyak orang yang merasa tidak enak untuk pulang


(37)

kantor lebih dulu dibandingkan rekan-rekan atau para bos, meskipun pekerjaan mereka hari itu sudah selesai.

Perusahaan-perusahaan di Jepang sering menggelar pesta untuk para karyawannya. Yang paling umum antara lain adalah pesta untuk karyawan baru, pesta perpisahan saat ada pergantian karyawan, dan pesta akhir tahun sebagai bentuk terima kasih atas hasil kerja dan dukungan selama setahun terakhir. Diantara rekan sekerja juga merupakan hal biasa untuk makan malam bersama seusai kerja, sambil minum minuman beralkohol atau teh.

Suatu pekerjaan bagi pekerja di Jepang tidak hanya merupakan persetujuan dalam kontrak untuk mendapat bayaran, mereka terkadang melakukan lembur yang tidak mendapat bayaran dari perusahaan. Keadaan ini terjadi karena pekerja seringkali melaporkan jam lembur mereka lebih sedikit daripada yang sebenarnya, mereka seolah-olah menganggap jika menyebutkan jam lembur yang sebenarnya, karena dengan begitu kredibilitas kerjanya akan dipertanyakan.

Bentuk loyalitas ini terwujud dalam etika kerja bangsa Jepang yaitu pekerja keras yang lebih mengutamakan kepentingan perusahaannya di atas kepentingan pribadinya. Frekuensi jam kerja yang sangat tinggi merupakan dampak dari rasa loyalitas terhadap perusahaan guna kemajuan perusahaannya, para pekerja bisa bekerja mencapai 16 jam dalam sehari yang terus berlangsung secara berkesinambungan, hal ini menimbulkan dampak negatif yaitu stres karena kelelahan atas kerja yang berlebihan sehingga menimbulkan penyakit yang berujung kepada kematian pekerja itu sendiri (karoushi).


(38)

2.2 Karoushi di Jepang 2.2.1 Pengertian Karoushi

Negara Jepang sejak berabad-abad yang lalu telah memiliki budaya kerja keras yang sangat tinggi.Maka dari itu, bangsa Jepang selalu memberikan yang terbaik untuk pekerjaannya tanpa memperdulikan diri sendiri, terlebih pada kondisi dirinya.Budaya ini makin diperkuat setelah kekalahan dalam perang dunia kedua.Setelah perang dunia kedua, Jepang menjadi negara dengan tenaga kerja murah melimpah.Untuk mempertahankan eksitensinya, para pekerja harus bekerja lebih keras dan lebih panjang.Untuk menghindarkan konflik perburuhan, para pekerja di Jepang menerima sistem gaji berdasarkan senioritas. Prestasi kerja dan loyalitas diukur dari panjangnya jam kerja. Faktor-faktor inilah yang mendorong pekerja bekerja lebih keras dan panjang, yang menyebabkan terjadinyaKaroushi.

Karoushiditulis dengan kanji (過労死) berasal dari tiga kata yaitu Ka(過)

yang artinyalebih, Rou (労) yang artinya bekerja dan Shi (死) yangartinya mati.

Jadi dapat disimpulkanKaroushi(過労死) adalah mati akibat bekerja berlebihan.

Karoushi merupakan bekerja dengan tekananpekerjaan yang besar dengan jam kerjayang berlebih dari jam kerja yangsudah ditetapkan serta jam lembur dan shiftkerja yang panjang dansedikitnya hari libur atau istirahat sehinggamengakibatkan kematian, disertaijuga dengan beban mental dan penyakit fisik.

Secara harafiah karoushi mempunyai arti kematian yang disebabkan karena terlalu banyak bekerja.Karoushi adalah istilah sosio-medis yang digunakan terutama pada aplikasi untukkompensasi pekerja, terutama dalam kasus-kasus penyakit


(39)

cardio-vascular disebabkan oleh beban kerja yang berlebihan dan stres kerja. Dr Tetsunojo Uehata, yang menciptakan kata karoushi, telah mendefinisikan sebagai "sebuah cacat tetap atau kematian yang disebabkan oleh memburuknya tekanan darah tinggi atau

arteriosklerosis menyebabkan penyakit pembuluh darah di otak, seperti

pendarahanotak, perdarahan dan otak subarachnoidal miokard, dan gagal jantung akut dan mycardial miokard yang disebabkan oleh kondisi seperti penyakit jantung iskemik” (Uehata, 1990:98).

Jadi Karoushi merupakan budaya dalam masyarakat Jepang yang berarti kematian seseorang karena kelelahan yang disebabkan oleh penyakit fisik maupunmental yang dipicu oleh kerja berlebihan yang ditandai dengan frekuensi jam kerja yang terlalu tinggi. Dari pengertian di atas, muculnya permasalahan

karoushi disebabkan oleh frekuensi jam kerja yang tinggi. Seperti dikatakan oleh Murphy, (2001:37), “Kematian yang dikategorikan ke dalam karoushi selalu berhubungan dengan frekuensi jam kerja yang tinggi, shift kerja, dan jadwal yang tidak teratur”.

2.2.2 Sejarah karoushi

Fenomena Karoushi di Jepang bukan sesuatu hal yang baru dan masih sering terjadi.Biasanya fenomena karoushiterjadi pada pekerja kantoran yang umumnya laki-laki yang berusia 25-45 tahun.Fenomena ini sangat jarang terjadi pada perempuan Jepang,karena jam kerja laki-laki lebih banyak daripada jam kerja perempuan. Pekerja perempuan di Jepang, untuk sebagian besarbekerja hanya paruh waktu.


(40)

pekerja laki-laki. Biasanya perempuan hanya mengambil jam kerja paruh waktu atau part time, karena mereka masih harus mengurus anak dan rumah. Sehingga korban karoushi lebih banyak laki-laki daripada perempuan. Sedangkan untuk pekerja pria kebanyakan mereka bekerja full time dan memiliki lebih banyak pekerjaan dan beban di dalam perusahaan karena ketika melihat jenis kelamin dan kelompok usia, persentase bekerja berjam-jam meningkat, terutama pada pria, hal ini terjadi karena adanya peningkatan variasi dalam jam kerja dan jenis pekerjaan. Jenis pekerjaan mereka sangat berpengaruh sekali terhadap jam kerja sehingga membuat para pekerja di Jepang harus bekerja melebihi batas jamkerja normal dan menimbulkan fenomena karoushi, hubungan kekerabatan dan kebersamaan diantara satu pekerja dengan pekerja lainnya juga sangat baik sehingga membuat mereka rela berlama-lama bekerja demi kemajuan perusahaannya. Dari tahun ke tahun jumlah korban karoushi terus mengalami peningkatan. Ini dikarenakan jumlah jam kerja yang terlalu tinggi,

Perdebatan mengenai kematian akibat kerja berlebihan sudah mencuat di Jepang sejak tahun 1970-an. Kasus resmi pertama Karoushi dilaporkan tahun 1969, berupa kematian seorang pekerja laki-laki-laki berumur 29 tahun.Saat itu, kematian pekerja akibat kelebihan kerja, menjadi materi penelitian ilmiah yang menarik.Penelitian selama tiga dekade menunjukkan, kematian pekerja akibat kelebihan kerja, terutama disebabkan oleh serangan jantung atau stroke.Pemicunya, stress karena kerja yang berlebihan.

Orang Jepang menghabiskan waktu sekitar 2.152 jam dalam setahun untuk bekerja. Angka itu lebih kecil bila dibandingkan dengan rata-rata jam kerja dari orang Amerika yang mencapai 1.898 jam setahun namun di atas dari jumlah


(41)

rata-rata jam kerja orang Jerman 1.613. Tapi angka statistik tersebut bisa salah terutama belum melibatkan jam lembur yang tidak dibayar, yang banyak dilakukan oleh oleh pekerja Jepang.

Gambar 2.1 Tabel Frekwensi Jam Kerja di Jepang dengan Negara-Negara lain

Negara 1988 1991 1992 1997 1999

Jepang 2,152 2,139 2,107 1,942 1,942

Amerika 1,898 1,847 1,957 2,005 1,991

Uk 1,938 1,835 1,911 1,934 1,942

French 1,657 1,619 1,682 1,677

Germany 1,613 1,499 1,567 1,517

Sumber: Kawanishi, 2005:72

Menurut analisis pada tahun 1988 perbedaan jam kerja antara Jepang dengan pekerja Amerika sekitar 200 jam dan 500 jam untuk Jerman dan Perancis. Perbedaan jam kerja selama beberapa jam dalam seminggu tidak terlalu terlihat perbedaannya, perbedaan antara Jepang dan Amerika Serikat sebesar 5,6 jam seminggu, berarti perbedaan tahunan 291 jam per pekerja. Ini berarti bahwa setiap tahun para pekerja Jepang bekerja empat sampai enam minggu lebih dari negara-negara lainnya.Para pekerja di Jepang secara tradisional maupun struktural memang bekerja lebih panjang, dibanding rekannya di Amerika Serikat, Perancis atau Jerman.

Para pekerja Jepang selalu didorong untuk meningkatkan pendapatan dengan bekerjalembur.Hubungan kerja industrialnya juga terpusat pada perusahaan. Selain itu gaya manajemen kepegawaian di Jepang juga amat kaku. Sebagian perusahaan tidak memaksa pegawai bekerja lebih panjang, akan


(42)

tetapipegawai secara sukarela melakukanya demi prestasi. Perusahaan menjadi lebih penting dari keluarga.

Teknologi dan industrialisasi yang pesat juga menciptakan suatu perubahan penting dalam sifat ancaman dan stres itu sendiri.Dalam laporan Buruh Dunia ILO tahun 1993 mengatakan, bahwa para pekerja Jepang menderita stres berat yang terkait dengan jam kerja yang panjang, yang menyebabkan karoushi (kematian karena terlalu banyak bekerja.

Gambar 3.2 Grafik Jumlah Korban Karoushi

Sumber :hotline karoushi, 2000

Dari grafik karoushi di atas, pada tahun 1949 sampai tahun 1953 untuk korban karoushi perempuan, mengalami peningkatan sebesar 1000 korban dari 5000 korban menjadi 6000 korban. Tahun berikutnya juga mengalami peningkatan yang cukup tinggi yaitu pada tahun 1957 mencapai 9000 korban.Lalu megalami penurunan sedikit demi sedikit sampai tahun 1969, setelah itu pada tahun 1973 mulai mengalami peningkatan tetapi tidak terlalu tinggi.Pada tahun


(43)

1973 sampai tahun 1977 tidak terlalu banyak mengalami peningkatan dan juga penurunan jumlah korban karoushi.Sampai pada tahun 1997 mengalami peningkatan hingga mencapai 10.000 ribu korban.Bila dibandingkan dengan pekerja laki-laki sangat jauh perbedaannya. Pada grafik pekerja laki-laki setiap tahunnya mengalami peningkatan, walaupun pada tahun 1957 sampai pada tahun 1969 mengalami penurunan yang cukup drastis. Jumlah korban karoushi yang mengalami peningkatan yang cukup drastis yaitu dari tahun1973 sampai tahun 1985 hingga mencapai 16.000 ribu jiwa. Kemudian mengalami penurunan lagi dari tahun 1989 sampai 1993 hingga 13.000 ribu jiwa, dan mengalami peningkatan hingga mencapai 23.000 ribu jiwa.

Jumlah rata-rata jam lembur di Jepang bisa mencapai 30-40 jam per bulannya. Bahkan pada perusahaan-perusahaan yang persaingannya sangat ketat seperti perusahaan-perusahaan elektronik, jam lembur per bulannya bisa mencapai 100-150 jam. (Higashii,1990:90). Lembur ini dapat mencapai hingga 100 jam per bulan untuk pejabat bank. Menurut survei resmi lain melalui wawancara pada para pekerja oleh Badan Koordinasi Pengelolaan dan Pemerintah, diketahui rata-rata jam kerja per tahun lebih dari 2.400 jam. Dari angka ini kita dapat memperkirakan bahwa jumlah jam rata-rata pekerja lembur adalah sekitar 350 jam per tahun.

Apabila seseorangingin mempekerjakan karyawannya lebih dari jam kerja yang telah ditentukan oleh undang-undang mengenai lembur, maka perusahaan harus membuat kesepakatan terlebih dahulu dengan serikat buruh di dalam perusahaan itu, atau setidak-tidaknya perusahaan harus membuat kesepakatan jam kerja dengan orang yang dianggap dapat mewakili lebih dari separuh jumlah pekerja. Lalu kesepakatan ini harus dilaporkan dan disetujui oleh kepala


(44)

pengawas pelaksanaan Undang-Undang Standar Perburuhan. Peraturan mengenai jam kerja lembur harus disepakati melalui perjanjian sarikat buruh dengan perusahaan, tetapi para pekerja hampir tidak bisa berbuat apa-apa karena adanya pemutusan hubungan kerja dan tersisihkan dari kelompok. Mereka terpaksa atau secara sukarela harus bekerja lebih lama, baik untuk menunjukan prestasi atau meraih pendapatan lebih tinggi.Ironisnya, dalam masa resesi seperti saat ini, para pekerja yang berisiko tinggi terserang Karoushi, harus bekerja lebih keras lagi.Karyawan pabrik atau perusahaan yang terancam bangkrut, seringkali kerja lembur tanpa dibayar, demi menyelamatkan tempat kerjanya.

Statistik resmi ini, belum menunjukkan tingginya frekuensi jam kerja yang berlaku di Jepang, hal-hal tersebut dikarenakan, statistik ini berasal dari rata-rata perusahaan dengan lebih dari lima karyawan, karena besar dan kecil mengenai kesenjangan antara perusahaan dan pekerja sangat signifikan. Di Jepang banyak perusahaan-perusahaan kecil dengan pekerja kurang dari tiga puluh karyawan.Bahkan orang-orang yang bekerja untuk perusahaan kecil terdiri dari 60% pekerja.Para pekerja ini sering bekerja lebih lama daripada pekerja di perusahaan besar yang memiliki banyak pekerja. Karena banyak perusahaan bisnis kecil tidak dapat beroperasi selama lima hari kerja dalam seminggu, perusahaan-perusahaan kecil harus buka bahkan pada hari libur.

Diperkirakan, satu dari tiga pekerja laki-laki yang berusia 30-40 tahun telah menghabiskan waktu hingga 60 jam dalam seminggu. Separuh dari jumlah pekerja itu, tidak mendapatkan uang lembur alias tidak dibayar.Nasib pekerja pabrik lebih parah.Mereka datang ke tempat kerja lebih awal dan pulang paling akhir.Juga tanpa upah tambahan atau ganti rugi, termasuk ketika mereka harus


(45)

mengikuti pelatihan pada akhir pekan.

Banyak perusahaan di Jepang selama dua puluh tahun terakhir telah menerapkan sebuah sistem kerja baru dengan menempatkan pekerja paruh waktu untuk menggantikan pekerja tetap.Para staf regular itu tetap dipertahankan dengan kewajiban bekerja lembur dan secara perlahan posisi mereka dibuat tidak tetap.Faktor budaya turut menguatkan kecenderungan ini.Kerja keras merupakan perilaku yang terhormat di Jepang dan pengorbanan untuk orang banyak dianggap lebih berharga daripada pengorbanan untuk pribadi Jepang (Mathari, 2007).

Para pekerja dituntut untuk bekerja keras agar mendapatkan penilaian prestasi kerja termasuk dengan bekerja di luar jam kantor. Tetapi mereka sama sekali tidak mendapatkan upah lembur. Jam kerja yang berlebihan mengakibatkan peningkatan stress yang akan berdampak pada penurunan daya tahan tubuh. Sehingga pekerja yang memiliki tingkat kesehatan yang lebih rendah yang dapat mengganggu kinerjanya.

Walaupun beberapa peneliti mengatakan bahwa tingginya jumlah jam kerja di Jepang salah satunya dilatar belakangi oleh kondisi ekonomi Jepang pada saat itu, namun jam kerja Jepang dalam kondisi kapan pun cukup tinggi bahkan paling tinggi bila dibandingkan dengan Negara-negara maju lainnya di dunia.

2.2.3 Proses Terjadi dan Contoh Kasus Karoushi

Menurut survei yang dilakukan oleh Kementerian Tenaga Kerja, dengan mempertimbangkan rata-ratanya secara keseluruhan, karyawan yang merasakanbahwa kehidupan ini adalah paling berharga pada saat mereka sedang


(46)

mencurahkan perhatian kepada pekerjaan mereka dan pada saat mereka memperoleh pengakuan dari orang-orang lain karena pekerjaannya itu berjumlahsampai 37 %, mereka beranggapan bahwa kemampuan mereka terungkap dalam pekerjaan mereka, tanpa memandang besarnya perusahaan tempat mereka bekerja dan apakah mereka itu adalah buruh kasar atau pegawai (Fukutake, 1988:120).

Pada umumnya para pekerja di Jepang mulai bekerja sejak pukul 08:00 pagi dan pulang pada pukul 17:00 sore, namun sebagian pegawai di Jepang lebih senang melanjutkan sisa pekerjaannya (zangyo) di kantor, kadang-kadang mereka bekerja hingga larut malam dan bahkan tidur di tempat mereka bekerja. Haltersebut menyebabkan terjadinya 過 労 死 karoushi (kematian pekerja yangdisebabkan oleh stress dan kelelahan akibat kerja yang berlebihan) dan karōshi ini membuktikan bahwa frekuensi jam kerja di Jepang masih sangat tinggi dan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kematian yang dikategorikan dengan karōshi selalu berhubungan dengan jam kerja yang tinggi, shift kerja dan jadwal kerja yang tidak teratur yang kebanyakan mereka telah bekerja lebih dari 3000 jam per tahunnya sampai akhirnya kelelahan dan meninggal dunia.

Menurut ILO (1993:65-67) jam kerja yang panjang pasti membawa korban. Seorang psikiater pada tahun 1992 melaporkan, bahwa jumlah pasien yang konsultasi kepadanya untuk masalah stres sudah empat kali lipat lebih dari sepuluh tahun sebelumnya. Menurut Uehata (2001:20) (yang menciptakan istilah

karoushi), fenomena karoushi pertama kali muncul pada tahun 1949-an. Dan masalah karoushi terbesar timbul pada akhir tahun 1970-an ketika


(47)

perusahaan-perusahaan Jepang memotong gaji mereka dalam menanggapi oil crisis (krisis minyak) dan terjadi peningkatan beban kepada kayawan.

Karoushi adalah kematian seseorang yang disebabkan oleh penyakit fisik maupunmental yang dipicu oleh kerja berlebihan yang ditandai dengan frekuensi jam kerja yang terlalu tinggi. Kasus resmiKaroushi yang sempat menghebohkan masyarakat dilaporkan tahun 1969, berupa kematian seorang pekerja laki-laki-laki berumur 29 tahun. Saat itu, kematian pekerja akibat kelebihan kerja, menjadi materi penelitian ilmiah yang menarik.Penelitian selama tiga dekade menunjukkan, kematian pekerja akibat kelebihan kerja, terutama disebabkan oleh serangan jantung atau stroke.Pemicunya, stress karena kerja yang berlebihan.

Pada tahun 2001, komisi ISTC (Industrial Safety Training Council) menemukan bukti yang kuat bahwa aspek psikososial dalam bekerja seperti lamanya waktu kerja, beban kerja yang berat, ketidakmampuan dalam penyelesaian tugas, ketidakmampuan dalam hubungan sosial, kurangnya kesempatan dalam peningkatan karir berpengaruh terhadap kesehatan mental dan fisik pekerja. Stress menyebabkan gangguan pada sistem otot dan sirkulasi, serta meningkatkan resiko penyumbatan darah pada jantung. Hal tersebut berpengaruh besar terhadap suplai darah ke otak. Stress yang timbul dari akibat bekerja secar berlebihan atau melampaui jam kerja yang seharusnya selain dapat menurunkan daya tahan tubuh pekerja dan produktivitas kerjanya, mengakibatkan kerugian di pihak perusahaan, karena ada biaya yang harus perusahaan bayar sebagai akibat dari penurunan produktivitas kinerja pekerjanya.


(48)

Kerja lembur yang terus menerus dilakukan mengakibatkan para pekerja kelelahan, stres dan timbul berbagai macam penyakit hingga akhirnya berujung pada kematian pekerja itu sendiri (karoushi).

Suatu pekerjaan bagi pekerja di Jepang tidak hanya merupakan persetujuan dalam kontrak untuk mendapat bayaran, mereka terkadang melakukan lembur yang tidak mendapat bayaran dari perusahaan (saabisu zangyo). Keadaan ini terjadi karena pekerja seringkali melaporkan jam lembur mereka lebih sedikit daripada yang sebenarnya, mereka seolah-olah menganggap tabu jika menyebutkan jam lembur yang sebenarnya, karena dengan begitu kredibilitas kerjanya akan dipertanyakan.

Bentuk loyalitas ini terwujud dalam etos kerja bangsa Jepang yang pekerja keras yang lebih mengutamakan kepentingan perusahaannya di atas kepentingan pribadinya. Frekuensi jam kerja yang sangat tinggi merupakan dampak dari rasa loyalitas terhadap perusahaan guna kemajuan perusahaannya, para pekerja bisa bekerja mencapai 16 jam dalam sehari yang terus berlangsung secara berkesinambungan, hal ini menimbulkan dampak negatif yaitu stres karena kelelahan atas kerja yang berlebihan sehingga menimbulkan penyakit yang berujung kepada kematian pekerja itu sendiri (karoushi).

Kasus karoushi banyak terjadi pada pekerja di Jepang karena frekuensi jam kerja yang sangat tinggi sebagai bentuk tanggung jawabnya terhadap perusahaannya. Berikut ini contoh-contoh kasus karoushi yangpernah terjadi di Jepang baik oleh pekerja perusahaan maupun pejabat pemerintahan :


(49)

1. Keizo Obuchi

Keizo Obuchi merupakan perdana menteri Jepang, ia tiba-tiba masuk rumah sakit karena serangan stroke hingga akhirnya meninggal dunia, sehingga masalah karoushi menjadi fokus pembicaraaan dunia. Penyebab kematiannya diakibatkan karena Obuchi terlalu memaksakan diri untuk kerja terlalu keras. Di laporkan bahwa sebelum terkena serangan stroke, ia mengalami hari-hari yang sangat sibuk berkenaan dengan meletusnya gunung berapi di Hokkaido, Jepang bagian utara. Kematiannya mengingatkan dunia tentang dampak buruk yang terjadi karena terlalu banyak bekerja, suatu kebiasaan yang seolah-olah telah mendarah daging pada orang Jepang sebagai etos kerja.

Yoshihiro Mori, penerusnya pun diberitakan mewarisi pekerjaannya selama 18 jam sehari, yang dijadwalkan berdasarkan menit, bukan jam. Tomi Murayama, perdana menteri Jepang pada pertengahan tahun 90-an juga mengakui bahwa ia tidak pernah dibiarkan sendiri kecuali pada saat di kamar mandi dan hanya tidur 4 atau 5 jam sehari.

2. Ichiro Oshima

Ada juga fenomena yang berhubungan dengan karoushi yaitu karojisatsu

(bunuh diri yang dilakukan oleh seseorang akibat tekanan mental yang disebabkan oleh pekerjaan yang harus dilakukan yang berlebihan).Kasus ini terjadi pada pegawai Dentsu Corporation, perusahaan iklan raksasa yang menguasai 25%pangsa pasar di Jepang.Pegawainya Ichiro Oshima 24 tahun, memutuskan untuk bunuh diri dalam kamar mandi setelah menyelesaikan program promosi radio yang dibebankan kepadanya. Dilaporkan, sejak bergabung dengan


(50)

perusahaan ini, ia harus menyelesaikan jadwal promosi radio untuk 40 klien dan untuk menyelesaikannya ia terpaksa pulang jam 2 pagi. Ini terjadi 4 kali dalam sebulan.Setahun berikutnya, frekuensi jam kerja yang dilakukannya terus meningkat.Seringkali ia masih berada di kantor sampai jam 6 pagi dan hanya tidur antara 0 menit sampai 2 jam saja. Begitu lelahnya, ia juga sampai harus memasang 3 buah alarm agar bisa terbangun dan mulai bekerja lagi.

3. Kenichi Uchino

Kenichi Uchino menduduki jabatan sebagai quality control atau berada di level menengah dalam jajaran menajemen Toyota Motor Corporation. Bekerja sebagai quality control di Toyota memang cukup berat, setiap setelah jam kantor ada sesi quality control yang bersifat volunter, yang cukup menentukan kecepatan promosi seseorang sehingga bagi sebagian karyawan sulit untuk dilewatkan. Kenichi Uchino bekerja melebihi waktu normal, hingga akhirnya meninggal pada jam 4 pagi karena kelelahan bekerja pada Februari 2002 lalu, Ia meninggal di usia 30 tahun. Kenichi Uchino bekerja dengan waktu tambahan 80 jam dalam waktu 6 bulan berturut-turut. Saat meninggal, waktu overwork-nya mencapai 114 jam.Sebagai manajer pengendali mutu, tanggung jawab Uchino memang tidak kecil. Dia antara lain bertanggungjawab untuk memberikan pelatihan kepada pekerja, menghadiri pertemuan-pertemuan dan menulis laporan bagian produksi. Namun perusahaan Toyota memperlakukan semua waktu secarafakultatif dan tidak ada uang lembur bagi karyawan yang bekerja melampaui jam kantor. Kerja lembur yang dilakukan Uchino itu dianggap sebagai bagian dari tanggung jawab pekerjaan yang harus dilakukannya.


(51)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia adalah mahluk sosial yang dalam kesehariannya berinteraksi dengan sesamanya dan menghasilkan apa yang disebut dengan peradaban. Semenjak terciptanya peradaban dan seiring dengan terus berkembangnya peradaban tersebut, melahirkan berbagai macam bentuk kebudayaan.

Ienaga Saburo dalam Situmorang (2009: 2-3) menjelaskan kebudayaan dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas kebudayaan adalah seluruh cara hidup manusia (ningen no seikatsu no itonami kata). Ienaga menjelaskan bahwa kebudayaan ialah keseluruh hal yang bukan alamiah.Sedangkan dalam arti sempit kebudayaan adalah terdiri dari ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan dan seni, oleh karena itu Ienaga mengatakan kebudayaan dalam arti luas ialah segala sesuatu yangbersifat konkret yang diolah manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit ialah sama dengan budaya yang berisikan sesuatu yang tidak kentara atau yang bersifat semiotik.

Jepang adalah sebuah negara yang menyimpan keunikan dalam hal kebudayaan.Kebudayaan Jepang dipengaruhi oleh karakteristik geografis negaranya serta mempunyai pengaruh timbal-balik dengan karakterisrik rakyatnya. Bangsa Jepang pada umumnya dikenal sebagai bangsa yang mampu mengambil dan menarik manfaat dari hasil budi daya bangsa lain, tanpa mengorbankan kepribadiannya sendiri


(52)

Salah satu kepribadian bangsa Jepang yang mengungguli bangsa lain adalah ketekunan bekerja dan rasa kesetiaan yang luar biasa pada perusahaan atau tempatnya bekerja. Walaupun segi lahiriah dan material tidak diabaikan, tetapi yang dianggap menentukan dalam mencapai hasil adalah aspek mental.Bekerja lembur tanpa dibayar merupakan salah satu bentuk komitmen pada perusahaan.Kesungguhan dan sikap kerja keras pekerja Jepang tidak dapat ditandingi oleh bangsa-bangsa lain sehingga mereka sanggup mengorbankan kepentingan pribadi dan juga waktu bersama keluarga.

Ketika gelombang pengangguran melanda Amerika dan Eropa, di Jepang terjadi fenomena yang sebaliknya.Tahun 2002 lalu, di Jepang terjadi rekor kematian akibat kerja yang berlebihan. Menurut statistic resmi, sedikitnya 300 pekerja kantor dan pabrik di Jepang meninggal karena overdosis kerja. Di negeri sakura ini meninggal akibat kerja berlebihan disebut Karoushi(過労死).

Dilihat dari asal katanya, Karoushi (過労死) berasal dari tiga kata yaitu Ka(過) yang artinyalebih, Rou (労) yang artinya bekerja dan Shi (死) yangartinya

mati. Jadi dapat disimpulkanKaroushi(過 労 死) adalah mati akibat bekerja berlebihan. Karoushi merupakan bekerja dengan tekananpekerjaan yang besar dengan jam kerjayang berlebih dari jam kerja yangsudah ditetapkan serta jam lembur dan shiftkerja yang panjang dansedikitnya hari libur atau istirahat sehinggamengakibatkan kematian, disertaijuga dengan beban mental dan penyakit fisik


(53)

Secara harfiah, karoushi diterjemahkan sebagaikematian karena terlalu banyak pekerjaan. Karoushi adalah peristiwa terkenal di Jepang dan bukan merupakan hal yang baru.Karoshi biasanya terjadi terutama pada kalangan

Sarariman. Sarariman sendiri berarti orang gajian, merupakan sebutan untuk seseorang yang pendapatannya berbasis gaji terutama mereka yang bekerja untuk perusahaan besar. Istilah sarariman ini merujuk hampir kepada laki-laki.

Sarariman juga sering disebut sebagai orang yang bekerja secara mati-matian di suatu tempat walaupun dengan gaji yang kecil bahkan juga tanpa uang lembur

Sarariman sering bekerja selama 12 jam sehari selama seminggu dan ada juga yang bekerja selama 80 hari berturut-turut dan lebih dari 100 jam selama berbulan-bulan pada suatu waktu. Pola kerja seperti ini mengakar karena adanya budaya yang menjunjung tinggi kerja keras dan pengorbanan diri. Selain itu, ledakan ekonomi pada tahun 1980 mendorong pekerja untuk semakin produktif.

Perdebatan mengenai kematian akibat kerja berlebihan sudah mencuat di Jepang sejak tahun 70an. Karoushi pertama kali terjadi pada tahun 1969. Waktu itu, seorang pria berusia 29 tahun, sudah menikah, bekerja di departemen pengiriman surat kabar terbesar di Jepang. Dia meninggal karena mendadak terserang stroke di kantornya.

Penyebab utama dari karoshi adalah serangan jantung atau stroke.Pemicunya adalah stress akibat tekanan tinggi di lingkungan kerja, sertakebiasaan kerja melebihi standar waktu normal bekerja (8 jam). Selain waktu ekstra dalambekerja, biasanya tidak diimbangi dengan gaji yang sesuai. Akibatnya, para pekerja tersebutmenderita secara mental. Penderitaan mental itu jauh lebih


(54)

berbahaya dari penyakit fisik karenadapat membunuh seseorang secara perlahan-lahan dari dalam jiwa.

Tetsunojo Uehat, seorang ahli medis mendefinisikan karoushi sebagai kondisi dimana seseorang menjalani proses kerja yang tidak sehat secara psikologis dan dilanjutkan dengan cara mengganggu ritme kehidupan normal. Kemudian lelah pada tubuh menumpuk disertai memburuknya tekanan darah dan pengerasan pembuluh darah, akhirnya terjadi kerusakan fatal pada tubuh.

Dewasa ini, karoushi merupakan masalah sosial yang amat serius di Jepang. Rupanya budaya kerja orang Jepang memang berbeda dengan budaya kerja di Eropa tengah atau di Amerika utara. Para pekerja Jepang bekerja lebih panjang dibanding rekannya di negara maju lainnya. Statistik menunjukan, setiap tahunnya pekerja Jepang bekerja lebih dari 2.000 jam. Sementara di Amerika Serikat, 1.900 jam kerja dan di Perancis, Inggris serta Jerman rata-rata 1.800 jam kerja pertahun per-pekerja. Selain itu, para pekerja Jepang lebih sering merelakan hari liburnya untuk bekerja.

Warga Jepang sejak berabad-abad memang memiliki tradisi kerja keras. Budaya ini makin diperkuat setelah kekalahannya dalam perang dunia kedua. Setelah perang dunia kedua, Jepang menjadi negara dengan tenaga kerja murah melimpah. Untuk mempertahankan eksitensinya, para buruh atau pegawai harus bekerja lebih keras dan lebih panjang. Untuk menghindarkan konflik perburuhan, para pekerja di Jepang menerima sistem gaji berdasarkan senioritas. Prestasi kerja dan loyalitas diukur dari panjangnya jam kerja. Faktor-faktor inilah yang mendorong sarariman bekerja lebih keras dan panjang, yang menyebabkan terjadinyakaroushi.


(55)

Menyadari bahayakaroushi, kini semakin banyak warga Jepang yang menerapkan filsafat hidup lebih santai, atau "suro raifu" dari istilah Inggris slow life. Takuro Morinaga yang sekarang berusia 45 tahun misalnya, merencanakan pensiun dini dari pekerjaannya di insititut penelitian ekonomi terkemuka di Tokyo, dalam waktu 10 tahun mendatang. Selanjutnya ia akan hidup sebagai penulis masalah ekonomi dan petani. Sejumlah pekerja di pabrik mobil terkemuka di Jepang, juga menerima tawaran pensiun dini untuk menikmati kehidupan dengan filsafat "suro raifu". Namun dalam hiruk pikuk globalisasi, para pekerja di Jepang tetap sulit mengurangi jam kerja serta stress di tempat kerja. Artinya,

karoushi tetap mengancam dimana-mana.

Peningkatan jumlah karoushi di Jepang membawa beberapa kekhawatiran yang muncul dari pemikiran akan dampak buruk yang akan terjadi. Jika karoushi

terus terjadi, maka Jepang akan menjadi negara dengan tingkat kematian yang tinggi setiap tahunnya.

Karoushi ini dapat menimbulkan berbagai dampak, baik dalam kehidupan keluarga,dan dalam bidang kesehatan.Secara umum karoushi memiliki dampak positif dan negatif. Karoshi berdampak positif terutama bagi perusahaan atau tempat-tempat usaha yang telah mempekerjakan sarariman. Karena dengan adanya sarariman ini, dapat meningkatkan produktifitas perusahaan sehingga bisa memajukan perusahaan.

Karoushi juga berdampak negatif terutama pada sarariman, karena pekerjaan yang sangat banyak dan menumpuk membuat sarariman harus bekerja lembur setiap harinya. Sarariman juga banyak kehilangan waktu istirahat bahkan


(56)

untuk sekedar mengurus kepentingan diri sendiri saja tidak memiliki waktu. Hal inilah yang memicu terjadinya karoushi di Jepang dewasa ini.

Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa penting untuk menganalisi tentang karoushi di Jepang yang memberi pengaruh positif dan negatif dalam berbagai aspek pada kehidupan masyarakat.Maka, penulis mencoba membahas dalam bentuk skripsi yang diberi judul “Karoushi dalam Kehidupan Sarariman di Jepang Dewasa Ini.”

1.2 Perumusan Masalah

Karoushi dalam kehidupan di Jepang merupakan suatu topik yang menarik ketika sedang membicarakan tentang Jepang. Secara harfiah karoushi

diterjemahkan sebagai:kematian akibat kerja yang berlebihan. Karoushi diakui sebagai penyebab kematian di Jepang.Karoushi merupakan fenomena yang sangat terkenal di Jepang, dimana korban sering bekerja selama 12 jam sehari selama seminggu penuh. Beberapa korban karoshi bekerja selama 80 hari berturut-turut dan lebih dari 100 jam selama berbulan pada suatu waktu.

Penyebab utama di balik kematiankaroushi ini adalah stres yang akhirnya orang mengalami serangan jantung atau stroke. Para korban utama adalah

Sarariman, sebutan yang diberikan kepada karyawan Jepang, terutama laki-lakiyang bekerja di berbagai perusahaan di Jepang.Para karyawan ini dikenal karena jam kerja mereka yang panjang, kurangnya kompatibel dengan beban kerja dan juga ada beberapa kasus, seperti adanya berbagai jenis penghinaan oleh atasannya sebagai akibat dari status mereka yang rendah dalam hirarki gaji perusahaan.


(1)

Disetujui oleh :

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Medan, April 2016

Departemen Sastra Jepang Ketua,

NIP. 19600919 1988 03 1 001


(2)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT. Karena rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat mahasiswa untuk mendapatkan gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Skripsi yang menyangkut budaya Jepang ini berjudul Karoushi dalam Kehidupan Sararimandi Jepang Dewasa Ini. Tak lupa shalawat dan salam juga dihadiahkan kepada Nabi Muhammad saw, semoga kita mendapatkan syafaatnya di Yaumul Mahsyar kelak. Amin.

Selama proses penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan baik moril, materi dan ide dari berbagai pihak. Oleh sebab itu pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih, penghargaan dan penghormatan kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D. selaku Pembimbing I, yang selalu memberikan waktu dan pemikirannya dalam membimbing, mengarahkan serta memberikan saran – saran kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai.

4. Bapak Drs. Eman kusdiyana, M.Hum, selaku Pembimbing II, yang selalu memberikan waktu dan tenaga sedemikian besarnya untuk membimbing,


(3)

memeriksa serta memberikan saran – saran kepada penulis dalam rangka penyempurnaan skripsi ini hingga selesai.

5. Seluruh Dosen dan staf akademika Fakultas Ilmu Budaya khususnya Departemen Sastra Jepang yang telah berusaha memberikan yang terbaik untuk mahasiswanya. Juga Bang Joko yang banyak membantu.

6. Kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Soeardi (alm) dan Ibunda Arni, yang selalu mendo’akan dan mendukung agar penulis selalu sehat dan semangat, dan telah banyak memberikan dukungan moral dan marterial yang tidak terhingga sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini, menyelesaikan perkuliahan dan mendapat gelar sarjana seperti yang telah dicita-citakan, dan tanpa kedua Orang Tua penulis, penulis tidak akan mampu untuk menjadi seperti sekarang ini.

7. Saudara dan saudari:Dian Agustin, Humaira S.S, serta Hafizah, atas semangat dan kasih sayangnya. Juga keponakan-keponakan yang senantiasa menjadi penghibur bagi penulis.

8. Para sahabat seperjuangan yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas semua canda, tawa, pembelajaran serta semangatnya. Semoga bermanfaat untuk kita semua.

9. Seluruh rekan-rekan seangkatan Sastra Jepang 201l yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang selalu mengingatkan dan memberi semangat penulis agar segera menyelesaikan skripsi ini.

10.Kepada Kakak-kakak Senior dan Adik-adik junior di Departemen Sastra Jepang. Dan juga kepada adik-adik kos yang telah menyemangati penulis.


(4)

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari isi maupun uraiannya.Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan kritik dan saran yang membangun.Akhir kata, semoga skripsi ini nantinya dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis, pembaca khususnya mahasiswa/ mahasiswi Jurusan Sastra Jepang Universitas Sumatera lainnya.

Medan, April 2016

Penulis,


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BABI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ... 8

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 8

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

1.6Metode Penelitian ... 13

BAB II GAMBARAN UMUM MENGENAI KAROUSHI DALAM KEHIDUPAN SARARIMAN di JEPANG DEWASA INI 2.1 Sarariman dan perusahaan Jepang ... 15

2.1.1 Sejarah Perusahaan-Perusahaan Besar ... 21

2.1.2 Etika Kerja di Perusahaan Besar ... 28

2.2 Karoushi di Jepang ... 30

2.2.1Pengertian Karoushi ... 30

2.2.2Sejarah Karoushi ... 31


(6)

BAB III DAMPAK KAROUSHI DI JEPANG

3.1 Dampak Karoushi Dalam Keluarga ... 44 3.2 DampakKaroushi Terhadap Kesehatan (Diri Sendiri) ... 50 3.3 Usaha-usaha mengatasi karoushi ... 53

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan ... 59 4.2 Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK